sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

 

Tema     : TIDAK  BERTOLERANSI  DENGAN DOSA

Nast      : Wahyu 2: 18-29

Penulis  : Seniman Laowo

Pendahuluan: 

Saudara yang kekasih, pada abad modern ini muncul suatu paham yang disebut Sekularisme.  Sekularisme ini berkembang dengan cepat sekali dan memberikan pengaruh yang sangat luas, kata sekuralisme berasal dari bahasa Latin, yakni Saeculum, yang artinya “dunia”.  Pada dasarnya, Sekularisme adalah suatu usaha untuk mereduksi atau mengurangi segala sesuatu dan hanya memasuki lingkup yang terbatas di dalam dunia.  Dengan slogan Here And Now (di sini dan sekarang), Sekularisme telah membius orang-orang modern tentang pengertian dosa.

            Karl Menninger, dalam bukunya Whatever Became Of Sin, mengatakan bahwa kecenderungan orang sekuler sekarang ini adalah menggantikan istilah dosa dengan kejahatan.  Dosa tidak lagi dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap Allah, tetapi hanyalah berupa kejahatan.  Hanya orang yang sangat kejam yang dapat dikatakan berbuat kejahatan, seperti Hitler, Pol Pot, (mungkin juga Eyang Soeharto), akan tetapi orang yang melakukan aborsi misalnya, tidak lagi dikatakan sebagai suatu dosa.  Dosa hanya dianggap sebagai symptom atau gejala, sehingga orang yang melakukan dosa seharusnya dikasihani, diberi alternatif serta tidak perlu dimintai tanggung jawab.  Mengapa demikian ? Karena dengan mengajukan suatu pertanyaan yang  membela diri, orang-orang sekuler telah menganggap perbuatan dosa bukanlah dosa lagi, pertanyaan mereka  adalah,”Bukankah manusia hanya sebagai korban keadaan dari sejenis penyakit menular yang tidak dapat dielakkan?”

            Sdr, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada orang yang katanya “canggih” ini? Jawabannya adalah bahwa orang sekuler sedang berusaha untuk berkompromi atau bekerja sama atau hitung-hitungan dengan dosa.  Dengan kata lain, orang sekuler saat ini sedang bertoleransi dengan dosa.  Namun, apakah Alkitab membolehkan kita untuk bertoleransi terhadap dosa?  Bukankah Allah itu kudus? Dan di dalam kekudusan-Nya, Allah tidak mungkin akan bercampur atau bertoleransi terhadap satu dosa sekecil apapun?  Bukankah juga karena Allah itu kudus, Allah menuntut kita juga memiliki kekudusan hidup?  Ayat-ayat  yang baru saja kita baca, bagaikan kaca cermin dan melaluinya pula kita akan mencoba bercermin, yaitu melalui kehidupan jemaat Tiatira. Seperti Tuhan Yesus mengingatkan jemaat Tiatira demikian juga dengan jelas tercermin bahwa Tuhan Yesus memperingatkan kita agar tidak bertoleransi terhadap dosa karena Allah menuntut kita untuk memiliki kekudusan hidup sampai akhir hidup kita.  Dalam perikop yang kita baca juga menyatakan  akibat yang akan di alami apabila  bertoleransi terhadap dosa?  Melalui perikop ini, paling tidak kita dapat belajar  tiga akibat yang akan di alami apabila bertoleransi terhadap dosa.

1.      Toleransi terhadap dosa akan mendapat celaan dari Tuhan (20).

            Kota Tiatira terletak di sebelah kiri  Sungai Likus di negara Turki sekarang.  Kota ini terkenal dengan industri kain ungu dan bulu domba saat itu, sehingga kota ini menjadi strategis dalam segi ekonomi.  Penduduk Tiatira menyembah dewa pahlawan mereka yang bernama Tyrimnus, seorang perwira pelindung.

            Struktur masyarakatnya dipengaruhi oleh sistem demokrasi Yunani yang berada di bawah kekaisaran Romawi.  Setiap pekerja mempunyai organisasi sendiri, dimana masing-masing menghormati pendiri organisasi mereka  sehingga disembah sebagai dewa.  Sebelum bekerja, setiap lembaga harus memulai upacara keagamaan tertentu untuk menyembah pendiri lembaga itu.  Selain bersifat politeisme, kepercayaan ini juga memiliki pemikiran filsafat yang dalam sehingga menarik banyak pengikut.  Yang lebih ngeri lagi adalah pada pesta penyembahan berhala, sering diselingi dengan pesta seks.

            Inilah yang menjadi kendala besar bagi orang kristen di Tiatira.  Apakah mereka harus mengikuti ritual ini?  Bila tidak, mereka akan mengalami kesulitan dalam usaha dan pekerjaan, berdiri sebagai kaum minoritas, bahkan kadangkala harus dikucilkan dari masyarakat.  Bila mengikuti kebiasaan kafir ini, tentu saja sangat bertentangan dengan iman Kristen.  Posisi mereka sama seperti sebuah judul film produksi dalam negeri “maju kena mundur kena”.

            Secara lahiriah, sebenarnya jemaat Tiatira mencerminkan jemaat yang ideal, dimana 4 sifat kekristenan mereka miliki: Kasih, Iman, Pelayanan dan Ketekunan.  Tiatira bukan saja sama dengan Efesus dalam pelayanan, tetapi juga memiliki kasih yang tidak terdapat di Efesus.  Mereka memelihara iman yang terancam bahaya seperti di Pergamus, mereka bersama dengan Smirna memiliki ketekunan dalam kesengsaraan.  Bahkan jemaat Tiatira mencerminkan kehidupan Kristen yang terus bertumbuh dan berkembang.  Jemaat Tiatira laksana benih yang ditaburkan di suatu tanah yang gembur, benih itu menjadi tunas dan bertumbuh.  Hal ini dipuji oleh Allah sendiri. Pada ayat 19 muncul dua kali kata “tahu”, dalam bahasa aslinya adalah oida yang berarti “mengetahui secara spesifik dan sempurna, bukan mengetahui sekilas saja”.  Jadi, Tuhan mengetahui

 sedalam-dalamnya kerohanian jemaat Tiatira.  Oh, saudara.… betapa bahagianya orang yang dipuji oleh Allah sendiri.

            Namun ternyata jemaat Tiatira melakukan suatu kesalahan fatal.  Tuhan mencela mereka karena membiarkan sebagian jemaat yang ikut-ikutan pada penyembahan berhala dengan diprakarsai oleh seorang wanita.  Kata “membiarkan” di ayat 20, dalam bahasa aslinya adalah apheis dalam bentuk present indicative active, yang berarti suatu tindakan yang dilakukan berkali-kali atau terus-menerus, bukan hanya sekali.  Kata ini lebih tepat diterjemahkan “mengijinkan atau memberi toleransi”.  Itu berarti, mereka toleransi secara terus-menerus terhadap dosa yang ada dalam jemaat, yaitu penyembahan berhala dan perzinahan.  Mereka tidak tegas untuk menolak jemaat yang tersesat ini.

Dengan jelas, mereka dicela oleh Tuhan karena jemaat Tiatira bertoleransi terhadap dosa.  Mereka lupa bahwa Allah itu kudus.  Kekudusan Allah berarti bahwa Allah berada dalam keadaan moralitas yang agung, tidak bercampur dengan segala dosa, kekhilafan, kesalahan ataupun segala noda. Kita perlu mengerti bahwa keluhuran keberadaan-Nya ini menjadikan Allah menuntut kekudusan yang sama dari ciptaan-Nya.  Allah tidak suka dan tidak akan pernah suka bertoleransi terhadap dosa.  Itulah sebabnya Tuhan Yesus mencela jemaat Tiatira.  Pada mulanya mereka dipuji, namun pujian yang diberikan menjadi tidak berarti, karena ada dosa, dapat dibayangkan, betapa malunya orang yang dicela oleh Tuhan sendiri.

Aplikasi:        

Dapat aplikasikan  adanya  toleransi dalam dosa yaitu membiarkan jemaat mencari pedukunan, tidak menegur jemaat yang ada PIL atau WIL, tidak menjaga kesucian diri. 

2.      Toleransi terhadap dosa akan membuat hati nurani kita tidak lagi peka  terhadap teguran Tuhan (21).

            Kota Tiatira yang berada di bawah kekaisaran Romawi saat itu, dipimpin oleh seorang kaisar yang sangat kejam bernama Domitian.  Ia menganggap dirinya sebagai Tuhan dan memerintahkan rakyat untuk menyembahnya.  Tentu saja hal ini menjadi dilematis bagi orang Kristen.  Karena kondisi yang terjepit inilah, seorang wanita di jemaat Tiatira memunculkan suatu alternatif dalam bentuk kompromi.  Dengan mengklaim dirinya seorang nabiah, ia menghasut beberapa jemaat untuk ikut menyembah berhala tanpa harus meninggalkan kekristenan.  Wanita ini disebut wanita Izebel karena memang tabiatnya mirip dengan Ratu Izebel dalam PL.  Yang lebih tragis lagi, kelompok ini juga terlibat dalam pesta seks dan memakan makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala.  Mereka terlibat dalam apa yang disebut “seluk-beluk iblis”.

            Para penafsir berpendapat bahwa ada 2 pengertian seluk-beluk iblis: Pertama, berupa sindiran.  Sebenarnya wanita ini menyebut kegiatannya sebagai seluk-beluk Allah, sesuai dengan kebiasaan beberapa agama kafir pada zaman itu, yang berkata bahwa mereka menyelidiki seluk-beluk dewa mereka.  Kedua, wanita ini mengaku dan membujuk pengikutnya menyelidiki seluk-beluk iblis.  Ia memprovokasi jemaat Tiatira agar mengikuti upacara-upacara kafir, misalnya penyembahan berhala.

            Tentu saja apa yang mereka lakukan ini jijik di mata Tuhan.  Namun Tuhan tidak langsung menghukum mereka.  Allah menunjukkan kesabaran-Nya dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat.  Tidak dicatat bagaimana cara Tuhan mengingatkan mereka, mungkin lewat hati nurani atau lewat orang lain.  Di sinilah terlihat  kesabaran Allah terhadap manusia yang berdosa.  Allah menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat (2Ptr 3:19), Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan (1Tim 2:4).  Akan tetapi Tuhan tidak pernah memaksa manusia untuk bertekuk lutut mengikuti kehendak-Nya, atau memaksa manusia untuk bertobat.  Allah tidak memperlakukan manusia sebagai robot, tetapi memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihan.  Sayang sekali, hati nurani wanita Izebel dan pengikut-pengikutnya telah beku, mereka tidak lagi memiliki hati nurani yang peka terhadap teguran Tuhan.

Mereka sebenarnya adalah anggota jemaat Tiatira.  Barangkali sebelum mereka jatuh dalam lembah dosa ini, mereka masih memiliki rasa takut akan Tuhan.   Akan tetapi, lama-kelamaan kepekaan mereka menjadi berkurang tatkala mereka berkata “tidak apa-apa” terhadap dosa.  Saya percaya bahwa mereka terjerumus secara perlahan-lahan.  Dengan memberikan toleransi terhadap dosa, hati nurani mereka menjadi tidak peka.  Akibatnya, hukuman Tuhan telah siap menimpa mereka.

Illustrasi:         Seorang jemaat dari sebuah gereja di Amerika berselingkuh dengan wanita yang bukan isterinya.  Tindakannya ini sudah berlangsung lama, dimana akhirnya pendeta dan majelis  di gereja itu mengetahuinya.  Dalam suatu khotbah, pendeta gereja itu berkata bahwa berselingkuh itu dosa, apalagi kalau itu dilakukan oleh anak Tuhan.  jemaat ini merasa disindir dan ia marah sekali kepada pendetanya.

            Pada suatu kebaktian, ketika liturgos sedang memimpin ibadah, majelis ini tiba-tiba maju ke depan dan tanpa basa-basi ia menembak liturgos tadi dengan pistol dan pendetanya.  Keduanya tewas seketika.  Sebenarnya ia ingin membunuh seluruh jemaat yang hadir, tapi seorang jemaat yang berprofesi sebagai intel menembak jemaat itu.  Peristiwa ini menggemparkan gereja di Amerika.  Tindakan bodoh jemaat ini mencerminkan hatinya yang tidak lagi peka terhadap teguran Tuhan.  Ketika ia diingatkan akan dosanya, ia tidak bertobat.  Seharusnya ia sadar dan tidak perlu malu untuk mengakui di hadapan Tuhan, tetapi justru ia melakukan tindakan yang amat bodoh.  Orang yang tidak memiliki integritas memang tidak memiliki hati yang  peka lagi terhadap teguran Tuhan.

Aplikasi:        

           Saudara, saat ini banyak orang percaya yang memiliki hati nurani yang beku.  Pikiran dan tindakan mereka dipengaruhi oleh sekularisme dan hedonisme.  Pengertian dosa menjadi lain.  Dosa tidak lagi dianggap sebagai pemberontakan terhadap Pencipta, tetapi hanya miskinnya kebaikan.  Akibatnya, ada dosa yang sudah dianggap wajar dan merupakan kebutuhan hidup.  Misalnya, aborsi.  Apapun alasannya, aborsi tetap tidak boleh dilakukan, karena itu adalah pembunuhan, ini berarti  dosa.  Tetapi bukankah aborsi sudah menjadi hal yang biasa dilakukan di zaman sekarang ini?  Bahkan negara-negara yang mayoritas beragama kristen justru sedang berjuang agar aborsi ini dilindungi oleh hukum.  Apa ada orang Kristen yang terlibat? Banyak!

            Masih banyak lagi contoh yang dapat kita lihat sebagai wujud dari hati nurani yang tidak peka lagi pada teguran Tuhan.  Sebenarnya Tuhan sudah memberi wahyu-Nya lewat Alkitab, sebagai satu-satunya patokan hidup kita.  Karena kemurahan Allah, Ia memberi petunjuk agar kita tidak salah jalan.  Selain Alkitab, juga ada mimbar gereja, buku-buku rohani, kaset rohani, dll yang menjadi sarana bagi kita untuk mengevaluasi diri.

3.      Toleransi terhadap dosa akan membuat kita tidak lagi memiliki kesetiaan kepada Tuhan (25).

Ketika kesempatan yang diberikan Tuhan tidak dipergunakan oleh wanita Izebel dan kroni-kroninya, maka Tuhan menghajar mereka.  Ini sebagai bukti bahwa Allah tidak bisa dipermainkan, dan supaya jemaat mengerti bahwa Allah yang menguji batin dan hati manusia.  Kata “batin” di ayat 23, dalam bahasa aslinya adalah Nephrous, yang berarti “bagian yang paling dalam pada organ tubuh manusia”.  Hal ini berarti, sepintar apapun manusia menyembunyikan dosa, Allah tahu.  Rahasia apapun yang ada dalam hati manusia, Allah tahu.  Barangkali mereka bisa berpura-pura atau memberikan argumentasi kepada jemaat Tiatira yang lain bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak salah, tetapi mereka tidak bisa membohongi Tuhan.  Sangat disesalkan, mereka yang tadinya adalah jemaat baik-baik, kini komitmen mereka telah berubah.

            Namun ternyata tidak semua jemaat Tiatira terpengaruh dengan provokasi wanita Izebel itu.  Ternyata masih ada yang memiliki kesetiaan kepada Tuhan.  Ternyata masih ada gandum di antara ilalang jemaat Tiatira.  Kepada orang-orang ini, Allah tidak menuntut yang macam-macam.  “Apa yang ada padamu, peganglah itu sampai Aku datang”, itulah pesan Tuhan.  Allah puas dengan kasih, iman, pelayanan dan ketekunan mereka.  Karena itu saat ini Tuhan hanya meminta komitmen dari mereka.

            Di sinilah kita melihat kekontrasan yang terjadi di jemaat Tiatira.  Ada penghukuman, ada pengharapan.  Ada dukacita, ada sukacita.  Itulah bukti keadilan Allah.  Keadilan berarti memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya.  Allah menghukum yang bersalah, Allah memberikan hadiah surgawi kepada orang yang memiliki kesetiaan, yaitu kepada orang yang memiliki komitmen sampai akhir hidupnya.  Kasih karunia itu adalah kuasa untuk memerintah atau menggembalakan bangsa-bangsa dan menerima Bintang Timur, yaitu Tuhan Yesus sendiri.  Hanyalah orang yang memiliki kesetiaan sampai akhir hidupnya yang akan keluar sebagai pemenang.

Illustrasi:

Dalam sejarah gereja abad II, seorang uskup di Smirna yang bernama Uskup Polikarpus ditangkap oleh gubernur wilayah itu.  Kala itu, agama Kristen sangat dibenci oleh pemerintah Romawi dan orang-orang Kristen mengalami penganiayaan.  Ketika ia ditangkap, ia meminta kepada mereka supaya ia diberi kesempatan berdoa satu jam lamanya tampa diganggu.  Setelah selesai berdoa, mereka membawanya ke tempat gubernur wilayah itu. Waktu ia ditampilkan di gelanggang, gubernur itu membujuknya,” Ingat umurmu.  Bersumpahlah demi kaisar yang ilahi itu, dan katakanlah:’enyahkanlah orang Kristen’, maka kamu akan saya bebaskan!”  Akan tetapi, Uskup Polikarpus menoleh dengan air muka yang keras kepada seluruh khalayak ramai yang hadir, dan berkata,”enyahkanlah kaum atheis!”  tetapi gubernur itu terus mendesak, katanya,”Bersumpahlah dengan menghujat Kristus, maka saya akan membebaskanmu!”  Uskup Polikarpus menjawabnya,” 86 tahun saya mengabdi kepada Kristus, dan selama itu pula Kristus tidak pernah berbuat salah kepadaku, bagaimana mungkin aku mengkhianati Rajaku yang menyelamatkan aku?”

            Kata gubernur kepadanya lagi,”Saya akan membiarkan engkau dibakar habis oleh api, bila engkau memandang enteng binatang-binatang buas dan kalau engkau tidak menyesal!”  Tetapi jawab Polikarpus,” Tuan mengancam saya dengan api yang hanya menyala satu jam saja, sebab tuan tidak mengenal api, yaitu hukuman yang akan datang dan siksaan kekal yang disediakan bagi orang-orang fasik.  Tetapi mengapa tuan berlambat-lambat? Silahkan datangkan api yang tuan kehendaki!”

            Ketika Uskup Polikarpus dibakar hidup-hidup, beberapa jemaat Smirna yang diijinkan hadir, melihat suatu mukjizat.  Api itu mengambil rupa sebuah kubah, seolah-olah layar kapal yang digembungkan oleh angin, lalu melingkari tubuh Polikarpus.  Ia berada di tengah, bukan seperti daging yang terbakar, melainkan seperti roti yang sedang dipanggang atau seperti emas yang dimurnikan oleh api.  Mereka mencium bau yang amat harum seperti kemenyan.  Uskup Polikarpus, Sang martir, adalah figur teladan yang telah menunjukkan kesetiaannya, komitmennya kepada Kristus sampai akhir hidupnya.  Seandainya saat itu ia berpikir,” Ah, tidak apa-apa, saya sangkal saja Kristus di depan mereka supaya saya selamat.  Toh juga nanti saya akan tetap percaya pada Dia”, tentu saja Uskup Polikarpus tidak dapat lagi menjadi teladan dalam hal kesetiaan.  Akan tetapi, dalam kondisi apapun ia tidak bertoleransi terhadap dosa.

Aplikasi:         Sdr, masih banyak lagi tokoh dalam sejarah gereja yang menjadi martir, yang setia sampai akhir hidupnya.  Dalam perenungan saya menyiapkan khotbah ini, muncul suatu pertanyaan yang menantang diri saya sendiri,” seandainya saya diperhadapkan pada situasi seperti Uskup Polikarpus, mampukah saya merelakan nyawa sendiri  untuk Kristus?  Atau mungkin sebaliknya, saya akan menghujat Kristus demi keselamatan nyawa saya sendiri?  Sdr, pertanyaan ini saya kira diperhadapkan kepada kita semua.  Banyak kita temui anak Tuhan yang rela “menjual” Kristus karena tawaran dunia ini.  Biasanya sasaran yang paling empuk adalah kawula muda.  Ada yang meninggalkan imannya karena teman hidup.  Ia diperhadapkan pada dua pilihan, antara pacar atau kristus.  Ada beberapa orang yang saya kenal, telah meninggalkan Kristus karena teman hidup.  Mulanya sich mereka berpikir, “Kan tidak apa-apa.  Nanti kalau sudah menikah akan saya ajak ke gereja, itu masalah gampang!”  Ternyata bukan mereka yang menarik, tapi justru terseret.  Kasihan sekali.  Ada pula yang sudah tidak lagi setia karena jabatan atau tawaran pekerjaan, atau karena pergumulan hidup yang ia alami, yang membuatnya putus asa, lalu kemudian menyalahkan Tuhan.  Ia menuduh Tuhan tidak peduli untuk setiap pergumulan hidupnya, lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan Tuhan.

            Melihat kondisi sekarang ini, seharusnya gereja perlu mengevaluasi diri.  Gereja yang saya maksud bukan hanya para rohaniwan atau majelis, tetapi seluruh jemaat.  Ketika kita memberikan celah pada diri kita untuk toleransi pada dosa, secara perlahan namun pasti, kesetiaan kita akan goyah.  Kita akan menganggap sepi perbuatan-perbuatan dosa, yang akhirnya pengertian dosa menjadi tergeser.  Kita tidak lagi melihat dosa sebagai suatu pemberontakan pada Allah, tetapi sesuatu yang dapat diajak kompromi.  Akibatnya, kita mulai membela diri,” Sekali-kali melakukan dosa, kan tidak apa-apa.  Kita kan masih hidup dalam dunia ini”.  Secara tidak sadar, kesetiaan kita pada Tuhan akan pudar.   Dan pada suatu saat, kita akan menyangkal Dia, kita akan meninggalkan Tuhan, kita akan menjual Kristus demi keinginan duniawi.  Banyak anak Tuhan yang pada suatu kali menjadi “raksasa rohani”, semua orang memuji dia dan kagum pada iman, kesetiaan dan pelayanannya,  tetapi setelah itu ia menjadi “orang kerdil rohani”, menjadi orang yang gagal karena tidak lagi setia, ia jatuh dalam dosa karena nafsu, ambisi dan tawaran dunia yang lain.  Ia tidak lagi memiliki kesetiaan.

            Sdr, apa yang dialami oleh jemaat Tiatira ini menjadi barometer yang sangat berharga bagi pertumbuhan gereja.  Rick Warren dalam bukunya “Pertumbuhan Gereja Masa Kini” , berkata bahwa kalau kita ingin melihat gereja kita bertumbuh, jangan bertanya bagaimana caranya atau kiat-kiat apa yang harus dilakukan untuk pertumbuhan gereja, karena itu adalah karya Allah sendiri.  Tetapi tanyakan dan carilah kendala apa yang menghambat pertumbuhan  gereja.  Salah satu kendalanya adalah sikap toleransi terhadap dosa.  Akibatnya, Tuhan mencela kita, hati nurani tidak lagi peka pada Firman Tuhan dan tidak ada lagi kesetiaan.

Penutup:         Bagaimana dengan kita yang hadir pada saat ini?  Adakah selama ini kita telah bertoleransi terhadap  dosa tertentu?  Barangkali dosa itu tidak diketahui oleh siapapun, tapi yang pasti saudara mengetahuinya dan Allah juga.  Apa yang sedang kita lakukan, ketika tidak ada seorang pun yang melihat kita?  Marilah kita membuka jendela dan pintu hati kita lebar-lebar,  membiarkan Roh Kudus mengevaluasinya.  Kalau ada dosa yang selama ini terus-menerus saudara lakukan, padahal saudara sadar bahwa itu dosa, mintalah pengampunan pada Tuhan.  Seandainya hati nurani saudara sudah beku, mintalah Roh Kudus mencairkannya.  Sama seperti Allah memberi kesempatan kepada wanita Izebel dan pengikutnya untuk bertobat, Allah yang sama itu pula memberi kesempatan bagi kita untuk bertobat.  Marilah kita membuat suatu komitmen di hadapan Allah untuk tidak akan bertoleransi terhadap  dosa sekecil apapun, dan sekaligus kita mohon kekuatan dari Allah agar dari hari ke hari kita terus-menerus mengerjakan keselamatan yang telah kita terima.  Biarlah kita merindukan untuk memiliki kekudusan hidup samapai akhir hidup kita, dan ketahuilah bahwa mahkota kehidupan telah menanti saudara dan saya di surga yang mulia itu.  Amin!!!