sumber kristen

 www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

MENANG ATAS KESULITAN HIDUP

Teks                 : Kejadian 12:10-20

Penulis              : Bedjo

Tujuan              : Mengajarkan jemaat agar dalam menghadapi kesulitan hidup,

                           mereka senantiasa mengingat akan janji berkat Tuhan dan

                           bersandar pada pimpinan-Nya.

 

Pendahuluan

Pada suatu kali di sebuah kota, ada seorang pemuda yang sedang berjalan kaki melewati suatu jembatan lengkung yang terletak tinggi diatas arus lalu lintas di bawahnya. Sambil berjalan, dari jarak yang tidak jauh mata pemuda ini menatap pada seorang wanita yang berdiri membisu di jembatan itu. Wanita itu menatap ke bawah dengan suatu pandangan mata yang kosong dan putus asa, wajah yang begitu sedih terlihat jelas sekali dengan tetesan air matanya yang terus mengalir. Mengetahui bahwa wanita itu merencanakan sebuah tindakan yang berbahaya, pemuda itu segera menghampiri wanita itu dan berusaha membujuknya untuk menghentikan rencana tersebut dengan sabar. Wanita itu hanya bisa tertunduk dan terus menangis.

Kemudian  wanita itu menceritakan kehidupannya yang amat berat menanggung kesulitan hidup. Hutang yang besar akibat pemecatan suaminya dari pekerjaan, perilaku suaminya  yang stress, bermabuk-mabukan, marah-marah dan hampir setiap hari memukulinya. Belum lagi beban mengasuh anak, tidak ada jalan keluar. Mendengarkan pergumulan berat dari wanita itu, pemuda ini pun turut menangis tersedu-sedu. Ia sendiri teringat akan permasalahan hidupnya. Malu karena pengangguran walaupun sarjana, miskin, dianggap gagal. Mereka berdua terus menangis, merenungi akan sulitnya kehidupan yang harus mereka lalui. Satu jam kemudian polisi menemukan dua mayat di jalanan, dibawah jembatan tersebut.

Saudara, setiap orang di segala tempat, dalam berbagai lapisan umur dan status sosial, pernah mengalami yang namanya kesulitan dan masalah di dalam hidupnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita menghadapi pergumulan itu? Seringkali masalah dan kesulitan hidup dapat membawa orang pada tindakan-tindakan yang berbahaya dan berdosa dihadapan Tuhan. Sebagai orang beriman kita pun tidak terlepas dari kesulitan dan masalah dalam kehidupan kita. Oleh karena itu sebagai orang beriman kita harus mewaspadai bahaya-bahaya yang dapat terjadi apabila kita mengalami masalah dan kesulitan  dalam hidup ini.

Belajar dari perikop yang sudah kita baca, kita dapat menemukan paling sedikit ada dua bahaya  yang dapat terjadi apabila orang beriman mengalami masalah dan kesulitan dalam hidupnya :

1. Melupakan Janji dan Pimpinan Tuhan (Ay. 10 bdk. 12:1-3)

Saudara, nama Abram pertama kali muncul dalam Kejadian pasal 11. Berbeda dengan Nuh, Abram  tidak diperkenalkan sebagai orang benar yang memiliki hidup yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya di kota Haran, tempat dimana Allah memanggilnya. Panggilan Allah datang pada Abram sebagai suatu panggilan yang tiba-tiba dan suatu karunia semata-mata. Pada waktu itu Allah memerintahkan Abram untuk pergi ke suatu negeri yang tidak ia ketahui sama sekali, suatu perintah yang tentunya memerlukan ketaatan dan iman yang besar untuk melakukannya. Akan tetapi Allah tidak hanya memberikan perintah saja. Ia juga memberikan janji-janji berkat-Nya dalam kehidupan Abram secara melimpah apabila Abram taat kepada Tuhan.  Meresponi kehendak Allah itu, kita bisa menyaksikan suatu demonstrasi iman dan ketaatan yang luar biasa dari Abram. Ia taat kepada Tuhan dan pergi berjalan ribuan mil, tanpa mengetahui tempat yang ia tuju. Hal ini tentu bukan sesuatu yang mudah untuk dijalani. Ia hanya percaya akan janji dan pimpinan Tuhan  dalam hidupnya.

Sesampainya di tanah yang dijanjikan itu, Abram tentu berharap bahwa Tuhan akan segera memenuhi janji-janji-Nya. Wajar sekali apabila Abram mengharapkan bahwa Allah akan  segera menjadikan ia sebagai bangsa yang besar, memberikan nama yang masyur, serta kehidupan yang melimpah dengan berkat Tuhan. Bukankah semua itu  bukan permintaan Abram, tetapi atas dasar janji Allah sendiri.

Akan tetapi Saudara, realita seringkali berbeda dengan harapan. Sungguh tidak terpikirkan oleh Abram bahwa ia akan menghadapi suatu kesulitan yang besar. Suatu kelaparan yang hebat meliputi negeri Kanaan. Sangat mungkin Abram bertanya-tanya dalam hatinya mengenai janji Tuhan. Mengapa ketika ia telah mentaati panggilan Tuhan, justru kesulitan yang harus ia terima? Saudara disinilah iman Abram diuji kembali oleh Allah. Akan tetapi Abram justru memutuskan untuk pergi ke Mesir, ia meninggalkan tanah perjanjian Tuhan.

Namun demikian kepergian Abram ke Mesir ini tampaknya hanya untuk sementara waktu. KJV menterjemahkan “ …to stay there for a while”. Abram memang tidak bermaksud untuk meninggalkan tanah perjanjian selamanya. Akan tetapi jelas bahwa kepergian ini bukan atas perintah Allah. Ini berbeda sekali dengan kepergian Abram ke tanah Kanaan yang memang diperintahkan Allah.

Saudara, mungkin bagi kebanyakan orang, kepergian Abram ini tampak sebagai sesuatu yang natural dan wajar untuk dia lakukan. Kelaparan datang, dan ia pergi keluar dari Kanaan untuk mencari makanan. Tetapi telah jelas bahwa Allah memanggil Abram bukan untuk mati kelaparan tetapi untuk memberkati kehidupannya. Kelaparan datang bukan karena Allah tidak sanggup memberkati Abram tetapi karena Allah sedang menguji iman Abram.  Dalam hal ini Abram mengalami kegagalan. Abram memusatkan dirinya pada usahanya untuk mengatasi kesulitan yang datang padanya. Ia lupa bahwa Allah sendiri telah berjanji untuk menjamin kehidupannya di tanah perjanjian.

Saudara, suatu kali sesudah Yesus berdoa diatas bukit dan murid-muridnya telah meninggalkan Dia dengan perahu. Yesus menyusul mereka dengan berjalan di atas air. Ketika murid-murid yang lain ketakutan, Petrus berseru kepada Tuhan dan meminta peneguhan Tuhan untuk datang kepada-Nya. Tuhan Yesus menjawab Petrus, “datanglah!” Mendengar jawaban Tuhan itu, dengan taat Petrus berjalan keluar dari perahu menuju ke air dengan iman yang dimilikinya. Akan tetapi,  hal itu tidak berlangsung lama. Ia segera mengalami kesulitan dan kekuatiran ketika angin mulai berhembus. Petrus kehilangan imannya untuk berjalan terus menuju Yesus dan ia mulai tenggelam. Sdr, ketika angin ujian tiba maka kita seringkali melupakan Tuhan. Pandangan mata kita tidak lagi tertuju pada Tuhan tetapi pada kesulitan yang kita hadapi.

Saudara, mungkin selama ini kita telah mengikuti  Tuhan dengan setia dalam kehidupan kita. Beberapa diantara kita telah mengikut Tuhan lebih dari satu, lima, atau bahkan sepuluh tahun. Lebih dari itu, sebagian diantara kita bahkan telah percaya dan mengikut Tuhan Yesus sejak kecil. Akan tetapi, apakah dalam berjalan melalui kehidupan ini kita senantiasa mengingat Tuhan dan bersandar pada pimpinan-Nya? Ketika kesulitan-kesulitan dalam hidup ini datang apakah yang kita lakukan?  Bukankah seringkali kita begitu kuatir dan terus berusaha memecahkan kesulitan hidup kita dengan cara kita sendiri!  Ketika kondisi keuangan sedang memburuk, pekerjaan kita dilanda kesulitan, berapa banyak diantara kita yang mulai melupakan Tuhan. Sedikit demi sedikit kita mengurangi kegiatan ibadah kita dan berpikir bahwa suatu saat kita akan kembali lagi, yaitu ketika masalah dan kesulitan hidup kita telah teratasi. Ya! Seperti Abram, kita seringkali  melangkah keluar dari “tanah perjanjian” untuk sementara waktu. Kita gagal untuk tetap percaya dan bersandar pada pimpinan Tuhan pada masa-masa yang sulit.

Saudara, Tuhan ingin agar kita tetap mengingat janji-janji berkat-Nya dalam hidup kita. Ketika Ia memanggil kita untuk menjadi orang percaya, Ia menginginkan kita untuk tetap hidup pada jalan-Nya. Ditengah-tengah kondisi yang sulit sekalipun, Allah ingin agar kita tetap setia pada Tuhan dan tidak meninggalkan Dia. Mari kita bersandar pada Tuhan dalam menghadapi segala masalah dan kesulitan hidup dalam hidup ini. Bahaya berikutnya yang harus kita waspadai, apabila kita menghadapi kesulitan-kesulitan  dalam hidup adalah menjadikan diri sendiri sebagai pusat hidup.

 

2. Menjadikan Diri Sendiri Sebagai Pusat Hidup (Ayat 12-13)

Saudara, Abram harus melewati suatu perbatasan internasional ketika ia menuju ke Mesir. Tampaknya, Abram mengetahui bahwa seorang asing tidak mendapat perlindungan hukum di negeri Mesir. Lebih jauh ia juga mengenal budaya kafir dan mengetahui bahwa pernikahan seorang asing tidak akan dihormati. Sdr, sebenarnya orang Mesir bukan hidup tanpa hukum moral sama sekali. Mereka masih memiliki prinsip bahwa perzinahan langsung adalah suatu dosa yang dapat mengakibatkan celaka. Akan tetapi saudara, orang Mesir ini seringkali membunuh orang asing agar mendapat isterinya yang cantik sesudah suaminya mati. Bagi mereka pengambilan janda bukan perzinahan lagi. Abram yang memilih untuk meninggalkan tanah perjanjian demi untuk mendapatkan makanan justru mengalami ancaman pembunuhan dari orang Mesir. Sama sekali tidak dicatat bahwa Abram berdoa atau meminta perlindungan kepada Allah. Ia hanya memikirkan rencana dan tindakannya sendiri untuk mengatasi bahaya yang mengancam hidupnya.  Abram benar-benar lupa akan janji dan pimpinan Tuhan dalam hidupnya. Dalam ayat 13 kita melihat apa yang dipikirkannya, “Katakanlah bahwa engkau adikku supaya aku diperlakukan mereka dengan baik karena engkau, dan aku dibiarkan hidup karena engkau”. Sdr, ditengah-tengah ketakutan dan kekuatirannya atas bahaya yang mengancam dirinya, Abram menampilkan suatu perilaku yang amat egois. Ia memperalat istrinya sendiri. Abram tidak berpikir bahwa dengan menyatakan Sarai sebagai adiknya, maka orang Mesir dapat mengambil Sarai menjadi istri mereka. Ia lupa akan kesucian istrinya, ia lupa akan kebenaran dan panggilannya untuk menjadi berkat. Demikianlah ketika seseorang  lupa akan Allah, ia juga lupa akan segala yang baik.

Saudara, segala yang dipikirkan Abram benar-benar terjadi. Ketika Abram masuk ke Mesir, orang-orang Mesir dan para punggawa Firaun begitu mengagumi kecantikan Sarai. Sungguh tidak disangka-sangka oleh Abram, bahwa Sarai segera dibawa ke istana Firaun untuk dijadikan istrinya. Firaun melakukan ini karena ia tidak tahu bahwa Sarai telah bersuami. Abram bukan hanya membuat Sarai jatuh ke dalam dosa tetapi juga tidak menjadi berkat bagi orang lain. Ia membawa Firaun ke dalam tindakan dosa. Semua ini terjadi karena Abram terlalu memikirkan dirinya sendiri. Ia gagal menjadi berkat bagi orang lain.

Saudara, dalam ayat 15, kata “was taken” (NKJV) yang dipakai disini menggunakan bahasa Ibrani yang tidak menunjukkan adanya hubungan seksual; teks yang dipakai tidak menambahkan kata “dan memperkosanya” seperti yang terdapat dalam Kejadian 34:2, atau “dan menghampirinya” (Kej 38:2). Allah tetap menjaga kesucian Sarai dan tidak membiarkan dosa Abram menggagalkan rencana-Nya. Allah ingin menjadikan Abram bangsa yang besar dari keturunan istrinya sendiri.

Saudara, Allah melanjutkan perbuatan-Nya dengan menimpakan tulah yang besar kepada  Firaun dan seisi istananya. Kita tidak tahu bagaimana cara Firaun sehingga ia bisa tahu bahwa hal ini terjadi karena dosanya dalam mengambil Sarai. Alkitab mencatat bahwa Firaun segera memanggil Abram dan berkata, “Apakah juga yang kau perbuat ini terhadap aku” Saudara, kalimat ini adalah kalimat tegoran Allah yang keras sekali. Allah pernah mengucapkan kalimat yang sama untuk menegor dosa manusia yang pertama  yaitu pada waktu Hawa  ingin menjadi seperti Allah (Kej 3:13), untuk menegor Kain setelah membunuh adiknya (Kel 4:10). Mendengar perkataan Firaun itu Abram begitu terkejut dan tidak dapat menjawab sepatah kata pun karena ia menyadari akan kesalahannya. Allah  telah memakai Firaun, seorang kafir untuk menegor Abram. Abram tidak berkenan dihadapan Allah.

Saudara, dengan menyesal saya sendiri harus mengakui bahwa saya pernah menjadi egois dan mementingkan diri sendiri. Setiap kita bergumul dengan hal ini. Kesulitan dan masalah  kehidupan seringkali mendorong kita untuk memusatkan perhatian pada kepentingan diri kita sendiri. Segala pikiran dan perilaku kita terfokus pada usaha kita untuk dapat melewati kesulitan hidup kita. Kita tidak peduli lagi pada benar atau tidaknya cara yang kita pakai. Kita bahkan tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada orang lain sekalipun mereka adalah orang–orang yang kita kasihi .

Saudara, sebagai orang tua, kita memang menghadapi banyak masalah dan kesulitan dalam pekerjaan. Namun, apakah dalam kondisi yang demikian, kita masih memberikan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kita. Kebutuhan hidup mereka, kesehatan jiwanya maupun kerohaniannya? Masihkah kita punya kepedulian  dan perhatian bagi anak-anak kita. Sebagai seorang wirausahawan, apakah kita masih dapat bersaing dengan sehat di tengah kondisi perekonomian yang semakin tidak menjanjikan ini?

Saudara, bagaimana dengan kita yang bekerja sebagai karyawan? Ketika menghadapi kesulitan dan ancaman kehilangan pekerjaan, apakah kita menjadi orang yang berusaha dengan segala cara untuk mempertahankannya, sekalipun itu harus mengorbankan rekan-rekan kerja kita.

Saudara, kesulitan dan masalah hidup seringkali membuat hidup kita terpusat pada diri kita sendiri. Tidak jarang hal ini membawa kita pada perbuatan-perbuatan dosa. Sebagai orang beriman kita harus sungguh-sungguh waspada akan bahaya ini.

Saudara, kesulitan dan masalah dalam hidup ini adalah realita yang tidak dapat kita hindari,  bahkan seringkali Tuhan memakainya untuk menguji iman kita. Untuk melaluinya baiklah kita mengingat bahwa kita memiliki Tuhan yang dapat menjadi kekuatan dan sandaran kita ditengah-tengah segala kesulitan dan masalah hidup kita. Rasul Paulus berkata, “ …baik dalam hal kenyang, maupun dalam kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”. Jangan bersandar pada usaha dan pemikiran kita sendiri! Ingatlah akan janji dan pimpinan Tuhan dalam hidup kita. Biarlah Tuhan Yesus sendiri yang menjadi sumber kekuatan dan sandaran yang teguh ketika kesulitan dan masalah melanda hidup kita. Amin.