| |
DARI KETAKUTAN KEPADA KEBERANIANNats : Kisah Para Rasul 4 : 1 – 22 Penulis : Linda Priska Tujuan : Mengajarkan jemaat pentingnya memiliki pemahaman dan pengenalan yang benar akan Kristus sebagai dasar keberanian mereka dalam mengikut Dia, baik dalam keadaan “enak” maupun dalam menghadapi segala penderitaan dan penganiayaan.
PendahuluanSaudara-saudara, tentu kita masih ingat dengan dua opsi atau dua pilihan yang diberikan oleh orang-orang muslim fanatik kepada para penumpang kapal yang ditawan oleh mereka di daerah laut Maluku. Opsi itu adalah “acang atau obed?” Dua opsi itu mengandung resiko nyawa bagi seorang Kristen. Kalau jawabannya “acang” maka ia akan bebas dari pembunuhan. Tetapi kalau jawabannya “obed”, maka saat itu dan di tempat itu juga ia akan dibunuh. Peristiwa itu mengingatkan kita akan satu hal penting bahwa untuk tetap pada iman kita dan agar tidak menyangkali Yesus, sangatlah dibutuhkan keberanian! Saudaraku, dari perikop yang baru saja kita baca tadi kita melihat keberanian Petrus dan Yohanes dalam menyatakan imannya pada Yesus di hadapan sidang Sanhedrin. Lukas mencatat dengan jelas pada ayatnya yang ke 13, “Ketika sidang itu melihat keberanian Petrus dan Yohanes”, dan seterusnya. Saudara-saudara, tentu bukan hal yang mudah bagi seorang Petrus yang dulu, pada malam penyaliban Yesus, di tengah-tengah ketakutannya ia menyangkali Yesus sebanyak 3 kali, dan sekarang ia bersama-sama dengan Yohanes harus berhadapan dengan sidang Sanhedrin, yang jumlahnya mencapai 70 orang, dan sekali lagi dia “diminta” untuk kembali menyangkal nama Yesus. Tetapi Petrus yang sekarang sedang disidang adalah Petrus yang memiliki keberanian yang luar biasa! Karenanya saya melihat pada diri Petrus adanya suatu tema yang melekat pada dirinya yaitu dari ketakutan kepada keberanian! Apa yang membuat dia dapat berubah dari seorang yang penuh ketakutan menjadi seorang yang penuh keberanian? Apa yang membuat dia dari seorang yang menyangkali nama Yesus menjadi seorang yang menyatakan dengan terus terang nama Yesus bahkan mengabarkan-Nya? Bukankah resiko dari pengakuannya adalah resiko nyawa? Bukankah ia masih ingat dengan peristiwa gurunya yang mati disalib? Bukankah ia sendiri masih ingat bahwa ia telah menyangkali gurunya karena ia takut mati? Saudara-saudara, apa yang menyebabkan dia menjadi seorang Petrus yang sama sekali berbeda? Apa yang membawa dirinya dari ketakutan kepada keberanian?
Pemahaman yang benar akan Kristus sebagai dasar keberanian mengikut DIA. Saya melihat pada diri Petrus dulu dan sekarang perbedaannya terletak pada pemahamannya terhadap diri Yesus, dan sesungguhnya karena pemahaman inilah, Petrus bisa menjadi demikian penuh ketakutan, dan karena pemahaman yang diubahkan Petrus juga kemudian bisa menjadi seorang yang penuh keberanian. Petrus menjadi seorang yang amat berani sekalipun di hadapan sidang Sanhedrin, oleh karena ia memiliki pemahaman yang benar tentang diri Yesus. Petrus kini mengenal Yesus sebagai Mesias, sebagai Kristus, dalam pengertian bahwa hanya melalui Dia, hanya oleh Dia dan hanya di dalam Dialah manusia yang berdosa dapat diselamatkan. Pemahaman yang agung ini dapat kita lihat pada ayatnya yang 10-12, yang diucapkannya dengan penuh keyakinan. Saudara-saudara, saya sangat yakin bila Petrus tidak memiliki pemahaman tentang kebenaran yang agung atas diri Yesus ini, maka ia akan dengan mudah menyangkali Yesus, ia akan mengulang kembali masa lalunya. Mari kita melihat bagaimana pemahaman Petrus yang salah atas diri Yesus, yang telah menyebabkan dia di tengah-tengah ketakutannya ia menyangkali Yesus. Dalam Matius 16 : 16, Petrus memang mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, dan apa yang diucapkan oleh Petrus ini adalah benar, sama sekali benar, bila ditinjau dari pernyataan itu sendiri. Tetapi sayangnya, bila dilihat dari pemahaman yang melatarbelakanginya, sesungguhnya Petrus masih belum mengenal Yesus sebagai mesias yang memang harus mati untuk menyelamatkan manusia. Ia hanya mengenal Yesus sebagai tokoh yang diharapkan dapat membebaskan bangsanya dari penjajahan Romawi. Bukti dari pemahaman yang keliru dan dangkal ini dapat kita lihat pada ayatnya yang ke 22 dari bagian yang sama, ayat ini mencatat bagaimana ketika Yesus memberitahukan tentang tujuan hidupnya yaitu mati, Petrus segera menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Demikian juga pemahaman yang keliru ini menghinggapi pikiran murid-murid yang lain ketika mereka mendengar tentang pemberitahuan Yesus yang kedua kali tentang penderitaan yang akan menimpa-Nya. Seperti yang tertulis dalam Matius 17:22-23. Saudara-saudara, mereka sangat sedih karena pengharapan mereka akan seorang mesias yang akan membebaskan bangsanya dari penjajahan bangsa lain, menjadi sirna. Karena pemahaman yang keliru inilah, maka ketika Yesus divonis mati oleh sidang Sanhedrin, Petrus menjadi amat ketakutan ketika ia ditanya oleh 3 orang yang berbeda dengan pertanyaan retoris dan ia menyangkali-Nya. Pemahaman yang keliru itu menyebabkan Petrus mengalami ketakutan untuk siap mati bagi Yesus. Dan pemahaman yang keliru itu jugalah yang membuat para murid begitu gentar dan sedih hati ketika harus menghadapi fakta bahwa guru mereka telah disalib dan mati. Tetapi sebaliknya kita juga dapat melihat bagaimana pemahaman yang benar terhadap diri Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat menyebabkan Petrus memiliki keberanian sekalipun resikonya tetap sama, yaitu penderitaan dan kematian. Saudara-saudara, sekarang saya mengajak kita kembali kepada Kisah Rasul pasal 4 tadi untuk melihat kebenaran pemahaman Petrus tentang diri Yesus. Menarik sekali bila kita memperhatikan ayat 10 dalam penjelasan Petrus. Petrus mengatakan “maka ketahuilah oleh kamu sekalian dan oleh seluruh umat Israel, bahwa dalam nama Yesus Kristus orang Nazaret, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati – bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri dengan sehat sekarang di depan kamu.” Di sini Petrus menyebut Yesus sebagai Kristus atau Mesias! Pengakuan ini terkesan sama dengan pengakuan dari mulut yang sama yang dicatat dalam Matius pasal 16 tadi, tapi kita tentu melihat perbedaannya yang mendasar bukan? Pengakuan Petrus dalam Kisah Para Rasul ini memiliki kebenaran yang telah dipahaminya, bahwa Yesus yang telah disalib dan yang telah dibangkitkan itu telah memberikan kesembuhan kepada orang yang sakit lumpuh itu. Kata sehat yang dipakai oleh Lukas dalam menjelaskan perkataan Petrus, menggunakan kata yang sama yang diterjemahkan sebagai selamat dalam ayatnya yang ke 12. Jadi di dalam pikiran Petrus ada semacam garis yang menghubungkan akan makna sehat secara fisik dengan selamat secara rohani, sebagaimana juga yang menjadi pengajaran Yesus. Beberapa kali Yesus mengatakan kepada orang yang sakit yang telah disembuhkan dengan perkataan imanmu telah menyelamatkan engkau. Artinya bahwa orang yang telah mengalami kesembuhan fisiknya dan sekaligus merupakan suatu tanda bahwa Allah berkenan menyelamatkan orang itu dari dosanya. Lebih menarik dan lebih jelas lagi bagaimana Petrus menegaskan tentang keselamatan pada ayat ke 12, yakni keselamatan yang bukan hanya bagi orang lumpuh itu, tetapi juga untuk setiap orang, yang secara mutlak bergantung kepada nama Yesus itu. Dalam satu ayat ini, ada dua kata depan di dalam yang merupakan penegasan bahwa hanya dan di dalam Dialah, nama Yesus itu, terletak keselamatan. Di sinilah terletak dasar keberanian Petrus dalam menghadapi ancaman penderitaan bahkan kematian. Dia tahu benar bahwa hanya di dalam Yesuslah manusia dapat diselamatkan, sehingga dia tidak pernah lagi takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa. Dia hanya takut terhadap Dia yang dapat membunuh tubuh sekaligus jiwa. Itu sebabnya, ketika ia diancam, dia justru yang memberikan dua opsi yaitu “Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah? Taat kepada manusia atau taat kepada Allah?” Suatu pernyataan yang begitu tegas dan berani!
IlustrasiSaudara-saudara, saya teringat akan Polikarpus. Polikarpus adalah seorang bapa gereja yang taat. Dalam perjalan hidup dan imannya, ia pernah menghadapi suatu ancaman antara tetap hidup atau mati. Dia dapat tetap hidup asalkan ia mau menyangkali Tuhannya, yaitu Tuhan Yesus. Tetapi sebaliknya hidupnya akan berakhir dalam api yang membakar tubuhnya kalau ia tetap mempertahankan iman dan setianya pada Yesus Kristus. Polikarpus memiliki pemahaman yang benar tentang Kristus, sehingga ia tetap menolak untuk menyangkali Yesus dan akhirnya api kematianpun menjemputnya. Polikarpus berani menghadapi kematian, oleh karena ia tahu bahwa hanya pada Yesuslah manusia, termasuk dirinya, dapat diselamatkan dari hukuman dosa. Itu sebabnya ia tidak mengalami ketakutan sedikitpun terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa.
Aplikasi Saudara-saudara, Meister Eckhart berkata ketakutan yang benar adalah ketakutan kehilangan Allah. Dengan kata lain sebenarnya kalimat itu ingin mengatakan bahwa kita tidak perlu takut kehilangan segala sesuatu, tetapi jangan sampai kita kehilangan Allah. Saudara, bukankah pada masa kini banyak orang Kristen yang tidak takut kehilangan Allah? Bukankah banyak orang Kristen yang karena tidak memiliki pemahaman yang benar tentang diri Yesus, maka jangankan ancaman, atau penderitaan yang membahayakan nyawa. Tetapi seringkali yang terjadi adalah dengan ditawari pekerjaan yang lebih enak dan kedudukan yang lebih mantap saja, sudah begitu banyak orang Kristen yang kemudian rela meninggalkan Yesus. Betapa lemahnya iman kita sebenarnya, dan betapa dangkalnya pemahaman kita akan Kristus. Sebagai orang Kristen, kita melihat bahwa hidup kita masih panjang. Mungkin sampai saat ini kita belum pernah mengalami apa itu fitnahan, apa itu ancaman, apa itu penderitaan. Bahkan kita belum mengalami pembunuhan. Saudara memang kita tidak pernah meminta, tetapi jangan katakana bahwa itu tidak akan pernah menjadi bagian dari hidup kita sebagai anak-anak Tuhan. Ingatkah kita dengan saudara-saudara kita yang ada di Ambon, Aceh dan Poso dan tempat-tempat lainnya? Mereka tidak pernah meminta kepada Allah untuk memberikan kepada mereka penderitaan, tetapi penderitaan telah menjadi bagian hidup mereka. Pertanyaannya bagi kita adalah, apakah kita memang sudah siap untuk menghadapi semua itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengevaluasi pengenalan kita akan Kristus. Saudara, sekian lama kita menjadi orang Kristen. Siapakah Yesus bagi kita? Bukankah seringkali ketika kerikil-kerikil kecil itu datang dalam hidup kita, belum penderitaan yang sampai beresiko nyawa kita, kita sudah bersungut-sungut, menyalahkan Tuhan dan bahkan tidak menghiraukan Tuhan? Bagaimanakah bila semua penderitaan yang beresiko nyawa itu menjadi bagian hidup kita? Mungkin kita disuruh memilih acang atau obed. Apakah pilihan kita? Pilihan kita terletak pada pemahaman kita terhadap Yesus.
Penutup A.W. Tozer berkata, Kristus bukanlah salah satu dari beberapa jalan untuk datang kepada Allah, tidak juga yang terbaik dari beberapa jalan. Dia adalah satu-satunya jalan. Siapakah Yesus bagi kita? Di sanalah letak keberanian atau ketakutan kita. AMIN ========================================= | |