| |
KESATUAN JEMAAT SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA ALLAHFilipi 2: 1-11
Tujuan: Agar jemaat mau melihat teladan Yesus Kristus dalam inkarnasiNya, sehingga mereka dapat hidup bersama dengan rukun.
Pendahuluanú Sejarah gereja memperlihatkan bahwa ancaman yang terbesar bagi kesatuan komunitass Kristen bukan datang dari luar tetapi justru muncul dari dalam. Perselisihan dan perpecahan jauh lebih efektif untuk membuat tubuh Kristus kehilangan hakekatnya dibandingkan tekanan dari pihak orang-orang yang tidak seiman. ú Dan celakanya, sebagian besar perselisihan dan perpecahan di dalam gereja dapat terjadi karena faktor para aktivis dan hamba Tuhannya. Mereka yang seharusnya menjadi unsur peredam, penenang justru menjadi provokator yang handal dan potential. ú Sdr-sdr. hal seperti ini seharusnya membuat kita prihatin dan perlu memikirkan apakah sebenarnya kunci kesatuan dan kerukunan sebuah komunitas Kristen itu? ú Kesamaan visi? ú Kesamaan doktrin? ú Kesamaan suku, sosial, dan strata ekonomi? ú Kehandalan seorang pemimpin? ú Kehandalan management? Semua itu memang menjadi faktor penunjang dari kesatuan sebuah gereja atau komunitas Kristen, tetapi tetap faktor-faktor itu tidak menjamin kesatuan dan kerukunan itu bisa tercapai.
ú Untuk melihat kunci kesatuan sebuah gereja atau suatu komnuitas Kristen, mari kita mencari tahu dahulu apa yang menjadi masalah utama yang menyebabkan sebuah gereja tidak dapat hidup bersatu. Ayat 2-4 menjelaskan hal itu: 1. Sikap yang mencari kepentingan diri sendiri; menganggap diri lebih utama dari yang lain. 2. Sikap mencari puji-pujian yang sia-sia; sikap penonjolan diri.
Dengan perkataan lain, sikap egois dalam diri orang-orang Kristenlah yang menjadi penyebab utama perselisihan gereja. Egoisme adalah isme yang sama bahayanya dengan Liberalisme, Materialisme, Hedonisme atau Rasialisme. Egoisme menjerat, mengikat jiwa orang Kristen sehingga tidak lagi mempunyai jiwa yang merdeka: merdeka dari kepentingan diri dan merdeka dari kehausan akan puji-pujian yang sia-sia.
Latar belakangú Egoisme seperti ini juga ditangkap kehadirannya oleh Paulus dalam jemaat Filipi. Walaupun jemaat ini memiliki banyak kebaikan, tetapi Paulus melihat adanya suatu akar perpecahan yang jika dibiarkan akan sangat berbahaya. ú Setelah dalam Filipi 1:27-30 Paulus menasehati jemaat Filipi supaya mereka tetap berjuang dengan tidak gentar sedikit pun terhadap lawan-lawan dari orang-orang yang tidak seiman, dalam Filpi 2:1-11, Paulus menasehati mereka supaya tetap bersatu, kompak dan rukun. ú Untuk mengikis rasa egoisme ini dari tubuh jemaat Paulus memberikan kunci pemecahannya dan itu dapat kita lihat pada ayat 5. “Menaruh pikiran dan perasaan yang juga ada di dalam Kristus Yesus” dalam Alkitab Bahasa Indonesia sehari-hari diterjemahkan dengan “Hendaklah kalian berjiwa seperti Kristus.”
Paulus menekankan jemaat Filipi agar tidak membiarkan jiwa yang tidak merdeka, jiwa yang terikat dan destruktif itu untuk terus dibiarkan berkecambah di dalam komunitas mereka, melainkan mereka harus berjiwa seperti Kristus. Jiwa yang tidak terikat, jiwa yang merdeka.
Proposisi: Sdr-sdr. inilah kunci kesatuan dan kerukunan suatu gereja atau komunitas Krsiten, yaitu menaruh sifat jiwa Kristus yang merdeka itu ke dalam jiwa kita sehingga sifat diri yang egois itu dapat terkikis.
Kalimat TanyaSifat jiwa Kristus yang merdeka seperti apakah yang perlu kita taruh di dalam jiwa kita sehingga sifat diri yang egois itu dapat dikikis?
1. Sifat jiwa yang merdeka sampai tidak berkeberatan untuk menyampingkan hak diri-Nya (v. 6). “Kristus Yesus , yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,” Sebelum Yesus dilahirkan oleh anak dara Maria Ia adalah Allah. Setelah Ia menjadi manusia Ia tetap Allah. Dan setelah Ia bangkit dan naik ke surga Ia juga tetap Allah. Ia ada sebelum segala sesuatu ada; Ia bukan ciptaan tetapi Pencipta segala sesuatu yang ada. Sebagai Pencipta, Ia berhak mendapatkan penghormatan dari ciptaan-Nya. ú Pada waktu manusia pertama memutuskan untuk melanggar perintah Allah, manusia telah memposisikan dirinya untuk berseberangan dengan Allah. Manusia berusaha menggeser Allah dari fokus hidup mereka dan mengantinya dengan diri mereka sendiri. Manusia tidak lagi ingin menghormati Allah sebagai mana seharusnya, mereka memberontak dan dengan berani mereka menjadi seteru Allah. ú Dalam keadaan darurat perang itu, Allah berhak untuk menghukum manusia dan membinasakannya dengan kuasa-Nya. ú Atau setidak-tidaknya, Ia berhak untuk tidak perduli dengan nasib manusia yang telah memberontak terhadap-Nya, dan tidak perlu memikirkan tentang penebusan yang harus dilakukan-Nya, sehingga manusia sendirilah yang harus menanggung seluruh perbuatan dosa yang dilakukannya. Ia berhak melakukan semuanya itu!
Tetapi Ia tidak menganggap segala hak-Nya itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Yesus Tidak berpikir bahwa Ia harus memegang erat semua hak, semua kemuliaan-Nya itu untuk dirinya sendiri. Ia tidak mempunyai jiwa yang terikat seperti itu. Demi keselamatan manusia yang telah memberontak kepada-Nya, Ia tidak berkeberatan untuk menyampingkan semua hak yang dimiliki-Nya. Ia datang melawat manusia, menyapa mereka dan tinggal bersama-sama dengan mereka. Sifat jiwa Yesus Kristus seperti inilah yang Paulus ingin agar jemaat Filipi miliki.
Ilustrasi ú Keributan di Komisi Wanita: hal-hal sepele.
Aplikasi ú Sdr-sdr. betapa mudahnya kita juga sering terjebak dan ribut karena perkara-perkara kecil yang tidak signifikan dalam hidup bersama kita. Kita bisa ribut soal pemakaian mobil gereja, pemakaian ruang rapat, konsumsi, dll., yang sebenarnya semua hal itu cuma menunjukkan bahwa sifat jiwa Kristus yang merdeka itu masih jauh dari diri kita, sehingga kita sangat berkeberatan untuk menyampingkan hak diri kita bagi yang lain.
Di zaman di mana orang selalu berbicara tentang hak, jiwa yang merdeka tidak berkeberatan untuk menyampingkan haknya demi orang lain. Itulah keagungan jiwa seorang Kristen.
2. Sifat jiwa yang merdeka sampai rela untuk merendahkan diri-Nya (v.7a, 8b). 7
“Melainkan telah mengosongkan diri-Nya,”
Kalau kita coba memikirkan tentang penilaian orang-orang di sekitar Yesus terhadap diri-Nya, saya yakin hampir tak ada orang yang mengerti siapakah Dia sebenarnya. ú Secara lahiriah, Ia adalah seorang pemuda yang biasa-biasa saja. Berasal dari keluarga miskin, ayahnya, Yusuf, adalah seorang tukang kayu. Ia bukan seorang yang mempunyai pendidikan tinggi dan jabatan yang wah. Ia seperti kebanyakan pemuda lainnya, bersahaja. ú Tetapi sebenarnya, Kolose 1:19 mengatakan, “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia.” Seluruh kepenuhan Allah bukan sebagian tetapi semua, setara, sama dengan Allah. Di dalam diri pemuda Yesus yang bersahaja itu hadir kemahamulian Allah, kemahakuasaan Allah, kemahasucian Allah, kemahahadiran Allah dan seluruh atribut Allah yang lainnya.
Namun yang mengejutkan adalah tindakan-Nya pada waktu inkarnasi, di malam Natal pertama, saat manusia masih terus bermusuhan dengan Allah ribuan tahun lamanya. Paulus mengatakan “melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri”.
Apa artinya? Ia mengambil inisiatif untuk memecahkan kebuntuan hubungan manusia dengan diri-Nya. Ia rela melepaskan baju kemuliaan-Nya dan turun ke dunia mengenakan jubah kehinaan. Ia membuat diri-Nya menjadi manusia biasa yang terbatas, dan tidak nampak luar biasa. Ia memang tidak mengurangi sedikit pun hakekat dan sifat keilahian-Nya, tetapi Ia menambahkan atau mengenakan satu bentuk baru pada diri-Nya, yaitu wujud manusia, di mana penambahan ini justru menjadi pembatasan diri-Nya. § Allah yang bebas menjadi manusia yang terbatas; § Allah yang kaya menjadi manusia yang miskin; § Allah yang baka menjadi manusia yang dapat binasa. Ini berarti suatu perendahan diri bukan peninggian. Namun semuanya itu dilakukan-Nya dengan kerelaan bukan keterpaksaan. Atas kemaunnya sendiri bukan karena keharusan. Ia membuat dirinya sendiri menjadi nothing, tanpa reputasi.
Coba pikirkan, Ia adalah satu-satunya pribadi di dalam dunia ini yang pernah lahir dengan kemampuan untuk memilih orang tua macam apakah yang akan dijadikan orang tua-Nya dan di mana tempat kelahiran-Nya. ú Orang tua seperti apa yang dipilih-Nya? Seorang raja, pembesar, konglomerat, tuan tanah yang kaya raya? Tidak! tetapi seorang tukang kayu yang miskin. ú Tempat kelahiran seperti apakah yang dipilih-Nya? Sebuah kandang binatang dan sebuah palungan. Sebuah tempat tanpa harga diri, tetapi tokh Ia melakukannya dengan kerelaan tanpa perasaan takut tidak dihormati oleh orang lain. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang rendah hati.
Sementara Paulus melihat adanya kecenderungan jemaat Filipi untuk mencari puji-pujian bagi diri sendiri dan menganggap diri lebih utama, ia mengkontraskannya dengan sikap Yesus yang telah mengosongkan diri-Nya sendiri, yang telah merendahkan diri-Nya sendiri demi keselamatan manusia yang berdosa, keselamatan mereka. Maksud pengkontrasan ini jelas agar mereka meninggalkan sifat egosentris mereka dan memiliki sifat jiwa Kristus, jiwa yang rendah hati.
Iluistrasi: (Mrk.9:33-37) ú Murid-murid Yesus pernah terlibat dalam perbincangan yang menegangkan tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. ú Yesus memberi jalan kepada mereka agar mereka dapat menjadi yang terbesar, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yant terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuannya.” (Mrk.9:35).
ú “He must be the very last” suatu kalimat yang mengandung verb imperative active. Ini berarti suatu perintah agar kita secara sadar untuk terus menerus secara aktif memerangi keinginan untuk selalu menjadi yang terkemuka, menonjol, dihormati, dipuji dan dikaagumi. Sebaliknya, memilihi untuk menjadi yang terakhir (eskhatos), mengambil tempat yang paling rendah yang tidak diambil oleh orang lain.
Aplikasiú Mari kita evaluasi kehidupan kita selama ini di gereja, apakah sdr dan saya semakin hari menjadi orang yang semakin rendah hati. Saya akan membacakan beberapa pertanyaan evaluasi yang dapat kita pakai untuk mengintrospeksi diri kita sendiri. 1. Apakah kita adalah pribadi yang mudah menerima kesalahan yang kita buat atau cenderung untuk melemparkannya kepada orang lain? 2. Mudahkan kita berkata, “Maafkan saya, saya memang bersalah”? 3. Apakah kita adalah orang yang sangat sensitif ketika orang lain menertawai kita dan meremehkan kita? 4. Apakah kita sering tersinggung dengan ide atau perkataan orang lain? 5. Apakah kita dengan mudah memberikan pujian kepada orang lain yang layak menerianya? 6. Apakah kita akan tetap mendukung program-program gereja walaupun kita tidak dilibatkan sebagai panitia di dalamnya?
Sdr-sdr, di zaman di mana banyak anak Tuhan berlomba-lomba untuk mengaktualisasikan dirinya, jiwa yang merdeka tak terikat dengan kepentingan diri. Ia rela untuk merendahkan dirinya demi orang lain.
3. Sifat jiwa yang merdeka sampai bersedia melayani orang lain (v.7b-8) Sifat egois adalah sifat dari ú Jiwa yang selalu mementingkan diri sendiri.dan menganggap bahwa kepentingan diri sendiri lebih utama dari kepentingan orang lain. ú Jiwa yang selalu ingin dilayani tetapi tidak perduli dengan orang lain. ú Jiwa seperti ini pasti akan menjadi benih perusak kesatuan hidup bergereja. Paulus yang melihat jiwa seperti ini ada di dalam jemaat Filipi dan celakanya justru mengendap di dalam pemimpin-pemimpin rohani di Filipi. Dalam pasal 4:2 Paulus berkata, “Euodia kunasihati, dan Sintikhe kunasehati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.”
Oleh karena itu, ia mengajak mereka untuk melihat jiwa Yesus Kristus, Penebus mereka. Yesus bukan hanya rela menyampingkan hak diri-Nya dan merendahkan diri-Nya, melainkan juga “mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”
Menjadi manusia saja sudah merupakan suatu perendahan diri yang luar biasa, apalagi dengan kesadaran penuh, kemerdekaan, dan kerelaan-Nya Ia menjadi hamba. Ia mengambil predikat “hamba” bagi diri-Nya. Suatu status yang paling rendah di antara berbagai macam status saat itu. Status orang kecil yang tidak berarti untuk diperhitungkan. Predikat “hamba” secara harafiah adalah orang yang hidupnya hanya untuk melayani kebutuhan orang lain, dalam hal ini tuannya. Seorang yang tidak lagi mengkonsetrasikan hidupnya pada kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Ia berkata, “Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Sulit dibayangkan jika di dalam dunia ini ada seorang tuan yang mau menjadi hamba sungguhan, dan lebih sulit dibayangkan jika ada seorang raja yang menjadi hamba, namun tidak akan pernah kita mengerti dan hayati dengan benar bagaimana Tuhan, Pencipta alam semesta ini, menjadi hamba, bagi saudara dan saya.
Hal ini pasti tidak mudah diterima oleh jemaat Filipi. Mengapa? Karena jemaat Filipi adalah orang-orang Kristen keturunan Yunani. Dari sejarah kita mengetahui bahwa orang-orang Yunani adalah: ú Bangsa yang begitu menyanjung dirinya dan menganggap diri mereka sebagai bangsa keturunan dewa. ú Bangsa yang beradab dan jauh lebih unggul dengan semua bangsa di dunia ini. ú Bangsa yang sangat pandai dan berpengetahuan, bahkan Socrates, Plato, Aristoles berasal dari Yunani. ú Walaupun saat itu mereka dijajah oleh Romawi, tetapi dalam pandangan orang-orang Yunani bangsa Romawi adalah orang-orang barbar yang liar yang hanya bisa dan biasa menggunakan otot bukan otak. Mereka hanyalah bangsa yang suka meniru tetapi tidak kreatif. ú Bagi bangsa Yunani harga diri mereka terletak dalam menunjukkan kelebihan-kelebihan diri mereka. Perendah diri sama dengan kelemahan yang memalukan. Mereka masih merasa mereka adalah pemimpin dunia.
Sekarang Paulus memperhadapkan Jemaat Filipi, orang-orang Kristen keturunan Yunani yang mempunyai kebanggaan nasion yang luar biasa, dengan perendahan diri Yesus, Juru selamat mereka, yang turun menjadi hamba. Dapat kita bayangkan, pendekataan ini jelas mempunyai koefisien resiko kegagalan yang tinggi. Namun adakah cara lain untuk membuat seorang Kristen menghilangkan sifat tuannya selain melihat teladan Yesus yang mau menjadi bujangnya? Dan layakkah seorang Kristen berlindung di balik latarbelakang hidupnya sebagai dalih bahwa Ia sukar untuk berubah? Jikalau perhambaan diri Yesus di saat inkarnasi tidak dapat menembus latarbelakang hidup masa lalu seorang Kristen, maka tidak ada harapan lagi bahwa kita akan bisa berubah, dan Paulus pasti bertindak sia-sia, bahkan Kristus pun bertindak sia-sia.
Ilustrasi: Seorang koster gereja yang mendoakan 2000 anggota gerejanya
Aplikasiú Banyak orang yang merasa berhak untuk dilayani. Demikaian juga jemaat seringkali menuntut untuk dilayani, dilawat, didokan dan diperhatikan. Namun sebenarnya, panggilan hidup kita sebagai gereja adalah melayani bukan dilayani.
Saudara-saudara, di zaman di mana orang mengukur kebesaran dirinya dengan memperlihatkan berapa banyak orang yang melayaninya, jiwa yang merdeka justru tidak menuntut untuk dilayani melainkan melayani.
4. Sifat jiwa yang merdeka sampai bersedia mengorbankan diri demi orang lain (v.8)
“Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah mrendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Inkarnasi Yesus Kritus bukan hanya menuntut Ia untuk menyampingkan hak diri-Nya, merendahkan diri-Nya dan menjadi pelayan bagi semua, tetapi juga mengorbankan diri-Nya sendiri bagi orang-orang yang Ia layani. Ia mengerti bahwa pelayanan yang dilakukan-Nya mempunyai konsekuensi yang berat, yaitu kematian diri-Nya. Ini bukan suatu yang mudah bagi-Nya, bagaimana mungkin Ia yang setara dengan Allah dapat mengalami kebinasaan. ú Pergumulan yang berat nampak jelas ketika Ia berada di taman Getzemani, yang pada akhirnya Ia memilih untuk tidak memaksakan kehendak atau otoritas-Nya, sebaliknya Ia menundukkan diri-Nya pada kehendak Bapa-Nya di Surga. Ia taat, bahkan taat sampai mati.
Karena Ia adalah Allah yang mahakuasa, Ia juga berkuasa untuk memilih macam kematian apakah yang akan dijalani-Nya. Ia dapat memilih kematian dengan cara terhormat, cepat dan mudah, tetapi Ia tidak menggunakan hak pilih-Nya untuk kemudahan diri-Nya, sebaliknya Ia memilih sesuatu yang dihindari orang, salib. Ia secara sadar merelakan diri-Nya untuk menjadi “domba sembelihan” sebagai korban pengampunan dosa orang banyak. ú Itu adalah suatu cara hukuman mati yang dijalankan oleh pemerintah Romawi kepada seorang penjahat yang tidak dapat diampuni lagi karena terlalu besar dan kejam kejahatannya. Tidak ada satupun WN (warga negara) Romawi yang diizinkan mati di salib. ú Kematian bagi WN Romawi yang terhormat tetapi telah melakukan tindakan kriminal yang besar adalah dengan cara meminum segelas racun. ú Kematian bagai WN Roma yang biasa tetapi melakukan tindakan kriminal yang kejam adalah dengan dipancung kepalanya. ú Tetapi bagi WN non Roma yang melakukan tindakan kriminal yang kejam dan tak dapat diampuni lagi hukumannya dalah di salib. Ia rela mengkorbankan dirinya bagi kepentingan manusia yang berdosa yang seharusnya menerima murka Allah sebagai hukuman dosa yang manusia perbuat.
Jiwa pengorbanan Yesus yang seperti inilah yang ingin ditanamkan Paulus kepada jemaat Filipi di mana ia telah menemukan adanya sikap orang-orang yang mau mencari kepentingan sediri saja. Paulus mengajarkan mereka untuk mempunyi jiwa yang rela berkorban, seperti Jurselamat mereka, Yesus Kristus.
Aplikasiú Jika setiap kita sebagai anggota tubuh Kristus dalam hidup bersama menaruh jiwa yang ada pada Kristus itu ke dalam jiwa kita, maka saya yakin tidak akan ada lagi orang yang bertanya, “Apa yang dapat diberikan gereja kepada saya?”, tetapi “Apa yang dapat saya berikan untuk gereja, untuk tubuh Kristus, untuk sesama anggota gereja?”
Saudara-saudara, di zaman di mana semakin banyak orang yang berusaha untuk meraih sesuatu bagi dirinya, jiwa yang merdeka tidak berusaha dengan tidak lelah memikirkan apa yang dapat saya berikan untuk orang lain dan kepentingan orang lain.
| |