sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

Tema   :Kesalahan yang perlu kita hindari

Nats     :Lukas 2: 1-7

Oleh     : Meydi Garing

 

PENDAHULUAN

Sdr, pernahkah Sdr bertanya dalam hati, bagaimana malam Natal yang pertama dahulu itu dirayakan?  Apakah Kerubim dan Serafim – para malaikat dengan tugas yang berbeda – begitu sibuk mempersiapkan kedatangan Tuhan yang turun ke bumi dalam wujud seorang bayi laki-laki?

Mungkin, di satu tempat di surga, para malaikat sedang sibuk mempersiapkan pertunjukkan yang luar biasa, yang spektakuler untuk dinyatakan kepada para gembala.  Sementara itu, seorang malaikat yang lain sedang menyusun rencana untuk menampakkan sebuah bintang khusus yang akan menuntun orang-orang majus.  Dan mungkin pula, seorang malaikat lain sedang mengawasi Yusuf dan Maria tatkala mereka sedang berjalan menuju sebuah kandang.

Tentu saja kita takkan pernah tahu dengan pasti, apa yang sesungguhnya terjadi, namun yang kita ketahui adalah bahwa ketika semua telah siap, ‘Allah mengutus Anak-Nya!’  Semua penghuni surga berkumpul tatkala Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan itu menanggalkan kemuliaan-Nya, dan meletakkan-Nya di bawah kaki Sang Bapa, sembari berkata, “Aku datang, untuk melakukan kehendak-Mu, ya Bapa” (Ibr. 10:5,7).

Sdr, persiapan yang dilakukan di surga begitu rumit, namun orang-orang di dunia, yang justru kepada mereka Natal itu diberikan, menyambutnya dengan sikap yang tidak benar.  Oleh karena itu, belajar dari peristiwa Natal yang pertama, seorang yang ingin merayakan Natal dengan benar harus menghindari beberapa kesalahan yang pernah dilakukan.  Nah, kesalahan-kesalahan apa saja yang terjadi pada Natal pertama, yang seharusnya kita hindari?

 

1.         Terlalu sibuk dengan urusan masing-masing (Ay. 1-3)

Sdr, saya yakin setiap orang mempunyai kesibukkannya masing-masing, yang selalu harus diurusnya.  Entahkah itu urusan rumah tangga bagi para kepala RT; urusan dapur bagi para ibu; urusan pekerjaan di kantor, bagi para karyawan; urusan bisnis bagi para usahawan; urusan belajar dan tugas-tugas lainnya bagi para pelajar/mahasiswa; dan banyak lagi urusan lainnya yang harus ditangani.  Tetapi apakah kita hidup hanya untuk mengurus hal-hal seperti itu?  Apakah karena urusan-urusan itu, sehingga kita harus kehilangan hal yang bernilai kekal?

Sdr, dapat dipastikan Injil ketiga ini ditulis oleh seorang yang bernama Lukas.  Ia adalah seorang dari Antiokhia, yang menjadi Kristen ± 15 thn setelah Pentakosta, dan merupakan satu-satunya penulis PB yang berlatar belakang non-Yahudi.  Dari Kol. 4:14, diketahui bahwa Lukas adalah seorang dokter.

Sdr, dalam penulisannya, Luk.suka memberikan penanggalan yang rinci untuk menunjukkan keakuratan data yang diberikannya.  Oleh karena itu pada psl 2:1-7 ini, Luk. memulainya dengan kalimat: “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah.”  Dengan kalimat ini Luk. ingin menekankan bahwa peristiwa kelahiran Yesus dikaitkan dengan konteks sejarah dunia pada saat itu.  Lukas ingin memperlihatkan bahwa Allah adalah Tuan atas sejarah, sekaligus juga menunjukkan apa yang dilakukan oleh Kekaisaran Romawi ini sebenarnya masuk dalam rencana dan tujuan Allah.

Karena perintah Kaisar Agustus, maka semua orang di seluruh dunia harus pergi mendaftarkan diri, “masing-masing di kotanya sendiri”, yaitu ke tempat asal bapa leluhurnya.  Ada yang menafsirkan bahwa pendapat ini berhubungan dengan dinas ketentaraan.  Tapi ada juga yang menafsirkan bahwa pendaftaran ini sebenarnya ditujukan untuk kepentingan pajak. 

“Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.”  Sdr, suatu pendaftaran memerlukan kehadiran setiap pendaftar pada satu tempat/alamat yang pasti.  Dalam konteks adat Yahudi, keberadaan orang Yahudi biasanya ditentukan berdasarkan garis keturunan leluhurnya.  Oleh karena itu mereka harus pulang kembali ke kota asal bapa leluhurnya.  Masing-masing harus kembali ke kota asalnya.  Saya tidak tahu berapa pastinya jumlah orang Yahudi pada waktu itu.  Tetapi perlu diingat, saat itu Adolf Hitler belum ada.  Jadi belum terjadi pembantaian orang Yahudi secara besar-besaran.  Ditambah dengan keberadaan orang Yahudi yang tersebar di mana-mana, maka bisa dibayangkan “arus mudik” yang terjadi.

Sdr, bisakah Sdr membayangkan kesibukan demi kesibukan yang terjadi pada waktu itu?  Mungkin ada orang yang sibuk dengan persiapan-persiapan untuk memenuhi tuntutan dari dinas ketentaraan.  Mungkin ada yang sibuk dengan segala persiapannya untuk “pulang kampung”.  Belanja ini, belanja itu.  Penampilan begini, penampilan begitu.  Mungkin ada yang sibuk memikirkan: “Acara apa yang akan saya buat pada waktu saya bertemu dengan sanak famili yang sudah lama berpisah?”  Mungkin ada juga yang sibuk merencanakan pesta demi pesta reuni yang akan diikutinya, tempat demi tempat yang akan dikunjunginya, untuk menikmati saat-saat pulang kampung.  Dan mungkin juga ada yang sibuk menyembunyikan “pembukuan ganda” yang dilakukannya karena takut akan adanya pemeriksaan pajak.  Ya, mungkin saja.

Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga mereka melupakan janji Allah bagi mereka: “Sesungguhnya, Aku akan mengumpulkan Israel dari segala negeri, … sampai waktu perempuan yang akan melahirkan … lalu selebihnya dari saudara-saudaranya akan kembali …. Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.”  (Mik. 5:2,1).  Sdr, ini adalah berita Mesianik yang dikumandangkan Allah melalui Nabi Mikha ± 400 tahun sebelumnya.  Berita yang berisi janji.  Janji akan adanya Raja Mesias yang membawa penyelamatan bagi Israel.  Janji yang seharusnya menjadi pengharapan sepanjang masa bagi seluruh umat Allah.  Tetapi karena masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri, maka mereka tidak menyadari bahwa Sang Mesias yang dijanjikan itu, Juruselamat yang sejati, sudah waktunya datang.  Datang untuk setiap orang yang membutuhkannya.  Datang untuk setiap mereka.  Namun sayangnya, mereka tidak menyadarinya karena mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing.  Akibatnya, Natal pertama itupun terlewatkan begitu saja dengan kesalahan yang pertama.

(I) Sdr, suatu kali, pada pagi-pagi sekali di hari Natal, seorang Pendeta tengah berjalan menyusuri ruangan gereja.  Setelah kebaktian malam Natal sebelumnya, ia memeriksa kebersihan ruangan itu sebelum digunakan.  Saat itu cuaca sangat dingin, dan suasana amat sunyi.  Yang terdengar hanyalah suara langkah perlahan Bapak Pendeta itu.  Ia kemudian berhenti di samping patung-patung Natal yang menjadi dekorasi gereja itu, yang mengisahkan tentang kelahiran Yesus, dan besarnya hampir seukuran manusia. 

Setiap patung yang dipahat dengan sangat indah dan menyerupai bentuk manusia yang sesungguhnya itu, ditempatkan pada sebuah panggung kecil.  Ada para gembala dan orang-orang majus dengan ekspresi wajah penuh kekaguman, ada pelbagai jenis ternak yang berdiri di dalam kandang, ataupun berbaring di luar kandang, dan ada keluarga Yusuf.  Dengan menyaksikan suasana di sekitar palungan itu, Bpk Pendeta serasa dapat merasakan suasana malam Natal pertama yang terjadi ribuan tahun yang lampau.  Tetapi kemudian, dahinya mulai berkerut.  Ada sesuatu yang tidak beres.  Tiba-tiba suara napasnya tertahan, karena satu hal yang disadarinya.  Palungan itu kosong!  Patung kecil yang melambangkan bayi Juruselamat: tidak ada!

Dalam kebingungannya, Bpk Pendeta bergegas menelusuri gedung gereja sekali lagi untuk mencari patung itu.  Mulai dari palungan sampai kolong-kolong kursi, tetapi tetap tidak ada.  Kemudian ia memanggil penjaga gereja, asisten pendeta, bahkan semua majelis gereja, tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya.  Patung itu tidak mungkin salah taruh, atau hilang.  Seseorang pasti telah mencurinya!

Dengan hati-hati, Bpk Pendeta menyampaikan berita pencurian itu kepada jemaat yang hadir pada kebaktian Natal pagi itu.  Suaranya bergetar saat menyampaikan apa yang terjadi.  “Patung bayi Kristus itu harus dikembalikan sebelum hari Natal ini berlalu.”  Dengan suara bergetar hebat, Pdt itu turun dari mimbar.  Namun sepanjang hari itu, palungan tersebut tetap kosong.

Menjelang malam, dengan putus asa dan sedih, Bpk Pdt berjalan-jalan di sepanjang jalan bersalju di sekitar gereja.  Di sana ia melihat seorang jemaatnya yang termuda, seorang anak berumur 6 thn bernama Tommy, yang sedang berjalan dengan susah payah di sepanjang trotoar, dengan pakaian kumal namun tebal untuk melawan rasa dingin.  Ia berjalan sambil menarik sebuah kereta mainan dengan bangga di belakangnya.  Kereta itu berwarna merah menyala.  Bpk Pdt tahu dengan pasti kemampuan keluarga Tommy.  Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari saja, hampir-hampir mereka tidak mampu.  Pasti ia baru saja menerima hadiah Natal.  Ia mempercepat langkahnya agar dapat mengucapkan selamat Natal kepada Tommy.  Namun tatkala semakin dekat dengan anak itu, ia mendapati bahwa kereta itu tidak kosong.  Di dalamnya terbaring patung bayi Yesus yang dibungkus dan diselimuti , tetapi tidak tertutup rapat.  Wajahnya spontan menjadi marah dan kecewa.  Tommy sudah cukup besar untuk mengerti bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak benar.  Ketika ditanya, anak itu menjawab dengan gemetar dan sorot mata yang berkaca-kaca: “Pak Pdt, saya tidak mencuri bayi Yesus.  Saya tidak bermaksud begitu.”  Ia berhenti sejenak untuk menelan ludahnya sambil menghapus air matanya.  “Sudah lama saya meminta kereta berwarna merah kepada-Nya sebagai hadiah Natal, dan saya berjanji kepada-Nya bahwa bila saya memperolehnya, Dialah yang pertama kali akan saya ajak berkeliling dengan kereta ini.”

(P) Sdr, terlepas dari benar atau salahnya perbuatan Tommy, saya mengagumi ketulusan hatinya untuk mengutamakan Yesus dalam hari Natalnya.  Saat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga tidak lagi peduli dan tergerak dengan apa yang terjadi di gerejanya, apa yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya, apa yang terjadi dengan sesama anggota jemaatnya, seorang anak seperti Tommy mengkhususkan hari itu bagi Yesus.  Saat orang-orang lainnya sibuk dengan urusannya masing-masing pada hari Natal itu, Tommy masih ingat bahwa Yesuslah yang harus diutamakannya.  Yesuslah yang harus menjadi fokus hidupnya.

Bagaimana dengan kita?  Apakah kita menempatkan Yesus sebagai fokus perayaan Natal kita?  Ataukah malahan kita sibuk dengan urusan kita masing-masing untuk merayakan Natal?  Kita lebih menyibukkan diri dengan kesibukan-kesibukan kita, seperti kue apa yang harus saya siapkan untuk Natal tahun ini?  Busana apa yang harus saya kenakan untuk Natal tahun ini?  Dekorasi bagaimana yang harus saya kerjakan untuk Natal tahun ini?  Kado apa yang harus saya siapkan bagi orang yang saya kasihi? Dan berbagai kesibukan lainnya, sehingga kita melupakan fokus Natal yang sesungguhnya, dan akibatnya kita tidak merayakan Natal dengan benar.  Marilah kita mengoreksi perayaan Natal kita, sehingga kita tidak didapati melewatkan Natal dengan sia-sia.

 

Kalimat Peralihan: Kesalahan selanjutnya yang harus kita hindari, adalah:

2.         Tidak menyediakan tempat bagi Yesus (Ay. 6-7).

Sdr,  sensus yang diadakan oleh Kaisar Agustus ini mengambil peranan yang penting dalam kisah Natal yang pertama ini.  Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Allah dapat memakai pemerintahan dunia untuk menjalankan kehendak-Nya dan mencapai tujuan-Nya.

Dari psl ini kita bisa melihat bahwa Yusuf adalah seorang rakyat yang setia.  Yusuf taat pada pemerintahnya.  Demi sensus itu, Yusuf berangkat dari suatu kota yang terletak di Galilea, di bagian Utara Tanah Israel, ke suatu kota di Yudea, di bagian Selatan Tanah Israel.  Demi memenuhi apa yang telah dinubuatkan jauh sebelumnya, Yusuf berangkat dari Nazaret ke Betlehem.  Ke sebuah kota kecil yang digelari dengan sebutan, “Kota Daud”.  Kota Betlehem, yang berarti “rumah roti”.  Kota di mana Allah menyediakan “Roti hidup” di sana, untuk menghidupkan setiap orang yang binasa dalam dosa.  Tetapi ironisnya, di kota kecil, yang justru seharusnya suasana kekeluargaannya begitu erat, terjadi penolakan.  Di kota inilah, Maria dan Yusuf tidak diterima keberadaannya.  Padahal mereka telah menempuh perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, mengingat jarak antara kota Nazaret dan Betlehem yang begitu jauh, yaitu ± 170 km jauhnya, yang bila dengan berjalan kaki dapat ditempuh dalam 4-5 hari.  Apalagi dikatakan bahwa Maria tengah mengandung.

Sdr, dapat dipastikan saat itu Betlehem penuh sesak dengan para orang Yahudi yang pulang ke Betlehem, ditambah para petugas pajak ataupun para prajurit Romawi yang datang ke kota itu.  Tetapi dalam ay. 7b, Luk. tidak mencantumkan bahwa Betlehem telah penuh atau bahwa tidak ada tempat lagi di Betlehem, melainkan ia mengatakan bahwa bagi mereka tidak ada lagi tempat dalam rumah penginapan.  Kt. “mereka” di sini dengan jelas menunjuk kepada penolakan terhadap Maria dan Yusuf, yang sekaligus menjadi penolakan terhadap Sang Juruselamat.  Bahwa tidak ada tempat bagi mereka dalam rumah penginapan, sekaligus menjadi simbol tentang apa yang akan terjadi dengan Yesus.  Kelak dalam psl 9:58, Yesus sendiri berkata bahwa Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.  Sama sekali tidak ada tempat bagi Yesus di dalam dunia ini, kecuali satu-satunya tempat yang tersedia bagi-Nya, yaitu salib.  Penolakan itu dimulai dari Betlehem, dan akhirnya berakhir di Golgota (Luk. 23:21).

Sdr, akibat penolakan tersebut, maka bayi Yesus, Juruselamat yang sejati itu, yang adalah Raja di atas segala raja, tidak lahir di dalam istana atau tempat yang layak bagi-Nya, melainkan dalam sebuah kandang yang hina.  Karena tidak ada tempat bagi Dia dalam kelas sosial manusia, maka tempat tinggal hewan harus dihadapi-Nya, pada hari lahir-Nya.  Sang Raja yang Agung itu harus benar-benar merendahkan diri, mengambil rupa yang paling hina.  Suatu realita yang ironis!  Pada saat setiap orang pulang kembali ke kotanya dan bernostalgia; pada saat setiap orang berkumpul kembali dengan sanak familinya, yang mungkin sudah ditinggalkannya bertahun-tahun, dan menikmati kehangatan sapaan keluarga; pada saat orang-orang berpesta, bersukacita untuk merayakan reuni keluarga, dan menikmati berbagai ragam makanan, pada saat itulah Yesus ditolak.  Tidak ada tempat bagi Dia.  Tidak tersedia tempat bagi Yesus.  Natal pertama di kota Betlehem itu, kehilangan Yesus karena tidak ada tempat yang tersedia bagi-Nya.

(I) Sdr, ijinkan saya melukiskan keadaan yang terjadi pada malam Natal pertama itu.  Malam itu udara yang begitu dingin menyelimuti Betlehem.  Malam seperti itu akan membuat Sdr ingin menghindar dari udara yang begitu dingin dan lembab, dan Sdr pasti berharap menemukan sebuah tempat penginapan yang hangat dan nyaman.  Begitulah kira-kira yang dilakukan oleh orang-orang itu pada waktu itu.

Di dalam penginapan, terdengar derai tawa dan celotehan orang-orang.  Mereka adalah para kerabat yang tidak pernah bersua selama beberapa tahun, yang kembali mempererat ikatan kekeluargaan mereka lewat acara makan bersama.  Bermangkok-mangkok sup panas dan berbotol-botol anggur mewarnai acara itu.  Mereka makan bersama dan saling bertukar cerita.  Ada yang memainkan alat musik, ada yang bertepuk tangan mengiringi alunan musik, dan ada yang menyanyi.

Di tengah kesibukannya menyiapkan roti dan daging untuk para tamu, si pemilik penginapan menyempatkan diri untuk membukakan pintu tatkala seorang pria memanggil-manggil dari luar.  Pria yang mengaku bernama Yusuf itu merapatkan jubahnya yang sederhana hingga menutupi leher.  Memang malam itu udara sangat dingin.  Ia dan istrinya yang masih belia membutuhkan sebuah kamar.  Sekilas si pemilik penginapan melihat sang istri yang sedang hamil tua.  Dengan berusaha mengalahkan suara hiruk pikuk di belakangnya, si pemilik penginapan akhirnya berhasil memberitahukan bahwa tidak ada tempat bagi mereka.  Yang ada hanyalah sebuah kandang kosong di belakang.

Sesudah berkata demikian, si pemilik penginapan menghempaskan pintu di depan Yusuf.  Sesaat Yusuf masih terpaku di sana, dan mendengar suara derai tawa yang menggema di dalam ruangan.  Di balik kegelapan malam, Maria masih menunggu dengan setia.  Lalu, pasangan muda itu memutuskan untuk berjalan ke kandang yang disebutkan oleh si pemilik penginapan.  Sementara suara musik, derai tawa, dan pesta terus berlangsung di balik dinding penginapan yang hanya berjarak beberapa meter dari kandang, diam-diam Anak Allah datang ke dalam dunia untuk mengukir sejarah.  Karena tidak ada tempat dalam penginapan itu, maka Allah hadir lewat kandang binatang.  Suasana di kandang itu begitu tenang, berlawanan dengan suasana pesta yang sedang berlangsung dalam penginapan.  Bayangkan seandainya ada orang yang memutuskan untuk keluar dari pesta yang sedang berlangsung, lalu memeriksa keledainya di luar.  Atau, jika seandainya ada seseorang yang meninggalkan pesta tersebut, hanya sekedar untuk menikmati keheningan di luar.  Coba bayangkan, apa yang kira-kira akan mereka saksikan?  Mungkin mereka akan melihat para malaikat, mungkin juga para gembala.  Dan yang pasti melihat bayi Yesus.  Tetapi karena mereka tidak menyediakan tempat bagi-Nya, maka mereka tidak pernah melihat bayi Yesus, Anak Allah itu.

(P) Sdr, kadangkala saat-saat terindah di hari Natal tidak terjadi pada pesta-pesta yang dipadati banyak orang, atau saat kita bersiap-siap untuk pergi berlibur.  Kadangkala saat-saat terindah di hari Natal tidak juga terjadi di tengah suara musik, derai tawa, di antara para kerabat, dan atau di tengah pesta-pesta.  Tetapi pada saat-saat yang tenang, saat kita menyediakan tempat yang khusus bagi Yesus.  Saat-saat yang tenang, manakala secara tak terduga, Allah mengejutkan kita, dengan kehadiran-Nya, dengan kedekatan-Nya, dengan kesederhanaan-Nya, dan dengan kasih-Nya yang berlimpah.  Di tengah begitu banyak aktivitas yang terus bergulir, dan berbagai janji untuk pertemuan atau pesta, Allah mencari tempat di dalam hati manusia yang bersungguh-sungguh mau menerima Dia, sehingga Dia dapat berbicara dengan lembut kepada kita.

Apakah kita sudah menyediakan tempat yang istimewa bagi Dia?  Ataukah kita lebih mengistimewakan “someone special” di hati kita, daripada Yesus?  Kita lebih mengutamakan hadiah-hadiah Natal yang indah daripada mempersiapkan ruangan hati kita bagi Yesus.  Kita lebih mengutamakan pesta-pesta dan perayaan-perayaan Natal, daripada mengambil waktu secara khusus bagi Allah.  Berapa banyak Natal yang telah kita lewatkan tanpa Yesus?  Berapa banyak Natal yang sudah kita rayakan dengan tidak benar?  Berapa banyak waktu yang sudah kita ambil untuk melewatkan Natal dengan sia-sia?  Sdr, marilah kita belajar dari pengalaman Natal yang pertama.  Marilah kita menyediakan tempat bagi Yesus.  Tempat yang spesial di hati kita, tempat buaian bagi Yesus, bayi mungil itu, untuk menggantikan palungan yang kotor itu, supaya kita tidak kehilangan makna Natal, supaya kita dapat merayakan Natal dengan benar.

Sdr, ambillah waktu pada hari Natal ini untuk menyediakan tempat bagi Allah.  Untuk keluar dari suasana yang gegap gempita dan penuh hura-hura.  Untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan buruk yang menjadi rutinitas  pada setiap hari Natal.  Kunjungilah kandang domba itu dan mintalah agar Allah pindah ke tempat istimewa dalam hati Sdr.  Mintalah agar Allah berbicara kepada Sdr, dan saya, dalam suasana yang tenang, tenteram, dan hening.  Saya yakin Allah pasti bersedia.

 

PENUTUP

Sdr, di penutup khotbah saya, saya ingin mengutip perkataan Martin Luther, salah seorang Bapak Gereja yang menyadari makna Natal yang sejati.  Ia berkata: “Seandainya bumi seribu kali lebih cemerlang, berhiaskan emas dan permata langka, bumi masih tetap jauh dari layak, untuk menjadi tempat buaian bagi bayi Yesus.”

Hati Sdr dan saya, memang jauh dari layak untuk menjadi tempat buaian bagi bayi Yesus.  Tetapi Allah, Bapa yang Maha Kasih, lebih memilih ketulusan hati kita.  Pada saat kita mau menyediakan tempat istimewa dalam hati kita, dengan tulus bagi Yesus, pada saat itulah Allah mau menghampiri kita, dan memberikan damai Natal bagi kita.  Damai yang sejati, yang dibawa oleh Sang Bayi kudus, bayi Yesus.  AMIN.