| |
Tema : Hamba yang diperkenan Tuhan Nats : Yunus 1 : 1 –17Penulis : Hendi SutrisnoTujuan : Agar jemaat dapat mengerti dan mempunyai komitmen untuk hidup diperkenan oleh Tuhan. Pendahuluan: Bapak, Ibu dan Saudara yang dikasihi Tuhan, apa yang ada dalam benak kita ketika mendengar isitilah “hamba Tuhan”. Setiap kali mendengar isitilah ini, tentunya yang terbayang adalah seorang penginjil atau seorang pendeta. Sebenarnya, pengertian hamba Tuhan tidak sesempit itu, setiap orang berdosa yang telah percaya kepada Kristus dan telah ditebus dosa-dosanya serta menjadi anak-Nya adalah hamba Tuhan. Bapak, Ibu dan Saudara yang dikasihi Tuhan, seorang pendeta Rumania menceritakan pengalaman temannya yang telah menjadi Kristen. Suatu hari ada seorang agen rahasia yang datang ke rumah temannya dan merampas semua naskah-naskahnya serta menyiksanya dengan cukup sadis. Penyiksaan tersebut tidak hanya sekali tetapi dilakukan berkali-kali, seminggu bisa sampai dua kali, sehingga tubuhnya tidak pernah bebas dari luka. Dan setiap kali menerima siksaan, temannya itu tidak pernah mengeluh atau memaki penyiksanya, dia malah mendoakan agen rahasia itu dan selalu berkata: “Tuan, saya mengasihi Anda. Dan saya ingin Anda tahu bahwa jika suatu saat kita bertemu di hadapan tahta pengadilan Allah. Anda masuk neraka bukan karena saya membenci Anda, tetapi karena Anda menolak kasih yang diberikan Yesus kepada Anda.” Mendengar kesaksian temannya itu, pendeta Rumania tersebut bertanya dengan penuh keheranan.“Temanku, kekuatan apa yang ada pada dirimu sehingga kamu bisa melakukan semua itu? Mengapa kamu masih bisa mendoakan orang yang telah menghina, bahkan menyiksa kamu seperti itu?” Dengan perlahan, hamba Tuhan itu menjawab; “Saya menjadi kuat, karena saya menyadari bahwa saya adalah seorang hamba Tuhan, sebagai hamba, maka saya harus bisa melakukan apa yang telah diperintahkan Tuhan kepada saya. Sebagai hamba saya harus bisa menaati perintah-Nya untuk mengasihi orang-orang yang membenci saya. Dan karena saya adalah hamba Tuhan, maka saya juga harus menjadi hamba Tuhan yang bukan hanya bisa ngomong, tetapi saya harus bisa melakukan apa yang telah saya ucapkan.” Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, kalau kita diperhadapkan dengan peristiwa seperti itu, mungkin kita juga mempunyai pertanyaan yang sama terhadap hamba Tuhan tersebut: Mengapa hamba Tuhan itu bisa mengasihi bahkan mengampuni orang yang telah menyiksa dan menghina dirinya habis-habisan? Jawabannya adalah karena hamba Tuhan tersebut benar-benar mengenal siapa Allah yang menjadi Tuannya itu. Sebagai hamba yang sudah cukup mengenal Tuannya, diapun bisa mengerti dan menyelami kehendak Tuannya atas dirinya. Sebagai Tuan, Allah menghendaki ketaatan dari hamba-Nya, dan sebagai hamba, diapun sadar bahwa dia harus melakukan apa yang diperintahkan Tuannya kepadanya. Itulah dasar pemikiran hamba Tuhan tersebut dan dasar pemikiran inilah yang menuntun dia untuk menjadi hamba yang baik. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, seorang hamba yang baik adalah seorang hamba yang tidak pernah menolak perintah Tuannya. Seorang hamba yang baik adalah seorang hamba yang selalu siap melakukan apa yang diperintahkan Tuannya. Hal ini juga berlaku bagi seorang hamba Tuhan. Proposisi: Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, hamba Tuhan yang baik adalah hamba Tuhan yang hidupnya berkenan di hadapan Tuhannya. Dalam pembacaan tadi, kita temukan tiga syarat utama untuk menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Mari kita melihat yang pertama: I. Taat pada perintah Tuhannya (ayat 3) Bagi kita orang-orang Kristen umumnya dan para mahasiswa teologi serta para guru sekolah Minggu khususnya, cerita Yunus bukanlah suatu cerita yang asing, cerita Yunus sudah ada di luar kepala kita. Dan setiap kali mendengar cerita Yunus, dalam benak kita tentu terbayang ikan besar yang menelan Yunus bulat-bulat. Tokoh Yunus memang tidak dapat dipisahkan dengan ikan besar. Ikan besar ini bisa muncul karena Yunus tidak mau taat pada perintah Allah dan dia melarikan diri dari tugas yang diberikan kepadanya. Dari kelakuan Yunus tersebut timbul beberapa pertanyaan, mengapa Yunus melarikan diri? Bukankah dia seorang nabi yang tugasnya menobatkan umat manusia? Apakah Yunus tidak tahu dan tidak menyadari akan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya? Yunus tahu bahkan teramat tahu akan tugasnya. Lalu mengapa dia lari? Dia lari karena dia tidak ingin bangsa Niniwe bertobat. Dia lari karena dia tidak ingin bangsa Niniwe diselamatkan oleh Tuhan dari hukuman yang layak mereka terima. Sampai disini, kita tentu akan menilai bahwa Yunus adalah nabi yang berjiwa picik, nabi yang mempunyai diskriminasi rasial yang tinggi atau dia adalah bangsa Yahudi yang begitu sempit pikirannnya dan begitu egois karakternya sehingga tidak menaruh sedikitpun belas kasihan untuk membawa peringatan Allah kepada bangsa kafir, yaitu orang-orang Asyur. Kalau kita mengerti dengan jelas duduk persoalannya, kita akan menghapus produga demikian, dan kalau kita menempatkan diri dalam posisi Yunus waktu itu, mungkin kita juga akan melakukan hal yang sama. Sebenarnya bangsa yang bagaima nakah penduduk di kota Niniwe itu sehingga Yunus begitu antipati, bahkan sampai rela meninggalkan jabatannya sebagai nabi dan rela mati agar bangsa ini tidak diselamatkan oleh Tuhan yang maha kasih? Niniwe adalah ibukota Asyur, dan negara Niniwe adalah negara yang suka akan perang, suka ekspansi kenegara lain, kitab suci mengatakan bahwa Asyur akan mem-binasakan bangsa Israel. Hal ini sudah bukan rahasia lagi bagi nabi pada jaman itu, dan mungkin Yunus pun mengetahui hal ini, sebab kalau tidak, dia tidak mungkin begitu membenci Niniwe. Kalau kita baca dalam kitab Yesaya 7:17 dan Hosea 9:3, kita akan melihat dengan jelas mengenai hal ini. Dalam pikiran Yunus waktu itu, jika negara Niniwe diselamatkan, itu berarti bangsa Israel, bangsanya sendiri akan mengalami kehancuran dan kebinasaan. Disam-ping itu, bangsa Asyur terkenal dengan kekejamannya, bahkan menurut beberapa penafsir, kekejaman bangsa Asyur melebihi kekejaman Nazi Hitler di abad dua puluh ini. Bagi bangsa Asyur, penyiksaan terhadap para tawanan perang merupakan suatu hal yang menyenangkan dan suatu kebanggaan tersendiri, karena itu mereka menuliskan-nya dalam tugu-tugu peringatan. Dari sinilah para arkeolog bisa mengetahui kekejaman seperti apa yang dilakukan oleh bangsa Asyur. Para pembesar dan pasukan perang yang menjadi tawanan perang bangsa Asyur, tidak pernah dibiarkan hidup, mereka pasti dihukum mati. Tapi sebelum itu mereka disiksa terlebih dahulu. Mereka yang akan dihukum mati diterlentangkan di tanah, kaki dan lengannya diikat erat-erat sehingga tidak bisa bergerak sama sekali, kemudian para algojo memasukkan tanganya ke mulut tawanan dan menarik lidahnya sampai ke akar-akarnya. Orang laki-laki disiksa di atas tiang yang runcing ujungnya, atau dikuliti hidup-hidup, atau dicungkil matanya, atau dipotong lengan dan kakinya, atau dipotong telinga dan hidungnya; sedang kaum wanita dan anak-anak dijual sebagai budak. Kota-kota yang dikalahkan dijarah habis-habisaan serta dibakar musnah menjadi abu. Setiap orang Israel tahu akan hal itu. Dan Yunus tentunya juga tahu, apalagi dia berasal dari derah perbatasan, boleh jadi ia juga pernah menyaksikan sendiri kekejaman orang Asyur di sekitar daerah perbatasan itu. Nahum 3:1-4,19 juga menceritakan kekejaman orang Niniwe, dan mungkin apa yang ditulis oleh Nahum mewakili ungkapan hati para nabi jaman itu. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan Yunus mengingkari panggilannya sebagai seorang nabi. Adalah suatu hal yang begitu menyenangkan hatinya ketika dia mengetahui bahwa kejahatan bangsa Niniwe telah sampai kepada Tuhan, karena dengan demikian, Tuhan akan segera menghukumnya, tetapi adalah suatu hal yang begitu menyedihkan ketika dia diperintahkan untuk menobatkan bangsa itu. Bagi dia lebih baik tidak menjadi nabi daripada bangsa Niniwe bertobat, matipun dia rela asal Niniwe dihukum. Karena itu dia lari dari hadapan Allah, dia pergi ke tempat yang cukup jauh, yaitu Tarsis. Ketika Yunus tidak taat kepada perintah Allah. Dia lupa bahwa dirinya hanyalah seorang hamba. Seorang hamba tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri, seorang hamba harus taat kepada perintah Tuannya meskipun itu merugikan dirinya sendiri. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, ketika Perancis diperintah oleh Napoleon, waktu itu negara Perancis sedang berperang dengan negara Jerman. Ada seorang pemuda menjadi prajurit kesayangan komandan pasukan karena keahliannya dalam menembak-kan meriam, pemuda tersebut tidak pernah meleset setiap kali melakukan tembakan. Pada suatu hari, sang komandan memerintahkan pemuda tersebut untuk menem-bak sebuah rumah yang menurut keterangan yang diterima, rumah itu dulu milik orang Perancis, tetapi sekarang menjadi markas tentara Jerman. Biasanya, begitu mendengar perintah dari atasannya, pemuda itu segera melaksa-nakannya dengan baik. Tapi kali ini ia tertegun agak lama, bibirnya terkatup, seolah-olah tak mampu mengeluarkan kata-kata. Untunglah ia segera menguasai dirinya, lalu menyi-apkan meriamnya dan tidak lama kemudian terdengar letusan meriam beberapa kali dan rumah itu segera hancur berkeping-keping. Sang komandan langsung memujinya, tetapi betapa terkejutnya sang komandan ketika melihat pemuda itu menangis tersedu-sedu. Dengan penuh keheranan dia bertanya: “Mengapa engkau menangis? Seharusnya engkau gembira karena markas musuh sudah hancur.” Masih dengan tersedu-sedu, pemuda tersebut menjawab: “Komandan, tahukan engkau, bahwa rumah yang kutembak adalah rumahku sendiri. Dengan susah payah, aku telah menyisihkan gajiku sebagai prajurit untuk membangun rumah tersebut, tetapi sekarang rumah itu telah rata dengan tanah karena tembakanku sendiri.” Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, mengapa pemuda itu mau melakukan apa yang diperintahkan komandannya? Karena dia menyadari siapa dirinya sebenarnya, dia sadar bahwa dia hanya seorang hamba, seorang hamba harus taat pada perintah tuannya.. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, kehidupan Tuhan Yesus sebagai hamba bisa menjadi teladan bagi kita. Sebagai hamba, Tuhan Yesus tidak pernah membantah kepada Bapa yang memerintahkan diri-Nya untuk datang ke dalam dunia dan mati di atas kayu salib. Kisah di taman Getsemani membuktikan akan ketaatan Tuhan Yesus kepada perintah Bapa-Nya. Matius 22:37-39 Tuhan Yesus memberi perintah kepada kita untuk mengasihi Tuhan Allah dan sesama kita. Apakah selama ini kita sudah menaati perintah tersebut? Apakah kita sudah mengasihi Tuhan kita dan orang-orang di sekitar kita, khususnya mereka yang telah menyakiti kita? Kasih merupakan dasar bagi kita untuk bisa membawa orang lain datang kepada Tuhan. Kasih merupakan dasar bagi kita untuk bisa melakukan perintah Tuhan, juga perintah dalam Matius 28:19-20, yaitu menjadikan semua bangsa murid-Nya. Perintah ini harus menjadi program orang Kristen dan program gereja-gereja Tuhan. Dan program ini tidak akan pernah berhasil, kalau kita, sebagai hamba-hamba Tuhan tidak pernah mau menaati perintah yang diberikan Tuhan kepada kita, yaitu memberitakan Injil kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan atau kepada orang-orang yang telah meninggalkan Tuhan. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, hamba Tuhan yang baik adalah hamba Tuhan yang mau taat kepada perintah Tuannya. Syarat ke dua yang harus dilakukan untuk menjadi hamba Tuhan yang baik ialah: II. Peka terhadap situasi sekitarnya (ayat 5-6) Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, apa yang dilakukan Allah ketika melihat hamba pilihan-Nya tidak taat kepada perintah-Nya? Allah segera memberi hukuman, sebagai Allah pencipta langit dan bumi, penguasa daratan dan lautan, tidaklah sulit bagi Allah untuk menurunkan badai dan angin ribut. Kapal yang semula berlayar dengan tenang, kini terpontang panting, para awak kapal kebingungan dan ketakutan. Berbagai cara dilakukan agar kapal tidak tenggelam, mereka berteriak memanggil allah mereka agar para allah itu segera datang. Ternyata usaha mereka sia-sia, badai semakin dahysat menghantam kapal mereka. Akhirnya mereka membuang semua barang yang ada di dalam kapal. Mereka benar-benar ketakutan dan tidak tahu apa yang harus mereka laku-kan lagi. Dalam situasi seperti itu, bagaimana dengan Yunus, sang hamba Tuhan itu? Dalam ayat 5c ditulis bahwa Yunus sedang tidur dengan nyenyak. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, Yunus dengan sejahteranya dapat tidur dengan nyenyak, sama sekali tidak mau menghiraukan apa yang sedang terjadi. Baiklah, jika Yunus tidak mau pergi ke Ninewe, tetapi apakah dia boleh tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan situasi dan kondisi yang membahayakan orang banyak ? Inilah tugas seorang hamba Tuhan, yang seharusnya dia dapat mengajak orang-orang dalam kapal datang kepada Tuhan di saat situasi yang gawat itu. Tugas hamba Tuhan adalah memberi rasa aman dan ketenangan di saat orang-orang sekitarnya mengalami ketakutan. Tetapi Yunus tidak melakukan semua itu. Di saat para awak kapal berteriak-teriak kepada allahnya, dia tidak berbuat apa-apa. Di saat para awak kapal sibuk membuang barang yang ada di dalam kapal agar kapal tidak tenggelam, sang hamba Tuhan tetap pulas dengan mimpinya. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, kisah di atas benar-benar menampar wajah kita sebagai orang-orang percaya. Apa yang dilakukan orang-orang yang tidak mengenal Allah yang hidup, ketika kapal dan awaknya menghadapi bencana yang bisa mencelaka-kan diri mereka maupun penumpang lainnya? Mereka datang kepada allahnya untuk mencari pertolongan, tetapi orang yang mengenal Allah yang hidup, justru lari dari hadapan-Nya, ketika mengetahui bahwa orang lain sedang di ambang kebinasaan karena kejahatan mereka, orang percaya sebaliknya hanya cuek saja. Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, pada waktu tejadi kerusuhan pada bulan Mei tahun 1998, seorang hamba Tuhan dari gereja yang cukup besar di Jatim tiba-tiba pergi ke luar negeri. Bagaimana respon jemaatnya dan orang-orang Kristen pada waktu itu? Mereka semua mencela hamba Tuhan tersebut. Orang-orang yang tidak bisa menerima segala macam alasan yang dikemukakan oleh hamba Tuhan tersebut. Bagi mereka, hamba Tuhan itu salah karena telah meninggalkan jemaatnya di saat jemaatnya dalam kekalutan dan ketakutan. Bagi jemaatnya, hamba Tuhan itu bukan seorang hamba Tuhan yang baik karena tidak peka terhadap situasi sekitarnya. Dia lebih mementingkan kepen-tingannya sendiri daripada jemaatnya. Bagaimana dengan Tuhan Yesus, Juruselamat kita? Dia sama sekali berbeda, Dia adalah seorang hamba yang sangat perduli terhadap situasi sekitar-Nya. Di saat orang-orang membutuhkan pertolongan-Nya, Dia rela mengorbankan waktu-Nya untuk memberi pertolongan kepada mereka. Di saat orang-orang begitu lapar akan sabda-Nya, Dia rela mengorbankan istirahat-Nya untuk melayani kebutuhan orang-orang itu. Di saat lima ribu orang kelaparan setelah mendengar firman-Nya, Dia pun turun tangan dengan memberi mereka makan melalui lima roti dan dua ekor ikan. Bapak, Ibu dan Saudara yang dikasihi Tuhan, mari kita bersama-sama mengintropeksi diri, bagaimana perasaan kita sebagai orang-orang yang sudah mengenal keselamatan ketika melihat beribu-ribu orang yang masih belum mengenal Juruselamat? Bagaimana perasaan kita ketika melihat orang-orang yang serumah dengan kita dan mereka belum diselamatkan? Pernahkah terpikir dalam benak kita untuk memberitakan Injil kepada mereka? Dan bagaimana pula perasaan kita ketika melihat orang-orang yang dalam kekurangan membutuhkan uluran tangan kita? Sudahkah kita menolong mereka? Adakah sikap perduli itu dalam hati kita? Bukankah sebagai hamba Tuhan perasaan perduli itu seringkali hilang dalam diri kita? Bapak, Ibu dan saudara sekalian, dasar untuk bisa membawa orang lain datang kepada Kristus adalah rasa perduli. Bagaimana kita bisa menjadikan semua bangsa murid Tuhan kalau kita tidak pernah melakukan penginjilan, dan bagaimana mungkin kita bisa melakukan penginjilan, kalau dalam hati kita tidak ada rasa perduli terhadap orang-orang yang belum diselamatkan? Kalau kita belum melakukan semua itu, layakkah kita disebut sebagai hamba Tuhan yang baik? Hamba Tuhan yang baik adalah hamba Tuhan yang peka terhadap situasi sekitarnya. Sudahkah rasa peka itu ada si dalam diri kita? Syarat ke tiga yang harus kita lakukan untuk menjadi hamba Tuhan yang baik adalah: III. Dapat Melakukan Apa Yang Diucapkan (ayat 9) Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, melalui buang undi, Yunus didapati sebagai seorang pembawa malapetaka dalam kapal itu. Dan apa jawaban Yunus ketika ditanya asal usulnya? Dia menjawab: “Aku seorang Ibrani, aku takut akanTuhan, Allah yang empunya langit dan yang telah menjadikan lautan dan daratan.” Apakah jawaban tersebut salah? Sama sekali tidak! Dia memang orang Ibrani, dan dia memang hamba Tuhan yang seharusnya takut kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang, mengapa orang yang mengaku dirinya takut akan Tuhan, justru tidak taat kepada perintah Tuhan? Mengapa orang yang takut akan Tuhan begitu benci kepada orang Niniwe, bahkan ingin membinasakannya? Mengapa orang yang takut akan Tuhan tidak meminta pertolongan kepada Tuhan di saat semua orang kafir menyem-bah allah mereka? Mengapa orang yang mengaku takut akan Tuhan tidak mengucapkan doa pengakuan dosa ketika megetahui dirinya telah bersalah kepada Allah? Kalau kita membaca ayat 10, kita melihat justru orang-orang yang tidak menge-nal Allah yang mempunyai rasa takut kepada Allah. Mereka begitu ketakutan ketika mendengar siapa Allah Yunus, yaitu Allah yang empunya langit dan bumi, Allah yang menjadikan lautan dan daratan. Kalau kita baca ayat-ayat selanjutnya, sebenarnya siapakah yang lebih takut kepada Allah? Yunus atau para awak kapal? Apa yang dilakukan oleh para awak kapal ketika Yunus memerintahkan mereka untuk membuang dirinya ke laut? Mereka tidak segera melakukan itu, mereka masih berusaha untuk menyelamatkan Yunus dengan men-dayung kapalnya untuk dibawa ke daratan. Tetapi usaha mereka gagal, terpaksa mereka membuang Yunus ke laut, tetapi sebelum itu mereka berdoa dengan penuh ketakutan kepada Allah. Apa yang mereka ucapkan? Mereka memohon kepada Allah agar mereka tidak dihukum karena membuang Yunus. Mereka takut kalau tindakan mereka membuang Yunus ke laut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, sebab hal ini akan mendatangkan celaka yang lebih hebat bagi mereka. Oleh sebab itu dalam ayat 14 akhir, para awak kapal berkata kepada Tuhan: Sebab, Engkau Tuhan telah berbuat seperti yang Engkau kehendaki.” Perkataan ini menunjukkan bahwa mereka mengakui kemahakuasaan Tuhan, dan mereka begitu keta-kutan ketika berhadapan dengan Yahweh, Tuhan yang maha kuasa. Mereka takut, kalau Tuhan yang maha kuasa itu bertindak sesuai denan kehendak-Nya. Ia dapat menghukum awak kapal atas perbuatan mereka, tetapi dapat juga membenarkannya. Ketika Yunus telah dibuang ke laut, dan alam kembali tenang. Apa yang dilaku-kan oleh para awak kapal? Dalam ayat 16 ditulis, Orang-orang itu menjadi sangat takut kepada Tuhan, lalu mempersembahkan korban sembelihan kepada Tuhan serta mengikrarkan nazar. Kalau kita melihat bahasa aslinya, kata “sangat” ditulis dengan kata “gadol” yang berarti besar. Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan para awak kapal begitu besar ketika mengetahui siapa Allah Yunus, mereka langsung memberi persembahan kepada Allah sebagai rasa takut dan hormat mereka. Kalau kita pikirkan, Yunus dan bangsa Niniwe tidak jauh berbeda. Bagi Yunus, bangsa Niniwe adalah bangsa yang akan membawa malapetaka bagi bangsanya, tetapi dia tidak menyadari bahwa dirinya juga merupakan sumber malapetaka bagi para awak kapal dan orang Ninewe. Tetapi bagaimana sikap para awak kapal? Mereka masih tetap berusaha menyelamatkan Yunus, mereka masih menghargai nyawa Yunus. Tetapi bagimana sikap Yunus terhadap bangsa Niniwe? Tidak ada sedikitpun keinginan untuk menyelamatkan bangsa itu. Layakkah dia mengatakan bahwa dia takut akan Tuhan? Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, terlalu mudah bagi Yunus untuk mengucapkan “takut akan Tuhan”, tetapi terlalu sulit baginya untuk melakukan apa yang diucapkannya itu. Hal ini jauh berbeda denan Tuhan Yesus, sebagai hamba, Dia telah menunjukkan kepada umat manusia bahwa Dia bukanlah manusia yang hanya bisa berkata-kata tetapi tidak bisa melakukan apa yang diucapkan-Nya. Dia adalah hamba yang konsisten dengan ucapan-Nya sendiri. Perkataan kasih yang seringkali diucapkan benar-benar diwujudnyatakan dalam perbuatan-Nya. Tuhan Yesus siap menerima siapa saja yang mau datang kepada-Nya. Dan puncak dari bukti ucapan-Nya yaitu ketika Dia naik ke atas kayu salib. Saat itu semua orang bisa merasakan kasih itu, ketika Tuhan Yesus berseru diantara penderitaan-Nya: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Bapak, Ibu dan Saudara yang dikasihi Tuhan, bagaimana kehidupan kekristenan kita selama ini? Sudahkah kita melakukan apa yang sering kita ucapkan? Seringkali kita mudah mengatakan sesuatu hal, tetapi sulit untuk melakukannya. Dan ketika kita melakukan hal seperti itu. Bagaimana penilaian orang-orang di sekitar kita, khususnya orang-orang yang belum percaya? Bukankah begitu banyak orang yang tidak mau percaya kepada Kristus hanya karena orang-orang Kristen yang disebut sebagai hamba Tuhan tidak bisa melakukan apa yang sering diucapkannya? Bukankah begitu banyak orang yang meninggalkan gedung gereja dikarenakan kecewa melihat orang-orang Kristen yang hanya bisa ngomong, tetapi tidak bisa melakukannya? Bapak, Ibu dan Saudara sekalian, hamba Tuhan yang baik adalah hamba Tuhan yang bisa melakukan apa yang diucapkannya. Penutup: Bapak, Ibu dan Saudara yang dikasihi Tuhan, ketika menjadi orang Kristen dan ketika menjalani jalan persembahan sebagai hamba Tuhan, hal yang paling saya takutkan adalah kalau saya tidak bisa melakukan apa yang telah saya katakan atau khotbahkan hari ini. Di atas mimbar, saya bisa mengoreksi kehidupan Yunus, saya bisa mengajak Bapak, Ibu dan Saudara sekalian untuk taat kepada perintah Tuhan, untuk peka terhadap situasi sekitar kita dan untuk bisa melakukan apa yang kita ucapkan. Tetapi bisakah semua itu saya lakukan ketika saya sudah turun dari mimbar ini? Dan bisakah saya menjadi hamba Tuhan yang baik yang hidupnya diperkenan oleh Tuhan? BISA, kita semua harus belajar taat, selalu peka dengan situasi, kita harus belajar mengasihi Dia, Tuhan percaya bahwa kita bisa menjadi hambaNya yang baik, maukah kita taat dan setia padaNya ? Mari kita berdoa. AMIN. | |