SUMBER KRISTEN:  MAZMUR 73

www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

  KEHIDUPAN YANG BERKEMENANGAN:
Pembahasan Mazmur 73
Pdt. Yohan Candawasa
Mazmur 73 (TB-LAI)
1 Mazmur Asaf. Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.
2 Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir.
3 Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik.
4 Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka;
5 mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain.
6 Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan.
7 Karena kegemukan, kesalahan mereka menyolok, hati mereka meluap-luap dengan sangkaan.
8 Mereka menyindir dan mengata-ngatai dengan jahatnya, hal pemerasan dibicarakan mereka dengan tinggi hati.
9 Mereka membuka mulut melawan langit, dan lidah mereka membual di bumi.
10 Sebab itu orang-orang berbalik kepada mereka, mendapatkan mereka seperti air yang berlimpah-limpah.
11 Dan mereka berkata: "Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada Yang Mahatinggi?"
12 Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya!
13 Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah.
14 Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi.
15 Seandainya aku berkata: "Aku mau berkata-kata seperti itu," maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada
angkatan anak-anakmu.
16 Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku,
17 sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka.
18 Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.
19 Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!
20 Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina.
21 Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya,
22 aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu.
23 Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku.
24 Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.
25 Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.
26 Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
27 Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa; Kaubinasakan semua orang, yang berzinah
dengan meninggalkan Engkau.
28 Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat
menceritakan segala pekerjaan-Nya.
Kita memperhatikan dari Mazmur ini kalimat pertama kita diberitahu siapa yang menulis Mazmur ini, yaitu
dikatakan di situ "Mazmur Asaf". Siapakah Asaf? Kalau kita membaca catatan kitab Tawarikh 16:4-5, dikatakan
bahwa raja Daud pernah mengangkat dari orang Lewi beberapa orang sebagai pelayan di hadapan tabut Tuhan
untuk memasyurkan Tuhan, Allah Israel, dan menyanyikan syukur puji-pujian bagi-Nya. Pemimpinnya adalah Asaf.
Dari data ini, Asaf adalah orang Lewi. Suku yang dikhususkan Tuhan sebagai imam dan lebih khusus lagi Asaf
bertugas sebagai kepala biduan, dua memimpin orang-orang Lewi untuk memuji Tuhan di kemah suci. Karenanya
menarik sekali, seorang pemimpin yang biasa mengajak orang-orang dengan mulut untuk memuji Tuhan, sekarang
dari mulutnya sendiri mengatakan sebuah kalimat yang sangat mengejutkan di dalam ayat 13: "Sia-sia sama sekali
aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah." Ini keluar dari mulut
Asaf. Ayat ini memberitahukan kepada kita dua hal: Pertama: kehidupan Asaf selama ini. Dia berkata bahwa dia
adalah orang yang mempertahankan hati bersih dan membahas tangannya tanda tak bersalah. Hati adalah bagian
yang tidak kelihatan --batiniah, dia pertahankan bersih. Kedua: Tangan adalah simbol dari tingkah-laku yang
kelihatan, itupun dia basuh supaya tidak bersalah. Artinya, ia selama ini hidup sebagai imam yang konsisten antara
dalam dan luar, lahir dan batin. Tetapi, ayat ini juga memberitahu kepada kita hal yang lain, yaitu pada waktu ia
berkata: "sia-sia". Artinya, dia melihat selama ini hidupnya mempertahankan hati, membasuh tangan, itu adalah
sebuah kehidupan yang tidak ada gunanya. Sia-sia, kosong, dan tidak mempunyai makna apapun. Sesuatu tindakan
yang percuma, tidak menghasilkan apapun yang baik dalam kehidupannya. Dengan ucapan ini, Asaf jelas bukan
sedang memuji Tuhan, dia bukan sedang memberi kemuliaan kepada Tuhan, dan juga tidak untuk memasyurkan
nama Tuhan. Karena kalimat-kalimat ini jelas menunjukkan dia sedang marah, dia sedang kecewa dan dia pahit hati
kepada Tuhan. Dan itu dicatat di ayat 21: "... hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk
rasanya". Dia sakit hati kepada Tuhan. Kalimat ini kalau didengar oleh umat, jelas itu bisa memperlemah iman
mereka, rasa hormat mereka kepada Tuhan.
Tahun 1998 itu tahun yang gelap bagi bangsa Indonesia. Di antara begitu banyak peristiwa jahat, terselip satu
cerita ada seorang gadis pulang mengikuti kebaktian KKR, dia naik taxi dan dia diperkosa di taxi itu. Sejak saat itu,
anak wanita ini dengan seluruh keluarganya merasa pahit hati kepada Tuhan dan mereka memutuskan tidak akan
pernah menginjakkan kaki mereka di gereja lagi. Pahit hati, kecewa, itu merupakan nyeri jiwa yang tidak asing bagi
kita. Suami bisa getir kepada istri, istri juga bisa getir kepada suami, orang tua getir kepada anak, anak getir kepada
orang tua. Tapi persoalannya getir tersebut pada sesama, kita bisa mohon kepada Tuhan supaya kita diberi kekuatan
untuk mengatasi itu. Ada orang berkata begini: akar pahit dalam hati dapat dihapus dengan manisnya kasih Tuhan.
Kita bisa berdoa minta Tuhan memberi kita kekuatan untuk kemudian dengan kasih, dengan kekuatan Tuhan kita
bisa melakukan kehendak Tuhan. Tetapi kalau pahit hatinya itu kepada Tuhan, maka kita mesti berdoa kepada
siapa? Kita harus dapat kekuatan dari mana supaya kita bisa mengatasi persoalan ini? Ini yang Asaf hadapi, dia
pahit, dia getir kepada Tuhan. Dari mana dia mesti dapat kekuatan untuk mengampuni Tuhan, menerima Tuhan
kembali? Kita harus meneliti dulu, sebetulnya apa yang membuat Asaf mengucapkan kata-kata dari mulut yang
biasanya dipakai untuk memuji Tuhan, di sini dipakai justru untuk menyatakan kemarahan, kegetiran hatinya kepada
Tuhan.
Kita membaca sampai pada ayat ke-3, kita mendapat jawaban apa yang membuat Asaf getir hatinya kepada
Tuhan. Rupanya dia memperhatikan orang-orang fasik. Fasik artinya orang yang tidak mempedulikan Tuhan, mereka
bahkan berani menantang Tuhan, sangat kurang ajar kepada Tuhan. Asaf memperhatikan orang-orang ini, apa yang
mereka peroleh dengan sikap yang sangat kurang ajar kepada Tuhan, itu yang dia catat di ayat 3: "Sebab aku
cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik." Kemudian ayat 4 dan
5: "Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; mereka tidak mengalami
kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain." Kesimpulan terakhir dari pengamatan
Asaf terhadap orang fasik, dikatakan: "Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta
benda dan senang selamanya!" Jadi ada dua yang dia perhatian: secara ekonomi mereka cuma tahu tambah harta
terus menerus dan secara kejiwaan mereka menikmati kesenangan yang tidak habis-habisnya. Setelah mengamati
orang fasik, dia kemudian melihat dirinya sendiri orang yang sangat serius. Mengasihi, mengikuti permintaan Tuhan
dalam kehidupannya, lalu apa yang dia diperoleh? Waktu dia melihat itu, sungguh dia mendapati sebuah kontras yang
bagi Asaf sangat keterlaluan. Ayat 14 dia mengatakan alasannya: "Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan
kena hukum setiap pagi." Asaf melihat bahwa kefasikan tidak berarti jadi susah, miskin, sakit-sakitan. Dan hidup
taat, saleh tidak berarti kelancaran, kekayaan, kesehatan. Kita boleh menyimpulkan bahwa Asaf sebagai imam tidak
kaya, dan dia kurus, sakit-sakitan, hidupnya murung, oleh karena itu dia kecewa waktu dia melihat orang fasik
hartanya banyak, gemuk, suka cita. Ini menjelaskan akar kepahitan hati Asaf kepada Tuhan, karena dia merasa
Tuhan tidak adil memperlakukan dia. Kalau dia sudah memberi segala kepada Tuhan, Tuhan memberi apa kepada
dia. Sebaliknya orang fasik, mereka sebetulnya memberi apa kepada Tuhan? Sederhananya, Asaf tidak akan marah
kepada Tuhan dan hatinya pasti senang kalau berbicara kepada Tuhan, seandainya Mazmurnya ditulis begini
berdasarkan pengalaman dari Tuhan: "Berbahagialah orang yang mempertahankan hati yang bersih dan
membasuh tangannya tanda tidak bersalah, sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh
mereka, mereka akan senang selamanya." Jika begitu perlakuan Tuhan kepada Asaf, maka ayat 13 akan ditulis
seperti ini: "oleh karena itu pertahankanlah hati yang bersih dan basuhlah tangan tanda tak bersalah, semua
itu tidak sia-sia, besar penghasilannya." Persoalannya, kenyataannya dia tidak melihat begitu, maka dia kecewa
kepada Tuhan.
Kita ingin belajar lebih dalam dari kekecewaan Asaf. Ternyata lewat kegetiran Asaf kepada Tuhan, kita melihat
Asaf adalah seorang penganut agama yang tulen. Agama tidak lain adalah sebuah hubungan timbal balik atau barter.
Nothing come for free. Ada ubi, ada tales; ada budi, ada balas. Gigi ganti gigi, mata ganti mata; orang baik kepada
kita, kita balas baik kepada dia; orang jahat kepada kita, kita balas jahat kepada dia. Artinya apa yang saya beri
kepada orang lain begitulah saya akan menerima balasannya. Inilah agama Asaf, agama timbal balik. Artinya, kalau
saya jauh dari Tuhan, Tuhan jauh dari saya; kalau saya dekat Tuhan, Tuhan dekat saya; kalau saya kikir kepada
Tuhan, Tuhan kikir kepada saya; kalau saya taat kepada Tuhan, Tuhan sayang kepada saya; kalau saya lawan
Tuhan, Tuhan juga akan benci saya. Bahkan agama bukan sekadar hubungan timbal balik, tetapi seperti hubungan
dagang, you get what you paid. Ada sahabat saya mengatakan begini: "Agama itu seperti dagang, kasih Rp 1
dapat Rp 1.000 atau kasih Rp 10.000 dapat Rp 1.000.000. Jadi berapa kita investasi kepada Tuhan, Tuhan
akan membalas kepada kita." Itu sebabnya pendekatan kita dalam agama adalah selalu kita bertanya: "Aku dapat
apa?" Kalau saya sudah memberikan waktu terbaik saya, hari Minggu saya tidak pergi jalan-jalan, saya pergi
berbakti. Minggu pertama sampai akhir tahun tidak pernah bolos, kita akan tanya: saya akan dapat apa? Kalau saya
sudah memberikan persembahan, walaupun saya lagi susah, nanti saya akan dapat apa sebagai imbalannya? Inilah
Asaf, dia ajak Tuhan berdagang. Dia rasa dia sudah bayar, dia sudah melakukan yang Tuhan minta, namun dia tidak
melihat balasannya. Dia tidak melihat apa-apa yang dia boleh dapat. Kalau sudah dibayar tidak dapat apa-apa, jelas
kita tidak ingin meneruskan dagang seperti itu.
Orang yang berhubungan dengan Tuhan dengan sistem agama yang timbal-balik mudah dikenali. Saya
memberikan 5 ciri:
Ciri Pertama, tidak ada ucapan syukur. Ciri ini gampang kita lihat waktu kita menjawab pertanyaan ini: Kenapa
orang masuk surga dan kenapa orang masuk neraka? Agama akan dengan cepat menunjukkan ciri tidak bersyukur
dalam menjawab pertanyaan ini. Orang masuk ke surga karena bisa membayar tiketnya berupa amal, bakti,
kesalehan yang cukup. Orang masuk neraka karena tidak bisa beli tiketnya, tidak cukup amal, tidak cukup bakti,
tidak cukup saleh, dosa terlalu banyak. Dia mendapat apa yang dia bayar, you get what you paid. Yesus pernah
memberikan perumpamaan di Lukas 18:9-14 ada orang Farisi dan pemungut cukai masuk ke dalam bait Allah untuk
berdoa. Saya ingin mengganti bait Allah dengan surga. Jadi ada orang Farisi dengan pemungut cukai masuk ke surga.
Mereka ada di surga. Berkumpullah orang Farisi dengan orang Farisi di surga dan mereka mulai bercakap-cakap
antar orang Farisi dengan orang Farisi (karena orang Farisi tidak mau bergaul dengan pemungut cukai). Terjadi
percakapan antara Farisi A dan Farisi B. Farisi A bertanya kepada Farisi B: "apa yang kamu lakukan sehingga
kamu bisa masuk surga? Bagaimana kamu bisa masuk di sini?" Si Farisi B menjawab: "karena aku tidak sama
sama seperti orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, bukan pemungut cukai, aku
berpuasa dua kali seminggu, memberikan perpuluhan dari segala penghasilan. Itu yang aku lakukan, maka
saya di sini. Kamu sendiri apa yang kamu lakukan sehingga ada di surga." Si Farisi A menjawab: "Tentu tidak
mudah. Kalau kamu puasa dua kali seminggu, aku terbalik, seminggu hanya makan dua kali. Kalau kamu
memberi sepersepuluh dari penghasilanmu, aku justru memberikan sembilan persepuluh untuk Tuhan,
sepersepuluh untuk saya sendiri. Makanya jangan heran kalau tempatku jauh lebih baik dari tempatmu."
Farisi B waktu mendengar jawaban ini, dia berkata "ya..ya.. memang anda pantas dapat bintang." Mana pujian
terima kasih kepada Tuhan? Tidak perlu, karena mereka bisa di surga oleh sebab cukup syarat, prestasi mereka
sendiri. Jadi mereka merasa apa yang mereka peroleh sudah selayaknya, itu adalah usaha mereka sendiri. Jadi orang
yang membayar tiket masuk ke surga jangan harap akan berterima kasih dan memuji kemurahan Tuhan. Itu ciri
agama timbal balik: saya ada di sini bukan sesuatu yang tidak saya bayar.
Ciri Kedua, mereka mempunyai hubungan legalistik. Maksudnya, kalau seseorang bangkut kehidupannya susah
karena dia banyak dosa, dia tidak akan marah kepada Tuhan. Tetapi kalau dia merasa hidupnya baik, rajin memberi
persembahan, rajin beramal, rajin beribadah, hidup baik ternyata dia sakit-sakitan, rezeki sulit, maka dia akan marah
kepada Tuhan. Waktu dia berdosa tidak marah, karena dia merasa sudah sepantasnya mendapatkan kesulitankesulitan
ini. Tapi kalau dia baik dan mengalami kesulitan, dia akan marah sekali karena dia merasa itu sebuah
perlakukan yang tidak adil. Kalau kita masuk ke surga karena kita membayar harganya dan kemudian ternyata di
surga kamar kita jelek, pelayanannya jelek -- seperti kita masuk hotel sudah bayar mahal ternyata pelayanan jelek,
maka kita akan marah dan komplain. Kalimat yang keluar begini: "wah tempatnya kok jelek, pelayanan kok jelek,
saya mau tuntut, saya di sini bukan gratis saya bayar" . Kalau di surga kita masuk berdasarkan kita mampu
bayar, maka kalau kita lihat nanti Tuhan melayani kurang baik, kita akan tuntut dan kita akan marah-marah kepada
Tuhan. Dan kita tidak berani marah kalau kita dimasukkan neraka karena kita berdosa, karena kita merasa itu
sepantasnya. Jadi terjadi hubungan legalistik.
Ciri Ketiga, tidak ada hubungan personal (pribadi) dengan Tuhan. Ilustrasinya, ada seorang ayah menjanjikan
permen kepada anaknya jika anaknya selesai mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Tujuannya bergeser, anak
menyelesaikan PR bukan dengan tujuan menyelesaikan tetapi karena dia ingin permen. Dia taat bukan karena dia
mengasihi ayah tetapi dia mau mendapatkan permen yang ayahnya janjikan. Ini akan berakibat perhatiannya
menjadikan permen sebagai tujuan, itu sangat menakutkan. Apa bahayanya? Pertama, dia tidak akan
menyelesaikan PR kalau permennya masih ada. Kedua, dia tidak akan mengerjakan PR lagi kalau dia sudah bosan
dengan permen. Ketiga, kalau dia mampu mendapat permen tanpa perlu minta dari ayahnya dan tanpa perlu
menyelesaikan PR, dia tidak akan menyelesaikan PRnya. Bahkan dia juga tidak akan mencari ayahnya karena dia
sudah mampu mendapat permen sendiri. Ini adalah falsafah hidup orang fasik: tanpa Tuhan sudah kaya, sudah
gemuk, sudah sehat, untuk apa cari Tuhan? Kalau saja Asaf hidupnya gemuk, sehat, senang, apa dia masih menjaga
hati, membasuh tangan dan masih merasa perlu mencari Tuhan? Pasti tidak. Jadi sebetulnya tidak ada hubungan
personal dengan Tuhan, tetapi mencari imbalan-imbalan yang kalau bisa dicari di luar Tuhan, tidak perlu mencari
Tuhan.
Ciri Keempat, agama timbal balik tidak memboleh Tuhan memberi anugerah. Kalau kita membayangkan si Farisi
tahu bahwa pemungut cukai yang korup, yang tidak puasa, tidak memberi perpuluhan ternyata ada di surga. Masuk
surga karena Tuhan memberi anugerah bukan karena kelayakan mereka, maka Farisi ini akan sangat marah bukan
hanya kepada si pemungut cukai tetapi kepada Tuhan. Contoh konkrit cerita waktu anak sulung menerima adiknya
kembali. Waktu ayahnya berlari, memeluk adiknya kembali yang baru memfoya-foyakan uang ayahnya, ayahnya
malah mengadakan pesta. Kakak sulungnya tidak bisa menerima kalau adiknya diterima. Jadi dia marah kepada
ayahnya dan adiknya. Bahkan dia bisa menyesal, kalau tahu hidup seperti itu bisa diterima, untuk apa saya menjaga
hidup saya bersih? Jadi dia sebetulnya menyesal kalau hidup berdosa boleh menerima anugerah, maka dia akan
merasa menyesal harus bersusah payah menjaga kesucian.
Ciri Kelima, hidup tidak berdosa bukan karena benci dosa tapi takut kehilangan imbalan. Takut masuk neraka
kalau tidak taat. Jadi bukan karena membenci dosa takut efek yang terjadi di kehidupan. Ada jemaat yang
memprotes khotbah pendetanya. Mengapa jemaat tersebut protes? Karena pendeta berkhotbah "satu kali
diselamatkan, selamanya diselematkan". Dan salah satu kisah yang diberikan pendeta adalah ada orang yang sungguh
sudah lahir baru yang kemudian karena kelemahannya dia melakukan dosa berzinah dan saat itu mati seketika. Dan
si pendeta berkata, "walaupun begitu darah Kristus cukup untuk mengampuni dia dan menerima dia di surga
surga". Setelah khotbah itu protes luar biasa dari seorang jemaat, dia berkata: "Khotbah bapak sangat tidak
membangun. Kalau orang jatuh dalam dosa masih diselamatkan, saya juga mau kalau begitu. Kalau orang
sudah berzinah masih bisa masuk surga, saya juga mau kalau begitu." Lalu selama ini dia tidak berzinah karena
apa, apa karena dia benci dosa zinah? Tidak. Dia takut masuk neraka. Maka sebetulnya dia taat bukan karena dia
cinta kesucian hidup. Asaf sebetulnya punya mental yang persis sama. Kalau dengan hidup fasik orang masih
diberkati begitu limpah, kalau dengan hidup fasik orang masih diberkati begitu limpah, kalau dengan hidup melawan
Tuhan orang masih tetap gemuk dan sehat, maka Asaf berkata: "buat apa mempertahankan hati dan membasuh
tangan, lebih baik hidup seperti orang fasik." Ketaatan seperti ini bukan untuk Tuhan, bukan mencintai kesalehan,
melainkan takut ada bahaya-bahaya yang akan diterima. Kesalehan ini bukan lahir karena membenci apa yang Tuhan
benci, bukan karena mencintai apa yang Tuhan cintai. Itu kerohanian yang dalam dan luar berbeda.
Itulah beberapa ciri yang menyebabkan Yesus begitu membenci, melawan dan menentang bentuk agama
seperti ini. Kalau kita berimajinasi kembali pada perumpamaan Lukas 18, tadi kita mengikuti percakapan orang
Farisi sekarang kita melihat kelompok pemungut cukai yang masuk surga. Pemungut cukai A bertanya kepada
pemungut cukai B, "Bagaimana kamu bisa ada di sini, apa yang kamu perbuat sehingga kamu mendapat
tempat sebagus ini?" Di jawab oleh pemungut cukai B, "saya sampai hari ini masih tidak bisa mengerti,
bagaimana bisa Tuhan bermurah hati kepada saya orang berdosa seperti ini. Dia menerima saya di tempat-
Nya. Lalu kamu sendiri bagaimana bisa ada di sini?" Jawab pemungut cukai A: "Semua cuma karena
kemurahan-Nya, saya layaknya di neraka, saya pernah berzinah, korup, tidak bayar perpuluhan, tidak
pernah berpuasa, jarang ke bait Allah. Tetapi waktu itu saya berdoa minta agar Tuhan mengasihani saya
orang berdosa. Dia bukan hanya memberi saya belas kasihan, Dia menyambut saya di rumah-Nya. Saya
sungguh tidak mengerti anugerah yang begitu besar bagi diri saya." Percakapan mereka mengungkapkan
kekaguman kemurahan Tuhan, belas kasih Tuhan. Syukur yang ada dalam hati mereka. Yesus memberi kesimpulan
terakhir, orang ini (pemungut cukai) pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah, dan orang lain
(Farisi) tidak. (Lukas 18:14). Rasul Paulus menulis dalam Efesus 2:8-10:
"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian
Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan
Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah
sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (TB-LAI)
Keselamatan maupun kehidupan yang saleh itu semua anugerah Allah, ini yang Asaf lupa. Dia dipilih, dia dikasihi, dia
dipakai Tuhan, semata-mata anugerah Allah. Daud sebetulnya sama dengan Asaf, agama adalah hubungan timbal
balik dengan Tuhan. Daud dalam Mazmur 18:26 berkata : "Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia,
terhadap orang yang tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela". Bagaimana Daud harus merevisi Mazmur ini,
setelah dia jatuh dengan dosa zinah, setelah dia membunuh Uria, dia mendapati ternyata Tuhan bertindak kepada
orang seperti dia yang tidak setia, Tuhan setiawan; pada dia yang bercela, Tuhan bertindak tidak bercela kepadanya.
Bagaimana dia harus membaca dan merevisi Mazmurnya. Hubungan kita dengan Tuhan adalah anugerah semata, itu
yang Asaf lupa.
Kegetiran Asaf bukan hanya sekadar konsep timbal baliknya, tetapi juga dari konsepnya tentang berkat. Bagi
Asaf yang namanya berkat tidak lain gemuk, sehat, senang, kaya; maka waktu dia lihat orang fasik gemuk, sehat,
senang, kaya, itu pasti berkat, maka dia salah paham. Benarkah pandangan Asaf bahwa orang fasik hidup penuh
dengan segala kelimpahan kekayaan walaupun tidak menghormati Tuhan, sebaliknya dia adalah orang yang dikutuki,
dihukum, ditulahi Tuhan setiap hari? Dalam ayat 16 dia kemukakan bahwa dia bergumul, dia ingin mendapat
jawaban walaupun diakui sangat sulit dipahami: "tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu
menjadi kesulitan di mataku". Walaupun begitu, kita memuji Asaf karena waktu dia pahit terhadap Tuhan, dia
tidak lari dari Tuhan. Dia cari jawabannya tetap dari Tuhan: "sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah,
dan memperhatikan kesudahan mereka" (ayat 17). Pahit hatinya, tetapi dia larinya tetap kepada Tuhan dan situlah
Tuhan memberinya pemahaman: "sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka
mereka sehingga hancur." (ayat 18). Jadi Tuhan menempatkan orang fasik tidak di jalan berlubang, tidak di jalan
berbatu, tetapi di tempat-tempat licin, maka ini menjelaskan mengapa orang fasik gampang sukses, kenapa mereka
makin berlimpah dalam perbuatan dosanya? Jawabannya karena mereka ditaruh di tempat yang licin. Pertanyaannya,
sebetulnya tempat licin ini adalah berkat atau hukuman? Waktu orang menantang Allah, Allah justru menempatkan di
tempat licin sehingga tidak ada halangan, serba lancar, tambah gemuk, tambah sehat, tambah kaya, ini berkat atau
hukuman? Kelihatannya berkat, tetapi kalau kita lanjutkan pembacaan kita, di situ dikatakan: "Betapa binasa
mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!" (ayat 19). Jadi dengan jalan licin orang
fasik diberi kelancaran tanpa rem, bagaikan mereka diberi mobil mewah dengan kecepatan tinggi di jalan tol bebas
hambatan, hanya saja tanpa rem. Itu berarti terjamin mereka meluncur cepat menuju kehancuran. Untuk menolong
kita mengerti lebih baik point ini, di dalam Roma 1:18:
"Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas
kebenaran dengan kelaliman." (TB-LAI)
Jadi saat manusia berdosa apakah Allah diam? Tidak. Dikatakan bahwa murka-Nya nyata. Senyata apakah
murka itu? Apakah seperti dalam Perjanjian Lama Allah mengirim banjir, mengirim petir, membelah bumi,
menghabisi semua orang berdosa sehingga mereka distop dari dosa-dosanya? Apa seperti itu? Ternyata tidak. Ayat
24, 26, dan 28 ada ungkapan yang sama yang diulang yaitu "Allah menyerahkan". Allah tidak menghambat, tetapi
Allah menyerahkan. Tiga kali dikatakan "Allah menyerahkan". Pertama, Allah menyerahkan mereka kepada
keinginan hati mereka akan kecemaran; kedua, Allah menyerahkan kepada hawa nafsu yang memalukan; ketiga,
Allah menyerahkan pikiran-pikiran yang terkutuk. Jadi orang yang terkena hukuman seperti ini bukan berhenti
berdosa, karena dia diserahkan kepada keinginannya, hawa nafsunya. Kalau demikian orang ini akan pernah
berpikir akan bertobat? Perlu Tuhan? Ayat 28b-31 menjelaskan akibat setelah "Allah menyerahkan":
"...sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas: penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan,
keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan
kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong,
pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang, tidak
mengenal belas kasihan" (TB-LAI)
Orang-orang seperti itu dihukum Tuhan, tetapi di mata kita mereka tambah gila, tambah berani, tambah tenggelam
dalam dosanya, sehingga kita berkata mengapa Tuhan diam saja? Kelihatannya Tuhan mendiamkan, padahal itulah
bentuk hukuman. Dengan Tuhan mendiamkan sehingga mereka hidup makin hidup dalam dosa makin dalam.
Mereka tidak pernah berpikir untuk kembali kepada Tuhan, untuk kembali kepada Tuhan. Jadi dengan itu
sebetulnya mereka dijamin akan masuk ke dalam kebinasaan kekal. Kalau dilihat dari sudut ini, perumpamaan anak
hilang dalam Lukas 15 yang Yesus berikan, waktu ia susah sekali di kandang babi, itu apakah berkat atau hukuman?
Jelas itu adalah hukuman sekaligus berkat. Karena justru di dalam krisis dia di kandang babi, dia berpikir betapa
banyaknya orang upahan yang berlimpah-limpah makannya tetapi di situ dia kelaparan, dia bangkit dan pergi kepada
bapaknya. Justru krisis ini membawa dia ingat, dia pulang ke rumah bapanya. Coba kita bayangkan secara terbalik,
seandainya dia meninggalkan rumah bapanya dengan meminta seluruh harta bagiannya. Setelah itu dia menjadi makin
kaya raya, makin jauh dari bapanya hidupnya justru makin melimpah, apakah dia berpikir mau pulang? Apakah dia
pernah berpikir lagi tentang bapanya? Saya kira dia akan berpikir begini: "keputusan saya meninggalkan rumah
bapa, itu keputusan yang paling tepat. Kalau saya tidak pergi dari rumah itu, sampai sekarang saya ditindas,
ditindas, bodoh, miskin. Jangan harap saya mau pulang ke rumah seperti kandang babi itu." Krisis itu adalah
justru sesuatu yang indah dai Tuhan bagi dia, karena membawa dia kembali kepada Tuhan. Betapa indahnya kalau
orang-orang Kristen mengerti berkat itu tidak hanya dalam arti sempit, makmur, sehat. Makmur, sehat itu bisa
berupa hukuman dan jangan berpikir penyakit itu pasti kutuk dari Tuhan untuk menghukum. Kesulitan dan penyakit
itu bisa berkat dalam kehidupan kita. Asaf waktu dia masuk ke tempat kudus Tuhan, dia melihat orang fasik.
Mereka tidak dalam kebahagian, namun bahaya yang pasti mematikan mereka: "Sesungguhnya di tempat-tempat
licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur" (ayat 18). Itu yang Asaf perhatikan. Apakah
Asaf kena hukum, kena tulah? Jelas bukan. Dia bukan sedang ditulahi. Yang Asaf alami persis seperti penulis Ibrani
katakan dalam pasal 12:
Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai
anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau
diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang
diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:5-6, TB-LAI)
Jadi Asaf itu dihajar, disesah karena dia anak. Tuhan sangat memperhatikannya. Itu sebabnya waktu dia menulis ayat
1 -- yang luar biasa menggugah hati kita: "Sesungguhnya Allah itu baik...". Pengalaman yang dia sudah lewati,
membuat dia menulis sebuah kesimpulan "Sesungguhnya Allah itu baik". Mengapa dia bisa berkata demikian?
Apakah terjadi perubahan dalam hidupnya? Apakah Tuhan datang kepada Asaf dan Tuhan berkata: "Maaf Asaf,
Saya salah memperlakukan orang. Mulai besok orang fasik akan Saya siksa, Saya tulahi, Saya hukum. Mulai
Mulai besok kamu akan gemuk, sehat, kaya raya." Tidak ada perubahan seperti itu. Tidak ada perubahan secara
lahiriah. Asaf tetap pada kondisinya, orang fasik pun demikian. Yang Asaf lihat adalah perubahan pemahaman
rohani. Dia melihat sebetulnya Tuhan sayang kepada dia, dia mengalami kasih setia Tuhan. Karena di ayat 21-24,
Tuhan tidak membalas gigi ganti gigi, mata ganti mata, tidak memperlakukan timbal balik, melainkan tetap dekat,
memegang tangannya, menuntun dia dalam nasihat-Nya dan mengangkat dia dalam kemuliaan. Dari proses Asaf
marah kepada Tuhan sampai sesungguhnya Allah itu baik, proses demikian berapa lama? Kita tidak tahu. Mungkin
lama sekali, tetapi kita perlu belajar dari Asaf, masa-masa getir seperti itu dia tidak lari dari Tuhan, melainkan terus
mencari, mendekatkan dirinya pada Tuhan. Kalau pokok persoalannya adalah pahit hati kepada Tuhan, maka dia
harus mencari penyelesaian dari Tuhan itu sendiri. Waktu kita pahit hati kepada Tuhan, kekuatan dari mana untuk
mengatasi ini? Tidak lain tetap dari Tuhan itu sendiri.
Di ayat 25 -- salah satu ungkapan puncak kerohanian di dalam Perjanjian Lama: "Siapa gerangan ada padaku
padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi." Ini adalah perubahan yang
sangat drastis, transformasi rohani yang luar biasa. Kalau sebelumnya yang dia cari adalah kaya, gemuk, sehat, di sini
dia katakan dia tidak mau apa-apa selain Tuhan. Kalimat ini menunjukkan kepada kita, orang mencari Tuhan ada
dua bentuk. Pertama, menjadikan Tuhan sarana untuk mendapatkan sesuatu. Orang mencari Tuhan, bukan untuk
Tuhan, dia cari sesuatu lewat Tuhan, entah itu kesembuhan, kekayaan, kepuasan atau mendapat surga. Ini adalah
kerohanian anak-anak. Kedua, mencari Tuhan karena menginginkan Tuhan itu sendiri.
Kalau saudara teliti membaca cerita anak yang hilang, apa yang menyebabkan anak hilang mau pulang? Apa
karena rindu ayahnya? Cinta ayahnya? Dia pulang karena kepentingan dia sendiri, dia mau dapat makan. Dia
berkata: "di rumah bapaku ada banyak makanan". Jadi sebetulnya dia mau pulang, dia tahu dia harus pulang
kalau tetap dapat hidup, bukan karena ada banyak makanan. Si ayah juga tidak tanya motivasi anak ini pulang. Allah
tidak keberatan kalau kita memulai perjalanan bersama Dia bukan demi Allah. Tetapi Alkitab menekankan sekali
betapa rindu-Nya sebagai Bapa melihat kita bertumbuh.
Bernard dari Chlerfo, menyebutkan 4 tingkatkan dalam pertumbuhan kerohanian:
1. Mengasihi diri sendiri demi diri sendiri.
2. Mengasihi Tuhan demi diri sendiri. Mengasihi Tuhan untuk mengharapkan mendapatkan apa-apa yang Dia
bisa berikan kepada kita.
3. Mengasihi Tuhan demi Tuhan itu sendiri, tanpa mementingkan diri sendiri.
4. Mengasihi diri sendiri dan orang lain demi Tuhan, dalam kesadaran akan kasih Tuhan yang besar bagi kita.
Dari 4 tahapan Bernard ini, Asaf sudah pindah dari 1 dan 2 masuk ke tahap 3 dan 4. Dari demi kasih kepada Tuhan
dia dapat apa, kemudian dia berkata: "Tidak ada yang kuingini selain Tuhan itu sendiri."
Seorang teman saya bercerita suatu ketika pulang dari luar negeri, dia bawa hadiah yang kemudian diberikan
anaknya. Anaknya senang sekali. Kemudian dia bertanya: "kamu senang karena papa pulang atau karena
hadiah?" Anak ini membuang hadiahnya, kemudian dia lari dan peluk ayahnya dan berkata "aku senang tentu
karena ayah pulang." Hati ayah ini berbunga-bunga karena dia lihat anaknya bukan mau barang tapi karena mau
dia. Tuhan luar biasa berbahagia kalau kita mengasihi demi diri-Nya sendiri.
Kita di tahap mana? Di tahap 1 dan 2 adalah di situ ada kebaktian penuh berkat, ada kesembuhan, ada
kesuksesan kita lari ke sana. Tapi kalau kita diundang ikut kebaktian yang isinya mendoakan pekerjaan Tuhan, kalau
kita diudang tiap pagi baca Alkitab, kita tidak mau lakukan. Karena apa? Karena kita tidak mau pusing dengan
Tuhan, kita pusing dengan diri sendiri. Khususnya pada waktu krisis, mudah kita tahu motivasi kita mencari Tuhan.
Kalau waktu krisis kita meninggalkan Tuhan, itu menunjukkan kita cari Tuhan karena ingin dapat sesuatu dari Tuhan.
Tetapi kalau waktu krisis kita makin mendekatkan diri kepada Tuhan, itu menunjukkan karena yang memang karena
Tuhan, walaupun kehilangan apa saja bahkan Asaf berkata "sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung
batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya." (ayat 26) dan dia berkata "tetapi aku, aku suka dekat
pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala
pekerjaan-Nya." (ayat 28). Krisis bukan hanya mengukur motivasi kita, tetapi juga mengoreksi kerohanian kita.
Melalui krisis inilah Asaf bertumbuh, dia mencari Tuhan dan mendapat pengertian-pengertian yang jauh lebih
mematangkan hubungannya dengan Tuhan. Asaf melalui pengalaman ini semua mengambil keputusan untuk
menceritakan segala pekerjaan Tuhan. Asaf bukan orang pertama dan terakhir yang merasakan pahit hati kepada
Tuhan, maka betapa menolongnya Mazmur ini untuk orang-orang yang pahit hati kepada Tuhan. Dengan kata lain,
kalau kesaksian Asaf hanya menceritakan manisnya perbuatan Tuhan, Mazmur ini tidak ada gunanya untuk orangorang
yang pahit hati kepada Tuhan. Dapat saya ambil kesimpulan: pelayanan kita kalau tidak mempunyai
pengalaman getir bersama Tuhan, maka kesaksian dan pelayanan itu banyak merugikan orang lain, karena tidak
disiapkan menghadapi masa-masa sukar dalam pergaulan dengan Tuhan. Asaf kemudian bercerita dari
kepahitannnya, kemudian berubah apa yang dia kenali dengan Tuhan. Kita berdoa supaya Tuhan terus pegang
tangan dan tuntun kita khususnya pada waktu kita merasa Tuhan tidak adil memperlakukan kita.