Hendry Ongkowidjojo
Kitab Maleakhi adalah kitab terakhir dari Perjanjian Lama dan di pasalnya yang terakhir berbicara mengenai hari Tuhan, the day of the Lord. Secara singkat, hari Tuhan dapatlah dikatakan sebagai hari dimana Tuhan akan memulihkan seluruh rancangan-Nya yang telah menyeleweng kembali ke rancangan awal. Allah menciptakan seluruh semesta ini untuk satu tujuan, yaitu untuk memuliakan Dia. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, untuk sementara waktu rencana Allah ini sepertinya menyeleweng namun segala hal yang menyeleweng itu akan Tuhan pulihkan kembali ketika Dia datang, yakni pada hari Tuhan. Kitab Maleakhi menggambarkan kedatangan hari Tuhan seperti api yang menyala-nyala. Tidak hanya Perjanjian Lama saja yang menggambarkan kedatangan Tuhan dengan api tetapi kitab Perjanjian Baru juga memakai “api“ untuk melambangkan keadilan Tuhan, penghukuman Tuhan, murka Tuhan dan kekudusan Tuhan.
Terjemahan bahasa Indonesia kurang dapat mewakili nuansa hari Tuhan yang dinyatakan dalam kitab Maleakhi. Perapian yang digambarkan oleh Maleakhi ini adalah suatu tempat perapian yang sangat panas seperti dapur peleburan. Untuk memudahkan kita membayangkan panasnya dapur api ini seperti perapian pada peristiwa Sadrakh, Mesakh, Abednego dimana orang yang melemparnya ikut hangus terbakar. Sebagai analogi, gambaran perapian pada jaman sekarang ini adalah seperti ledakan nuklir; tubuh kita akan meleleh dan luluh lantak karena sinar radiasi yang terserap masuk ke dalam tubuh kita. Gambaran hari Tuhan yang dahsyat inilah yang ingin digambarkan oleh Maleakhi; semua orang gegabah dan orang fasik, orang yang menyimpang dari jalan Tuhan terbakar menjadi seperti jerami dan tidak tersisa. Namun pada hari Tuhan itu, Maleakhi menggambarkan kondisi yang kontras, yakni bagi orang-orang yang takut akan Tuhan telah tersedia surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Hal yang sangat kontras dapat kita lihat antara aspek penghukuman – aspek pengharapan, orang fasik – orang percaya, jerami – anak lembu.
Seorang penafsir bernama Douglas Stewart menyatakan bahwa anak lembu disini lebih tepat diterjemahkan sebagai anak lembu tambun dalam pengertian positif, yakni suatu kondisi anak lembu yang baik dan sehat sehingga dapat berjingkrak-jingkrak ketika lepas dari kandang. Gambaran indah ini menyatakan akan kesiapan dan kesigapan dari setiap anak Tuhan menyongsong kedatangan-Nya ketika hari Tuhan itu tiba. Berbeda dengan Maleakhi, nabi-nabi yang lain lebih menekankan aspek penghakimannya (Ams. 5:18-20). Orang Israel sangat menanti-nantikan hari Tuhan karena mereka beranggapan bahwa pada hari itu Tuhan akan memulihkan dan melepaskan mereka dari penindasan bangsa-bangsa lain dan Tuhan akan menghukum orang-orang fasik yang telah menindas bangsa Israel. Namun di pihak lain sikap dan perbuatan bangsa Israel ini tidak beda dengan orang-orang fasik justru karena perbuatan para imamlah nama Tuhan dinista, bangsa Israel telah berlaku jahat dan kejam namun ironisnya, mereka menantikan hari Tuhan maka dapatlah dikatakan impian mereka hanyalah impian kosong. Bangsa Israel berpikir kalau hukuman Tuhan itu hanya untuk bangsa-bangsa lain bukan dirinya karena mereka merasa dirinya adalah umat pilihan dan disayang Tuhan. Salah! Tuhan akan menghakimi semua manusia di dunia dan tidak ada satu manusia pun yang terlepas dari murka Tuhan. Ingat, murka Tuhan itu seperti api yang menyala-nyala yang dapat menghanguskan setiap orang fasik dan orang percaya.
Douglas Stewart melihat bahwa kitab Maleakhi ini lebih menekankan aspek Kristologis, aspek Injil, aspek kabar baik dari hari Tuhan meski aspek negatif tidak ditinggalkannya. Hari Tuhan menjadi suatu hari indah yang dinanti-nantikan oleh setiap umat Tuhan akan tetapi di luar Kristus, hari Tuhan itu gelap dan mematikan. Pada pasalnya yang ke empat ayatnya yang ke lima, Maleakhi menegaskan bahwa menjelang datangnya hari Tuhan itu, Tuhan akan mengutus Elia datang dan ia akan membuat hati bapa berbalik kepada anak dan hati anak kepada bapa. Perhatikan hubungan bapa dan anak disini bukanlah hubungan secara lahiriah tetapi “bapa“ disini mempunyai pengertian bapa leluhur, yakni Abraham, Ishak dan Yakub dan terkadang dikaitkan dengan Musa atau Daud sementara “anak“ menggambarkan angkatan generasi dimana kitab Maleakhi ini dituliskan. Memang benar, mereka masih keturunan Abraham, Ishak dan Yakub namun mereka mempunyai hati yang berbeda dengan bapa leluhurnya; hati mereka jauh dari perkenanan Tuhan. Kesenjangan ini barulah dapat dipulihkan ketika Elia datang, mereka dipertobatkan sehingga keduanya sama-sama mempunyai hati yang berkenan kepada Tuhan. Bangsa Israel sangat bangga akan status dirinya sebagai keturunan dari Abraham; Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis dan para rasul yang lain memberikan teguran keras akan hal ini karena mereka tidak mempunyai hati dan iman seperti layaknya Abraham sebaliknya mereka justru melakukan apa yang dilakukan oleh iblis maka dapatlah dikatakan bapa mereka adalah iblis (Yoh. 8:37-59).
Kedatangan Elia dapat merekonsiliasi hubungan antara bapa dengan anak. Pertanyaannya sekarang adalah kenapa harus Elia? Karena: 1) Elia mengingatkan bangsa Israel pada angkatan yang jahat, yakni suatu masa dimana bangsa Israel sungguh-sungguh fasik dari atas sampai ke bawah. Pada jaman Elia tersebut hiduplah seorang raja dan istrinya yang sangat kejam, yakni Ahab dan Izebel, 2) Elia mengingatkan bangsa Israel akan sebuah peristiwa yang sangat dramatis dimana Tuhan berkarya di tengah-tengah angkatan yang jahat, yaitu ketika Elia seorang diri harus berhadapan dengan 450 nabi Baal dan seluruh bangsa Israel diundang untuk menyaksikan tangan Tuhan yang bekerja sangat luar biasa (1Raj. 18:20-46). Kejadian tersebut menyadarkan mereka bahwa di tengah-tengah angkatan yang jahat ini masih ada pengharapan.
Alkitab menegaskan Yohanes Pembaptis adalah Elia yang dijanjikan yang akan membuat hati bapa berbalik kepada anaknya dan hati anak berbalik kepada bapa, banyak orang yang bertobat dan dibaptis (Luk. 1:13-17). Bahkan salah satu kelompok orang yang dibaptis oleh Yohanes Pembaptis ini nantinya akan menjadi murid-murid Yesus yang pertama dan mereka disebut rasul. Yohanes Pembaptis mempunyai dua orang murid, yakni Andreas dan satu orang lagi yang tidak disebutkan namanya dan itu adalah dirinya sendiri, yakni Yohanes sendiri. Melalui Yohanes Pembaptislah keduanya menjadi pengikut Kristus; Andreas mengajak Simon Petrus yang kemungkinan besar juga murid Yohanes Pembaptis begitu juga dengan Natanael dan Filipus yang berasal dari daerah yang sama kemungkinan juga adalah murid Yohanes Pembaptis (Yoh. 1:35-36, 40-41).
Kalau kita bandingkan Injil Yohanes dengan ketiga Injil sinoptik yang lain maka kita akan menemukan ada perbedaan kecil pada ketiga Injil yang lain, nama Yohanes Pembaptis ditulis dengan Yohanes Pembaptis hal ini untuk membedakan Yohanes Pembaptis dengan Rasul Yohanes yang menjadi murid Yesus tetapi pada Injil Yohanes, nama Yohanes Pembaptis hanya ditulis dengan Yohanes saja sedang nama dirinya sendiri tidak ditulis secara langsung.
Disini kita melihat peranan Yohanes Pembaptis ini sangatlah penting, yakni mempersiapkan para murid yang nantinya menjadi para rasul seperti Yohanes, Yakobus, Petrus dan beberapa murid yang lain. Melalui mereka inilah Injil diberitakan dan Injil juga sampai pada kita saat ini. Yohanes Pembaptis adalah Elia yang dinubuatkan dan kelahiran Tuhan Yesus adalah hari Tuhan yang dinubuatkan; turunnya Tuhan Yesus dari Sorga ke dunia itulah tanda dari datangnya hari Tuhan. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah penghakiman Tuhan itu? Dimanakah api yang menyala-nyala yang akan membakar jerami seperti yang digambarkan oleh Maleakhi? Hari ini kita justru melihat jerami tumbuh semakin kuat, orang-orang jahat justru semakin merajalela, orang fasik semakin berkuasa sebaliknya orang benar ditindas. Benarkah kedatangan Tuhan Yesus adalah hari Tuhan?
Keragu-raguan itu sempat muncul dalam diri Yohanes Pembaptis (Luk. 7:18-23). Hal ini sangatlah mengherankan, bukankah dia sendiri yang menunjuk pada Yesus: “Lihatlah, Anak Domba Allah“ dan bukankah ia sendiri yang mempersiapkan sekelompok orang yang akhirnya menjadi murid-murid Tuhan Yesus? Keragu-raguan yang sama juga pernah dialami oleh Elia, seorang nabi besar; ia gentar dan takut akan ancaman seorang wanita, Izebel padahal sebelumnya ia telah mengalahkan 450 nabi Baal. Begitu pula dengan Yohanes Pembaptis, kebimbangan itu muncul justru setelah ia mendengar semua hal yang dilakukan Yesus. Ada suatu kesenjangan antara apa yang Yohanes Pembaptis harapkan untuk Yesus kerjakan dengan apa yang Yesus kerjakan. Kesenjangan ini terjadi karena Yohanes Pembaptis berpikir sama seperti para nabi pada Perjanjian Lama, yaitu hari Tuhan itu adalah api yang menghanguskan. Yohanes Pembaptis beranggapan bahwa ketika Dia datang maka Dia yang lebih besar itu akan membaptis dengan roh dan api, kapak telah tersedia dan Dia akan memegang penampi dimana gandum akan dikumpulkan dan debu jerami akan dibakar ke dalam api. Apa yang dipikirkan ternyata tidak sesuai dengan fakta dimana orang fasik tetap fasik, orang benar ditindas; Herodes yang fasik berkuasa tetapi dia dipenjara. Fakta inilah yang membuat dirinya menjadi sedikit tergoncang. Dari jawaban yang Tuhan Yesus berikan, disini kita melihat ada aspek lain dari hari Tuhan yang tidak diketahui oleh nabi-nabi Perjanjian Lama dan bahkan oleh Yohanes Pembaptis sendiri. Hari Tuhan itu sesungguhnya sudah datang, buktinya adalah orang buta melihat, orang lumpuh berjalan,... dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Luk. 7:22). Tanda yang paling penting tentang kedatangan hari Tuhan itu adalah aspek Kristologis, yaitu dengan datangnya Kristus ke dalam dunia untuk memberitakan kabar baik: Kerajaan Allah sudah dekat.
Ada satu aspek yang tidak jelas dalam Perjanjian Lama termasuk tidak jelas dalam diri Yohanes Pembaptis sendiri, yaitu kedatangan hari Tuhan ternyata bersifat sudah datang tetapi juga masih akan datang, already but not yet. Aspek Kristologis sudah dinyatakan dan kita adalah bukti bahwa hari Tuhan sudah datang. Tidak semua orang jahat tetap menjadi jahat. Tidak! Buktinya adalah diri kita sendiri; dulu kita adalah orang jahat, orang yang melawan Tuhan tetapi ketika hari Tuhan itu tiba, aspek Kristologis itu diberitakan maka kita menjadi orang yang takut akan Tuhan. Aspek Kristologis itulah yang telah mengubahkan diri kita sehingga hari Tuhan menjadi hari yang penuh dengan harapan. Namun disisi lain, yakni aspek penghakiman itu secara jelas belum dinyatakan.
Aspek Kristologis inilah satu-satunya alasan dimana kita dapat merayakan natal dengan penuh sukacita, kita dapat mengucapkan: “Selamat Hari Natal“? Kenapa kata “selamat“? Sebab di luar Kristus tidak ada keselamatan maka bagi orang-orang di luar Kristus, Natal berarti penghakiman dan kegelapan. Hari Natal itu akan menjadi penuh makna dan penuh sukacita hanya bagi mereka yang telah mendapatkan karya Kristus dan merasakan itu dalam dirinya. Hari ini kita mendapati adanya penipuan, yakni natal itu untuk semua orang, natal penuh sukacita itu dapat kita jumpai dimanapun saat ini. Sebuah film berjudul “The Gritch“ mencoba menggambarkan natal yang sejati dan penuh sukacita. Alkisah, di suatu negeri hiduplah manusia setengah monster berwarna hijau, the Gritch. Ia hidup seorang diri dan suatu peristiwa terjadi dimana hadiah natal seluruh penduduk kampung ini dicuri oleh si monster hijau sebagai balas dendam atas perlakuan penduduk kampung. Peristiwa tersebut menyadarkan mereka bahwa natal sejati tidak terikat oleh hadiah. Kelemahan film ini tidak satu kalipun nama “Kristus“ disebut. Dengan kata lain film ini mau menunjukkan natal sejati tapi tanpa Kristus. Alkitab menegaskan hanya di dalam Kristus sajalah ada natal sejati, yakni hari Tuhan yang indah penuh dengan pengharapan dan damai sejahtera. Hari Tuhan barulah mempunyai makna sejati ketika kita mengkaitkannya karya Kristus bagi kita barulah kita dapat mengucapkan:“Selamat hari Natal.“
Bagi orang yang di luar Kristus natal itu menjadi suatu peringatan keras akan penghakiman Tuhan. Hari Tuhan sudah datang dengan aspek Kristologisnya dan aspek penghakiman itu akan datang. Ingat, ketika hari penghakiman itu datang, tidak ada satu orang pun yang dapat menghindarinya karena itu, bertobatlah! Penghakiman Tuhan itu seperti sebuah ilustrasi berikut: hiduplah seorang raja baik hati yang sangat memperhatikan kondisi rakyatnya dan suatu hari ia pun mulai menjelajah ke pelosok negerinya dan tiba-tiba seseorang menghentikannya dan meminta dia untuk mengadili seorang pencuri. Sang Raja pun mengampuni si pencuri karena ia datang bukan untuk menghukum. Ketika tiba waktunya bagi sang raja untuk menghakimi maka sang raja inipun terkejut karena didapati pencuri yang sama berada di hadapannya. Si pencuri itu merasakan ada sedikit pengharap-an akan adanya pengampunan seperti dulu yang pernah ia dapatkan. Ternyata apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, raja menghukum dua kali lebih berat. Berita Injil telah diberitakan karena itu, janganlah kita menyia-nyiakan kabar baik ini. Dia adalah Allah yang menghukum kita tetapi sadarlah Dia adalah Bapa kita yang akan mendisiplinkan kita dengan sangat keras supaya kita tidak menyeleweng ke jalan yang sesat. Hendaklah kita menjadi anak yang takut akan Tuhan sehingga ketika hari Tuhan itu datang, seperti anak lembu tambun kita sigap menyongsong kedatangan-Nya. Amin. ?