sumber kristen

                                                                  www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

SETELAH KEGAGALAN ITU

 

Pendahuluan: 

William Shakespeare dalam karangannya yang berjudul Hamlet menuliskan dialog antara Hamlet dengan Ophelia sebagai berikut;

 

            "Engkau boleh meragukan bahwa bintang-bintang itu api

             Engkau boleh meragukan bahwa matahari itu bergerak

             Engkau boleh meragukan bahwa kebenaran itu dusta

             Tetapi, jangan sekali-kali engkau meragukan cintaku (But never doubt I love)."

 

Dalam bentuk kalimat yang lain namun pengertiannya sama, bukankah kalimat seperti ini pernah diucapkan oleh seorang rasul yang bernama Simon Petrus? Mari kita perhatikan Yohanes 13:36-38,  Petrus seakan-akan berkata demikian "Oh Tuhan aku mengasihi Engkau, aku akan memberikan nyawaku bagiMu. Oh Tuhan Engkau boleh ragu terhadap Yudas Iskariot, Yohanes dan Tomas, tetapi jangan ragu terhadap aku. Sebab aku ini lain, ya.. aku ini lain. Sekali lagi aku akan memberikan nyawaku bagiMu"

 

Tetapi Tuhan Yesus berkata kepadanya:

 

"Nyawamu akan kau berikan kepadaKu? Aku berkata kepadamu Petrus, sebelum ayam berkokok dua kali engkau telah menyangkal Aku sebanyak tiga kali."

 

Inilah suatu kenyataan hidup yang sedang dihadapi oleh Petrus. Dia seakan-akan menjadi seorang yang begitu pengecut, dia gagal dalam ucapannya sendiri. Yang lebih parah, ia nanti akan menyangkal diri Yesus sebanyak tiga kali. Timbul pertanyaan untuk semua pembaca, siapa sebenarnya yang ingin mengalami kegagalan? Tentu tidak seorangpun yang  mau bukan! Semua oranghanya ingin sukses. Siapa yang ingin dirinya dicemooh? Penulis yakin dan percaya kita semua pasti tidak mau. Namun, bukankah tatkala dunia sedang berusaha mencari keadilan, Petrus seakan-akan diperlakukan secara tidak adil,  terutama oleh para pengkhotbah yang senantiasa memfokuskan penyangkalannya sebagai topik renungan atau khotbah. Bukankah masih ada banyak hal positif dari Petrus ini yang bisa kita pelajari?

Mari kita lihat ayat 15, di sini dicatat bahwa Simon Petrus dan seorang murid yang lain mengikuti Yesus sampai ke halaman istana imam besar, tetapi Petrus tinggal di luar dekat pintu. Di sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa semua murid-murid Yesus yang lain tidak berada di tempat, mereka entah lari ke mana. Kemungkinan besar mereka bersembunyi karena takut ditangkap juga.

 

Coba kita bayangkan apa yang pernah dilakukan Petrus, hanya dia yang telah mengacungkan pedang untuk melawan pasukan yang dibawa Yudas Iskariot, walaupun keadaan waktu cukup menakutkan. Sementara itu murid-murid yang lain bengong dan bungkam. Sekarang Petrus sendiri yang mengikuti Yesus dan melihat bagaimana keadaan Gurunya selama di persidangan yang penuh "rekayasa" ini. Mengapa kita katakan penuh "rekayasa". Ada beberapa alasan untuk menjawabnya;

 

1. Yesus ditangkap tanpa  ada kesalahan yang dapat dituduhkan kepada-Nya.

2. Yesus ditanyai sesuatu, padahal biasanya harus ada saksi.

3. Yesus disidangkan pada malam hari, dan menurut tradisi itu tidak lazim.

4. Saksi-saksi palsu dihadirkan dan pengakuannya dipercaya dan dijadikan  pedoman untuk menghukum Yesus         

     

Seharusnya sekarang yang perlu kita ingat tentang Petrus bukan lagi kegagalannya, melainkan keberaniannya yang menyebabkan dia tetap tegar dan dekat dengan Gurunya, ingat waktu itu semua orang telah melarikan diri.

 

Memang suatu kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang, dan apabila orang tersebut sudah sadar ia akan merasa sangat menyesal sekali. Satu contoh yang dapat kita lihat dari kisah seorang hamba Tuhan yang melayani di Cina yakni Pendeta Wang Ming Thao. Tatkala ia memberitakan Injil di Cina, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara selama dua puluh tiga tahun.

 

Menurut kesaksiannya, di dalam penjara ia disiksa, dipukul, dihukum strum dengan kursi listrik, semua ini dilakukan oleh pihak pemerintah supaya pendeta ini menolak iman kepercyaannya. Suatu hari, ketika ia baru selesai distrum di kursi listrik, ia dipaksa untuk menandatangani sebuah surat pernyataan yang menyatakan bahwa ia tidak percaya Tuhan Yesus lagi.  Dengan setengah sadar ia pun menandatangani surat itu. Setelah sadar,  ia merasa sangat terpukul dan  menyesal sekali. Kemuadian dia minta pengampunan dari Tuhan. Maka sebagai peringatan baginya, ia membeli seekor ayam jantan, dan memeliharanya di dalam penjara untuk mengingatkan dirinya seperti Petrus yang pernah menyangkal Yesus.

 

Simon Petrus sebagai seorang yang boleh dikatakan "pragmatis" yang biasanya selalu mengambil keputusan dengan cepat dan praktis, apa lagi yang harus dilakukannyua selain memberi jawaban yang spontan ketika orang bertanya tentang dia dan Gurunya? Kegagalan itu hanya terjadi pada orang yang luar biasa berani seperti Petrus tatkala menghadapi keadaan yang tidak biasa atau boleh saya katakan terpaksa.  Sekali lagi, benar Petrus mengalami kegagalan; tetapi ia gagal dalam situasi semua orang telah melarikan diri.

 

Kita perlu ingat bahwa Petrus sangat mengasihi Tuhan Yesus, teman-teamn lain telah lari namun ia tetap bertahan.  Ia sedemikian mengasihi Yesus sehingga tidak ada langkah yang cukup beralasan baginya supaya meninggalkan Gurunya walaupun akhirnya ia jatuh dan gagal dengan menyangkal. Benar dia gagal, tetapi ia gagal dalam situasi hanya orang yang setia dan kasih kepada Yesus berada di dalamnya.  Nah sebagai konsekwensinya maka Petrus harus menebusnya dengan tangisan penuh kesedihan; dan barangkali hal ini jarang dilakukan oleh orang se-pragmatis Petrus.  Namun kalau kenyataannya kita melihat Petrus menangis dengan sedih, itu hanya karena di dalamnya ada "Kasih" yang sekarang mungkin "Kasih" itu agak terluka dan tergores, kasih itu sudah mulai agak renggang dan mulai luntur. Sementara itu Petrus menyadarinya.

 

Selain itu, resiko yang harus diterimanya cukup banyak. Salah-satunya ialah; berita kegagalannya akan tersebar. Mungkin orang-orang akan menilainya pengecut, penghianat, atau barang kali ada yang agak nakal; mereka menirukan suara ayam berkokok untuk mengenyek Petrus.  Kita tidak menganggap bahwa semata-mata Petrus merupakan murid terbaik. Tetapi selama yang masih namanya "manusia" siapa yang berani mengklaim dirinya sempurna.  Siapa yang bebas dari kelemahan dan kekurangan? Sesungguhnya orang yang hanya pandai mengecam orang lain dan mengangkat diri sendiri menjadi teladan adalah orang yang paling tidak pantas untuk diteladani.

 

Sebagai orang yang pragmatis dalam kehidupan Petrus "menangis": dan "menyesal" tak pernah berlangsung terlalu lama.  Oleh sebab itu setelah Yesus mati, Petrus menjadi orang pertama yang paling tanggap terhadap situasi baru ini. Maka ia segera mempunyai ide yakni kembali ke profesinya yang lama.  "Aku mau pergi menangkap ikan" (lihat Yohanes  21:3).  Kembali menangkap ikan adalah sikap yang paling praktis dan realistis. Sebab memang itulah keahliannya yang lama sebelum Tuhan Yesus hadir dalam kehidupannya. Menangis dan berkabung tetap tidak sanggup lagimerobah keadaan atau  menghidupkan kembali Sang Guru.

 

Namun keinginan Yesus terhadap Petrus justru lain, Yesus ingin Petrus tetap dalam panggilanNya. Itulah sebabnya bukan kebetulan jika Tuhan Yesus menemui Petrus di tepi pantai, dan selanjutnya ada suatu pembaharuan dalam pelayanannya.  Simon anak  Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku, lebih dari kapalmu, jalamu, hasil ikanmu, atau dibandingkan dengan teman-temanmu yang lain?  Pertanyaan ini membuat Petrus terharu, karena secara berturut-turut Yesus melontarkan pertanyaan yang sama. Lalu perintah Yesus kepadanya "Gembalakanlah domba-dombaKu"

 

Tuhan Yesus sepertinya mau ingatkan Petrus bahwa, Aku tidak sudi engkau kembali menangkap ikan, tetapi tugas utamamu adalah sebagai penjala manusia, yakni membawa orang-orang untuk percaya kepada-Ku.  Dengan ketiga pertanyaan inilah, kembali hati Petrus tergugah dan ia tak sanggup menahan tangis.  Ia sadar, ia pernah menyangkal Gurunya tiga kali, yang seakan-akan Yesus menyindirnya dengan pertanyaan sebanyak tiga kali.

 

Selanjutnya kalau kita melihat masa akhir hidup Petrus, sungguh terjadi suatu kebangunan rohani yang dahsyat. Ada 5000 orang yang bertobat melalui khotbah yang disampaikan Petrus, belum terhitung perempuan dan anak-anak (lihat Kisah para -rasul  4).  Bahkan menurut tradisi, demi pekabaran Injil yang dilakukan Petrus, ia ditangkap dan disalibkan dengan terbalik. Ia mati demi Injil.  Sekarang mari kita kembali mengoreksi diri, apakah memang benar kita lebih baik dari Simon Petrus?

 

Kegagalan kita mungkin tidak sampai menyangkal Yesus, tetapi mungkin di gereja kita gagal membina satu persekutuan yang indah dengan sesama kita. Sebagai suami atau isteri kita gagal membina rumah tangga kita dengan baik, ada percekcokan terus. Atau kita gagal mendidik anak kita dengan baik, sehingga hati kita susah.  Sebagai pegawai atau staff kita merasa gagal dalam tugas-tugas yang diberikan atasan.  Atau sebagai orang Kristen kita gagal memenuhi tuntutan Tuhan; bahkan sering kali kita menyakiti hati Tuhan. Kita senantiasa jatuh di dalam dosa yang sama.

 

Bukankah sewaktu kita baru pertama bertobat kita juga seperti Petrus dengan sesumbar berkata "Nyawapun akan kuberikan kepadaMu Tuhan", aku tetap mengasihi-Mu. Sejalan dengan waktu, mungkin kini kasih kita kepada Tuhan mulai berkurang, kita malas melayani Dia, kita

 

kurang semangat melayani.  Janji ya tinggal janji dan sementara itu kita kembali ke manusia lama.  Tuhan Yesus tidak mengingini kita demikian,   Ia akan berkata "stop dari kegagalanmu", mari bangkit, Aku akan memperbaharui engkau. Sekarang apa yang harus kita perbuat?Tatkala kita mengenang kematian Yesus di atas kayu salib; mari kita bangkit dari kegagalan itu. Jangan terbuai dengan kegagalan yang terus menerus. Tuhan pasti akan memperbaharui kita.

 

Amin.