sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

Tema      :  PELAYAN KRISTUS, PRAJURIT KRISTUS

Nats        :  I KORINTUS 10:1-11

TUJUAN : Mengajak para aktifis/pengurus untuk kembali mengingat akan identitas dirinya sebagai prajurit Kristus, yang harus berjuang dalam dunia pelayanan dengan konsep yang sesuai dengan identitas tersebut.

PENDAHULUAN

Saudara yang dikasihi Tuhan, realita pelayanan bukanlah suatu keadaan yang mudah.  Memang dengan idealisme yang ada, kita dengan mudah mengumandangkan lagu yang menggambarkan indahnya dunia pelayanan, misalnya:

             Kerja buat Tuhan, terlalu manise

Biar pikul salib, terlalu manise, dst.

         Atau lagu: Tiada lebih indah kumelayani Yesus

        Walupun  sukar dan berat jalannya, dst.

Tetapi yang menjadi pertanyaan, setelah kita memasuki dunia pelayanan yang riil, dengan berbagai kesulitan, tantangan, godaan, dan cobaan, masihkah kita sanggup untuk merasakan keindahan dunia pelayanan?

Dalam kenyataan, banyak pelayan-pelayan Kristus yang mengalami kekecewaan, bahkan putus asa, setelah menghadapi realita dunia pelayanan.  Ada yang kemudian meninggalkan pelayanan dan memilih tidak mau lagi melibatkan diri dalam pelayanan apapun dalam gereja.  Ada juga yang tetap bertahan tetapi pelayanannya tidak berbuah.  Mereka bertahan hanya karena  gengsi saja.  Bahkan ada yang lebih tragis lagi, yaitu melakukan bunuh diri. Disini saya memberikan dua kesaksian yang ektrim:

Papa saya mempunyai seorang rekan hamba Tuhan yang karena menderita sakit kanker, ia beberapa kali melakukan usaha bunuh diri.  Ia mencobanya dengan menyilet urat-urat nadinya, tetapi gagal mati karena keburu mendapat pertolongan.  Saudara, ia tidak kuat menghadapi kenyataan dimana ketika ia tengah bergiat melayani Tuhan, Tuhan justru “membiarkannya” mengalami penyakit yang ganas itu.

Ada juga seorang hamba Tuhan yang dituduh berselingkuh dengan istri jemaatnya.  Menghadapi hal itu, ia memutuskan untuk lebih baik menghindari masalah dengan menggantung diri dan mati.

Saudara, masih ada begitu banyak masalah yang menjadi realita dalam pelayanan.  Masalah kepribadian, konflik dengan rekan pelayanan, disalah mengerti, dituduh, dicurigai, difitnah, diremehkan, adalah hal-hal yang sangat mungkin dan seringkali muncul dalam dunia pelayanan.  Belum lagi masalah finansial, tuntutan kebutuhan hidup, pendidikan anak-anak, dsb.

Semua masalah itu dengan sangat mudah  dapat menjatuhkan kita.  Oleh karena  itu  kita perlu  memahami realita dunia pelayanan, dan implikasinya bagi kita.

Dari perikop yang kita baca, kita dapat memperoleh pemahaman yang tepat tentang realita pelayanan.  Saudara, mulai dari pasal 10 ini, rasul Paulus memberikan pembelaan diri terhadap tuduhan-tuduhan yang merebak di kalangan  jemaat Korintus yang mempermasalahkan integritas diri dan pelayanannya serta kredibilitas kerasulannya.  Ia dituduh penakut, ia dinilai lemah saat berhadapan muka, ia dituduh mementingkan diri sendiri, ia dituduh mencari keuntungan pribadi dari pelayanan yang dilakukannya.  Semua tuduhan itu terkristalisasi dalam ayat 2, yaitu tuduhan “hidup secara duniawi”.

Menghadapi tuduhan itu  Paulus tidak kebingungan.  Ia tidak kebakaran jenggot.   dengan tenang ia memaparkan pemahamannya tentang pelayanan dan memberikan bukti-bukti bahwa ia hidup dan melayani sesuai dengan pemahamannya itu.  Berdasarkan pemaparan Paulus dalam perikop yang baru saja kita baca, kita mendapatkan satu kebenaran yang sangat penting yaitu:

Realita pelayanan adalah peperangan atau perjuangan rohani, oleh karena itu setiap pelayan Kristus harus menyadari identitas dirinya adalah prajurit Kristus dan hidup sesuai dengan karakteristik seorang prajurit Kristus.

Apa sajakah karakteristik seorang prajurit Kristus yang baik?

Dari firman Tuhan yang kita baca dapat kita belajar dari Paulus, kita dapat menemukan paling tidak ada tiga karakteristik prajurit Kristus yang baik.

 

  1. Berjuang dengan ketaatan total kepada sang Panglima (ay. 1-2)

Paulus memahami bahwa pelayanannya adalah suatu perjuangan rohani.  Implikasi dari pemahaman yang demikian adalah kesadaran dirinya sebagai prajurit rohani, sebagai prajurit Kristus.  Ia sadar juga bahwa Kristuslah Panglimanya.  Kita dapat juga mengetahui tentang hal ini dari Efesus 6:12, 2 Timotius 2:3-4 (baca).

Kembali kepada perikop kita, Paulus   mengerti bahwa masalah yang dihadapinya dalam relasi dengan jemaat di Korintus  sebenarnya merupakan realita pelayanan yang sulit.  Suatu peperangan rohani.  Ia sedang menghadapi  “suatu kekuatan yang tidak kelihatan” tetapi yang memanifestasikan diri dalam diri orang-orang yang telah merusak jemaat Korintus.  Itu jelas merupakan musuh rohani yang tidak nampak.

Musuh itu telah memprovokasi Paulus dan jemaat Korintus sedemikian rupa.  Paulus dibenturkan dengan jemaat Korintus yang adalah buah pelayanannya.  Betapa sulit dan menyedihkan kenyataan ini bagi Paulus.  Peperangan rohani ini tentu  tidak dapat diselesaikan dengan cara duniawi.  Jika Paulus menggunakan cara duniawi untuk mengatasi masalah itu, maka Iblis akan mengambil keuntungan, dan Paulus sendiri justru akan menjadi pihak yang kalah.

Marilah kita memperhatikan frasa “aku memperingatkan kamu demi Kristus yang lemah lembut dan ramah”.  Berdasarkan teks dalam bahasa aslinya, frasa ini lebih baik jika diterjemahkan “aku memperingatkan kamu dengan kelemahlembutan dan keramahan Kristus”.  Pernyataan yang demikian ini menunjukkan sikap Paulus yang meneladani Kristus sang Panglimanya.  Karena itu dapat dipastikan bahwa Paulus tidak menaklukkan dirinya untuk mengikuti pancingan dan godaan untuk bertindak keras atau kasar.  Ia lebih memilih untuk bertindak lembut.  Ia mengikuti teladan Kristus.  Sebagai pelayan Kristus, ia sadar bahwa ia adalah imitasi Kristus.  Hal ini sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh rasul Yohanes dalam I Yohanes 2:6 “Barangsiapa mengatakan bahwa ia hidup di dalam Kristus, ia wajib hidup sama seperti Kristus hidup”.  Paulus mengadopsi karakter Kristus,  yang lemah lembut dan ramah.  Dalam relasinya dengan jemaat Korintus, meskipun ia mendengar suara-suara yang sumbang, tetapi Paulus menanggapinya dengan sabar.  Bukan dengan kelemah lembutan dan keramahannya sendiri yang terbatas, tetapi dengan kelemah-lembutan dan keramahan Kristus. 

Paulus telah meneladani Kristus, Panglimanya.  Kesediaanya untuk meneladani Kristus, belajar dari Kristus, bukankah itu merupakan bentuk ketaatan yang total dan tulus?  Berbeda dengan prajurit dunia.  Mereka bisa taat kepada atasan tanpa perlu meneladani karakter atasannya.  Tetapi prajurit rohani yang baik menunjukkan ketaatannya yang total, luar-dalam sifatnya. 

Paulus tidak tunduk kepada godaan-godaan.  Paulus tidak tunduk kepada keinginan-keinginannya atau dorongan dalam dirinya yang manusiawi.  Paulus tidak tunduk pada emosinya.  Tetapi Paulus tunduk kepada Kristus, sang Panglima.

APLIKASI

Kita sebagai aktivis/pengurus, kita juga adalah prajurit Kristus.  Kristuslah Panglima kita.  Tetapi kita perlu waspada  sebab dalam realita pelayanan, ada begitu banyak hal yang dapat menjadi “panglima-panglima” kita yang akan dapat menggeser posisi Kristus.  Hamba Tuhan senior, majelis-majelis tua yang dominan, bahkan orang-orang yang terdekat dengan kita (suami atau istri kita, anak-anak kita, keluarga kita).  Suara-suara mereka akan sangat mepengaruhi kita dalam pelayanan.  Suara-suara itu bisa membuat suara Tuhan menjadi “nyaris tak terdengar” atau bahkan lebih celaka lagi menjadi tidak terdengar sama sekali.  Kita menjadi dikomando oleh suara-suara itu, bukan oleh suara Tuhan.

Saudara, ketaatan tidak lepas dari kemauan untuk meneladani.  Siapa yang kita teladani?  Manusia memang bisa menjadi teladan, dalam batas-batas tertentu.  Kita tidak boleh memutlakkan teladan manusia.  Jika kita memutlakkan teladan manusia, maka kita menjadikan dia sebagai panglima kita.  Ajaran mereka bisa jadi kita mutlakkan.  Jika kita memiliki kecenderungan yang demikian, maka kita perlu waspada.  Mereka bisa menggantikan posisi Kristus sebagai Panglima kita.

Ketika kita menghadapi kesulitan di dalm pelayanan, apakah kita memilih meneladani Kristus dalam penyelesaiannya, ataukah mengikuti emosi kita, atau bisikan-bisikan dari orang lain, atau prinsip-prinsip dunia, yang sering kali bertentangan  dengan ajaran Tuhan Yesus?  Sekali lagi, jika kita memiliki kecenderungan yang demikian, kita harus berhati-hati.  Ingatlah, kita harus lebih taat kepada Allah daripada manusia.

2. Berjuang dengan senjata yang diperlengkapi kuasa sang Panglima (ay. 3-4)

Saudara, dengan kesadaran bahwa perjuangannya adalah perjuangan rohani, peperangan rohani, Paulus sadar pula bahwa ia tidak dapat berjuang secara duniawi, menggunakan senjata-senjata duniawi.  Senjatanya adalah senjata rohani yaitu senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, kuasa sang Panglima.   Senjata rohani dapat kita baca di Efesus 6:13-17.

Senjata itu sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng, mematahkan siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia.  Senjata duniawi terbatas, tidak memiliki kemampuan seperti itu.  Karena itu Paulus tidak mengandalkan senjata duniawi.  Perjuangannya adalah perjuangan rohani.  Musuhnya adalah musuh-musuh rohani yang tidak mempan senjata duniawi.  Bahkan pada saat ia menggunakan senjata-senjata duniawi, maka pada saat itu yang akan terjadi ialah “senjata makan tuan”.  Ketika ia menggunakan senjata duniawi, saat itulah ia gagal dalam perjuangan rohani.  Musuh rohani Paulus  senantiasa memancingnya untuk menggunakan senjata duniawi, sebab pada saat ia menggunakan senjata duniawi, maka ia kehilangan kuasa Allah yang menyertainya.

Budaya Helenistik adalah suatu budaya yang sangat mengagungkan hikmat (sophia).  Dari kalangan mereka banyak muncul filsuf-filsuf besar.  Mereka mengandalkan keahlian berpidato.  Mereka memuja orator-orator ulung.  Mereka sangat menekankan juga kemampuan retorika.  Di kalangan mereka (orang-orang Romawi), persaingan politik sangat ditentukan oleh kemampuan retorika.  Siapa fasih lidah dan berotak cerdik akan menjadi pemenang.  Kebenaran bukanlah penentu kemenangan.  Kemenangan ditentukan berdasarkan keahlian berdebat.  Menang berdebat berarti menang pengaruh.  Itulah hikmat duniawi yang menjadi senjata-senjata andalan orang dunia.  Keahlian memutar lidah adalah senjata pamungkas bagi orang dunia.

Apakah Paulus tidak mempunyai kemampuan seperti itu?  Saya yakin ia punya.  Ia seorang yang berpendidikan tinggi.  Tetapi dalam konflik dengan jemaat Korintus, Paulus tidak mengandalkan semua senjata duniawi itu.  Ia mengandalkan senjata Allah.

Senjata Allah, cara Allah, seringkali merupakan suatu paradoks.  Jika kita membaca ps. 6:6-10, kita dapat melihat hal itu.  Berbagai kesukaran dan penderitaan dihadapi dengan kesabaran.  Bukan dengan usaha-usaha ynag mengandalkan kekuatan hikmat manusia.

Paulus bisa saja mengandalkan kemampuannnya   bisa juga mengandalkan pengetahuannya.  Paulus  juga memiliki ketenarannya, popularitasnya selama ini atau pengalaman hidupnya yang hebat untuk dipakai sebagai dasar pembelaan dirinya, sekaligus usaha menarik banyak orang.  Tetapi Paulus tidak melakukannya.  Jika Paulus menggunakan semua “kelebihannya”, maka sesungguhnya ia tidak sedang melayani Kristus tetapi melayani diri sendiri.  Melayani egonya, nafsunya, ambisi-ambisinya.

APLIKASI

Saudara, sekali lagi saya tekankan, realita pelayanan adalah perjuangan rohani.  Karena itu, sebagai prajurit rohani, hendaknya kita berjuang secara rohani dengan menggunakan senjata-senjata rohani yang diperlengkapi dengan kuasa Allah.  Ada begitu banyak godaan bagi kita untuk mengandalkan senjata-senjata duniawi, dan ada banyak senjata duniawi yang senantiasa menggoda kita untuk memakainya.

Mungkin kita punya seabrek kemampuan, bergudang-gudang pengetahuan yang dapat kita pakai menghadapi berbagai kesulitan.  Kita mengandalkan semua itu dalam pelayanan kita.  Waspadalah!  Ketika kita mengandalkannya, saat itulah kita kalah.

Mungkin kita punya banyak  kelebihan, talenta, dan karunia.  Semua itu tidak cukup kita andalkan dalam perjuangan rohani.  Bahkan itu semua bisa menjatuhkan kita.  Jika kita mengagungkan semuanya itu, talenta kita, karunia kita, kecerdasan kita, kekuatan fisik kita, maka secara rohani saat itu kita sedang terkapar.  Kesombongan sedang menggerogoti kita, seperti penyakit kanker yang ganas.  Dan kekalahan total hanya tinggal menunggu sedikit waktu saja.

Dalam pelayanan ada godaan bagi kita untuk bersaing.  Mungkin sekali dalam keadaan seperti itu kita tergoda untuk segera menunjukkan eksistensi kita dengan show of force.  Kita tunjukkan semua kemampuan kita sambil meremehkan kemampuan orang lain.  Mungkin secara kasat mata kita menjadi orang yang kuat.  Tetapi sesungguhnya dalam dimensi rohani kita sedang sekarat.  Rekan sepelayanan di pandang sebagai lawan, sehingga kita berjuang untuk mengatasinya bahkan menyingkirkannya.  Jika hal itu terjadi, maka setan-setan akan bertepuk tangan karena kita telah kalah secara rohani.

Karena itu marilah sebagai prajurit Kristus kita berjuang dengan mengandalkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Panglima kita, bukan dengan senjata-senjata duniawi.

3. Berjuang untuk kemuliaan sang Panglima (ay. 5)

Saudara, perjuangan rohani memiliki satu karakteristik utama dalam tujuannya, yaitu untuk kemuliaan sang Panglima, Kristus, yaitu kemuliaan Allah.  Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam frasa “keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah” dan “kami menawan dan menaklukkannya kepada Kristus”.

Tujuan perjuangan itu bukan untuk kemuliaan diri sendiri.  Perjuangan Paulus bukan untuk membuat namanya masyhur, tetapi supaya orang mengenal Allah dan memuliakan Allah.  Perjuangan Paulus bukan untuk membuat orang-orang takluk dan memuja dirinya, tetapi takluk dan memuja Kristus.  Paulus menyadari identitasnya sebagai prajurit yang berjuang untuk kemuliaan Panglimanya.

Hal ini semakin jelas jika kita membaca  dari ps. 1, frasa “untuk kemuliaan Allah” demikian banyak tertulis. (ps. 1:20, 4:6&15, 8:19, dsb.)  Paulus memfokuskan pelayanannya  untuk kemuliaan Allah yang dilayaninya.  Motivasinya murni.  Ia tidak bermaksud mencari keuntungan  apapun dari pelayanannya (bdk. Ps. 2:17).  Semua semata-mata untuk kemuliaan Allah.

Jika yang Paulus kejar adalah harta, maka ia tidak perlu melepaskan haknya untuk menerima tunjangan hidup dari gereja Korintus selama ia melayani di sana (2 Kor 11:7).  Ia juga tidak perlu bersusah payah bekerja sebagai tukang kemah untuk mencukupi kebutuhannya dalam pelayanan (kis 18:4). Ia juga tidak perlu pergi memberitakan Injil kepada orang-orang Makedonia yang secara ekonomi mereka lemah.  Itu hanya merupakan pemborosan uang.

Jika ia mengejar popularitas, maka lebih baik baginya untuk menjual kesaksian-kesaksiannya yang sangat penuh dengan pengalaman yang luar biasa, dari pada memberitakan Kristus yang justru membuatnya mengalami banyak kesengsaraan.

Jika yang dicarinya adalah kenikmatan hidup, ia tidak perlu menyusahkan diri dengan mengabarkan Injil Kristus yang membuatnya menjadi pencatat rekor sebagai yang paling sering dipenjarakan, mengalami hukuman dera di luar batas, sering berhadapan dengan ancaman maut, menerima 195 kali pukulan dari orang Yahudi, dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal dan terkatung-katung di laut sehari semalam.  Kehidupannya sebelum berjumpa dengan Kristus lebih menjanjikan kenikmatan hidup.  Ia juga tidak perlu menegur jemaat Korintus dalam kesalahan mereka dengan suratnya yang tajam, sehingga membuatnya disalah mengerti dan bahkan dituduh yang tidak-tidak.

Tetapi kita melihat bahwa pilihan Paulus adalah menjadi pelayan Kristus, prajurit Kristus, dan ia berjuang untuk kemuliaan tuannya.  Urusan-urusan pribadinya, kepentingan-kepentingan pribadinya, kesenangan-kesenangan pribadinya, ambisi-ambisinya diabaikannya demi melayani Kristus, demi kemuliaan Allah.  Ia telah menunjukkan kesetiaanya sebagai prajurit Kristus dalam perjuangan pelayanannya, sehingga menjelang akhir hidupnya ia dengan bangga dapat berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.  Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan”. (2 Tim 4:7-8a)

APLIKASI

Saudara, kita pun sama dengan Paulus.  Kita dipanggil untuk melayani Tuhan.  Melayani berarti melakukan pekerjaan untuk tuan yang kita layani.  Tuan kita adalah Allah.  Pelayanan kita adalah perjuangan rohani.  Kita adalah prajurit rohani dan Allah adalah panglima kita.  Kita berjuang untuk kemuliaan Allah, Panglima kita.

Tetapi saudara. Kita perlu untuk menguji dan mengevaluasi motivasi kita.  Sungguhkah kita berjuang untuk kemuliaan Allah?  Mungkin saja kita memang berjuang untuk kemuliaan Allah, tetapi sambil sedikit mencuri kemuliaan bagi diri sendiri.  Kita perlu berhati-hati kalau orang mulai memuji kita.  Hal itu bisa membuat motivasi kita bergeser.  Setiap perasaan bangga karena dipuji oleh khalayak merupakan peringatan keras bagi kita untuk menguji kembali motivasi pelayanan kita.

Demikian juga dengan “kualitas” tempat  pelayanan.  Itu juga bisa membelokkan motivasi kita dalam melayani Tuhan.  Ada tempat-tempat yang “basah” dan ada tempat-tempat yang “kering”.  Pertimbangan-pertimbangan kita bisa sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat pelayanan kita.  Jika mendapatkan pelayanan yang sukar kita katakan tidak, tetapi yang mudah/gampang yah oke saja, jika memimpin kebaktian kalau boleh jangan saya sebab demam mimbar tetapi kalau hanya ngatur-ngatur yah bolehlah. Janganlah sekali-kali pelayanan itu dengan pertimbangan-pertimbangan yang di mulai oleh dominasi  soal materi, itulah saatnya kita harus sadar bahwa motivasi kita mulai bergeser.  Berapa banyak dari antara kita yang mau dengan sukacita melayani di tempat yang minim fasilitas?  Berapa banyak di antara kita yang rela pergi kedesa-desa untuk pelayanan mission trip, atau melakukan perjalanan jauh ke pedalaman mengunjungi daerah yang terpencil untuk mengabarkan Injil ? 

          Bukankah acap kali kita bercita-cita menjadi orang yang melayani dan menikmati fasilitas yang komplit, jauh dari segala kekurangan dan kesulitan?  Sementara itu kemuliaan Tuhan hanyalah tujuan “komplemen” kita dalam pelayanan.  Jika ini terjadi, maka berarti kita bukan melayani Tuhan melainkan melayani diri sendiri. Mungkin ini contoh kongkritnya, kita melayani sekolah minggu atau ikut paduan suara, kita memiliki mobil tapi kita minta/menuntut agar diantar jemput. Untuk seragam sekolah minggu, bukan tidak punya uang bahkan terkadang  berkelebihan namun kita menuntut agar gerejalah yang harus membeli untuk kita.

Bagian ini saya katakan untuk para hamba Tuhan, memang melayani dengan motivasi yang benar itu sulit.  Ada banyak alasan-alasan yang sungguh harus kita akui sangat rasional dan manusiawi.  Misalnya soal kebutuhan pendidikan anak-anak, masa depan mereka.  Banyak hamba-hamba Tuhan yang tidak berani lagi melayani di daerah yang sulit oleh karena alasan ini.  Saya tidak bermaksud menghakimi mereka.  Sebab seandainya saya yang diperhadapkan pada kondisi itu, saya pun tidak berani mengatakan bahwa saya bisa tetap bertahan.  Hanya saja pada saat ini saya mengajak kita semua untuk dengan jujur mengevaluasi diri kita di hadapan Tuhan, berkenaan dengan motivasi kita dalam pelayanan. 

Sungguhkah motivasi kita masih didasari oleh kasih yang mula-mula, yang berkobar-kobar mau memuliakan Tuhan dengan pelayanan kita, ataukah motivasi kita telah bergeser?  Apakah kini tujuan kita melayani Tuhan masih tetap untuk kemuliaan-Nya, ataukah untuk kemuliaan pribadi kita, kesenanangan kita?

PENUTUP

Saudara, sungguh realita dalam pelayanan bukanlah hal yang mudah.  Tidak ada “medan-medan pertempuran” yang mudah dan enak.  Semuanya menjanjikan tantangan.  Semuanya menjanjikan kesulitan.  Semuanya menjanjikan ancaman bahaya.  Tetapi satu hal harus kita ingat dan tanamkan baik-baik dalam hati kita, bahwa pelayanan bagi Tuhan menjanjikan sukacita sejati.  Perjuangan bagi kemuliaan Tuhan menjanjikan kemenangan kekal. Perjuangan kita adalah merebut dan menarik jiwa-jiwa yang tersesat dan belum mengenal keselamatan untuk dibawa kepada Tuhan Yesus. Ini adalah suatu perjuangan yang sangat mulia.

Dalam kacamata dunia, mungkin kita dinilai bodoh.  Dalam perhitungan manusia kita bisa dinilai kurang kerjaan.  Bahkan kita bisa dianggap orang yang ngesok rohani.  Tetapi kita perlu mengingat akan Kristus.  Bukankah dalam perjuangan-Nya di kayu salib Ia dinilai gagal oleh dunia?  Menurut ukuran manusia Ia hina, menurut Allah Ia penuh kemuliaan.  Menurut manusia kematian-Nya memalukan, bagi Allah suatu kebanggaan.  Menurut manusia Ia kalah total, tetapi bagi Allah Ia meraih kemenangan kekal.

Kristus sebagai Panglima kita telah terlebih dulu menunjukkan diri-Nya sebagai prajurit yang menang.  Kristus telah memenuhi karakteristik prajurit rohani yang baik.  Maka kita sebagai pelayan-pelayan-Nya, sebagai prajurit-prajurit rohani, kita harus meneladani Kristus, agar kita menjadi prajurit yang berkenan kepada Panglima Agung kita, yaitu Allah sendiri.  Marilah kita terus berjuang untuk meningkatkan kualitas kita sebagai prajurit-prajurit Kristus yang baik.  AMIN.