sumber kristen

                                                                  www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

Tema                : KECEWA KEPADA ALLAH

Nats                 :  Sumber: Majalah MOMENTUM No. 39 - Maret 1999

Penulis              :  Pdt. Dr. Stephen Tong

 Artikel ini ditranskrip dari renungan yang disampaikan pada Persekutuan Doa Mahasiswa STRII dan Institut Reformed hari Selasa tanggal 16 Februari 1999

Pendahuluan:

            Dua hari yang lalu dalam suatu kesempatan yang baik, saya bertemu dengan dua orang saudara saya, Pdt. Dr. Caleb Tong dan Pdt. Dr. Joseph Tong. Saya menjemput mereka di bandara dan waktu di bandara seseorang datang kepada saya dan bertanya, “Pak Stephen ya?” Saya bilang, “Ya”. Kami berjabat tangan. “Anda ikut kebaktian di mana?” Saya bertanya padanya dan dia menjawab, “Ya, dulu pernah satu dua kali mendengar khotbah Pak Stephen Tong. Kemudian saya ke gereja-gereja yang lain. Sesudah itu keliling sini, keliling sana, tidak menetap.” Lalu saya bertanya, “Sekarang ke gereja mana?” Jawabannya, “Tidak ke gereja.” Saya bertanya, “Sekarang tidak ke gereja?” Dia merokok dengan satu tangannya ditaruh di belakang. Asap rokoknya terus mengepul seraya berbicara dan ngomong d! engan saya. Saya rasa dia sudah melarikan diri dari Tuhan. Lalu saya bertanya, “Mengapa tidak ke gereja?” Dia menjawab, “Kecewa.” “Kecewa dengan siapa?” tanya saya. “Terus terang kecewa kepada Tuhan,” setelah mengatakan kalimat itu, dia lalu pergi.

            Saya tidak habis-habisnya memikirkan kalimat itu. Berhakkah? Berhakkah manusia yang dicipta kecewa terhadap Sang Penciptanya? Ini yang menjadi pemikiran saya. Who are we? We think we deserve the right to claim we are disappointed by God. Siapakah kita yang berhak mengatakan, “Aku dikecewakan oleh Tuhan. Aku kecewa terhadap Tuhan.”

            Kalimat ini membuat saya memutar pikiran sepanjang satu hari itu. Teologi apakah ini? Teologi ajaran apakah yang mengajar manusia, sehingga berani mengatakan, “Allah mengecewakan saya.” Kalau Allah mengecewakan seseorang, hanya karena beberapa sebab, yaitu: Pertama, Allah berhutang kepada saya dan Dia lupa bayar, maka saya kecewa. Kedua, Allah menipu saya, akhirnya saya dirugikan, maka saya kecewa. Ketiga, Allah berjanji sesuatu, akhirnya Dia tidak melunaskannya, sehingga saya kecewa. Tiga presuposisi ini, semuanya tidak memiliki dasar Alkitab. Allah tidak pernah berhutang kepada manusia. Teologi yang benar mengatakan, manusia berhutang kemuliaan Allah dan tidak bisa membayar sendiri. Yang seharusnya dikatakan adalah kitalah yang mengecewakan Tuhan, bukan Tuhan yang mengecewakan kita. Allah tidak pernah menjanji! kan sesuatu yang Dia sendiri tidak melunaskannya, kecuali janji itu adalah semacam tafsiran manusia dan “misleading” (penyesatan) dari orang yang salah mengerti Alkitab. Jadi, Allah tidak berhutang kepada saya, Allah tidak sembarang berjanji kepada saya, Allah tidak mungkin menipu saya.

            Jika demikian apakah penyebabnya? Penyebab pertama adalah adanya pengkhotbah-pengkhotbah yang memberikan tafsiran yang salah terhadap ayat-ayat Alkitab. Misalnya, yang percaya kepada Tuhan pasti dapat kekayaan, pasti dapat hidup yang subur, makmur di dalam materi. Yang percaya kepada Tuhan pasti tidak ada mara-bahaya, penyakit, kesulitan, dan kemiskinan. Misalnya lagi, jikalau engkau memberikan persembahan, Tuhan akan mengembalikan sepuluh kali lipat ganda. Apakah saudara pernah mendengar khotbah semacam ini? Hal ini terjadi sejak kira-kira 25 tahun yang lalu, selangkah demi selangkah merambat masuk ke dalam mimbar-mimbar gereja yang tidak bertanggung jawab. Tetapi setiap statement yang tidak benar, bisa juga mendapatkan tunjangan dari Kitab Suci. Jadi ada ayat-ayat yang sepertinya mendukung statement itu, karena dimengerti secara fragmentaris, dan bukan secara totalitas. Karena mengambil ayat sebagian-sebagian lalu mengkhotbahkannya, sangat mungkin terjadi misleading bagi orang lain yang mendengarnya.

            Kedua, pengertian yang tidak membandingkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, mengakibatkan tidak diperolehnya prinsip total Kitab Suci. Mengambil suatu keputusan melalui bagian-bagian, lalu membuat statement. Hal ini sangat membahayakan. Saudara sebagai pengkhotbah, sebagai pemimpin gereja, sebagai pembawa firman, sebagai pemberita kehendak Tuhan, harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu.

            Saya percaya, bukan dia saja, mungkin seluruh Indonesia berani mengatakan, “Aku kecewa terhadap Tuhan.” Mungkin sudah puluhan juta orang pernah mempunyai ajaran salah yang menuju pada konklusi bahwa Allah menipu dia, Allah tidak melunaskan janji-Nya, Allah berhutang kepada dia sehingga dia berani mengatakan, “Saya kecewa kepada Tuhan.”

            Tahun 1965, kalau saya tidak salah ingat, gunung Agung meletus di Bali. Lavanya mengalir begitu cepat, sehingga banyak orang yang tidak sempat mengungsi, mendadak terkena lava. Pada waktu itu saya berada di Bandung, lalu seorang wartawan datang kepada saya, “Pak Stephen, bolehkah saya tunjukkan kira-kira 180 foto yang saya ambil dengan cepat pada waktu orang-orang terkena lava itu?” Saya sedang makan ketika wartawan itu datang dan duduk di samping saya. Waktu saya melihat foto-foto tersebut, rasanya saya ingin muntah. Ada orang yang sedang tidur, lavanya datang dan saat itu juga separuh badannya menjadi tulang, dan separuhnya masih daging. Di tengah-tengah sambungan antara daging dan tempat tulang itu, ada satu garis putih yang besar dan bengkak, seperti kulit babi yang digoreng jadi rambak / krupuk. Bagian yang terkena api panas itu langsung melembung. Satu bagian masih daging biasa, bagian yang lain, matang menjadi seperti rambak. Meskipun saya mau muntah tapi saya dikejar oleh kuriositas, jadi satu per satu foto tersebut saya lihat sambil mau mengeluarkan air mata, sambil mau menangis, sambil mau berteriak, tetapi tidak bisa. Namun ada beberapa foto yang menggugah teologi saya, yaitu lava yang sudah dekat kira-kira tiga meter lagi, dan dalam beberapa detik akan terkena lava, tetapi orang tersebut tidak lari, ia sedang berlutut berdoa kepada dewa. Waktu saya lihat, saya berpikir, “Wah! Ini begitu beda dengan orang Kristen. Mengapa ada orang Kristen pada hari lancar, dia berani berdosa. Sedikit rugi, langsung mencacimaki Tuhan Allah. Mengapa orang Hindu waktu mereka menghadapi kecelakaan, mereka tidak memaki-maki dewa mereka. Mereka minta pertolongan dewa, jangan sampai memusnahkan mereka. Mereka mengaku kesalahan, mengaku dosa.” Pemikiran ini terus mempengaruhi saya sampai sekarang, sudah lebih dari 30 tahun.

            Pemikiran itu adalah, Why?…Why? … What causes that? What causes it to be like that? Apa salahnya pemberitaan kita? Apa salahnya khotbah kita, sehingga anggota kita selalu merasa dia sepatutnya menerima anugerah Tuhan dan tidak boleh dirugikan apapun oleh Tuhan, kalau tidak, Allah harus dicela, dimaki, dipersalahkan, dan akhirnya dia keluar dari gereja.

            Lalu dari situ, pemikiran saya mulai berkembang pada the theology of suffering, the theology of worship, the theology of understanding grace, theology of resistant to the tribulation. Berkembanglah begitu banyak pemikiran saya semenjak melihat 180 foto tersebut. Mengapakah orang-orang Asia dengan sedikit kesulitan, meninggalkan gereja, keluar dari gereja? Mengapa orang Yahudi yang dibantai, dibunuh dengan gas, dihancurkan hidupnya, enam setengah juta jiwa, di dalam holocaust, tetapi mereka tetap menyembah Allah, tetap takut kepada Tuhan dan mereka tidak pernah meninggalkan iman mereka? Jadi, what’s wrong? Apa yang salah di dalam pemberitaan kekristenan? Jawaban saya adalah satu kalimat, “Kita lebih suka memberitakan Allah itu kasih adanya, mengobral murah kasih Allah daripada berani mengkhotbahkan Allah itu suci dan adil, Dia akan menghakimi dosa seluruh dunia.”

            Dari konklusi ini, pemikiran saya berkembang lagi, di manakah hamba-hamba Tuhan yang berani menyatakan tahta kemarahan Tuhan, keadilan Tuhan, kesucian Tuhan, untuk mengingatkan bangsa dan zaman ini? Semakin lama semakin sedikit. Tetapi pendeta yang berusaha memberikan injil palsu supaya gerejanya bertumbuh, supaya lebih banyak orang mendengar khotbahnya dengan kalimat, “Percayalah Tuhan, semua penyakit akan disembuhkan, semua kesulitan diatasi, semua akan diberikan kepada engkau” begitu banyak sekali, bahkan di dalam aliran Pantekosta dan Kharismatik sudah teracun satu pikiran: dengan banyak mujizat yang dilihat, orang akan beriman.

            Namun hari ini saya akan menunjukkan dua prinsip. Prinsip pertama, Yohanes Pembaptis tidak pernah melakukan satu mujizat pun, namun banyak orang yang percaya melalui dia. Karena sifat lurus, jujur, berani, dan tidak mau dipengaruhi oleh dosa sehingga dia berkhotbah dengan kuasa luar biasa. Itu catatan Alkitab. Yohanes tidak pernah melakukan satu mujizat pun, teatpi yang percaya karena dia banyak sekali. Kedua, Islam adalah satu agama yang tidak pernah mengembangkan anggota mereka melalui daya tarik mujizat. Tidak pernah hal itu terjadi. Pada zaman filsuf David Hume, one of the greatest scepticist in the history of human philosophy, ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang dipakai oleh orang Kristen untuk membuktikan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang sah adalah tidak adanya mujizat pada agama lain, tetapi hanya ada pada agama Kristen dan dimuat di dalam Kitab Suci. Tetapi cara dia melawan kekristenan justru dengan pertanyaan pernahkah mujizat yang dicatat dalam Kitab Suci orang Kristen, terjadi? Itupun belum bisa dibuktikan. Maka memakai bukti bahwa Kristen ada mujizat maka Kristen itu sah, pada hakekatnya tidak pernah mempunyai dukungan bukti. Apakah yang dicatat dalam Kitab Suci sungguh-sungguh pernah terjadi? Jadi dia menjadi scepticist. Itu namanya to destroy from the foundation the seeking of Christian foundation.

            Orang Kristen pada zaman itu selalu memakai fondasi-fondasi yang salah yang sebenarnya bukan fondasi untuk membangun iman. Kalau kita membiasakan diri menjadi pemberita, hoki, fat choi, property, kesuksesan sebagai imbalan kalau percaya kepada Tuhan, maka kita akan menciptakan orang-orang yang akhirnya melarikan diri dari kekristenan dengan kalimat, “Aku tidak lagi ke gereja karena aku kecewa kepada Tuhan.” Saudara seharusnya mempersiapkan diri menjadi hamba Tuhan yang bertanggung jawab dalam pemberitaan firman, sehingga anggotamu selalu menuntut, “Saya jangan menipu Tuhan, saya jangan berhutang kepada Tuhan, saya harus menepati apa yang saya janjikan kepada Tuhan.” Dan bukan berkata, “Tuhan berutang kepada saya, Tuhan menipu saya, apa yang Tuhan janjikan, tidak saya dapatkan, maka sa! ya berhak melawan dan kecewa kepada Dia.” Kiranya renungan pendek ini menjadi kekuatan bagi kita untuk menegakkan kembali kebenaran di dalam zaman ini.Amin.

 

 

Tema                :"MENGUCAP SYUKUR atas KASIH KRISTUS"

Nats                 :  Efesus 3:13-21

Penulis              :  Pdt.Bob Jokiman

Tujuan              :  Agar jemaat dapat mengucap syukur pada Tuhan yang maha baik sekalipun dalam kondisi yang sepertinya tidak memungkinkan untuk pengucapan syukur itu.

Pendahuluan   :

Pada suatu hari ketika theolog beken kelahiran Swedia-Jerman; Karl Barth menumpang kendaraan umum di kota Basel, Switzerland; di mana ia akan memberi kuliah. Seorang turis asing turut menaiki kendaraan umum tersebut dan duduk di sampingnya. Keduanya lalu mulai bercakap-cakap. Barth bertanya: "Apakah anda baru di kota ini?" "Ya" jawab sang turis. Barth bertanya kembali:"Apakah ada sesuatu yang khusus yang ingin anda lihat di kota ini?" "Ya" jawabnya sambil melanjutkan:"Saya ingin bertemu dengan
theolog yang terkenal Karl Barth. Apakah anda mengenalnya?" "Oh kenal sekali" Jawab Barth dengan penuh gairah "Tiap pagi saya mencukurnya (shave)". Kemudian turis itu turun di depan hotel di mana ia tinggal. Ketika bertemu temannya, dengan gembira ia berkata:"Wah hari ini saya punya pengalaman luar biasa. Saya bertemu tukang cukurnya Karl Barth". Anda tentu tersenyum membaca anekdot tersebut. Dapat anda bayangkan betapa sukacitanya jika turis tersebut dapat  bertemu Karl Barth secara langsung.

Demikian juga kita jika dapat lebih mengenal kasih Kristus maka kita akan menghadapi hidup ini dengan sikap yang beda, sehingga kita sanggup pula melakukan sesuatu yang berbeda dalam hidup ini. Dalam menyambut hari Thanksgiving tahun ini saya ingin mengajak anda mengukur kasih Kristus melalui surat Paulus kepada Jemaat Efesus 3:13-21; untuk mendorong kita mengucap syukur kepada Allah sekalipun  dalam keadaan
yang sulit bagi kita untuk mengucap syukur.

Khususnya sebagai penduduk California Selatan yang baru mengalami musibah kebakaran yang terbesar dalam 50 tahun terakhir ini. Meskipun secara pribadi kita tidak menjadi korban langsung tetapi kebakaran yang terjadi menjelang akhir bulan Oktober lalu yang oleh presiden Bush dinyatakan sebagai bencana nasional dengan mengakibatkan belasan korban jiwa, ribuan rumah hangus, harta milik yang tak terhitung serta ratusan ribu hektar hutan yang musnah. Tidak berarti bahwa kita melepaskan diri dari trauma, kesedihan dan penderitaan puluhan ribu keluarga di California Selatan ini. Saudara sekalipun berada di tengah puing-puing yang runtuh, keterhilangan yang sulit untuk dilukiskan serta kekuatiran menghadapi masa depan oleh banyak penduduk California Selatan yang menjadi korban keganasan api Oktober itu, apakah kita masih dapat kita mengucap syukur? Dari kesesakan ke pengucapan syukur.

Jika anda menyimak nas bacaan tersebut maka anda akan menemukan bahwa perikop tersebut diawali dengan ketidak-nyamanan yang dialami Paulus dan hidupnya :".supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakanku itu adalah kemuliaanmu" dan diakhiri dengan sebuah pujian atau Doxologi kepada Allah:". bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin." (Efesus 3:13,21)

Ketika menulis surat Efesus Paulus sedang berada di penjara. Ia dipenjara
bukan karena melakukan perbuatan kriminil, ia dipenjara karena ia mengabarkan Injil. Terpenjaranya Paulus tentu menimbulkan banyak reaksi bagi jemaat-jemaat yang pernah dilayaninya. Khususnya Jemaat Efesus di mana Paulus mempunyai hubungan yang akrab. Dalam Kisah Rasul dicatat bahwa Paulus tinggal selama beberapa tahun di Efesus untuk mengabarkan Injil, membentuk jemaat, menggembalakan serta mengajar di balai Tiranus. (Kisah 19:9). Banyak yang mengagumi dan mengasihi Paulus di Efesus, ini terlihat ketika Paulus akan ke Yerusalem di mana ia akan menghadapi  penganiayaan. Jemaat dan para
pemimpin Gereja  Efesus mengadakan perpisahan khusus dengan penuh air mata,
"Maka menangislah mereka semua tersedu-sedu dan sambil memeluk Paulus, mereka berulang-ulang mencium dia. Mereka sangat berdukacita, terlebih-lebih karena ia katakan, bahwa mereka tidak akan melihat mukanya lagi." (Kisah 20:37-38)
Kini ketika mereka tahu bahwa Paulus benar-benar berada dalam penjara, tentu membuat mereka sangat sedih dan gelisah.

Maka Paulus menulis surat tersebut untuk menghibur mereka. Paulus mengajak mereka untuk bersikap optimis menghadapi keadaan yang pesimistis, Paulus menghimbau dan mendoakan mereka untuk  mengubah kesesakan menjadi ucapan syukur! Bagaimanakah kita dapat mengubah kesesakan menjadi pengucapan syukur? Paulus mengajak kita untuk mengukur kasih Kristus. Kasih Kristus yang tak terukur Kepada Jemaat yang mempertanyakan kesesakan yang dialami Paulus, ia mendoakan supaya mereka "bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan." Itulah yang akan "menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih." Efesus 3:18-19, 16 -17 Dengan perkataan lain; melalui penghayatan yang benar akan kasih Kristus mereka disanggupkan untuk mengucap syukur di tengah kesesakan. Sebelum kita menyimak lebih jauh makna "betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus" marilah kita menengok sejenak pernyataan yang mirip dalam Perjanjian Lama yang diucapkan  Zofar, orang Naaman, yang berdialog dengan temannya Ayub, yang sedang menderita itu:"Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa? Tingginya seperti langit--apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati--apa yang dapat kauketahui? Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas dari pada samudera. " (Ayub 11:7-9). Melalui pernyataan tesebut jelas sekali terlihat betapa sulitnya kita mengukur hakekat Allah itu, demikian pula dengan kasih Kristus. Measuring Christ's love is impossible, we are attempting to measure theim measurable!

Kasih Kristus sangat lebar menjangkau semua suku bangsa di dunia, Israel, Indonesia, Tionghoa, Amerika, India dan sebagainya. Demikian panjangnya menjangkau semua orang yang pernah dan akan hidup dalam sejarah, sejak awal dan akhir sejarah dunia. Kristus adalah Pusat Penyelamatan baik untuk orang-orang Perjanjian Lama yang memandang ke depan maupun Perjanjian Baru yang menenghok ke belakang. Demikian tingginya "melampaui segala  pengetahuan", tidak dapat dimengerti dengan rasio kita. Demikian dalam menjangkau orang yang paling berdosa sekalipun seperti Paulus yang menyebut dirinya "yang paling hina di antara segala orang kudus". (Efesus 3:8)

Dalam bukunya 'A Call to Spiritual Reformation', Don Carson mengingat  kembali bagaimama sebagai anak berusia 10 tahun menderita penyakit serius dan harus dirawat di rumah sakit. Kemudian dilanjutkan dengan perawatan pemulihan selama beberapa bulan di rumah. Ia ingat pada suatu hari ketika terbangun dan menemukan ibunya berada di tepi tempat tidur menangis terseduh-seduh. Ia melihat ibunya dan sesuai kemampuan anak yang baru berusia 10 tahun ia berkata: "Why Mum, you really love me". Perkataan itu sangat menyentuh hati ibunya sehingga ia berlari ke luar kamar dengan banjir
air mata.

Jika kita bertanya kepada Don Carson apakah pada hari-hari sebelumnya ibunya mengasihi dia, tentu ia akan menjawab "Iya! Ia mengasihi saya". Namun di saat itu ia tiba-tiba sadar dan tahu dengan cara yang baru dan segar bahwa ibunya mengasihi dia. Pengalaman tersebut mengingatkan dia akan kasih ibunya lebih nyata dari sebelumnya. Dengan memahami "betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus' kiranya membuat kita sadar dan tahu dengan cara yang baru dan segar bahwa Kristus sungguh mengasihi kita serta  mendorong kita untuk sanggup mengucap syukur di tengah kesesakan hidup ini.

Berkat Allah yang tak terduga Jika kita perhatikan keseluruhan surat Efesus kita akan menemukan suatu keunikan yang tidak terdapat dalam surat-surat Paulus lainnya. Keunikan tersebut ialah dipanjatkannya Doxologi di tengah-tengah surat tersebut, bukan pada akhir suratnya seperti yang lazim dilakukannya. Mengapa sampai hal itu bisa terjadi?  Tidak lain dan tidak bukan karena Paulus  tidak dapat menahan gejolak hati yang begitu merasakan kebesaran serta kemurahan Allah yang luar biasa dalam hidupnya. Selain telah mengalami kasih Kristus yang  tak terukur itu, dia juga mengalami bagaimana Allah "dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita" Baik dalam kehidupan maupun pelayanannya. (Efesus 3:20)

Pengalaman Paulus telah menunjukkan kebenaran tersebut tatkala ia menulis:" Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa;  kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa." ( 2 Kor.4:7-9)

Semua itu membuktikan bahwa Allah "dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita" Itukah sebabnya  Paulus menghendaki di tengah kesesakan yang dialami oleh umat Kristen saat itu, tetap beriman teguh kepada Allah yang  "dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita". Jikalau saat ini kita berada dalam kesesakan yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan 'tribulation' atau 'suffering', marilah kita merenungkan sejenak hidup kita selama ini. Bukankah terlalu banyak berkat Allah yang tak terduga kita alami? Bandingkan saja hidup kita sekarang ini dengan beberapa tahun lalu, khususnya sebagai perantau-perantau di negara ini. Kalau satu persatu harus disaksikan bukankah halaman yang tersedia tidak akan mencukupi? Jikalau kita harus menghitung semua berkat Allah yang tak terduga yang kita terima selama ini, bukankah semua itu akan mendorong kita untuk memanjatkan Doxologi kepada Allah seperti halnya Paulus sekalipun kita belum
selesai mendengarkan khotbah ini ?

Saya tidak tahu kesesakan apa yang sedang anda dan keluarga hadapi saat ini. Apakah anda turut menjadi korban kebakaran Oktober tersebut? Saya tidak tahu, namun kesesakan apapun yang anda hadapi  hendaklah anda beriman teguh seperti Paulus, percaya tanpa bimbang bahwa Allah "dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita".

Tatkala umat Israel menghadapi kesulitan dalam hidup mereka Allah selalu mengingatkan agar mereka tidak melupakan bagaimana Allah telah memimpin,menyertai dan menyatakan kuasa-Nya dalam perjalanan hidup mereka di masa lalu, khususnya melepaskan mereka dari perbudakan Firaun di Mesir seperti yang tertulis dalam Mazmur 105 dan 106. . Demikian juga hendaknya kita, tatkala merasa bahwa perjalanan hidup kita mengalami kesulitan hendaklah kita  tidak melupakan bagaimana Tuhan telah memimpin, menyertai dan menyatakan kuasa-Nya dalam perjalanan hidup kita di masa lalu, khususnya melepaskan kita dari perbudakan dosa oleh si iblis dengan mati di kayu salib menggantikan kita sebagai Penebus dan Juruselamat! Percayalah bahwa dalam kehidupan selanjutnya Allah yang "dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita" tidak akan pernah meninggalkan kita. Dengan demikian kita dapat mengubah kesesakan menjadi Doxologi. Amin.

===================