sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

Tema               : Kesombongan manusia yang hina versus kerendahatian Allah  yg mulia                           

Nats Alkitab   : Yohanes 13:1-20

Penulis            :

Tujuan : Agar jemaat meneladani Tuhan Yesus menjadi orang yang rendah hati dan melayani orang lain

 

Pendahuluan

     Pembuat kapal Titanic mengatakan bahwa kapal tersebut adalah kapal yang tidak mungkin tenggelam.  Bahkan pembuat kapal Titanic ini mengatakan sebuah kalimat dengan sangat pongah, “God himself could not sink this ship”.   Kesombongan tersebut dibuktikan dengan disediakannya sedikit sekoci penyelamat pada kapal itu yang jumlahnya tentu saja sangat jauh dari mencukupi untuk mengangkut seluruh penumpang kapal tersebut.  Pada tanggal 10 April 1912, kapal itu berlayar pertama kali dari Southampton menuju New York.  Dan sejarah mencatat pada tanggal 15 April 1912 kapal tersebut tenggelam karena menabrak gunung es dan tenggelam di lautan Atlantik dengan 1502 penumpangnya tewas.

     Saudara-saudara, dalam Alkitab kita juga banyak menemukan peristiwa yang serupa dengan tenggelamnya kapal Titanic, yaitu keadaan manusia yang sombong. Manusia  sombong itu sesungguhnya adalah manusia yang  sangat terbatas dan hina. 

Misalnya, peristiwa pembangunan menara Babel yang dibuat untuk menunjukkan kedigdayaan manusia, tetapi akhirnya Allah yang Maha kuasa memporak-porandakan kesombongan manusia itu dengan mengacaukan bahasa mereka. 

Raja Nebukadnezar adalah seorang raja yang sangat sombong dan angkuh, dia yang membanggakan kemampuan dan kekuasaannya atas seluruh daerah jajahan Babel, tetapi sekali lagi Allah menunjukkan bahwa manusia yang congkak itu sangat terbatas dengan membuat raja itu terganggu jiwanya dan bahkan berlaku seperti binatang.

     Dalam perikop yang kita baca tadi, yang terjadi adalah hal yang sangat kontras sekali.  Meskipun Yesus adalah Allah yang Maha kuasa tetapi Ia tidak menunjukkan kuasa-Nya melainkan Ia merendahkan diri-Nya begitu rupa.

Dari pembacaan   firman Tuhan di Yohanes 13 tersebut kita dapat belajar beberapa hal yang penting.

     Peristiwa Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya ini terjadi pada waktu Yesus makan malam terakhir bersama dengan para murid yang dikasihi-Nya.  Kita perlu melihat beberapa peristiwa yang melatar belakangi pembasuhan kaki murid-murid ini,

·        dalam Matius 18:1, dikatakan bahwa murid-murid Tuhan Yesus bertanya kepada-Nya siapa yang terbesar di antara mereka, setelah mereka mendengarkan pemberitahuan yang kedua mengenai kematian Tuhan Yesus

·        dalam Matius 20:21, diceritakan mengenai permintaan Ibu Yohanes dan Yakobus, yang sebetulnya hal itu adalah keinginan dari  anak-anaknya (Mrk. 10:35-45), agar anak-anaknya duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus, bahkan hal itu dilakukan setelah Yesus memberi tahukan ketiga kali kematian-Nya kepada murid-murid-Nya

·        dalam Lukas 22:24, terjadi pertengkaran di antara para murid Tuhan Yesus, di sekitar meja makan pada saat perjamuan makan yang terakhir mengenai siapakah yang terbesar di antara mereka

Dari latar belakang peristiwa-peristiwa tersebut, sangatlah mungkin tindakan Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya adalah sebuah teguran kepada murid-murid-Nya yang terus-menerus bertengkar karena masing-masing dari mereka ingin menunjukkan diri mereka adalah yang terbesar.  Dan sangatlah mungkin tindakan Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya itu dilakukan pada saat mereka sedang bertengkar mengenai siapakah yang terbesar.  Mengapa demikian?  Jika  tindakan Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya dilakukan pada saat atau setelah mereka makan adalah tidak lazim. Budaya pembasuhan kaki   biasanya  dilakukan kepada tamu sebelum mereka duduk dan makan bersama. 

     Biasanya keluarga-keluarga yang kaya mempunyai budak yang berdiri di pintu untuk menuangkan air dari bejana dan berlutut untuk membasuh kaki tamu-tamu yang kotor dan berdebu, dan mengelap kaki tamu-tamu itu dengan kain lenan.  Dalam perjamuan Yesus dan murid-murid-Nya telah tersedia air dalam bejana dan kain lenan, tetapi tidak disediakan budak untuk membasuh dan mengelap kaki mereka.  Meskipun demikian, tidak ada satu pun di antara murid-murid Tuhan Yesus yang mau mengambil peran budak untuk membasuh dan mengelap kaki Tuhan Yesus dan murid-murid lain yang kotor, karena mereka masing-masing terlalu sombong dan bahkan mereka bertengkar untuk menunjukkan bahwa diri merekalah yang terbesar dari murid Yesus lainnya.  Tetapi, Yesus melakukan peran yang tidak mau dilakukan oleh murid-murid-Nya.  Yesus melepaskan jubah bagian atas-Nya, dan mengikat diri-Nya dengan kain lenan dan siap melakukan tugas seorang budak.  Perbuatan itu membuat Petrus sangat kaget (ay. 6), dan ia bertanya, “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”  Petrus bertanya dalam kebingungannya, seakan akan ia mau berkata, “Engkau yang adalah Guru, Mesias Tuhan, mau menjadi budak bagi kami semua?”

     Ayat 12-15 menjelaskan dengan gamblang apa arti tindakan Yesus itu.  “Sesudah Yesus membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengertikah kamu apa yang telah kuperbuat kepadamu?  Kamu menyebut Aku guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang akulah Guru dan Tuhan.  Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu.”  Dari jawaban Yesus ini seharusnya para murid belajar, bahwa kemuliaan diri seseorang tidak harus menjadikan dirinya sombong dan merasa hina melayani orang lain.  Sebaliknya, kualitas kemuliaan seseorang dilihat dari kerendahan hatinya ketika menganggap orang lain lebih perlu dilayaninya. 

     Saudara-saudara, Paulus melihat Tuhan Yesus sekalipun tidak pada peristiwa membasuh kaki murid-murid-Nya pada malam itu, sesungguhnya Ia telah merendahkan diri-Nya sama seperti seorang hamba.  Seperti yang tertulis dalam Filipi 2:5-8, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” 

 

Ilustrasi    

Dalam perang kemerdekaan Amerika pada abad ke-18 beberapa prajurit sedang mendorong sebuah gerobak yang terperosok ke dalam lumpur.  Mereka mendorong gerobak itu dengan sekuat tenaga, tetapi karena gerobak itu sangat berat dan terperosok cukup dalam gerobak itu tidak bisa keluar dari kubangan lumpur tersebut.  Di dekat empat prajurit yang sedang berjuang untuk mengeluarkan gerobak dari kubangan lumpur itu berdiri seorang kopral komandan regu dari prajurit-prajurit itu.  Kopral ini tidak membantu ke-empat prajuritnya tetapi hanya berteriak memberikan komando kepada anggota regu, “dorong terus, dorong terus.”  Kemudian, tiba-tiba datang seorang pengendara kuda.  Tanpa bertanya-tanya lagi orang yang berkuda itu turun dari kudanya dan langsung masuk ke dalam kubangan lumpur itu dan membantu mendorong gerobak yang terperosok itu.  Tidak lama kemudian, berkat pertolongan penunggang kuda ini gerobak itu berhasil dikeluarkan dari kubangan lumpur itu.  Kemudian penunggang kuda itu menghampiri kopral itu dan berkata kepadanya, “Kopral, kalau lain kali Anda membutuhkan pertolongan saya, silakan panggil saya, nama saya George Washington!”  Mendengar perkataan pengendara kuda itu, kopral itu langsung pucat pasi dan berkata, “siap, Pak!”  Bagaimana kopral itu tidak pucat pasi, karena pengendara kuda itu adalah Jendral Washington, panglima tertinggi Amerika, dia adalah presiden Amerika pada waktu itu.  Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan kopral tersebut pada waktu itu, seorang presiden saja mau terjun ke dalam lumpur untuk mengeluarkan gerobak, sedangkan dia hanya kopral tapi tidak mau membantu. 

 

Aplikasi   

Saudara-saudara itu baru seorang presiden yang mau terjun berkotor-kotor dalam kubangan lumpur.  Sangat beda sekali yang terjadi dengan Tuhan Yesus.  Ia adalah Allah sendiri tetapi Ia menjadi manusia.  Sebenarnya karena Ia Allah, Yesus sanggup memilih di mana dan dari pasangan mana Ia dilahirkan.  Tetapi yang mengherankan saya, Yesus tidak memilih dilahirkan dari pasangan bangsawan atau keluarga yang kaya tetapi Ia memilih untuk dilahirkan dari pasangan yang tidak kaya Yusuf dan Maria.  Yesus juga tidak memilih untuk dilahirkan di sebuah rumah yang mewah, tetapi Ia memilih untuk dilahirkan di sebuah tempat, yang bahkan tidak seorang pun manusia yang mau lahir di sana, yaitu di kandang. 

Dalam kehidupan-Nya di dunia, Yesus juga hidup dengan sangat sederhana, ia tidak memiliki rumah, bahkan kubur pun Ia dipinjami.  Cara mati-Nya pun sangat hina.  Hukuman salib adalah hukuman yang sangat hina pada jaman itu.  Untuk orang-orang biasa paling banter mereka dihukum dengan hukuman pancung. 

Tetapi hukuman salib hanya untuk pemberontak-pemberontak besar yang ingin menggulingkan negara  dan para budak.  Orang yang akan disalib tidak hanya mengalami penyiksaan secara fisik tetapi ia juga harus di arak keliling kota dengan memikul salibnya sendiri untuk mempermalukan dirinya.  Tidak hanya itu saja, orang yang disalib ia harus disalib di atas sebuah bukit agar semua orang melihat dan mereka tahu bahwa menjadi pemberontak negara resikonya hukuman salib yang sangat memalukan. 

     Saudara-saudara, Yesus  yang menjadi manusia juga adalah  Allah yang mulia, Dia telah merendahkan diri-Nya menjadi manusia yang terbatas.  Dan tidak hanya itu saja, Ia bahkan menjadi manusia yang hina.  Lahir ditempat yang sangat tidak layak, hidup dalam kehinaan, cara mati-Nya pun sangat memalukan dan ketika dikuburkan  Ia tidak punya tempat sehingga harus meminjam kubur dari orang lain.  Itulah kerendahan hati Allah yang mulia.  Kalau kita, sebetulnya untuk rendah hati pun kita tidak layak, karena sebetulnya kita adalah nothing!  Sesungguh kita sangat terbatas dan kosong!  Tidak ada satu pun kelebihan dalam diri kita yang patut kita banggakan jikalau kita membandingkan diri kita dengan Allah.  Tetapi seringkali yang terjadi adalah kita yang rendah dan hina terlalu sombong dan membanggakan diri kita. 

Penutup

Di sebuah gereja pernah diadakan kontes “jemaat yang paling rendah hati”.  Setelah melalui pemeriksaan dan diskusi cukup lama, akhirnya dewan juri memutuskan untuk memberikan gelar “jemaat yang paling rendah hati” kepada seorang bapak setengah baya.  Akhirnya, dalam sebuah kebaktian pada diri bapak tersebut disematkan sebuah lencana.  Di lencana tersebut tertulis, “Jemaat yang paling rendah hati.”  Minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, pada suatu pagi di hari Minggu bapak tadi melihat lencana tersebut di lemari pakaiannya.  Dan bapak itu berpikir dalam hatinya, “bagus juga, kalau lencana itu saya pakai menghadiri kebaktian pada hari ini, agar orang-orang mengingat bahwa saya adalah jemaat yang paling rendah hati.”  Kemudian bapak ini memakai lencana “Jemaat yang paling rendah hati, ”  ketika ia menghadiri kebaktian pada hari itu.  Salah seorang anggota dewan juri kontes “jemaat yang paling rendah hati” melihat bapak itu memakai lencana itu, dan ia segera mengumpulkan seluruh anggota dewan juri untuk berapat.  Akhirnya pada minggu berikutnya, diumumkan keputusan dewan juri kontes “jemaat yang paling rendah hati”, bahwa gelar “jemaat yang paling rendah hati” dari bapak tadi dicabut karena ia memakai lencana tersebut minggu lalu. 

     Saudara-saudara memang sulit bagi kita menjadi orang yang rendah hati.  Bahkan ketika kita memikirkan bahwa  kita adalah seorang yang rendah hati, sesungguhnya pada saat itu kita sudah bukan orang yang rendah hati lagi.  Kerendahan hati bukanlah hasil dari perjuangan dengan kekuatan  diri sendiri untuk  menaklukan si aku yang selalu mau menonjol, tetapi adalah hasil penyerahan diri secara total kepada Allah karena kita mengaku bahwa kita pada hakekatnya adalah seorang sombong yang sungguh sangat memerlukan pertolongan Tuhan untuk menjadi seperti Dia. Seorang penulis lagu menulis: “Jadikanku seorang tawanan Tuhan, maka aku akan bebas; paksa aku untuk menyerahkan pedang dan aku akan menjadi pemenang”. Bila kita mengakui ketidakberdayaan kita, Allah dapat menunjukkan diri-Nya berkuasa melalui kita dan kerendahan hati yang berasal dari Allah selalu mendorong kita untuk melihat orang lain lebih utama untuk kita layani. Itulah kemuliaan orang yang rendah hati.  

D.L. Moody pernah berkata, “ the measure of a man is not how many servants he has, but how many men he serves.   Semoga Tuhan membantu kita untuk menjadi seorang yang rendah hati dan melayani orang lain.

 

Amin.