sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

Berbahagialah Orang yang Berdukacita

Matius 5: 4

Penulis : Pdt. Benny Solihin

Tujuan :Agar jemaat dapat belajar bahwa dukacita itu tidak selamanya berada dalam kehidupan kristiani, pengampunan dan rahmat Tuhan itu lebih dari segalanya. Keselamatan itu lebih penting dari segalanya.

Pendahuluan

Suatu pagi, seorang ayah membangunkan  putranya untuk pergi ke sekolah. Sang anak dengan suara marah berteriak dari ranjangnya bahwa ia mempunyai tiga alasan mengapa ia tidak mau pergi sekolah. “Pertama, sekolah itu melelahkan; kedua, sekolah itu memusingkan; ketiga sekolah itu membosankan” katanya. Sang ayah berkata, “Baik nak, jika engkau mempunyai tiga alasan mengapa engkau tidak mau pergi sekolah, maka ayah juga mempunyai tiga alasan mengapa engkau harus  pergi ke sekolah. Pertama, itu adalah kewajibanmu; kedua umurmu sudah empat puluh lima tahun; ketiga, kamu adalah kepala sekolah!”

     Saudara-saudara, cerita lucu itu mencerminkan sesuatu yang tidak lucu, bahkan sesuatu keburukan yang sangat serius. Kita melihat figur seseorang yang seharusnya menjadi teladan dan tumpuan, justru tidak mencerminkan apa yang diharapkan. Ia lebih senang tidur dan mengabaikan semua tanggung jawabnya.

     Pada waktu kita menyelidiki ucapan Tuhan Yesus dari khotbah di bukit, maka kita akan melihat  bahwa kita hampir tidak ada bedanya dengan figur kepala sekolah tadi. Walaupun kita sudah lama menjadi orang Kristen dan bahkan berpredikat pelayan, tetapi kita masih senang “tidur” dan tidak peduli dengan tanggung jawab dan predikat yang melekat pada diri kita. Kita perlu suatu kebangunan dalam kehidupan rohani kita agar kita dapat melayani Tuhan seperti yang dikehendaki Tuhan sendiri. Namun, darimana kita mulai kebangunan itu?  Saudara-saudara, tidak ada kebangunan sejati, tanpa pertobatan, tidak ada pertobatan tanpa kesedihan, dan tidak ada kesedihan tanpa duka cita yang sungguh.

 

     Pertamakali saya membaca ayat ini mengalami kebingungan. Saya tidak mengerti arti ayat ini. Yang saya lihat adalah suatu paradoks dari nalar yang sehat. Saya pernah mendengar orang berkata, “Berbahagialah orang yang sukses”; “Berbahagialah orang yang hidup rumah-tangganya harmonis”; “Berbahagialah orang yang berbahagia”, tetapi saya  belum pernah mendengar apa yang dikatakan Yesus, “Berbahagialah orang yang berduka-cita”. Pertanyaan yang muncul dalam diri saya ketika membaca ayat ini adalah bagaimana mungkin seseorang akan berbahagia jika mereka berdukacita? Atau dapatkah seseorang yang sedang berdukacita mengalami kebahagiaan? Dapatkah kebahagiaan dan kedukaan berjalan bersama-sama?

Orang bisa berdukacita karena berbagai sebab. Ada orang yang berdukacita karena kehilangan seorang kekasih; karena musibah yang melanda keluarganya; karena krisis ekonomi yang berkepanjangan; karena patah hati. Namun ada juga orang berdukacita karena hasratnya tidak terpenuhi; atau karena niat jahatnya tidak tercapai. Tentu saja bukan dukacita yang demikian yang ada di dalam pikiran Yesus ketika Ia berbicara tentang ayat ini. Karena dukacita seperti itu tidak akan pernah  mendatangkan kebahagiaan.  Lalu duka cita apa yang Yesus maksudkan di sini?

 

Kesedihan atas keadaan diri sendiri

Saudara-saudara,  Yesus datang ke dalam dunia membawa kerajaan Allah dan segenap nilainya. Apa yang diucapkan Yesus di dalam khotbah di bukit adalah norma-norma hidup warga kerajaan Allah. Apa yang dikatakan-Nya mungkin menjadi hal yang lucu dan tidak masuk diakal bagi orang-orang yang mendengar-Nya pada waktu itu dan juga bagi kita yang hidup pada masa kini. Persoalannya bukan terletak pada anehnya jalan pikiran Yesus, tetapi pada betapa jauhnya norma hidup manusia telah menyimpang dari pada apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan, Sang Pencipta.

Kehidupan keagamaan kaum rohaniwan pada saat itu, yaitu orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat tidak lagi mencerminkan hidup warga kerajaan Allah.  Mereka tidak pernah merasa kasihan dan berduka melihat orang banyak yang lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.  Mereka bertindak seperti polisi Allah yang menjaga Taurat dengan ketat tanpa kasih, mereka merasa diri mereka yang paling benar, paling saleh, paling mengenal Allah, dan berkenan kepada Allah.  Oleh karena itu, dalam kalimat kedua dari khotbah-Nya di bukit, Ia berkata, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.”

Ada sembilan kata Yunani yang berbeda di dalam Perjanjian Baru yang dipakai untuk melukiskan kesedihan. Yang tercantum dalam ayat ini (penthountes, mourn) adalah salah satu kata yang paling kuat, paling dalam, paling menyentuh, paling emosional untuk melukiskan suatu kesedihan. Kesedihan ini setara dengan kepiluan hati seseorang yang berduka karena kematian orang yang sangat dikasihinya sehingga yang tinggal padanya hanyalah sebuah hati yang hancur, hati yang tidak berbahagia. Oleh karena itu, kata-kata Yesus dapat pula kita terjemahkan sebagai berikut: “Berbahagialah orang yang tidak berbahagia”.  Ia melihat dukacita dari sudut kerajaan Allah, dari sudut kehendak Allah, yang dapat kita sebut dukacita ilahi.

Dukacita yang Yesus maksudkan adalah yaitu suatu kesedihan yang dalam yang dialami oleh seseorang ketika ia menyadari atau melihat keadaan batin atau rohaninya yang rusak karena dosa, yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk tidak bersalah, tidak berdosa di hadapan Allah. Kesedihan ini begitu mendalam sehingga ia terus meratapinya dan membawa penyesalan yang dalam. Penyesalan yang dalam inilah yang membawa ia kepada pertobatan yang sejati dan pertobatan yang sejati inilah yang membawa ia menerima anugerah Allah dalam bentuk pengampunan atas dosa-dosanya. Inilah yang pada akhirnya membawa ia dalam kebahagian yang luarbiasa.

 

 

Contoh-contoh dalam Alkitab

Dukacita seperti ini pernah dialami oleh Petrus sehabis ia menyangkal mati-matian di hadapan para penuduhnya bahwa ia tidak mengenal Tuhan Yesus yang sedang diadili dan pada saat itu ayam pun berkokok. Alkitab berkata, ‘ ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya’  (Luk.22:62). Hatinya hancur karena ia menyadari ketidakmampuannya untuk setia kepada Tuhannya, dan menyesal atas kepengecutannya. Ia malu menyadari bahwa ia tidak lebih dari sekedar tukang bual yang tidak mampu menghadapi realita yang menakutkan.

Daud  juga mengalami hal yang sama ketika ia jatuh di dalam dosa yang sangat memalukan. Dengan caranya yang licik dan tak terbaca oleh seorangpun ia membunuh Uria dan menikahi jandanya, Betzeibah. Namun Tuhan tak dapat diperdaya oleh Daud dan mengutus Natan, hamba-Nya untuk menegurnya. Ketika Daud ditegur oleh Natan ia sadar dan berkata kepada Allah dalam Mazmur 51:5-6,  “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku, terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang kauanggap jahat…”  Daud telah berdosa terhadap Allah dan ia tidak dapat lari dari dosanya. Ia berdukacita karenanya, bukan karena ia telah tertangkap, tetapi karena ia telah melakukan dosa itu sendiri. Perbuatan ini telah menghina Allah, dan telah menghacurkan hati Daud. Ia menyikapi dosanya dengan serius.

Paulus pernah menjerit pilu ketika ia menyadari bahwa ia begitu kotor di hadapan Allah, ia berseru, “Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rom.7:24). Ia merasakan kesedihan yang mendalam atas ketidakkuasaan dirinya untuk bebas dari dosa dan melakukan kehendak Allah. Ia menyesal dan penyesalan ini membawa ia untuk melihat Allah sebagai satu-satunya jalan keselamatan ketika ia berkata, “Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (Rom.7:25).

Dan ia menulis kepada jemaat di Korintus tentang dukacita ilahi di dalam 2 Kor.7:10-11, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa  keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian. Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar…”  yang Paulus maksudkan adalah suatu kesedihan atas dosa yang akan memimpin kepada suatu pertobatan.

Petrus, Daud dan Paulus merasa sedih luar biasa pada waktu mereka mendapati diri mereka adalah orang-orang yang tidak berdaya karena dosa. Kesedihan mereka merupakan wujud keseriusan mereka dalam menyikapi dosa.

Menyikapi dosa secara serius berarti bahwa kita sungguh berdukacita atas kondisi sifat keberdosaan kita. Peringatan Alkitab di mana kita harus serius dalam menyikapi dosa ditunjukkan dengan kata Yunani yang dipakai untuk berdukacita. Seperti seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga atau yang paling ia kasihi dan terus menerus ia meratapi, karena kata  ini ditulis dalam bentuk present participle. Dan ini merupakan sesuatu yang serius. Sama seperti Allah yang sangat serius dalam menyikapi dosa, sehingga dikatakan bahwa mata Tuhan terlalu suci untuk melihat kejahatan (Hab.1:13), demikian seharusnya kita menyikapi dosa-dosa kita.

 

Bagaimana seriusnya Allah menyikapi dosa?

Keseriusan Allah dalam menyikapi dosalah yang menyebabkan: Ia terpaksa mengusir Adam dan Hawa yang dikasihi-Nya ke luar dari taman Firdaus; Ia tidak membiarkan Kain lari dari tanggung jawab atas darah adiknya yang tertumpah; Ia terpaksa menurunkan air bah dan berkehendak menumpas seluruh manusia di bumi ini pada waktu zaman Nuh;  amarah-Nya bangkit membinasakan 3000 orang Israel yang mendirikan dan menyembah patung anak lembu emas.

Dalam pandangan Allah, dosa sedemikian seriusnya sehingga tidak ada  hal lain yang dapat menghadapinya kecuali kematian Putra tunggal-Nya sendiri, Yesus sendiri. Tatkala paku-paku yang tajam dipantekkan ke tangan dan kakinya Tuhan Yesus dan mencabik daging yang lunak Yesus tetap tahan. Yang menahan-Nya bukanlah ketidakberdayaan diri-Nya, tetapi justru ketidakberdayaan manusia melepaskan diri dari cengkeraman kuasa dosa. Ia merelakan menjadi tumbal diri Saudara dan saya.

Karena dosa Saudara dan saya Ia menderita berjam-jam di atas kayu salib. Dan Allah Bapa terpaksa memalingkan wajah-Nya dari Anak-Nya yang penuh dengan dosa. Berbahagialah orang yang melihat salib dan merasa ngeri serta tertekan oleh kedahsyatan dosa. Orang seperti itu tidak akan pernah memegahkan dirinya dan selalu merasa miskin di hadapan Allah.

 

Aplikasi:  Bagaimana seriusnya Saudara menyikapi dosa Saudara?

Apakah hati Saudara hancur ketika Saudara telah berdosa kepada Allah? Apakah Saudara berdukacita atas dosa-dosa Saudara? Atau Saudara menikmati dosa Saudara? Apakah Saudara pernah mengalami kesedihan ilahi yang membawa Saudara kepada pertobatan yang sejati? Seperti pemungut cukai yang ada di bait Allah, apakah Saudara menundukkan kepala Saudara dalam kesedihan dan berkata, “Allah kasihanilah aku orang berdosa”?

Dukacita seperti ini harus ada di dalam diri kita sebelum  kasih Allah dapat Saudara rasakan. Pertobatan mendahului berkat dari Allah. Tidak akan ada suatu kebangunan dan pembaharuan tanpa pertobatan, dan tidak akan ada pertobatan tanpa dukacita ilahi. Jika kita tidak datang ke tempat di mana kita sungguh menanggisi dosa-dosa kita, kita tidak akan pernah melihat tangan pengampunan Allah dinyatakan kepada kita.

Kekristenan mulai dengan kesadaran tentang dosa. Berbahagialah orang yang secara sungguh-sungguh menyesal karena dosa-dosanya. Berbahagialah orang yang hatinya hancur, karena dosa yang telah. Berbahagialah orang  yang melihat salib dan merasa ngeri serta tercekam oleh kedahsyatan dosa.

Saya kuatir, kalau-kalau kita orang Kristen lebih banyak menekankan arti anugerah Allah, tetapi semakin menyepelekan arti dosa. Mungkin hanya ada sedikit orang Kristen yang sungguh-sungguh berdukacita atas dosa yang telah dan masih diperbuatnya.  Inilah pokok yang kita perlu perhatikan.

Di mana-mana, bahkan di antara orang-orang Kristen, dosa nampaknya tidak lagi dilihat sebagai hal yang serius. Banyak hamba Tuhan yang dengan lantang mencerca dosa, tetapi  tidak lagi memperhatikan dosa-dosa yang melekat di dalam hidupnya, misalnya kesombongan, merasa diri benar, dan sikap menghakimi.

 

Penghiburan ilahi

Akibat dari kesedihan dan penyesalan dari dosa-dosa kita adalah datangnya penghiburan ilahi, Allah akan menghibur kita, ini adalah janji Allah.  Itu berarti bahwa dosa yang atasnya kita sungguh berdukacita akan diampuni.

Daud, yang mengetahui bagaimana rasanya berdosa terhadap Allah, menulis dalam Maz.32:1, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!” Di tempat yang lain, Maz.30:11, Daud berseru, “Aku yang merana telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita…”  Pada waktu dosa kita diampuni Tuhan, kita akan merasa sukacita yang besar di hati kita.

Kita sungguh-sungguh bahagia. Inilah maksud dari dukacita kristiani yang sejati.

Ketika Yesaya menceritakan tentang kedatangan Mesias, ia berkata bahwa salah satu tujuannya adalah “Untuk menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung” (Yes.61:2-3). Apa yang dimulai dengan dukacita akan berakhir dengan teriakkan sukacita. Ketika kita mengalami pengampunan dan rahmat Allah itu akan membuat kita menari dengan penuh sukacita.  Saudara, datanglah kepada Allah dengan dukacita dan akuilah semua dosa Saudara, maka anugerah pengampunan-Nya akan melingkupi Saudara, dan kemudian Saudara akan mengalami kebahagiaan yang sejati.

Amin.

====================================