| |
KEKUDUSAN ALLAH STANDAR KEKUDUSAN MANUSIANats : Imamat 19 : 2; Matius 5 : 48; I Petrus 1 : 16 Penulis : Nindyo Sasongko Tujuan : Mengingatkan kaum muda untuk hidup kudus di hadapan Allah, menjauhkan yang jahat dan membuat komitmen untuk hidup kudus. PendahuluanSaudara, Josh McDowell, dalam bukunya yang berjudul “Right from Wrong” menuliskan bahwa beberapa tahun yang lalu di Amerika Serikat diadakan survai mengenai kehidupan remaja-remaja, dan hasilnya adalah sebagai berikut ú 1000 gadis remaja yang belum menikah telah menjadi ibu ú 1106 gadis remaja menjalani abortus ú 4219 remaja terjangkit penyakit kelamin ú 500 anak remaja mulai menggunakan obat terlarang ú 1000 anak remaja mulai minum minuman keras ú 135.000 anak membawa pistol atau senjata tajam ke sekolah ú 3610 anak remaja diserang: 80 diperkosa ú 2200 anak remaja drop out ú 6 anak remaja bunuh diri Angka-angka di atas terjadi setiap hari dan jumlahnya terus bertambah. Bagaimana dengan remaja-remaja Kristen? Bukan hanya itu, dari sumber yang sama diperoleh data bahwa ketika para remaja ini menginjak umur 18 tahun, 55 % di antara mereka sudah bermain-main dengan alat reproduksinya bahkan sudah berhubungan seks! Saudara, moralitas dan kekudusan dianggap enteng oleh masyarakat modern. Yang namanya kebenaran kini telah menjadi persoalan selera dan moralitas telah digantikan oleh pilihan individu. Jika dulu orang tua kita diajar untuk mempertimbangkan sesuatu benar dan yang lain salah, saat ini dunia telah berubah drastis. Masyarakat telah kehilangan kemampuan untuk memutuskan apa yang benar. Ada dua hal penting yang perlu kita perhatikan bersama berkenaan dengan fenomena ini:
1. Manusia telah kehilangan standar dasar pribadi, komunikasi dan kasih. Sebenarnya ini adalah masalah universal yang melanda seluruh umat manusia. Manusia telah kehilangan tiga hal yang esensial dalam hidupnya. Dan ketika manusia kehilangan tiga hal ini maka manusia sedang mengalami suatu dilema yang sangat berbahaya. Yang pertama adalah kenyataan bahwa “Manusia kehilangan dasar pribadinya” (man finds no foundation of his persona). Peradaban manusia membuktikan, pencarian identitas bukanlah hal yang baru. Lima abad sebelum Yesus Kristus lahir, Socrates, filsuf dari Miletus, telah menyerukan,”Kenalilah dirimu!” (Know yourself!). Tetapi “Siapakah aku?” Manusia mencari jawab, merumuskan teori-teori, dan memfilsafatkan keberadaannya, bahwa manusia adalah pengada (being) yang rohani, pengada yang rasional, pengada yang romantis, pengada yang ber-evolusi secara biologis, pengada eksistensial yang naturnya bebas, pengada yang murni dideterminasi oleh materi dalam tubuhnya dan bermacam-macam filsafat tentang manusia. Tetapi siapakah manusia? Manusia tetap misteri! Socrates seumur hidupnya mencari jati diri manusia, namun sampai mati ia tidak pernah puas dengan kesimpulannya tentang apakah manusia itu pengada yang jahat ataukah pengada yang milik Allah. Saudara-saudara, kita sering disalah mengerti oleh orang lain, bahwa pemuda dan remaja adalah masa-masa yang sedang dalam pencarian identitas, masa yang sering membuat keonaran. Tetapi sebenarnya, semua manusia sedang mengalami dilema yang sama dengan kita. Semua manusia sedang mencari jati dirinya. Yang kedua adalah bahwa “Manusia kehilangan dasar komunikasi” (man finds no foundation of communication). Manusia butuh berhubungan dengan sesama manusia, tetapi manusia juga butuh berhubungan dengan sesuatu yang universal, yang meliputi segala sesuatu. Sekalipun manusia menganggap dirinya sempurna, ia tetap terbatas. Jean Paul Sartre pernah berkata,”Sesuatu yang terbatas tidak mempunyai arti jika ia tidak mempunyai suatu acuan yang tidak terbatas.” Manusia tidak mungkin hidup dengan benar, dan menjalin relasi dengan sesama tanpa memiliki Dasar yang melampaui segala sesuatu. Mengapa banyak keluarga yang hancur? Mengapa banyak anak muda yang mengorbankan masa mudanya dengan hal-hal yang najis di hadapan Tuhan? Karena mereka kehilangan dasar komunikasi; dan mereka sedang mencarinya. Mereka mencari Being yang universal itu, tetapi selalu kandas dalam kehampaan! Dan yang ketiga adalah bahwa “Manusia kehilangan dasar kasih” (man finds no foundation of love). Manusia dapat mengasihi jika ia mempunyai jaminan bahwa ia pun dikasihi. Tetapi siapa yang memberikan jaminan kasih itu? Inilah yang dicari manusia. Anak-anak muda merasa asing dalam lingkungannya, tidak puas dengan dirinya, berperilaku bebas, kejam terhadap lingkungan, dan hidup tanpa pengharapan. Mungkin salah satunya sedang duduk di sini. Ketahuilah, Saudara sedang kehilangan dasar kasih dan tidak tahu bagaimana Saudara tahu Saudara sedang mengasihi!
Ilustrasi Pablo Picasso adalah seorang pelukis aliran abstrak yang dilahirkan pada tahun 1881 di Perancis. Kalau Saudara pernah memperhatikan lukisannya, sampai kapan pun Saudara tidak akan pernah tahu apa yang mau disampaikan lewat lukisannya. Ketika ia melukis sesosok wanita, Saudara tidak akan pernah dapat menentukan apakah wanita itu berambut pirang ataukah hitam. Bahkan wanita itu dapat menjadi apa saja, terserah penilaian Saudara. Ketika ia sedang jatuh cinta kepada seorang wanita bernama Eva, lukisan yang menggambarkan keelokan Eva diberi judul J'aime Eva (Saya cinta Eva). Bukan gambar Eva yang menjelaskan, sebab gambar Eva sendiri tidak keruan, tetapi tulisan J’aime Eva yang tergores di kanvas itu. Picasso adalah gambaran manusia moderen. Seorang manusia yang ingin mencari jati diri, yang ingin mencintai seseorang melalui sesuatu yang universal. Namun ketika ia merasa mendapatkan yang universal itu, ia tidak dapat mengkomunikasikan kepada orang lain. Sampai akhir hayat, Picasso hidup dalam kegelisahan ini.
Aplikasi Inilah dunia kita, tempat hidup kita. Manusia tidak lagi tahu darimana ia ada dan untuk apa ia ada. Bagi manusia moderen, manusia ada bukan karena diciptakan oleh Allah yang berpribadi, tetapi oleh suatu kekuatan yang tidak berpribadi plus waktu plus peluang. Inilah yang membuat manusia berpikir bahwa dirinya tidak lebih daripada sebuah mesin, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan moral dan hidup kudus menjadi barang usang. Tak perlu dasar tentang jati diri manusia, komunikasi dan kasih. Tak perlu lagi ada patokan, standar moral yang absolut. Tak perlu lagi ada Tuhan! Saudara, ketika Saudara hendak berbuat dosa, masihkah hati nuranimu berkata “Jangan!” Masihkah suara Roh Kudus berbisik, “Itu dosa!” Tetapi apa yang Saudara lakukan? Saudara takut dianggap kuno atau kolot, lalu ikut menceburkan dirimu dalam perbuatan maksiat. Saudara tidak sedang menjadi jagoan, tetapi di hadapan Allah Saudara sedang mengalami dilema yang amat besar! Saudara hendak menggeser posisi Allah, dan menobatkan dirimu sebagai Allah. Ketika Tuhan disingkirkan, bahkan dianggap mati, maka manusia akan berada dalam keadaan yang amat memprihatinkan; Sir Julian Huxley, seorang filsuf humanisme mengatakan, “Man functions better if he acts as though God is there” (manusia berfungsi lebih baik jika ia bertindak seolah-oleh Allah ada). Secara tidak langsung diakui, bahwa Allah harus ada agar hidup manusia lebih baik. Namun dari sekian filsafat dan agama yang lahir di dunia ini, tidak satu pun yang memberikan jawaban atas dilema manusia. Hanya iman Kristen yang memberikan jawabannya! Dalam bukunya, Institutes of Christian Religion, John Calvin menyatakan bahwa pengenalan terhadap Allah yang benar dan pengenalan terhadap manusia saling terkait, sehingga kita tidak dapat mempelajari yang satu tanpa yang lain.
2. Kekudusan Allah menjadi standar dasar kekudusan manusia. Pemikiran di atas membawa kita pada pemikiran tentang siapakah Allah? Allah, dalam ke-Tritunggalan-Nya adalah Allah yang kudus. Kekudusan Allah berarti bahwa Allah secara kekal berkehendak untuk menjadi diri-Nya jauh dari dosa; dan menuntut kemurnian hidup atas ciptaan-Nya yang bermoral. Di sini kita bertemu dengan dua aspek kekudusan Allah: pertama negatif, bahwa Allah tidak terikat (self existent, self sufficient), tidak ada ilah lain di sampingnya sebab ilah adalah buatan manusia; kedua positif, Allah menjadi Kurios, Tuan yang mutlak atas umat-Nya. Tuhan yang kudus ini menghendaki umat-Nya juga kudus. Kekudusan Allah menjadi standar kekudusan manusia. Di dalam Alkitab sendiri kekudusan Allah dan kekudusan manusia menjadi tema utama. Karena Allah kudus, maka Allah tidak dapat berhubungan dengan dosa. Allah menghendaki manusia yang mengenal Dia berada dalam keadaan yang sama seperti Dia. Mengapa Allah menghendaki umat-Nya hidup kudus? Pertama, status sebagai umat Allah (the state as God’s people). Dalam PL, Israel dipilih dan dipanggil Allah keluar dari Mesir untuk menduduki tanah Perjanjian. Mereka harus hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, bangsa-bangsa asing, yang tidak mengenal Yahweh, Allah Perjanjian, Allah yang kudus. Sekalipun bangsa-bangsa itu berkebudayaan tinggi, praktik hidup dan cara penyembahan mereka membahayakan kemurnian iman kepada Yahweh. Itulah sebabnya Allah mengharuskan umat-Nya hidup kudus, sama seperti Allah adalah kudus (Im 19:2). Allah menjadi standar kekudusan. Dan Allah memberikan jaminan yang memampukan umat-Nya untuk hidup kudus. Kedua, status sebagai umat tebusan (the state as redeemed people). Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, segala upaya dan jerih lelah untuk mencapai kekudusan adalah mustahil. Tetapi ketika Yesus datang, melalui kematian-Nya Yesus menebus dosa-dosa manusia, serta melalui kebangkitan-Nya Ia menjamin keselamatan manusia. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Yesus menjanjikan Penolong yang lain, yang setara dengan Dia, yaitu Roh Kudus yang menguduskan dan yang terus-menerus membersihkan manusia tebusan dan noda dan kecemaran. Karya Roh Kudus tidak sekadar pengubahan status menjadi orang yang diselamatkan, tetapi juga pengubahan karakter orang berdosa menjadi kudus, sama seperti Allah adalah kudus. Tetapi mungkinkah kita yang mempunyai Roh Kudus berdosa? Mungkin! Kita masih mungkin mencuri dengan segala manifestasinya (mencuri waktu, mencuri kemuliaan Tuhan, dan sebagainya). Kita masih dapat berpikiran kotor, kita masih dapat membenci orang lain. Namun karakteristik orang yang mengenal Allah yang kudus ialah pada waktu ia berdosa, Roh Kudus berduka dan mendesaknya untuk bertobat dan hidup kudus sama seperti Allah adalah kudus. Ketiga, status sebagai ciptaan baru (the state as new creation). Ketika Allah menciptakan manusia, manusia dijadikan mahkota seluruh ciptaan. Sebab, manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah (man was created in the image of God), dalam citra ilahi. “Gambar” dan “rupa” adalah dua kata yang bersinonim yang hanya diatributkan kepada manusia sebagai pembeda kualitatif dari makhluk-makhluk lain. Manusia dapat berpikir, merancang masa depan, mempunyai pertimbangan moral, tahu yang baik dan yang jahat, dan menjadi makhluk spiritual. Inilah citra ilahi dalam pengertian yang luas. Namun manusia juga dianugerahi citra ilahi dalam pengertian yang khusus, yaitu manusia diciptakan Allah dengan the original righteousness (kebenaran asali), yaitu pengetahuan, kebenaran dan kekudusan yang benar (Ef. 4:24; Kol. 3:10). Dengan original righteousness manusia mempunyai persekutuan yang erat dengan Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka the original righteousness rusak! Tetapi bukan berarti manusia kini tidak lagi membawa citra ilahi. Manusia masih dapat mengasihi, manusia masih dapat memutuskan keputusan moral, manusia masih dapat merancang masa depannya, tetapi manusia tidak mengerti tujuan tindakannya itu! Inilah total depravity (kebobrokan total) itu. Alkitab berkata manusia “mati karena pelanggaran dan dosa mereka, dan hidup di dalam kematian itu” (Ef 2:1). Tetapi manusia baru, manusia yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus untuk percaya kepada Yesus, dibenarkan dan diangkat menjadi anak Allah, menerima anugerah pengampunan dosa oleh darah Kristus dan the original righteousness diberikan Allah kepadanya, memiliki dasar tentang siapa dia dan untuk apa dia ada. Manusia baru tahu bahwa keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari “Ada” yang di atas. “Ada” yang di atas sejak semula adalah “Ada” yang kudus dan yang terus menjaga Diri-Nya kudus, “Ada” yang self sufficient, tidak memerlukan pengada-pengada yang lain. “Ada” yang di atas itu tak terbatas namun Ia berpribadi. Bukan seperti panteisme yang percaya “Ada” yang di atas itu tidak terbatas dan juga tidak berpribadi; tetapi bukan pula seperti mitologi Yunani, dewa-dewi yang berpribadi namun tak bermoral. Tetapi pertanyaannya, siapakah “Ada” yang self sufficient itu dan mengapa Ia menciptakan “ada-ada”? “Ada” yang di atas itu ialah the eternal God in the high order of the Holy Trinity, Trinitas yang Agung, kudus dan kekal; Allah yang ada dalam pribadi Bapa, Anak dan Roh Kudus, di dalam kasih mereka telah mempunyai komunikasi antara satu Pribadi dengan yang lain. Hubungan kasih ini membuat Allah cukup dengan Diri-Nya, Allah tidak memerlukan sesuatu di luar Diri-Nya. Tetapi ketika Allah menciptakan alam semesta dan manusia, itu semua karena kerelaan hati-Nya! Siapakah Saudara dan saya sehingga Tuhan mengasihi kita? Mengapa engkau sia-siakan hidupmu, wahai pemuda? Ketahuilah Allah sangat mengasihimu sekalipun sebenarnya Allah tidak membutuhkan kita! Betapa berharganya manusia yang mengenal Tuhan di mata Allah. Ia memiliki dasar jati dirinya, sebab ia dicipta menurut gambar dan rupa Allah dalam pengetahuan, kebenaran dan kekudusan yang benar. Ia mempunyai dasar komunikasi dan kasih di dalam Diri Allah sendiri. Jika ia tahu bahwa ia telah dikasihi Allah, maka ia pun akan dapat mengasihi dirinya dan orang lain. Jadi jelaslah bawha kekudusan hidup memiliki dasar dari dan di dalam Allah sendiri, bahwa Allah adalah Allah yang kudus, dan Allah menghendaki umat-Nya untuk hidup kudus. Kekudusan Allah adalah standar kekudusan manusia.
Ilustrasi Saudara, di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat, ada sekelompok masyarakat yang hidup jauh dari kemajuan zaman. Masyarakat Amish namanya. Bahkan listrik pun mereka tidak mau pakai. Kecanggihan teknologi mereka yakini akan meretakkan tali persaudaraan di antara mereka dan merusak moral anak cucu mereka. Semula seluruh dunia mencela tindakan komunitas ini. Tetapi kini, Pennsylvania menjadi pusat studi perdamaian dunia karena masyarakat Amish ini.
Aplikasi Saudara, jangan pernah menyangka jika Saudara berkompromi dengan cara hidup dunia, maka dunia akan menjadi sahabatmu. Mungkin, tetapi sekejap mata, lalu dunia akan meninggalkanmu dalam keadaan yang mengenaskan. Namun dunia jauh lebih menghormati orang-orang yang teguh memegang prinsip hidupnya daripada orang-orang yang berkompromi dengannya! Dunia sedang mencari orang-orang yang berani hidup kudus di tengah-tengah kebobrokan yang mengglobal. Mungkin pada awalnya Saudara akan dianggap makhluk aneh. Tetapi di kemudian hari dunia pasti mengangkat topi melihatmu. Saudara, standar hidup kudus kita bukan filsafat, bukan nilai-nilai masyarakat modern, tetapi Allah sendiri. Saudara telah mendengar firman Tuhan. Tuhan memanggil Saudara untuk hidup “kudus, sama seperti Tuhan adalah kudus”, Tuhan, melalui Roh Kudus-Nya akan memampukan Saudara untuk hidup kudus. Maukah Saudara, saat ini, mengambil komitmen untuk hidup kudus, menjauhkan diri dari kecemaran? Maukah Saudara juga memohon pengampunan dari Allah jika selama ini hidupmu tidak kudus sekalipun Saudara telah mengenal Tuhan atau melayani Tuhan sekian waktu lamanya? Saudara yang dikasihi Tuhan, standar hidup kudus kita bersumber dari Allah sendiri, yang mengasihi kita sejak kekekalan, memilih, memanggil dan menguduskan kita. AMIN====================================== | |