| |
KEKONSISTENAN KASIH ALLAHPenulis : Willyem Onggo Wijaya Tujuan : Agar jemaat dapat mengerti lebih dalam tentang Allah sebagai Pencipta yang konsisten mengasihi seluruh ciptaan-Nya sehingga jemaat dapat bersandar kepada Allah yang mengasihi mereka dan tidak takut dalam menghadapi tahun yang baru PendahuluanSaudara, semua orang mengenal rasa takut. Bahkan seorang perdana menteri Rusia yang sangat jahat seperti Stalin pun bermusuhan dengan ketakutan. Karena takutnya terhadap keselamatan jiwanya sendiri, Stalin harus tidur berpindah-pindah kamar untuk mengecohkan bakal pembunuhnya. Karena takut dibunuh juga, Howard Hughes –milyarder terkenal itu— akhirnya mati di Meksiko dalam keadaan kurus kering karena takut makanannya diracuni. Saudara, siapa diantara kita yang dapat menghindarinya? Ketakutan seringkali mewarnai hidup kita, tidak terkecuali ketika memasuki pergantian tahun. Pergantian tahun seperti saat ini dilewati sebagian orang dengan ketakutan karena ketidaktahuan mengenai masa depan. Yang kaya berpikir, “Bagaimana jika kalau tahun ini saya bangkrut?”; yang miskin bertanya dalam hati, ”Besok saya makan apa?”. Semua orang merasakan ketakutan dan kecemasan untuk menghadapi masa depan. Dan masalahnya, tiada seorang pun bisa mundur karena setiap kita selalu harus maju bersamaan dengan waktu. Hari ini setiap kita mungkin cemas dengan tahun yang baru. Pertanyaan yang umum muncul pada awal tahun semacam ini adalah, “Apakah saya akan mampu melewati tahun ini dengan baik? Atau bagaimana kalau musibah yang diramalkan itu benar?” Itu wajar. Sangat manusiawi sekali. Tetapi berapa banyak di antara kita yang mengingat akan janji Allah ? JanjiNya pada kita ! Saudara, hari ini, hari dan bulan pertama dari tahun yang baru, mari kita belajar dari firman Tuhan di kitab Kejadian 1. Dari rangkaian karya Allah yang mula-mula, kita akan melihat bahwa karena Allah telah menyatakan kasih-Nya bagi kita ketika Ia menciptakan langit dan bumi sejak awalnya, maka kita tidak perlu takut akan hari esok. Saudara, dari proses penciptaan (Kej.1:1), setidaknya ada dua konsepsi tentang Allah yang dapat kita pelajari guna menguatkan kita untuk melewati hari depan. 1. Allah adalah Allah yang mewujudnyatakan kasih-Nya Saudara, Kitab Kejadian membuka keseluruhan rangkaian kisah Alkitab dengan Allah sebagai fokusnya. Kejadian 1. menggambarkan dengan jelas bagaimana Allah bekerja menciptakan langit dan bumi dengan segala kemegahannya. Sesungguhnya gambaran proses penciptaan ini sangat luar biasa. Terlalu luar biasa sehingga banyak orang bahkan sampai meragukan kebenarannya. Keberatan yang paling mendasar adalah “Bagaimana mungkin Musa –seorang manusia biasa— menuliskan kejadian penciptaan padahal dia hidup jauh sesudah kejadian itu?” Pada akhirnya, kepenulisan Musa secara murni pun diragukan. Namun hal ini bukanlah masalah tentunya bagi Allah. Dari sudut pandang manusia memang mustahil, namun Allah menyingkapkan proses penciptaan ini bagi kita melalui Musa. Memang bagi kita, secara logika proses penciptaan amat sulit dimengerti tapi baiklah kita mengingat Ibr. 11:3, “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat”. Dengan pemahaman dan iman yang demikian baiklah kita sekarang maju selangkah ke depan untuk memahami Allah yang mengerjakan seluruh alam semesta ini. Keseluruhan Alkitab dimulai dengan kalimat, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Kalimat ini harus dibaca sebagai penyingkapan pernyataan Allah sebagai Pencipta daripada sekedar pernyataan tentang apa yang Allah ciptakan. Fokusnya bukan pada why (bagaimana) tetapi lebih pada who (siapa yang mengerjakan penciptaan itu). Frasa ‘Allah menciptakan’ dalam bahasa aslinya menggunakan kata bara’ yang berarti menciptakan. Dalam PL kata ini dipakai 48 kali dan tidak pernah sekalipun dipakai dengan manusia sebagai subyeknya, bara’ hanya digunakan khusus untuk aktivitas penciptaan Allah. Di dalam kata ini terkandung pengertian bahwa sesuatu yang diciptakan itu berasal dari ketidakadaan. Allah menciptakan (bara’) gunung dan angin (Am. 4:13), langit baru dan bumi baru (Yes. 65:17)… semuanya dibentuk dari ketiadaan. Allah menciptakan dari kekosongan; dari yang tidak ada menjadi ada. Jelaslah bahwa secara teologis kata ini dipakai untuk menunjukkan keunikan karya Allah yang berbeda dengan semua hasil karya manusia yang dibuat dari benda-benda yang sudah ada. Lalu apa yang dipikirkan Allah tentang segala ciptaan-Nya? Ayat 10,12,18,21,25 menuliskan “Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” Sampai ketika hari keenam, berfirmanlah Allah: ‘Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang tinggal di bumi’ (1:26). Allah sampai pada ciptaan final-Nya. Ia menjadikan manusia sebagai yang terakhir untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu itu untuk manusia. Pertanyaannya, mengapa Allah menciptakannya bagi kita? Tentu saja, tidak! Allah tidak perlu melakukan apapun untuk kepuasan diriNya sendiri. Allah sejak kekekalan sudah sempurna, dan Ia tidak kekurangan apapun. Allah tidak membutuhkan manusia. Dengan demikian sesungguhnya Allah tidak perlu mencipta! Lantas mengapa? Saudara, Allah bukan Allah yang tidak punya kerjaan. Dia tidak iseng-iseng menciptakan alam semesta untuk mainan-Nya. Allah menciptakan karena maksud tertentu, dan itu adalah kebaikan bagi kita manusia. Mengapa Allah menciptakannya bagi kita? Jelas karena Allah mengasihi kita. Perhatikan hal ini, Allah dalam kesempurnaan-Nya adalah Allah yang penuh kasih; tanpa keberadaan yang lain Ia sudah kasih adanya; ketiadaan eksistensi yang lain tidak membatasi kasih-Nya; Ia tidak perlu membuktikan kepada siapapun atau apapun akan kasih-Nya. Allah mewujudkan kasih-Nya tersebut. Kasih yang sempurna –tentu saja— diwujudkan dengan sempurna. Jadilah ketika Allah selesai menciptakan manusia, “maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik!” (v.31). Pada akhirnya… Allah mengasihi apa yang diwujudkan oleh kasih-Nya karena Ia memang kasih adanya. Saudara, Allah mengasihi Saudara dan saya, dan sejak awal Ia telah selalu memberikan yang terbaik bagi kita. Apakah ada Saudara yang masih meragukan-Nya? Bayangkan hal ini: Saudara adalah orangtua bagi anak yang sangat Saudara kasihi. Saudara mengasihinya, dan tentu akan berusaha memberikan yang paling baik baginya. Sebelum lahir Saudara sudah mempersiapkan kamar yang manis untuknya. Begitu lahir Saudara memberikan nama yang paling bagus untuknya. Saudara memeluknya dengan lembut, menggendongnya dengan perlahan, menciumnya bukan sekedar dengan bibir tapi juga dengan hati Saudara. Saudara berusaha menjadi sumber kenyamanan bagi si kecil. Saudara tidak pernah membiarkannya terbangun tengah malam dan menangis sendirian. Saudara tidak jijik mengganti popok yang sudah kotor. Saudara berusaha ada di sampingnya ketika anak Saudara menangis, mendekapnya dan berusaha menenangkannya. Sedikit goresan yang menjadi luka pada tubuhnya akan membuat pedih hati Saudara. Luka hatinya menjadi beban Saudara. Tangisannya menjadi tusukan pada hati Saudara. Saudara membesarkannya sebagai wujud kasih Saudara sampai kemudian ia tumbuh besar. Suatu hari, ketika anak Saudara berusia tiga tahun, ia mulai meminta beberapa hal. Tetapi ia minta dibelikan sepeda roda dua besar yang dilihatnya di televisi yang Saudara tahu tidak akan baik baginya. Sepeda besar hanya akan memberikan lebih banyak rasa sakit daripada kesenangan, jadi… “Tidak sekarang sayang, tunggu kalau kamu sudah lebih besar.” Saudara tahu pasti bahwa itu yang paling baik baginya, namun bagaimana perasaan Saudara jika anak Saudara menjawab dengan keras, ”Kalau begitu papa/mama tidak sayang pada saya!” atau “Saya tidak minta dilahirkan dalam keluarga yang begini pelit!” Saudara, tentu sulit bagi kita untuk tidak terluka karena pernyataan semacam itu. Kita akan bertanya, “Lantas apa yang selama ini aku berikan untukmu?” Saudara, demikian juga dengan Allah ketika kita meragukan kasih-Nya yang diwujudkan dalam penciptaan. Itulah pertanyaan yang harus kita jawab ketika kita kecewa terhadap Allah. Apa artinya hidup saya selama ini tanpa kasih Allah? Apakah saya mungkin hidup tanpa kasih Allah? Tidak mungkin. Paling tidak, kita tidak dapat hidup dengan nyaman kalau Allah tidak lebih dulu menciptakan apa yang diciptakan pada lima hari pertama. Saudara, Allah mengasihi kita. Ia tidak perlu membuktikannya, karena Ia sudah mengerjakan kasih-Nya itu bagi kita selama hidup kita sampai hari ini. Tanpa kasih Allah yang diwujudkan, dunia tidak dijadikan. Tanpa dunia tidak ada manusia, dan tidak ada manusia berarti kita tidak akan pernah ada. Dan yang luar biasa dari Allah adalah… tanpa kita, Allah tetap adalah kasih adanya! Namun demikian, Allah menjadikan kita, dan ini sebuah wujud kasih yang sangat besar.
2. Allah adalah Allah yang konsisten dalam kasih-Nya. Saudara, kita telah belajar bagaimana Allah mewujudkan kasih-Nya bagi kita. Selanjutnya kita akan melihat bahwa karya Allah tidak berhenti sampai di situ saja dengan ciptaan-Nya. Allah tidak sekedar menciptakan langit dan bumi, tapi Ia melanjutkan pekerjaan-Nya. Kata di ayat 1, “Pada mulanya Allah menciptakan…” dalam bahasa aslinya berbunyi, bresit bara elohim. Kita telah belajar bahwa bara berarti menciptakan dan elohim merupakan sebutan bagi Allah. Sekarang kita mencoba memahami kata bresit lebih dalam. Saudara, kata bresit ini diterjemahkan dengan baik oleh LAI sebagai ‘pada mulanya’. Bresit memang berarti sebuah permulaan, beginning. Namun tata letak ‘bresit bara elohim’ tidaklah umum dalam tata bahasa Ibrani karena kata kerja bara ditempatkan setelah keterangan waktu. Hal ini tidak wajar karena kata kerja umumnya selalu ditempatkan di awal kalimat. Perbedaan semacam ini sedikit banyak berarti penekanan ide pada kata yang ditempatkan di awal; dalam hal ini kata bresit atau ‘pada mulanya’. Saudara, frasa ‘pada mulanya’ pada awal Alkitab tidaklah sesederhana yang kita pikirkan. Frasa ini secara implisit juga menyiratkan arti adanya kesinambungan setelah titik awal tersebut. Sesungguhnya permulaan menggambarkan keseluruhan dari suatu keutuhan. Jadi setelah ‘pada mulanya’, waktu terus berjalan dan Allah tetap pada seluruh keberadaan-Nya. Pada mulanya semua ‘sangat baik’, namun tatkala Adam dan Hawa dikuasai dengan nafsu keserakahan, banyak hal berubah. Eden bukan lagi kediaman bagi manusia, dan itu menjadikan hidup berarti kerja keras (Kej. 3:23). Dosa masuk ke dalam dunia dan mulailah petualangan hidup manusia yang jatuh bangun di hadapan Allah. Pembunuhan pertama terjadi antara saudara sekandung, kejahatan merajalela, air hujan yang segar berubah menjadi kepungan dinding air yang mematikan dalam waktu 40 hari, kesombongan mewujudkan menara Babel, debu arang Sodom dan Gomora menjadi bukti kemurkaan Tuhan atas dosa. Sejarah kelabu Israel di Mesir, pengkhianatan kepada Allah di padang gurun, dan kemabukkan karena Kanaan. Karena kebebalan Israel, pembuangan ke Babel menjadi sangat wajar. Saudara, skenario dosa yang tanpa henti seperti inilah yang merusak hubungan ciptaan dengan Allah Pencipta. Pada mulanya semua baik adanya, tetapi yang merusak “yang baik” itu justru ciptaan sendiri. Dosa tidak dapat dilepaskan dari sejarah manusia. Karena itu murka Allah sudah sewajarnya menghancurkan seluruh ciptaan, termasuk Saudara dan saya. Tapi ternyata kasih-Nya masih jauh lebih besar dari murka-Nya yang menyala-nyala. Sebelum dunia dijadikan seluruh sifat dan keberadaan Allah sempurna dan hal itu tidak berubah; konsisten sampai selama-lamanya. Dengan demikian kasih Allah yang telah diwujudkan-Nya sejak mulanya itu pun tetap konsisten. Kasih Allah tidak berawal dan tidak berakhir. Dan tidak ada suatu pun yang manusia bisa lakukan yang dapat mengurangi kasih Allah bagi kita. Frasa “pada mulanya” ini ditegaskan oleh Yohanes dalam tulisan Injilnya yang dimulai dengan: “Pada mulanya adalah Firman” (Yoh. 1:1). Dan Yohanes mengaitkan Firman itu dengan Pribadi kedua dari Allah Tritunggal yang juga memainkan peranan dalam penciptaan, yakni Kristus. Frasa “Pada mulanya” (beginning) ini pun berkaitan erat dengan Kristus sebagai yang “Sulung” (Firstborn/Firstfruits). Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati sebagai yang sulung (1 Kor. 15:20); Ia adalah gambar Allah dari segala yang tidak kelihatan, yang sulung, yang lebih utama dari segala yang diciptakan (Kol. 1:15). Dan gambaran Kristus sebagai yang permulaan atau yang sulung inilah yang membuat kasih Allah menjadi sangat jelas. Karena di dalam Kristuslah Allah menyatakan kasih-Nya dengan menjadi manusia. Kristus turun ke dalam dunia, lahir tanpa rumah, hidup sederhana sebagai seorang tukang kayu, banyak menerima hujatan dan celaan. Bahkan pada akhirnya sebagai manusia, Kristus melakukan apa yang harus dilakukan-Nya: mati disalib karena dosa-dosa kita. Dan apa yang dilakukan oleh Kristus ini menjadi bukti kasih Allah yang kekal. Kasih Allah yang telah terwujud, dulu, sekarang dan sampai selama-lamanya. Tidakkah Saudara menyadari akan hal ini? Mungkin Saudara akan menjawab: Ya, tapi yang seringkali kita lupakan adalah bahwa kasih Allah itu kekal adanya, dan tidak pernah berubah. Tetap konsisten selama-lamanya. Ketika dalam kesulitan, banyak orang berteriak, “Tuhan di manakah Engkau?”. Ketika orang yang dikasihi meninggal, kita bertanya, “Tuhan mengapa Engkau mengambilnya dariku?” Pada saat dalam bencana, kesulitan keuangan, dalam tekanan, stress, kita berkata, “Tuhan, kalau Engkau sungguh mengasihi aku, mengapa ini terjadi?” Atau ketika memasuki tahun baru seperti ini, kita mungkin berdoa, ”Kalau memang Engkau mengasihiku,Tuhan, berkatilah saya sepanjang tahun ini!” Saudara, perlukah Tuhan menjawab semua keragu-raguan tersebut? Ingatkah bagaimana perasaan Saudara jika anak Saudara mengatakan hal yang sama kepada Saudara, “Papa/mama tidak sayang saya!” Perlukah Saudara menerangkan kepada anak Saudara bahwa yang selama ini dinikmatinya dan yang membuatnya sampai sedemikian adalah karena kasih Saudara? Perhatikan apa yang Tuhan katakan kepada Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu” (2 Kor 12:9a). Saudara, apa yang Tuhan berikan bagi kita sudah cukup adanya. Karena kekekalan Allah, kecukupan itu tidak berarti bukan hanya sekarang, bukan hanya dulu, tetapi juga apa yang ada di depan kita, hari esok kita. Adakah Saudara mengkhawatirkan hari depan Saudara? Gemetar berhadapan dengan sosok waktu? Berusaha menutup mata menghindari bayangan bencana? Takut menyongsong kabut? Cemas bertabrakan dengan dinding kegagalan? Ingatlah, sejak awal kita telah diurus oleh tangan lembut: kasih. Sebelum kita berteriak kepada dunia ketika baru lahir, kasih Allah terlebih dahulu menenun kita, helai demi helai. Dan sang Penenun Agung itu juga yang kemudian memberikan kendaraan mutakhir: kasih untuk kita menjalani kehidupan kita. Dan ya, bukankah Saudara juga telah mengenal Tokoh Kasih yang berdarah itu? Tangan-Nya memang dilukai oleh kebencian tapi darah yang dikeluarkan-Nya menjadi cairan Kasih yang ajaib. Ajaib? Ya, karena menjadi penebusan bagi dosa Saudara dan saya. Saudara ketakutan, cemas dan kegentaran adalah wajar, namun Allah tidak mengharapkan kita hidup terikat dengan hal-hal tersebut. Allah tidak ingin Saudara menghadapi hidup Saudara dengan keringat dingin setiap hari. Yang Allah inginkan adalah Saudara dan saya dapat hidup dengan bersandar penuh pada-Nya. Berfokus pada kasih-Nya. Tuhan memang tidak menjanjikan hidup selalu indah, tetapi Ia menjanjikan kasih dan pemeliharan yang sempurna. Itu cukup bagi kita. Biarlah firman Tuhan hari ini boleh menjadi kekuatan kita menghadapi tahun yang di depan kita. Tahun ini bukanlah tembok kecemasan, tetapi pengharapan akan Allah. Amin.
| |