| |
Tema : HUTANG YANG TIDAK PERNAH LUNAS Nats Alkitab : Roma 13:8-10 Penulis : Meydi Garing Sdr, dalam bukunya yang paling terkenal: SANG NABI, Kahlil Gibran, seorang penyair, ahli filsafat dan pelukis berdarah Libanon menuliskan: “Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia walau jalannya terjal berliku-liku; Dan pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu; Demi pertumbuhanmu, begitu pula demi pemangkasanmu. Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya, utuh-penuh. Pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki; karena cinta telah cukup untuk cinta. Pun jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta, Karena cinta, pabila kau telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupmu.” Saudara, Kahlil Gibran mencoba menggambarkan betapa cinta itu sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Cinta mencakup segala-galanya, bahkan bisa dikatakan, perjalanan hidup seseorang ditentukan oleh cinta. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang melatarbelakangi pemikiran Gibran ini. Tapi bukankah jauh sebelum Gibran hidup, yakni ± 1800 tahun (sebelum Gibran), telah ada seorang Filsuf Kehidupan yang sejati, yang berbicara mengenai cinta? Cinta yang lebih dalam maknanya daripada yang digambarkan oleh Gibran, dan orang lebih suka menyebutkannya dengan sebutan kasih. Kasih yang berbeda dengan yang dimiliki oleh dunia ini. Kasih yang membuat Dia menyangkali diri-Nya; kasih yang membuat Dia menyerahkan nyawa-Nya; kasih yang membuat berjuta-juta orang di dunia menjadi pengikut-Nya; kasih yang mengubah kehidupan banyak orang. Dan Ia memenangkan dunia ini dengan hukum-Nya yang paling terkenal, Hukum Kasih. Hukum inilah yang harus dilakukan dan terus dilakukan oleh setiap orang yang mengaku menjadi pengikut-Nya, demi memenangkan dunia ini bagi Dia. Oleh karena itu, setiap orang yang mengaku menjadi pengikut Kristus, ia harus melakukan hukum kasih yang telah diberikan Kristus bagi umat-Nya. Saudara, ada begitu banyak hukum yang bisa mengatur kehidupan suatu umat, tapi mengapa harus hukum kasih? Dari bagian firman Tuhan yang kita baca tadi, kita bisa melihat sedikitnya dua alasan, mengapa harus kasih: 1. Karena kasih tidak berbuat jahat (Ay. 10) Saudara, surat Roma ini ditulis oleh Paulus sebagai ganti bertatap muka langsung secara pribadi dan sebagai persiapan untuk menjadikan Jemaat Roma sebagai pusat pelayanannya. Oleh karena itu dalam surat ini Paulus sangat menekankan pengajaran tentang kebenaran. Tema utama surat Roma adalah pernyataan kebenaran Tuhan kepada manusia di dalam Injil, dan penerapannya pada kehidupan kerohanian manusia. Melalui surat ini Paulus menegaskan bahwa wawasan keselamatan yang dikaruniakan Allah adalah bersifat universal. Bahwa orang Yahudi dan non-Yahudi masuk dalam rencana penebusan Allah secara keseluruhan, karena semua orang, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi sama-sama telah berdosa, dan oleh karena itu sama-sama memerlukan keselamatan; dan bahwa keselamatan itu diperoleh semata-mata hanya karena kasih karunia Allah melalui iman dan bukan karena melakukan Hukum Taurat. Memang Sdr pada waktu itu ada 2 kelompok ekstrim yang berbeda: kelompok Kristen Yahudi dan kelompok Kristen non-Yahudi. Kelompok orang Kristen Yahudi berprinsip bahwa meskipun manusia diselamatkan oleh kasih karunia, tetapi manusia tetap harus hidup di bawah Hukum Taurat, jika ingin menyenangkan Allah. Sedangkan kelompok orang Kristen non-Yahudi berpendapat bahwa justru karena manusia diselamatkan oleh kasih karunia, maka Hukum Taurat tidak berlaku lagi. Manusia dibebaskan dari Hukum Taurat, oleh karena itu manusia bebas untuk hidup sesuka hati. Kedua pemahaman ini tentulah tidak benar, Saudara. Oleh karena itu Paulus berusaha meluruskan pandangan mereka dengan meletakkan dasar keyakinan mengenai kesinambungan Hukum Taurat dan Injil kasih karunia. Bahwa kedua hal itu tidak dipisahkan, dan bahwa Injil kasih karunia itu justru menyempurnakan Hukum Taurat. Paulus memusatkan perhatiannya pada inti persoalan – hati manusia. Karena jahatnya hati manusialah maka Allah menetapkan Hukum Taurat. Hukum untuk mencegah manusia berbuat lebih jahat. Tetapi hukum tidak dapat mengubah hati manusia; hati manusia tetap mementingkan diri sendiri dan penuh dengan berupa-rupa kejahatan. Hukum Taurat yang diberikan oleh Allah tidak dapat mengubah manusia. Hukum Taurat tidak dapat memampukan manusia melakukan yang baik. Hukum Taurat tidak dapat membebaskan manusia dari dosa. Sebaliknya, legalisme Hukum Taurat malahan menjadikan manusia munafik. Demi memenuhi tuntutan Hukum Taurat, maka perbuatan-perbuatan lahiriahlah yang diutamakan, tetapi sikap hatinya sungguh-sungguh tercela. Tidak heran jikalau Tuhan Yesus pernah menegur dengan sangat keras kepada orang-orang Farisi yang mengutamakan perbuatan-perbuatan lahiriah, “Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Mat. 23:27). Saudara, Hukum Taurat tidak pernah mengubah hati manusia agar tidak berbuat jahat. Karena itu hati manusia tetap penuh kejahatan. Oleh karena itu hati manusia hanya dapat diubah oleh kasih karunia Allah. Dan itulah yang kemudian dilakukan oleh Allah. Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita melalui Kristus yang mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Rm. 5:8). Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, melalui diri-Nya sendiri, yaitu ketika Dia berada di tengah-tengah manusia. Dengan kasih-Nya Dia menjangkau manusia, meraih manusia. Dengan kasih-Nya Dia rindu membawa manusia menjauh dari perbuatan-perbuatan yang jahat. Dengan kasih-Nya Dia mendamaikan diri-Nya dengan manusia, dalam ketaatan mutlak di kayu salib. Karena kasihNya, hati manusia yang jahat diubah, dilahir barukan. Dan kasih seperti yang ditunjukkan-Nya itulah yang diharapkan-Nya dilakukan oleh setiap pengikut-Nya. Mengasihi orang lain seperti halnya Dia telah mengasihi manusia; mengasihi orang lain seperti diri sendiri. Yesus berkata, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34-35). Dan perintah inilah yang kembali ditegaskan oleh Paulus, yaitu dalam surat Roma, Paulus dengan tegas menasehati orang-orang Kristen agar hidup di dalam kasih. Bukan hanya terhadap sesama saudara seiman, tetapi terhadap semua orang. Hidup dalam kasih berarti melekat pada kasih; melekat pada sesuatu yang baik. Jadi orang Kristen harus melekatkan diri pada sesuatu yang baik, dan mengusahakannya dengan segenap hati dan segenap tenaga, sehingga orang Kristen tidak akan betah berada dekat dengan yang jahat. Melekat pada kasih menyebabkan orang tidak berbuat jahat. Dan itulah kasih: tidak berbuat jahat. Segala larangan Hukum Taurat tidak akan dilanggar jikalau manusia mempunyai kasih. Segala perbuatan jahat bisa dilalukan jikalau manusia mempunyai kasih. Jikalau seseorang mempunyai kasih, ia tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan jahat: Ia tidak akan berzinah, ia tidak akan membunuh, ia tidak akan mencuri, ia tidak akan mengingini. Jikalau seseorang mempunyai kasih, ia tidak akan memegahkan diri, ia tidak akan sombong, ia tidak akan mencari keuntungan diri sendiri. Jikalau seseorang mempunyai kasih, ia tidak akan menyimpan kesalahan orang lain, ia tidak akan menggosipkan orang lain, ia tidak akan menghakimi orang lain, ia tidak akan merancangkan kejahatan apa pun terhadap orang lain, karena hatinya mempunyai kasih. Kasih tidak akan berbuat jahat, karena pada prinsipnya kasih tidak merugikan orang lain. Pertanyaannya sekarang, apakah kita memiliki kasih? Kita yang mengaku menjadi pengikut Kristus, adakah kita mempunyai kasih? Mungkin mudah untuk memiliki kasih terhadap saudara kita yang lemah, yang ditimpa musibah. Tapi adakah kita mempunyai kasih pada waktu saudara kita berbuat kesalahan? Adakah kita mempunyai kasih pada waktu orang lain jatuh dalam dosa? Adakah kita mempunyai kasih pada waktu kita menegur dan ditegur orang lain? Saudara, kita memang hidup di zaman anugerah, bukan lagi di bawah zaman Hukum Taurat. Tapi justru di zaman anugerah inilah seharusnya kita hidup dalam kasih. Melekat pada kasih, karena kasih tidak berbuat jahat. Saya yakin, jikalau kita mempunyai kasih, maka hukum-hukum yang ada tidak akan kita langgar. Marilah kita memelihara kasih, karena kasih menghindarkan kita dari perbuatan jahat.
Alasan kedua, mengapa harus kasih:
2. Karena kasih tidak habis dibayar (Ay. 8). Pada sebuah batu nisan kuno kubur dari seorang wanita Romawi tertulis: “Demikianlah dia telah mengakhiri hidupnya dengan tidak meninggalkan hutang apa pun kepada seorang pun juga.” Saudara, saya yakin setiap orang akan berusaha menyelesaikan hutang-hutangnya apabila ia tahu waktu hidupnya akan segera berakhir. Tapi ada satu hutang yang tetap tidak dapat dilunasi oleh siapa pun juga, termasuk Saudara dan saya. Itulah hutang kasih. Saudara, ayat ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan ayat sebelumnya, yang berbicara mengenai hutang yang harus dilunasi. Setiap pengikut Kristus berhutang kepatuhan dan kehormatan terhadap otoritas sipil yang dipercayakan Allah, tapi ia berhutang lebih banyak lagi terhadap semua orang (yakni sesamanya manusia), dalam hal kasih, karena tidak ada satu orang pun yang dapat berkata bahwa ia telah sempurna melaksanakan kasih. Sebab dalam kehidupan sehari-hari kasih itu merupakan tugas baru yang tidak pernah selesai secara tuntas. Kasih tidak pernah habis dibayar. Dan justru inilah letak keunggulan kasih. Hukum Taurat bisa melarang orang berbuat ini dan itu: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, dst. Dan apabila orang telah melakukan larangan tersebut, maka ia dianggap telah lunas membayar tuntutan Hukum Taurat. Tetapi kasih tidak hanya sampai di situ. Kasih menuntut lebih dari itu. Tuntutan Hukum Taurat hanya sampai menyangkut perbuatan, tetapi kasih menyangkut keinginan hati. Pada waktu dikatakan: Jangan berzinah, dan orang tidak melakukan perzinahan secara perbuatan, maka orang itu dikatakan tidak berzinah. Tetapi apa kata Tuhan Yesus? “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:27-28). Kasih tidak berakhir pada perbuatan saja, tapi kasih menuntut ke dalam hati. Kasih adalah sesuatu yang tidak ada habis-habisnya, karena pada dasarnya kasih itu merupakan suatu hutang, yang ketika coba diselesaikan, justru ia tidak pernah dapat terselesaikan. Ketika seseorang mengasihi, ia bukan melakukannya dengan tujuan untuk kemudian berhenti mengasihi, karena semakin kasih itu dipraktikkan semakin kasih itu tidak pernah cukup diberikan. Dan inilah yang coba dituturkan oleh Paulus. Paulus merangkumkan, “… barangsiapa mengasihi sesamanya manusia …”. Kata sesamanya manusia di sini berarti bukan orang yang kita pilih supaya dia kita kasihi, melainkan siapa pun yang kebetulan kita hadapi, termasuk musuh kita. Jika kita boleh memilih dulu siapa yang akan dianugerahi kasih kita, maka mengasihi orang lain itu tidaklah begitu sulit. Kita tinggal memilih orang-orang yang kita anggap simpatik, orang yang banyak berjasa terhadap kita, teman-teman kita, dan lain sebagainya. Kasih dengan gaya seperti ini biasa ditemukan di dunia ini. Tetapi sekali lagi, yang dituntut dari orang-orang percaya adalah “lebih dari yang biasa”. Kasih bukan sekedar perasaan hati, melainkan soal kemauan serta perbuatan. Kemauan untuk berbuat karena kita telah menerimanya terlebih dahulu dari Allah. Kita adalah orang-orang yang tidak pantas dikasihi, namun kita telah menerima kasih Allah. Kasih yang dicurahkan dengan begitu melimpah dalam hidup kita, bahkan terlalu melimpah. Menyadari hal ini, masih pantaskah kita menahan-nahan kasih kita kepada orang lain, dalam arti kita tidak mengasihi orang lain seperti diri kita sendiri? Saudara, bayarlah kasih yang harus kita bayar kepada sesama kita manusia, karena itu merupakan hutang kita yang harus terus berusaha dilunasi, meskipun kita tidak akan pernah dapat melunaskannya. Bayarlah kasih yang harus kita bayar, karena kita telah menerima kasih terlebih dahulu dari Allah. Allah telah “membayar” kita dengan kasih-Nya, oleh karena itu sepantasnyalah kita “membayar” kasih Allah itu dengan mengasihi orang lain, yang merupakan gambaran wujud Allah yang kelihatan di muka bumi ini. Ilustrasi: Saudara, dalam novel karya Catherine Ryan Hyde dikisahkan mengenai seorang anak yang bernama Trevor McKinney. Ia adalah seorang murid Sekolah Lanjutan Pertama yang hidup hanya bersama ibunya, karena ayahnya telah meninggalkan mereka. Ibunya adalah seorang pecandu alkohol yang harus bekerja di dua tempat sekaligus, siang dan malam, demi mencukupi kebutuhan keluarganya yang pas-pasan. Suatu kali di sekolahnya Trevor mendapatkan sebuah tugas. Oleh gurunya, Mr. Eugene Simonet, Trevor diminta untuk mengerjakan satu proyek studi sosial. “Pikirkan sebuah gagasan untuk mengubah dunia dan wujudkan itu dalam bentuk tindakan.” Mereka diminta untuk berpikir mengenai dunia, dan artinya bagi mereka serta apa yang dunia harapkan dari mereka? Satu pertanyaan polos yang diajukan pertama kali oleh Trevor adalah, “Bapak tidak akan meluluskan kami jika kami tidak mengubah dunia?” Saudara, satu proyek untuk mengubah dunia yang diwujudkan dalam bentuk tindakan. Bagaimana caranya? Trevor kecil begitu pesimis, apakah dia mampu untuk mengubah dunia. Itu terlalu mustahil bagi seorang anak kecil seperti dia. Dan bagaimana jika dia tidak lulus karena dia tidak dapat mengubah dunia? Pemikiran inilah yang kemudian menghantar Trevor untuk bertindak. Dengan kepolosan hatinya, dia berusaha menolong seorang gelandangan yang kecanduan narkoba dengan uang tabungannya supaya gelandangan ini bisa mendapatkan pekerjaan. Dan dengan kepolosan hatinya, Trevor meminta gelandangan itu untuk tidak membalas kebaikan hatinya, melainkan meneruskan kebaikan itu kepada 3 orang yang lain, dan demikian seterusnya. Pada awalnya Trevor menganggap proyeknya ini tidak berhasil, karena dia melihat bahwa usahanya untuk membawa gelandangan itu menjadi orang yang lebih baik tidak membawa hasil. Bahkan dia sendiri pun tidak mampu untuk menolong teman sekolahnya yang berbadan kecil, yang suka diancam dengan pisau oleh murid yang lain. Namun Saudara, ternyata gerakan “membayar di muka” dalam hal kebaikan ini telah menjamah sedemikian banyaknya orang, termasuk salah seorang reporter TV yang kemudian mengejar cerita ini untuk dijadikan bahan beritanya. Hingga suatu hari, Trevor McKinney diwawancarai secara langsung mengenai apa yang mendorong dia untuk mencetuskan aksi ini. Jawabannya sederhana, Saudara. “Saya melihat banyak orang yang menyedihkan, yang terperangkap dalam masalah mereka, dan mereka tidak mampu membebaskan diri mereka sendiri. Mereka hanya perlu orang lain untuk menolong mereka. Dan itulah yang harus saya lakukan. Memberi diri saya untuk menolong mereka. Menolong orang lain, tanpa pernah berharap orang itu akan membalas kebaikan saya. Yang perlu dilakukannya hanyalah membayar di muka untuk menolong orang lain juga.” Saudara, pada hari dia diwawancarai itulah, dia memperoleh keberanian untuk menolong teman kecilnya dari tusukan pisau murid lainnya, tapi justru pisau itulah yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Saudara, kisah ini menggugah saya. Bukankah seharusnya kita berbuat demikian? Kita yang adalah orang-orang Kristen, pengikut Kristus, kitalah yang seharusnya berbuat demikian, karena Kristus telah mati bagi setiap kita. Dia membayar di muka bagi nyawa kita, dengan harga yang sangat mahal: nyawan-Nya sendiri. Namun, adakah kita berusaha untuk membayar harga penebusan kita dengan mengasihi orang lain? Adakah setiap kali kita melakukan kasih, kita merasa ingin terus melakukannya? Atau adakah kita mengharapkan balasan dari kasih kita itu, sehingga tampaknya orang lain yang berhutang kasih pada kita, dan bukannya kita yang sedang membayar hutang kasih kita kepada Tuhan? Hutang yang tidak akan pernah lunas, karena kasih tidak habis dibayar.
PENUTUP Saudara, di penutup khotbah saya ijinkan saya mengutip perkataan Ibu Teresa: “Tebarkanlah kasih ke mana pun engkau pergi: pertama-tama di rumahmu sendiri … jangan pernah membiarkan seseorang datang kepadamu lalu pergi begitu saja tanpa merasa lebih bahagia dan lebih baik. Jadilah ungkapan kasih dan kebaikan hati Tuhan yang hidup; kebaikan hati di wajahmu, kebaikan hati di matamu, kebaikan hati di dalam senyummu, kebaikan hati di dalam salam hangatmu, sehingga dengan demikian engkau dapat memenangkan dunia ini bagi Kristus, dengan kasih. Ibu Teresa sudah membuktikan perkataannya. Bagaimana dengan kita? AMIN. ======================================== | |