| |
LIDAH- UJIAN BESAR BAGI KARAKTER MANUSIA Nats : Yakobus 3:1-12 Penulis : Willyem Onggo Wijaya Tujuan : Mengajarkan jemaat untuk menyadari dan melakukan tuntutan Allah atas penggunaan lidah sebagaimana seharusnya dan yang selaras dengan iman
Pendahuluan Bertahun-tahun yang lalu –sebelum ilmu kedokteran berkembang seperti sekarang— para dokter umumnya melakukan dua hal untuk mengetahui keadaan kesehatan setiap pasien yang sampai di ruang kerjanya. Pertama, mengukur tekanan darah; kedua, ia akan mengatakan, ‘Buka mulutmu!’ atau, ‘Bolehkah saya melihat lidahmu?’. Hanya dengan melihat lidah kita, seorang dokter dapat mengatakan banyak hal mengenai kondisi kesehatan kita. Kejadian yang umum terjadi di ruang kerja dokter ini merupakan analogi yang penting dari kehidupan kekristenan setiap orang percaya. Dengan menguji lidah kita, Allah dapat mengatakan dengan tepat apa yang ada di hati kita. Maksudnya, segenap perkataan yang keluar dari mulut kita merefleksikan apa yang ada dalam hati kita. Allah dapat mendiagnosa kehidupan kerohanian kita dengan memeriksa perkataan lidah kita. Dalam hal ini, tepatlah apa yang pernah Oswald Chambers katakan, ‘The great test of a man’s character is his tongue’ (Ujian yang paling besar bagi karakter seseorang adalah lidahnya). Sebagai seorang anak Tuhan yang melayani, tidak satu pun pelayanan kita yang tidak mengandalkan lidah kita: berkotbah, konseling, mengajar, menghibur, pembesukan, dsb. Setiap kita tidak dapat mengelak terhadap kenyataan bahwa ada begitu banyak perkataan lidah kita yang tidak benar… seumur hidup kita atau selama pelayanan kita sampai hari ini. Saudara, saya percaya kita senantiasa, bahkan selalu, bergumul dengan lidah atau perkataan yang keluar dari mulut kita setiap hari. Bukan sekedar menyangkut pelayanan, pengajaran atau kotbah, tetapi juga menyangkut perkataan dalam keseharian yang tidak menjadi berkat bagi orang lain.
Tuntutan Menguasai LidahSetiap orang percaya dituntut untuk dapat menguasai lidahnya. George Duncan –seorang pengkotbah Amerika saat ini— mengatakan bahwa terlalu sering kita gagal dalam menguasai lidah kita. Ada dua masalah yang dikemukakannya berkenaan dengan sifat lidah, yaitu An inconsistency that is dissapointing (Ketidakselarasan yang mengecewakan, v. 10-12). Mata air seharusnya menawarkan kesegaran, tetapi yang saudara temukan airnya berwarna kehijauan; pohon apel seharusnya menawarkan makanan, tetapi yang saudara temukan penuh dengan ulat! Inilah yang dimaksudkan dengan ketidakselarasan! Seharusnya A, tetapi terjadi B. Semua jemaat dan rekan mengharapkan kita berbicara demi Kristus, tetapi tidak ada tindakan yang jelas dari kita. Sebaliknya, tidak seorang pun mengharapkan kita membicarakan keburukan orang lain, tetapi mungkin terjadi, justru kitalah yang paling suka bicara di belakang. · An impossibility that is demanding (Kemustahilan yang menuntut). ‘Tidak seorang pun berkuasa menjinakkan lidah’ (v.8). Ayat ini menyatakan betapa kita tidak dapat menolong diri kita sendiri; sepertinya kita semua mengidap suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Seakan-akan mustahil menguasai lidah kita, tetapi harus! Saudara, betapapun sulitnya menguasai lidah, kenyataannya kita selalu harus menggunakannya setiap saat. Karena itulah, penting bagi kita untuk menggunakan lidah kita dengan selayaknya, atau sebagaimana seharusnya (use properly). Setelah membaca perikop ini berulang-ulang, saya menemukan kalimat yang menarik ditengah-tengah analogi pengajaran yang padat ini. Ayat 4 menggambarkan bagaimana kapal yang amat besar dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil, menurut kehendak jurumudinya. Saudara, frasa ‘menurut kehendak jurumudi’ ini menunjukkan kepada kita betapa lidah tergantung pada pribadi. Lidah kita hidup sebagaimana kita hidup. Ia selalu mempunyai potensi untuk merusak maupun membangun seseorang; tetapi bagaimanapun juga lidah tidak dapat bergerak sendiri! Ia sangat tergantung kepada pribadi yang memakainya. Dapat dikatakan, lidah hanyalah alat… selamanya begitu! Saudara, Allah pun memperhatikan hal ini. Frasa ‘Allah berfirman’ atau sejenisnya tercatat banyak sekali sepanjang Alkitab. Frasa ini memberikan bayangan kepada kita seakan-akan Allah berbicara juga seperti kita, dengan kelengkapan mulut dan lidah beserta segala fungsinya. Untuk menyampaikan pesannya kepada manusia, Allah selalu dipersonifisikasi seakan-akan berbicara dengan lidah yang sama seperti kita, dan tidak sekalipun pernah tercatat Allah salah bicara. Tidak heran! Kepada nabi-nabiNya pun Allah dikatakan ‘menaruh perkataan-perkataanNya ke dalam mulut’ mereka (Yer 1:9) untuk menjaga perkataan mereka. Pelayanan para nabi dapat dikatakan adalah sebagai perpanjangan lidah Allah bagi dunia ini, tentu tidak boleh lalai. Bagian lain firman Tuhan mencatatkan sebuah Amsal yang sangat bijaksana, ‘janganlah menambahi firmanNya, supaya engkau tidak ditegurNya dan dianggap pendusta’ (Ams 30:6). Yang ingin saya katakan disini adalah Allah Pribadi sejak awalnya sudah memperhatikan pentingnya lidah sebagai alat dalam diri manusia. “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Im 19:2); tuntutan Allah ini berlaku secara utuh dalam setiap aspek kehidupan kita; termasuk lidah. Sebagai alat, lidah menjadi ujung tombak yang senantiasa perlu dikuduskan di hadapan Tuhan. Ingat bagaimana Allah memanggil Yesaya? Begitu Yesaya mengakui dosa lidahnya, seorang dari Serafim terbang dengan bara ditangan dan menyentuhkannya pada mulut Yesaya; demikianlah lidahnya dikuduskan untuk menjadi berkat. Allah tidak membiarkan lidah yang berdosa menjadi alat bagiNya! (Yes 6:5-7) Ingat apa yang Yesus katakan mengenai penyesatan? “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepadaKu, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut” (Mat 18:6). Celakalah dunia dengan segala penyesatannya! Saudara, dengan lidahnya yang cerdik iblis membujuk Hawa untuk memakan buah yang memikat itu; setelah kejatuhan manusia, dosa lidah jugalah dosa pertama yang dilakukan oleh Adam dan Hawa, saling menyalahkan (Kej 3). Demi nyawanya, Abraham, bapa orang beriman itu tidak mengakui istrinya sendiri di hadapan Firaun; dan Ishak mengikuti jejak lidah ayahnya. Karena kelalaian lidahnya, Esau kehilangan hak kesulungannya; karena kelihaian bersilat lidah saudara-saudaranya, ‘mati’lah Yusuf yang tidak mati itu di hadapan ayahnya, karena tidak dapat menahan lidahnya, Simson kehilangan berkat kekuatannya. Di Perjanjian Baru, karena tidak menguasai lidahnya, tercabutlah nyawa Ananias dan Safira karena uang yang tidak seberapa itu.
Aplikasi Saudara, Allah menuntut setiap umatNya untuk hidup kudus serupa denganNya. Hal ini tentu tidak dapat sejalan dengan lidah yang najis di hadapanNya. Kita semua di tempat ini adalah orang-orang yang dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas panggilannya dalam hidup kita, tentu Allah menuntut kita lebih daripada orang lain. Kita melayani, mengajar, berkotbah, terus menerus menggunakan lidah kita; adakah kita yakin lidah kita cukup kudus untuk Tuhan pakai? Adakah kita juga menggunakan lidah kita dengan bijaksana di luar konteks pelayanan kita? Iman, Hikmat, dan Perbuatan
Saudara, kembali pada perikop yang kita baca, menarik sekali menemukan bahwa sesungguhnya keseluruhan Surat Yakobus mempunyai tema yang unik. James Adamson dalam bukunya ‘James: The Man and His Message’ sampai pada kesimpulan bahwa tema sentral surat ini adalah ‘Faith at Work’ (iman dalam perbuatan). Di dalam analisa struktur yang dipaparkannya, Adamson mengaitkan semua isi surat dengan tema iman sebagai intinya. Semua bentuk tingkah laku dan perkataan berkaitan dengan ‘iman dalam perbuatan’. Hal ini sering juga dikaitkan Yakobus dengan kata hikmat (wisdom) yang juga cukup banyak muncul dalam surat ini. Dalam analisa struktur surat ini Adamson membagi psl. 3:1-12 ini menjadi dua bagian, yaitu: v. 1-6 diberinya tema ‘iman sejati akan menjaga lidah’ sedangkan v. 7-12 menjadi ‘iman sejati selalu bersifat selaras (konsisten)’. Kalau boleh disimpulkan, seorang yang beriman seharusnya senantiasa menjaga lidahnya supaya selaras dengan imannya kepada Kristus. Dalam perikop ini Yakobus bukan hanya sekali memberikan peringatan akan dosa karena lidah. Dalam 1:19 – setiap orang hendaknya cepat untuk mendengar dan lambat untuk berkata-kata, 1:26 – jikalau ada orang yang menganggap dirinya beribadah tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya, 3:14 – janganlah berdusta melawan kebenaran, 4:11 – janganlah kamu saling memfitnah, 5: 9 – janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, 5:12 – janganlah bersumpah demi surga… Saudara, mengapa ini begitu penting dan harus ditegaskan oleh Yakobus? v. 9-10 tertulis ‘Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita, dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini saudara-saudaraku, tidak boleh terjadi demikian.’ Keselarasan iman dan perbuatan ini menjadi penting karena faktanya memang selalu ada potensi dalam diri setiap pribadi untuk menjadi dualis: mengucapkan berkat sekaligus menyebabkan kejatuhan. Hal mana yang menjadi sangat umum sejak dulu kala sampai hari ini. ‘Hal ini saudara-saudaraku, tidak boleh terjadi demikian’ (v.10b). Pertanyaannya sekarang, yang mana diri kita yang sesungguhnya? Pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi sebuah refleksi bagi kita. Saudara, Kristus berbicara selama hidupnya sama seperti kita saat ini. Ada begitu banyak pengajaran yang keluar dari mulutNya, tidak satu pun kata yang salah. HikmatNya membuatNya terus diikuti oleh orang-orang yang menganggapNya sebagai guru; kelembutan lidahNya membuat Ia disukai. Tidak ada satu pun catatan dalam Alkitab yang mengatakan bahwa Kristus salah bicara; bahkan literatur di luar Alkitab memberikan sambutan yang hangat akan Kristus sebagai ‘guru’ yang kaya hikmat. Tidak ada catatan kesalahan lidah atau pengajaran yang dilakukanNya. Kristus sungguh-sungguh tahu bagaimana harus menggunakan lidahNya sebagaimana seharusnya. Ia menguasai lidahNya dengan sempurna! Yesus sungguh tahu bagaimana dan kapan harus bicara, kapan waktunya menahan lidahNya. Ingat kejadian ketika ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa seorang perempuan yang berzinah ke hadapan Yesus? Ketika orang banyak itu mencobai Tuhan Yesus dengan pertanyaan mereka, Yesus tidak menjawab mereka; Ia membungkuk dan menulis dengan jariNya di tanah. Lalu Ia hanya mengatakan sepatah kalimat pendek yang membuat semua orang meninggalkan tempat itu. Hanya satu kalimat pendek saja… dan kerumunan massa segera berubah menjadi kesunyian. Adakah Tuhan Yesus menjadi gentar? Adakah pendirian imanNya berubah? Adakah kesalahan lidah yang dilakukanNya? Tidak! Dengan hikmat, Tuhan Yesus hanya mengatakan apa yang memang perlu dikatakan untuk mengingatkan orang banyak itu. Dia tetap lurus, Ia tetap konsisten, terus konsisten sampai akhir hidupNya. Demikianlah Kristus menjadi teladan bagi kita. Saudara, setelah melihat begitu banyak kasus yang tercatat dalam Alkitab, kita dapat menemukan bahwa menguasai lidah bukan sekedar berarti menahan perkataan yang buruk. Allah menuntut kita untuk menggunakan lidah kita sebagaimana seharusnya; dan Kristus telah meneladankannya untuk kita. Kesalahan lidah tidak hanya terjadi karena ucapan yang sia-sia, tidak hanya berarti dusta, kebohongan, kesalahan pengajaran, fitnah, ucapan kotor, dsb. Kesalahan lidah juga seringkali berkenaan dengan waktu berkata-kata yang tidak tepat, kurang bijaksana dalam pengontrolan emosi; dan yang seringkali tidak kita sadari adalah ada waktunya kita harus berbicara pada waktu kita tidak ingin bicara. Demikianlah Tuhan menuntut kita menggunakan lidah kita sebagaimana seharusnya. Ilustrasi Saudara, di sini saya berikan suatu kesaksian mengenai mahasiswa suatu Seminari atau Sekolah Alkitab, pada pertengahan Agustus 2001 yang lalu, mahasiswa yang ikut dalam perjalanan Misi malam pujian di tiga kota besar yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya, ada delapan puluh. Seluruh mahasiswa menyanyikan puji-pujian bagi Tuhan yang begitu indah dan dengan sangat baik, dengan lidah semua memuji, menyanyikan The Majesty and Glory of Your Name (sebuah nyanyian pengagungan bagi Tuhan), Sing unto the Lord (Ajakan untuk memuji Tuhan), beberapa lagu lain dan ditutup dengan kemegahan Haleluya - Handel yang segera memenuhi ruangan. Hebat! Luar biasa! Semua menyanyikannya dengan cukup baik. Ada pujian yang diterima. Hadirin yang hadir berdiri memberikan tepuk tangan yang meriah. Tetapi, tidak lama kemudian, lidah yang sama yang memuji Tuhan itu segera menjadi lidah yang melukai hati orang lain, lidah yang bungkam ketika melakukan pelanggaran, dusta, lidah yang bisa memfitnah, dsb. Yang mana diri kita yang sesungguhnya? Aplikasi Siapa yang dapat menghitung berapa banyak luka hati yang telah lidah kita timbulkan? Siapa yang dapat menghitung berapa banyak perkataan sia-sia yang kita ucapkan setiap harinya? Siapa yang dapat menghitung berapa banyak kesalahpahaman, keretakan, pertikaian, perselisihan, percekcokan, kecurigaan, ketegangan antar pribadi, –segala permusuhan— yang telah diakibatkan oleh lidah kita? Harus berapa lama lagi Allah bersabar terhadap lidah kita? Harus berapa lama lagi Allah menahan kekecewaannya karena ucapan lidah kita? Saudara, kita yang mengaku diri hamba Tuhan, orang yang percaya Tuhan Yesus,kita yang mengklaim diri dipanggil secara khusus oleh Tuhan… Yang mana diri kita yang sesungguhnya? Saudara, semua dari kita bergumul dengan lidah kita. Kenyataannya semua orang percaya –baik hamba Tuhan maupun awam— kesulitan untuk menguasai lidahnya. Rasanya mustahil untuk sungguh-sungguh bijak dengan lidah kita! Tetapi point yang penting untuk kita ingat adalah memang tidak seorang pun mampu menguasai lidahnya, tetapi Kristus bisa! Sebagaimana kita mematikan keinginan daging kita (Kol 3:5), membiarkan Kristus hidup di dalam kita dan melalui kita; hal yang mustahil itu akan ditangani olehNya. Sehingga yang tidak mungkin menjadi mungkin ! Saudara, dengan demikian, dalam hal penguasaan lidah ini, penting bagi kita untuk menyerahkan diri kita kembali kepada Allah. Tidak ada yang dapat kita lakukan tanpa pertolongan Tuhan. Baiklah kita belajar sebagaimana Allah bicara dengan Musa, “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni Tuhan? Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan.” (Kel 4:11-12). Amin. | |