SUMBER KRISTEN: ILUSTRASI

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

                   JEMBATAN KE MADURA Indeks= 18700
(Indonesia, 1864 - 1994)

Pernahkan pembaca mendengar tentang jembatan sepanjang dua puluh
kilometer, yang hendak dibuat sebagai penghubung antara pulau Jawa dan
pulau Madura?

Mungkin pembaca pun sudah mendengar tentang adanya berbagai-bagai
hambatan berkenaan dengan proyek raksasa tersebut, sehingga
bertahun-tahun lamanya jembatan ke Madura itu belum jadi di buat.

Pasal ini memang memuat kisah nyata tentang sebuah "Jembatan ke
Madura", tetapi bukan jembatan sepanjang dua puluh kilometer tadi.
Namun jembatan yang diceritakan di sini, juga cukup lama mengalami
berbagai-bagai hambatan, sehingga baru dapat dibuat setelah 130 tahun.

Jembatan itu tidak dilewati oleh truk, bis, dan mobil, tetapi oleh
kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus. "Jembatan ke
Madura" yang dimaksud di sini, tak lain ialah Alkitab dalam bahasa
Madura, yang selama satu abad lebih penting penerbitannya berkali-kali
tertunda.

Mengapa begitu sulit menyediakan Firman Allah dalam bahasa Madura?
Suku Madura itu bukanlah sekelompok kecil orang-orang yang tinggal di
pedalaman, jauh dari orang lain. Di wilayah Indonesia, mereka itu
malah menempati posisi ketiga dalam daftar suku yang terbanyak
penduduknya. Letak pulau Madura itu sangat dekat dengan pulau Jawa,
sedangkan suku Jawa sudah memiliki Firman Allah dalam bahasa ibu
mereka sejak satu setengah abad yang lalu. Lagi pula, banyak orang
Madura yang tinggal di pulau Jawa; banyak juga yang kawin dengan orang
Jawa.

Namun kenyataannya, penerjemahan dan penerbitan Alkitab bahasa Madura
itu berkali-kali mengalami hambatan besar. Seolah-olah ada kuasa
kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara
orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka . . . .

Kisah panjang yang menyedihkan itu mulai satu setengah abad yang
lalu. Pada pertengahan abad ke-19, ada seorang penduduk pulau Jawa
keturunan Madura yang bernama Tosari. Setelah ia menjadi orang Kristen
pada tahun 1843, Bapak Tosari berusaha membawa Kabar Baik ke pulau
nenek moyangnya. Tetapi orang-orang Madura tidak mau menerima dia.
Lalu ia kembali ke Jawa Timur, dan atas kesaksiannya banyak sekali
orang Jawa menjadi percaya. Pada tahun-tahun terkemudian, ia dijunjung
tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan nama
kehormatan: Kiayi Paulus Tosari.

Salah seorang utusan Injil dari negeri asing yang melayani di Jawa
Timur pada masa hidup Kiayi Paulus Tosari itu adalah Samuel Harthoorn.
Karena selisih pendapat dengan rekan-rekannya, Pdt. Harthoorn pulang
ke Belanda setelah beberapa tahun di pulau Jawa. Di tanah airnya ia
menikah, lalu kembali lagi ke Nusantara sebagai seorang penginjil
mandiri.

Pada tahun 1864 suami-istri itu mulai menetap di Pamekasan, sebuah
ibu kota kabupaten di Madura. Selama empat tahun mereka berusaha
menjajaki persahabatan dengan penduduk setempat. Mereka berharap bahwa
keakraban itu dapat menjadi suatu jembatan penginjilan.

Lalu . . . tragedi belaka. Pada tahun 1868, ketika Pdt. Harthoorn
sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan mengepung
rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah terjadi peristiwa yang begitu
mengerikan, duda yang berdukacita itu meninggalkan pulau Madura
selama-lamanya.

Sementara itu, di negeri Belanda ada seorang pendeta muda yang
pandai; namanya, J. P. Esser. Ia belajar teologia dan juga belajar
bahasa Madura, sampai ia mencapai gelar doktor. Pada tahun 1880 ia
berusaha memasuki pulau Madura, tetapi tidak berhasil. Lalu ia menetap
di Bondowoso, dan kemudian, di Sumberpakem; konon, kedua kota kecil di
Jawa Timur itu penduduknya banyak yang keturunan suku Madura.

Berkat usaha Dr. Esser dan kawan-kawannya, seorang Madura bernama
Ebing dibaptiskan pada tahun 1882. Berkali-kali Bapak Ebing
mengelilingi pulau Madura, sambil menyampaikan cerita-cerita Alkitab
yang telah diterjemahkan oleh Dr. Esser.

Pada tahun 1886, Dr. Esser sudah menyelesaikan terjemahan seluruh
Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia mengambil cuti
dinas ke Belanda, agar terjemahannya itu dapat diterbitkan. Tetapi
proyek "Jembatan ke Madura" itu mengalami berbagai-bagai hambatan.
Hambatan yang terbesar: Dr. Esser sendiri meninggal dunia pada umur
yang masih muda, baru 37 tahun. Bahkan sebagian hasil karyanya berupa
naskah terjemahan itu rupa-rupanya hilang.

Pada tahun 1889, yaitu tahun meninggalnya Dr. Esser, Tuhan telah
menyediakan seorang penggantinya. Dia itu seorang pendeta muda bernama
H. van der Spiegel, yang merasa terharu ketika mendengar tentang
gugurnya Dr. Esser. Pada tahun 1889 itu juga ia berangkat ke Jawa
Timur, untuk meneruskan pelayanan almarhum Dr. Esser di Bondowoso dan
di Sumberpakem. Ia pun mengerahkan tiga orang Madura untuk menolong
memperbaiki dan menyempurnakan naskah Kitab Perjanjian Baru
peninggalan Esser itu.

Ketika naskah buram terjemahan itu sudah selesai, Pdt. Van der
Spiegel sempat mengunjungi pulau Madura. Atas dasar perkenalannya
dengan orang-orang Madura di sana, ia pun meredaksikan kembali hasil
karyanya. Lalu pada tahun 1903 ia pulang ke Belanda, dengan tujuan
menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura sama seperti
Dr. Esser 17 tahun sebelumnya.

Tetapi selama Pdt. Van der Spiegel memperjuangkan proyek
penerbitannya di Belanda, kembali tragedi menimpa di antara umat
Kristen Madura. Gereja tempat pelayanan Bapak Ebing di Slateng itu
dibakar. Seorang penginjil Madura lainnya bersama istrinya nyaris
mati, pada saat rumah mereka di Sumberpakem dikepung dan dibakar.

Mungkin hambatan itu membawa pengaruhnya pula di Belanda, sehingga
hasil karya Van der Spiegel yang jadi diterbitkan, hanyalah dua Kitab
Injil saja, ditambah sebuah buku yang memuat 104 cerita Alkitab dalam
bahasa Madura. Bahkan ketika Pdt. Van der Spiegel meninggal pada tahun
1919, masih belum keluar Kitab Perjanjian Baru bahasa Madura yang
lengkap.

Salah seorang rekan sekerja Pendeta Van der Spiegel ialah Pendeta F.
Shelfhorst, yang telah melayani di Bondowoso dan di Sumberpakem sejak
tahun 1904. Seorang penginjil suku Madura memberitahu Pendeta
Shelfhorst bahwa orang-orang Madura di kepulauan Kangean, di sebelah
timur pulau Madura, rupa-rupanya lebih terbuka terhadap Kabar Injil
daripada orang-orang Madura di pulau induknya.

Berita yang membesarkan hati itu tidak disia-siakan oleh Pendeta
Shelfhorst. Dari tahun 1912, ia tinggal dengan keluarganya di
Pandeman, Kangean. Pendeta Shelfhorst memberi banyak bantuan
pengobatan kepada para penghuni setempat. Ibu Shelfhorst membuka
kelas-kelas kepandaian putri. Sebagai jembatan Injil mereka juga
menggunakan lagu-lagu, gambar-gambar, cerita-cerita Alkitab, dan
kelompok diskusi. Namun hampir tidak ada seorang pun yang mengaku
percaya kepada Tuhan Yesus.

Setelah berpuluh-puluh tahun tanpa hasil nyata, Pendeta Shelfhorst
mulai mengkhususkan proyek penerjemahan Firman Tuhan. Pada tahun 1933
Kitab Mazmur bahasa Madura diterbitkan, berbentuk sebuah buku yang
indah, sangat mirip dengan kitab-kitab suci yang sudah biasa beredar
di kalangan suku Madura.

Pada tahun 1935 Pendeta Shelfhorst pensiun atas permohonannya
sendiri. Tetapi ia tidak pulang ke Belanda! Malahan ia menetap di
pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Firman Tuhan dengan giat
serta mengutus keluar para penjual bahan cetakan Kristen. Hasil
karyanya berupa Surat-Surat Perjanjian Baru dalam bahasa Madura itu
ada banyak yang distensil dan dibawa para pembantunya ke mana-mana.

Ketika Pendeta Shelfhorst masih di tengah-tengah pelayanannya di
daerah pegunungan itu, bala tentara Jepang mengepung Jawa Timur pada
tahun 1942. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dalam sebuah kamp
tahanan Jepang di Jawa Tengah, setelah selama 41 tahun berusaha untuk
menginjili suku Madura. Dan terjemahannya berupa stensilan itu tidak
pernah diterbitkan.

Salah seorang kawan senasib Pendeta Shelfhorst di kamp tahanan itu
adalah A. J. Swanborn, seorang Belanda keturunan Swedia. Sudah
berpuluh-puluh tahun ia pun berusaha menginjili suku Madura, namun
kisah karirnya sangat berbeda dengan riwayat Pendeta Shelfhorst.

Sejak masa mudanya di Belanda, A.J. Swanborn merasakan panggilan
Tuhan untuk pergi ke pulau Madura dan menyampaikan kisah kasih Tuhan
Yesus. Namun rupanya untuk ke pulau Madura itu tidak ada jembatan yang
dapat dilewatinya. Pada tahun 1899, memang ia ditunjuk menjadi utusan
Injil, tetapi ia ditugasi ke pulau-pulau Sangir-Talaud, lalu ke
Jakarta, kemudian ke Yogyakarta, dan akhirnya ke Kalimantan Selatan.

Namun A. J. Swanborn masih tetap merasakan panggilan Tuhan untuk
menaati Amanat Agung-Nya di pulau Madura. Karena badan Zeding tidak
setuju mengutus dia ke sana, ia mengundurkan diri sebagai utusan
Injil. Kemudian ia menjadi seorang pegawai sipil pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahun 1914 ia dikirim ke kota Pamekasan sebagai kepala
sekolah rakyat. Di sekolah itu ia memang tidak boleh mengabarkan
Injil. Tetapi pada sore hari ia membuka sebuah sekolah swasta atas
biayanya sendiri. Melalui usaha itulah ia mulai menginjili anak-anak
Madura.

Bapak Swanborn juga berusaha menerjemahkan Firman Allah ke dalam
bahasa Madura. Ia pun masih di tengah-tengah pelayanannya pada saat
bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia. Sama seperti Pdt.
F. Shelfhorst, ia juga ditahan, dan kebetulan kedua kakek yang sangat
setia ini ditampung di Jawa Tengah, di kamp yang sama.

Di situ kedua-duanya dengan gigih memperjuangkan proyek penerjemahan
Alkitab ke dalam bahasa Madura. Rupanya pendeta Shelfhorst
mengukhususkan Surat-Surat Perjanjian Baru, sedangkan spesialisasi
Bapak Swanborn adalah keempat Kitab Injil dan Kisah Para Rasul. Sama
seperti Pendeta Shelfhorst, Bapak Swanborn juga meninggal dalam
tahanan pada bulan Mei 1945, hanya beberapa minggu saja sebelum Perang
Dunia Kedua mereda.

Naskah terjemahan Bapak Swanborn itu diwariskannya kepada
putri-putrinya. Mereka mengirim naskah yang sangat berharga itu kepada
perwakilan Lembaga Alkitab Belanda di kota Bandung. Namun . . . celaka
lagi. Konon, masa itu masa perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia.
Dalam kerusuhan peperangan, naskah tadi rupa-rupanya tidak pernah
sampai ke tangan orang-orang yang dapat mengusahakan penerbitannya . .
.

Nah, bagaimana pendapat pembaca, setelah menelusuri kisah tragedi
yang berulang-ulang? Bukankah seolah-olah ada kuasa kegelapan yang
tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang Madura
dalam bahasa ibu mereka?

Syukurlah, ceritanya tidak berakhir sampai di situ saja!

Pada bulan September 1994, yaitu genap 130 tahun sejak Pdt. Samuel
Harthoorn beserta istrinya mula-mula pindah ke Pamekasan, Lembaga
Alkitab Indonesia berhasil menerbitkan Alkitab lengkap dalam bahasa
Madura.

Kini "Jembatan ke Madura" itu sudah menjadi kenyataan. Maukah Saudara
turut mendoakan, semoga kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus
Kristus akan melewati jembatan itu sehingga masuk ke dalam hati dan
jiwa banyak orang Madura?

TAMAT