sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

Tema      :  LIHATKAH JIWA-JIWA YANG BELUM SELAMAT ?

 Nats        : Yunus 4: 1-11

 Oleh        : Alipin

 Tujuan    : Agar jemaat dapat melihat dan berbeban mengasihi serta mengambil bagian dalam usaha Pekabaran Injil Tuhan.

Pendahuluan

Kasih Allah yang amat besar dan tak dapat dilukiskan

Lebih tinggi dari bintang, lebih dalam dari lautan

Dengan langit sebagai kertas, batang pohon sebagai pena

Air laut sebagai dawat, tiap orang pelukisnya. 

Tak mungkin dapat melukiskan kasih Allah yang besar.

 

Saudara, syair lagu itu merupakan suatu usaha pengarang untuk melukiskan kasih Allah yang luar biasa bagi manusia, namun pengarang menyadari bahwa dengan bahasa dan lukisan apapun yang dipakai untuk menggambarkan kebesaran kasih Allah yang sesungguhnya tetaplah tidak akan mampu.  

Saudara, salah satu keajaiban kasih Allah adalah menyelamatkan orang berdosa yang bukan hanya tidak mengindahkan-Nya tetapi juga memberontak kepada-Nya.  Ia memanggil dan mencari orang berdosa di setiap waktu dan tempat.  Ia mengampuni dan memperbaharui hidup orang berdosa dan yang lebih ajaib memakai mereka menjadi alat dalam tangan-Nya.  Saudara, kita perlu belajar dari Allah sendiri bagaimana memiliki kasih seperti ini.

Proposisi:

Melalui kitab Yunus 4:1-11 yang telah di baca tadi, kita akan belajar dua hal dalam mempraktekkan kasih Allah yang universal itu:

  1. Bersedia menerima siapa saja yang berbalik kepada Tuhan. (ayat 1-5)

Penjelasan

            Kitab Yunus pasal empat ini merupakan puncak dari seluruh kitab Yunus.  Peristiwa-peristiwa yang dicatat di sini berkaitan dengan pasal-pasal sebelumnya.  Mulanya Yunus dipanggil Tuhan untuk pergi ke Niniwe, tetapi ia melarikan diri ke Tarsis arah yang berlawana dengan Niniwe.  Ia menolak panggilan Tuhan, bahkan lebih rela mati dibuang ke laut daripada pergi ke Niniwe.  Karena kemurahan Tuhan ia diselamatkan melalui seekor ikan besar yang menelan dan memuntahkannya ke darat.  Setelah itu Tuhan kembali memanggil Yunus untuk pergi ke Niniwe.  Kali ini ia taat dan pergi menyampaikan firman Tuhan di sana.

            Melalui firman Tuhan yang disampaikan Yunus, orang orang Niniwe percaya dan bertobat.  Pasal 3:5-10 dijelaskan tentang kesungguhan orang Niniwe yang bertobat.  Dari raja sampai rakyat biasa bertobat.  Mereka berpuasa dan berselubung kain kabung, bahkan ternak merekapun diikut sertakan untuk berpuasa.  Tuhan memakai Yunus dengan luar biasa.  Seorang nabi menyampaikan firman Tuhan dengan hasil satu kota bertobat.  Dari pasal 4:11 mengatakan  jumlah orang-orang Niniwe lebih dari 120.000 orang yang belum dapat membedakan tangan kiri dari tangan kanan.  Banyak ahli yang menafsirkan  bahwa mereka ini adalah anak-anak yang belum tahu apa yang salah atau benar dan apa yang baik atau jahat.  Jika ditambah dengan orang tua mereka, maka jumlah orang Niniwe yang bertobat adalah sekitar 250.000 sampai 300.000 orang.  Pertobatan yang melibatkan begitu banyak jiwa tentu sangat jarang terjadi.

            Sebenarnya ada  3 hal yang harus disyukuri oleh Yunus:

      1.  Yunus harus berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan yang mau

            memakainya    secara luar biasa,

  1. Harus bersyukur dan berterima kasih karena ada ratusan ribu jiwa yang bertobat. 
  2. Seharusnya Yunus bersyukur pada Tuhan seperti yang dilakukan dalam perut ikan.(2:9)

Tetapi apa reaksi Yunus terhadap pertobatan Niniwe? Pasal 4:1-3 menunjukkan bahwa Yunus tidak bersyukur melainkan hatinya kesal.  Ia tidak bergirang memuji Tuhan melainkan minta Tuhan mencabut nyawanya saja, Yunus merasa sangat kesal sekali, kemarahannya demikian memuncak sampai meminta  mati. Bagi Yunus  lebih baik mati dari pada melihat Ninewe  menerima kasih Tuhan.   Yunus tidak bisa menerima kalau Niniwe tidak jadi dihukum oleh Tuhan, bagi Yunus Ninewe harus dihukum karena kejahatan mereka yang luar biasa terhadap bangsa Israel. 

Yunus bersikap demikian karena tahu sejarah bangsanya sendiri.   Yunus mengerti  Niniwe adalah ibukota Asyur dan bangsa Asyur terkenal sangat kejam terhadap bangsa-bangsa yang ditaklukkannya pada masa itu.  Bagi bangsa Asyur, penyiksaan terhadap para tawanan perang merupakan hal yang menyenangkan dan suatu kebanggaan tersendiri, karena itu mereka menuliskannya di tugu-tugu peringatan.  Dari sinilah para arkeolog mengetahui kekejaman bangsa Asyur pada masa itu.  Beberapa catatan menuliskan demikian, biasanya para tawanan perang tidak dibiarkan hidup.  Sebelum dihukum mati mereka disiksa terlebih dahulu.  Mereka yang akan dihukum mati diterlentangkan di tanah, kaki dan lengannya diikat erat-erat, kemudian para algojo memasukkan tangannya ke dalam mulut tawanan dan menarik lidah nya sampai ke akar-akarnya.  Para lelaki disiksa di atas tiang yang runcing ujungnya atau dikuliti hidup-hidup.  Ada yang dicungkil matanya, dipotong lengan dan kakinya atau telinga dan hidungnya.  Para wanita dan anak-anak dijual sebagai budak.  Kota-kota yang dikalahkan dijarah habis dan dibakar musnah menjadi abu.

Setiap orang Israel tahu akan hal ini, apalagi Yunus yang berasal dari daerah perbatasan dengan Niniwe tentu lebih tahu.  Bukan hanya itu saja.  Yunuspun tahu juga bahwa bangsa Asyur dari Niniwe ini adalah bangsa yang dikatakan oleh nabi-nabi akan membinasakan bangsa Israel.  Sekitar duapuluh tahun sebelum peristiwa pertobatan Niniwe, nabi Yesaya telah mengatakan bahwa Asyur akan menjarah Israel Yesaya 7:17-25; 8:5-710.  Nabi Hosea juga mengatakan demikian  Hosea 9:3; 10:6; 11:5. 

            Namun di dalam kemarahannya,  sungguh mengherankan kalau Yunus dapat menyebut sampai lima sifat kasih Allah sebagai ungkapan kemarahannya. Pada pasal 4:2, Yunus mengatakan:”Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku?  Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkanNya.”   

Kelima sifat kasih Allah itu adalah:

  1. Allah yang pengasih, pengasih dalam bahasa Ibrani adalah “Hanun” dapat   diartikan juga dengan mempedulikan orang yang lemah dan miskin. 
  2. Penyayang, dalam bahasa Ibrani adalah “Rahum” dapat diartikan juga memelihara seperti seorang ibu (dibandingkan dengan kata”rahim” dalam bahasa Indonesia).
  3. Panjang sabar, dapat diterjemahkan dengan dapat menahan murkaNya (bdn Yesaya 48:9). Sesuai harapan orang Niniwe dalam Yunus 3:9 yaitu Allah akan berpaling dari murkaNya.
  4. Berlimpah kasih setia, sifat kasih setia ini paling banyak digunakan dalam PL. Tuhan bukan hanya mengasihi tetapi juga menunjukkan kesetiaanNya. Kasih tidak dapat lepas dari setia.
  5. Menyesal karena malapetaka yang didatangkanNya. Kata “menyesal” dalam terjemahan bahasa Inggris versi NIV adalah “relents” yang dapat berarti menjadi lunak dalam perasaan, mengalah atau menjadi belas kasihan: terjemahan ini lebih tepat mengingat Bilangan 23:19a mengatakan “Allah bukanlah manusia sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia sehingga Ia menyesal”.

Yunus dapat mengucapkan kasih Allah yang amat besar itu. Ia tahu dan mengaku dimulutnya tentang kasih Allah,  tetapi ia tidak dapat menerima orang Niniwe yang diampuni Tuhan karena pertobatan mereka. Latar belakang orang Niniwe yang kejam dan telah dinubuatkan pula bahwa kelak akan menghancurkan Israel, semua ini membuatnya tidak bisa menerima Ninewe walaupun mereka sudah bertobat.

Ilustrasi :

      Saudara-saudara yang kekasih dalam Tuhan,  perumpamaan tentang anak yang hilang Lukas 15:11-32, Tuhan Yesus menceritakan tentang seorang bapak yang mempunyai dua anak laki-laki. Anak yang bungsu meminta kepada ayahnya agar harta warisan bagiannya segera  dibagikan kepadnya, ayahnya pun memberikan. Tetapi harta warisan yang dibagikan kepadanya itu dibawa ke negeri yang jauh, disana ia memboroskan seluruh harta miliknya, dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya, timbul bencana kelaparan di negeri itu, lalu ia pun terpaksa harus bekerja sebagai penjaga babi dan untuk mengisi perutnya yang lapar ia terpaksa harus makan  yang menjadi makanan babi. Tetapi tidak ada seorangpun yang mau memberikan makanan itu kepadanya (makanan untuk babi adalah makanan yang sangat jorok sekali). Akhirnya ia sadar akan perbuatannya yang telah menghabiskan harta warisannya, ia menyesal dan bertobat lalu ia kembali kepada bapaknya.

      Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya  berlari mendapatkan dia, lalu merangkul  dan menciumnya  dengan kasih. Ayahnya menyambut kepulangan anak bungsu ini dengan bersukacita dan mengadakan pesta. Tetapi anak sulungnya marah, ia tidak bisa menerima ayahnya mengasihi dan mengampuni,  karena adiknya telah menghabiskan harta warisan. Ia tidak bisa menerima, karena sang adik telah melakukan kesalahan fatal. Tetapi ayahnya menerima sang  adik yang bertobat itu dengan kasih dan sukacita.

      Seperti ayah yang menerima anaknya yang kembali, Allah juga menerima setiap orang berdosa yang bertobat, termasuk kita yang berdosa tetapi diterima Allah karena kasihNya yang besar.

Aplikasi:

Saudara-saudara sekalian, jikalau Allah sudah menerima kita maukah kita juga menerima orang lain? Adakah kita seperti Yunus yang tidak dapat menerima orang yang kita benci, bertobat dan menerima pengampunan dari Tuhan? Ataukah kita seperti anak sulung yang tidak dapat menerima saudaranya yang kembali kepada bapak? Maukah saudara menerima dan mengampuni orang yang bersalah kepada saudara ataukah saudara saudara tetap menyimpan kesalahan orang lain  meskipun orang itu telah diampuni dan diterima Tuhan? Mungkin kita pernah mendengar perkataan, “Kalau dia terpilih menjadi pengurus atau majelis maka saya akan mengundurkan diri.” Atau “Lebih baik saya tidak melayani jika harus bersama dengan orang ini”. Mungkin mereka pernah mengecewakan kita, tetapi jika mereka telah berbalik kepada Tuhan dan sungguh-sungguh ingin melayani, kita harus bersyukur dan menerima mereka. Saudara-saudara biarlah kita mulai sadar bahwa kita harus dapat menerima siapa saja yang berbalik kepada Tuhan. Kita mohon kepada Tuhan agar memberikan  sikap yang bukan hanya mengucapkan kasih Allah saja tetapi juga melakukannya dengan menerima siapa saja yang kembali kepada Tuhan.

Bapak, ibu, dan saudara sekalian, selain bersedia menerima orang yang berbalik kepada Tuhan dalam mempraktekkan kasih Allah yang universal kita juga harus:

2.Bersedia menghargai jiwa-jiwa yang terhilang lebih daripada hal apapun (ay.5-11)

Pada ayat ke-5 kita mengetahui bahwa Yunus masih belum rela jika Niniwe diselamatkan, ia pergi ke sebuah bukit sebelah  Timur kota Niniwe dengan mendirikan pondok. Dari atas bukit itu ia  menantikan apa yang akan terjadi atas kota Ninewe. Yunus bertindak sebagai penonton yang ingin menyaksikan peristiwa yang dahsyat yang akan terjadi. Dengan hati yang sangat  berharap agar Tuhan menghukum Niniwe sedahsyat mungkin. Yunus  sama sekali tidak mau ambil pusing dengan pertobatan orang Niniwe. 

            Hatinya masih kesal, dan ayat 6 mengatakan, “lalu atas ketentuan Tuhan Allah tumbuhlah sebatang pohon jarak yang melampaui kepala Yunus untuk menaunginya agar ia terhibur dari kekesalan hatinya.” Ayat ini dengan jelas menyatakan kelembutan hati Tuhan. Hati yang menaruh belas kasihan pada orang-orang yang bertobat dari dosa-dosanya juga sangat sabar terhadap Yunus. Tuhan dengan kuasaNya telah menyebabkan pertumbuhan pohon itu demikian cepat, yaitu tumbuh dalam satu malam. Ketika esoknya matahari terbit, pohon itu telah menaungi pondok Yunus yang sederhana itu.  Yunus sangat bersukacita karena pohon jarak itu. Pohon jarak dalam bahasa Latin ‘ricinus communis’, pohon ini bertumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ketinggian 3-5 meter, juga mempunyai daun yang lebar sehingga dapat dipakai untuk tempat bernaung.

Tapi keesokan harinya, ketika fajar menyingsing, atas ketentuan Allah datanglah seekor ulat yang menggerek pohon itu sehingga habis daunnya. Selanjutnya atas ketentuan Allah pula bertiuplah angin timur yang panas. Bagi kita biasanya ‘angin’ akan menimbulkan kesegaran bagi kita yang hidup di daerah panas.  Angin yang bertiup pada saat itu adalah angin panas ini disebut Sirokko yang sangat panas bagaikan tiupan api yang membakar dan dapat menghanguskan tanaman.

            Mudah dibayangkan bahwa angin Sirokko ini dapat menyebabkan tubuh Yunus menjadi letih dan lesu sehingga ia menjadi putus asa dan berharap supaya mati saja.

            Tapi Yunus dibangunkan oleh suatu suara, Allah berfirman, “Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?”. Mendengar itu Yunus menjawab, “Selayaknyalah aku marah sampai mati.” Jawaban Yunus ini membuat Tuhan menyatakan firman yang indah, “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih lelah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”

            Dari sini dapat kita lihat, betapa Yunus marah hanya karena kesenangan pribadinya terhalangi oleh pohon jarak yang telah layu itu. Ia merasa sayang terhadap pohon jarak yang memang pendek umurnya walaupun  ia sendiri tidak menanamnya. Sebenarnya melalui pohon jarak ini Allah ingin Yunus belajar dan  memikirkan bagaimana nasib orang-orang Niniwe. Ia tidak memikirkan begitu banyak jiwa-jiwa yang sedang bergumul melawan dosa. Nabi Yunus sayang pada pohon jarak tetapi Tuhan sayang kepada Niniwe.  Bagi Yunus rasa sayangnya akan pohon jarak yang rusak itu bukan karena indahnya dan permainya, melainkan dengan rusaknya pohon jarak itu berarti  dirinya mengalami kepanasan. Tuhan sayang dan mencintai jiwa orang Niniwe bukan karena keindahan mahluk bernyawa itu melainkan besarnya nilai jiwa-jiwa itu di dalam hati Tuhan.  Pohon jarak  meskipun bagus namun adalah tanaman biasa yang tidak berjiwa, jika dibandingkan dengan manusia tentulah manusia jauh lebih berharga.  Rupanya pohon jarak itu perlu bagi kesenangan Yunus.  Ia lebih mementingkan kesenangannya pribadinya  daripada keselamatan orang lain. Inilah sifat egistis nasionalis Yunus.     

Ilustrasi:

            Saudara-saudara, James Hudson Taylor adalah seorang dokter  sebelum ia menjadi misionaries di Tiongkok. Ayahnya adalah seorang ahli obat-obatan yang memiliki apotik yang mana  Hudson Taylor magang di situ. Karena itu  ia memiliki karier yang cukup baik.

            Pada saat dipanggil Tuhan ia mendapatkan visi tentang penebusan Kristus bagi seluruh dunia. Ia segera tahu bahwa ia harus pergi ke Tiongkok. Hudson Taylor mulai mengikuti pelatihan di bidang misi. Ia rela berhenti dari kariernya sebagai dokter. Ia berhenti mencari kenyamanan dan kesenangan semata-mata dalam hidupnya, karena ia telah melihat visi bahwa  banyak jiwa yang membutuhkan Injil di Tiongkok. Setelah sampai di Tiongkok, Hudson Taylor mulai terbeban untuk masuk ke pedalaman, ke tempat yang belum pernah dipijak oleh orang asing. Ia pergi dan menemukan bahwa pelayanannya berada di pedalaman Tiongkok. Di sana ia memakai  cara berbudaya Tionghua untuk menginjili orang Tionghoa, yaitu dengan memakai pakaian dan kebiasa an-kebiasaan orang-orang Tionghua. Misalnya, memakai pakaian orang Tionghoa seperti celana yang bergaun, berambut kepang,  ia makan dengan memakai sumpit dan mangkok serta belajar bahasa Mandarin.

            Hudson Taylor rela meninggalkan karirnya sebagai seorang dokter, ia rela meninggalkan kebiasaan hidupnya sebagai orang Eropa, bahkan ia pergi tanpa tunjangan dan hanya beriman kepada Tuhan. Ia rela meninggalkan kesenangan dan kenyamanan hidupnya dan lebih mengutamakan jiwa-jiwa yang yang membutuhkan Injil di Tiongkok. Sampai akhir hidupnya ia telah memenangkan banyak jiwa bagi Tuhan. Ada tiga belas ribu orang Tionghoa yang dibaptis, ada tujuh ratus lima puluh orang Tionghoa yang menjadi misionaris China Inland Mission yang sekarang dikenal dengan OMF. Inilah hasil dari orang yang rela mengutamakan jiwa-jiwa orang lain daripada kesenangan pribadinya.    

Aplikasi:

            Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, relakah saudara menyediakan waktu saudara, mengorbankan kesenangan pribadi saudara untuk berdoa dan memperhatikan jiwa-jiwa yang belum selamat? Maukah saudara-saudara mengorbankan waktu menonton televisi saudara untuk memperhatikan jiwa-jiwa yang terhilang itu? Kadang-kadang kita merasa sedih bahkan menangis tatkala binatang kesayangan kita mati, atau kita merasa sayang bila barang kesayangan kita rusak atau hilang. Tetapi pernahkah kita  bersedih  jika mengingat begitu banyak jiwa yang belum selamat. Bahkan orang-orang yang kita kenalpun begitu banyak yang belum menerima Injil. Biarlah mulai hari ini kita mau dan rela menyediakan waktu untuk berdoa, untuk bersaksi dan menginjili orang-orang yang belum percaya, kita rela mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadi kita untuk lebih memperhatikan jiwa-jiwa yang belum menerima  akan Injil.

Penutup

Mari kita menundukkan kepala. Saya mengajak saudara-saudara untuk merenungkan uraian firman Tuhan yang telah kita dengarkan. Kita mengingat akan orang-orang yang belum percaya, mungkin teman kita, saudara kita, tetangga kita,, bahkan orang tua kita. Biarlah kita bertekad menjadi saksi dan menginjili mereka. Mari kita berdoa memohon Tuhan menolong kita mewujudkan tekad ini.

AMIN