sumber kristen

                                                                  www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

Tema    :    Spiritual Leadership

Nats     :    1 Timotius 3:1-7

Penulis  :    Maria Fennita Setianto

Tujuan : Agar pendengar mengetahui dan mengerti:

Jabatan seorang pemimpin rohani adalah suatu pekerjaan yang indah.

Tiga kualitas hidup yang harus diusahakan seorang pemimpin rohani agar setara dengan pekerjaan tersebut, yaitu kualitas dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial.

 

Bapak/ Ibu/ Saudara-saudari, apa yang ada di benak kita ketika kita membaca suatu iklan yang berisi berita mencari seseorang yang akan dipekerjakan dalam suatu perusahaan besar dengan segala macam syarat? Memang iklan ini  sungguh dan tidak pernah dimuat dalam majalah rohani atau buletin sinode, tetapi saya percaya setiap kita akan setuju bahwa di balik iklan ini terkandung sebuah fakta yaitu perusahaan sedang mencari tenaga yang profesional, agar gerak maju perusahaan terjamin.

Di banyak gereja juga sebenarnya sedang mencari pengerja yang profesional, agar management gereja tertata baik dan pekerjaan Tuhan bertambah maju, namun krisis yang dialami gereja ini terus berlangsung, sebab gereja akan malu jika memasang iklan. Sehingga harus kita akui bahwa gereja sedang mengalami krisis kepemimpinan rohani yang sangat serius.

Saudara-saudara, ini bukan sebuah omong kosong. Bukankah tidak sedikit hamba Tuhan yang mahir membuat program, organisator yang hebat, dapat menggalang dana dengan cepat, bahkan dalam hal politikpun hampir menyaingi pengamat politik terkenal, tetapi hidup dan karakternya menjadi batu sandungan bagi orang lain, pelayanan hanya sebatas lip service, pengajarannya hanya menampilkan ambisi-ambisi pribadi, dan bukan berdasar pada firman Tuhan. Orang berkata: We have many leaders in the church, but no spiritual leadership.

Saudara yang kekasih, sebagai orang-orang yang percaya Tuhan Yesus sebenarnya kita juga telah menerima panggilan sebagai pemimpin rohani, paling sedikit kita adalah pemimpin yang memimpin orang menjadi percaya Tuhan.

Saudara yang kekasih, dari pembacaan firman Tuhan  kita mengetahui bahwa jemaat di Efesus diperhadapkan pada dua masalah penting. Di satu sisi, pada masa itu terjadi penganiayaan terhadap kekristenan, dimana pemimpin biasanya yang paling dahulu menderita. Tetapi di sisi lain, mereka diperhadapkan pada keberadaan beberapa orang yang memanfaatkan jabatan sebagai pemimpin jemaat demi kesenangan diri sendiri dan mengajarkan ajaran yang palsu (1:7; 6:4-5). Tidak heran bila masalah kepemimpinan rohani menjadi masalah yang krusial dalam jemaat Efesus.

Dari bagian yang kita telah baca, Paulus memulai dengan frase Benarlah perkataan ini. Ini merupakan suatu ucapan umum yang berarti You can depend on this, perkataan ini benar-benar absah yaitu bagi mereka yang rindu melayani sebagai penilik jemaat, sungguh itu merupakan suatu pekerjaan yang indah. Adapun dalam Alkitab istilah penilik jemaat digunakan secara bergantian dengan istilah penatua. Salah satu bukti yang jelas adalah dalam Kis.20:17, Paulus menggunakan kata penatua jemaat, sedangkan di ayat 28, kepada kelompok yang sama, ia menyebut penilik untuk menggembalakan jemaat Allah. Dan nampaknya penilik jemaat juga adalah kelompok yang sama yang disebutkan dalam 1 Tes.5:12 yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu, dan yang juga disebutkan dalam Ibrani 13:7 sebagai pemimpin. Sedangkan dalam dunia sekuler, kata ini digunakan untuk menggambarkan berbagai macam tanggung jawab kepemimpinan, yang kebanyakan berkaitan dengan masalah-masalah dalam suatu komunitas atau finansial.

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa kata penilik jemaat memiliki makna yang luas dan bila kita lihat dari tugas dan tanggung jawab yang diembannya dalam jemaat, maka sangat beralasan jika penilik jemaat ini disebut sebagai pemimpin rohani. Dan kepada mereka, Paulus berkata "jabatan itu adalah suatu pekerjaan yang indah."

Menanggapi perkataan Paulus yang positif ini, mungkin sebagian kita cenderung memandang keindahannya dari sisi kehormatan dan nama baik yang akan diperoleh sebagai pemimpin Kristen. Padahal keadaan pada saat Paulus menuliskan bagian ini berbeda dengan keadaan kita sekarang. Pada masa kini kedudukan sebagai pemimpin Kristen dianggap sebagai suatu kedudukan yang berprestise tinggi, namun pada zaman Paulus jabatan tersebut sekali-kali bukanlah jabatan yang diingini oleh banyak orang, melainkan suatu jabatan yang mengandung resiko bahaya yang besar dan tanggung jawab yang berat karena ketika itu kekristenan sedang mengalami penganiayaan dan pengucilan dari masyarakat sekitar. Tak sedikit jemaat dan pemimpin Kristen menghadapi hinaan, penolakan dan kesukaran.

Dalam keadaan sulit seperti itulah Paulus merasa perlu memberikan penghiburan dan dorongan kepada para pemimpin rohani yang sungguh-sungguh ingin melayani Tuhan bahwa apa yang mereka kehendaki itu adalah suatu pekerjaan yang indah. Mengapa Paulus menggunakan kata menghendaki? Bukankah menjadi pemimpin rohani adalah suatu panggilan dari Allah? Memang benar, di bagian lain Paulus menjelaskan bahwa itu adalah panggilan dari Allah, dan di bagian ini, Paulus memberikan cakrawala yang berbeda, tetapi tidak bertentangan. Inilah yang kita pahami sebagai 3 hal esensial dalam penyeleksian calon pemimpin rohani, yaitu panggilan dari Allah, aspirasi dari dalam diri, dan keyakinan yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan mengenai panggilan tersebut.

Dalam melakukan pekerjaan yang indah ini, tidak berarti mereka tidak akan mengalami kesulitan. Sejarah kekristenan membuktikan bahwa tidak sedikit dari pemimpin Kristen mengalami mati martir dan mengalami penganiayaan. Sebagai pemimpin Kristen, Paulus sendiri tahu bagaimana rasanya kondisi tersebut. Ia tahu apa artinya kelimpahan, iapun tahu apa artinya kekurangan. Tetapi ia masih dapat berkata, segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Fil.4:13). Ia banyak berjerih lelah, hidupnya banyak ia habiskan di dalam penjara, berkali-kali didera di luar batas, lima kali ia disesah orang Yahudi, tiga kali didera, satu kali dilempari batu, tiga kali mengalami karam kapal, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan non-Yahudi, dan berbagai macam kesulitan lainnya (2 Kor.11 :23-28). Tetapi di atas segala pengalaman pahit itu, ia tetap dapat berkata dengan penuh keyakinan, Aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus (2 Kor.12:10).

Ini berarti ketika Paulus berkata, "Benarlah perkataan ini…" bukan semata-mata karena kekuatan penekanan secara tata bahasa dari pernyataan yang ia ungkapkan. Pernyataan itu kuat dan absah karena telah mengalami pengujian oleh waktu dan ditopang oleh pengalaman Paulus secara pribadi sehingga ia dapat berkata, "Sungguh ini adalah suatu pekerjaan yang sangat indah, mulia, dan agung" sekalipun ada banyak tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi, karena sesungguhnya keindahan dari pekerjaan ini bukan terletak pada kemudahan hidup yang akan mereka nikmati. Bukan pula pada kehormatan dan sanjungan yang akan mereka peroleh sebagai pemimpin rohani, seperti yang dikejar oleh para guru-guru palsu. Melainkan karena mereka melayani dan memelihara keluarga Allah (v.15). Itu sama artinya bahwa mereka melayani Allah, sang Pencipta semesta, sang Khalik, Raja di atas segala Raja.

Saudara yang kekasih, dari penjelasan di atas, bukankah dapat kita lihat bahwa bagian ini bukan hanya relevan bagi para pemimpin rohani di Efesus, tetapi juga bagi setiap kita di tempat ini. Setiap kita di sini telah menerima panggilan Tuhan, kita mendambakan pekerjaan yang indah itu dan memiliki keyakinan akan panggilan tersebut. Oleh karena itu, Paulus menegaskan, kualitas hidup kita, orang-orang yang menginginkan pekerjaan itu harus setara dengan keindahan pekerjaan ilahi tersebut. Dari bagian yang telah kita baca, sedikitnya ada 3 kualifikasi yang harus diperhatikan, dimiliki dan diusahakan oleh seorang pemimpin rohani:

1.      Kualifikasi dalam kehidupan pribadi (v.2-3, 6)

Paulus memulai penjelasannya dengan memaparkan kualifikasi dalam kehidupan pribadi seorang pemimpin rohani. What must a spiritual leader be. Untuk kualifikasi ini, Paulus membagi penjelasannya dalam dua bagian besar. Bagian yang pertama terdapat di ayat 2 yang dituliskan dalam bentuk positif. Syarat pertama, yaitu seorang yang tidak bercacat (blameless). Saudara, Paulus tidak sedang menuntut seorang kandidat pemimpin yang tanpa dosa karena jelas ini akan sangat bertentangan dengan firman Tuhan yang ia sampaikan kepada jemaat di Roma dimana dikatakan karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3: 23), melainkan pernyataan ini mengacu pada reputasi yang tidak bercacat sehingga tidak memberi kesempatan orang lain untuk menyerang, mempersalahkan, atau mencelanya. Apabila ia terkenal sebagai seorang yang baik, itu semata-mata bukan basa-basi, melainkan karena memang orang tersebut layak memperoleh sebutan itu karena kebaikannya yang terpancar bagi orang-orang di sekitarnya.

Syarat kedua, seorang suami dari satu istri. Ini berbicara mengenai standar moral yang tinggi yang harus dimiliki oleh pemimpin rohani. Ia perlu menjaga kesetiaannya di tengah lingkungan yang tidak lagi menghargai makna kesetiaan yang sesungguhnya, dimana prostitusi dan seks bebas merajalela, perselingkuhan dan kawin-cerai, menjadi hal yang tidak tabu lagi. Selain itu, syarat ini juga mempertegas bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara kesetiaan orang-orang Kristen dan orang-orang non-Kristen, khususnya dalam kehidupan pernikahan.

Syarat ketiga, dapat menahan diri. Istilah ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin rohani harus menghindari tindakan-tindakan kekerasan. Kata yang digunakan dalam bahasa aslinya menggambarkan pengendalian diri yang berkaitan dengan penggunaan minuman keras. Namun dalam perkembangannya, kata ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan suatu pengendalian diri yang kuat dan keseimbangan jiwa yang baik.

Lebih lanjut, Paulus mengungkapkan bahwa seorang pemimpin rohani haruslah seorang yangmemiliki syarat keempat ini, bijaksana. Sifat bijaksana ini menggambarkan seseorang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan pertimbangan yang tepat, tidak plin-plan. Ia juga harus bersikap sopan. Kata ini mengacu pada suatu sikap yang teratur dan menghargai diri sendiri. Bukan berarti bahwa orang itu harus berasal dari keluarga ningrat ataupun memiliki sejarah kehidupan yang tanpa salah, melainkan kata ini menggambarkan seseorang yang menampilkan suatu sikap yang teratur sebagai refleksi dari kestabilan dalam jiwanya. Sikap ini berkaitan erat dengan tindakan-tindakan eksternal dari seorang pemimpin rohani.

Ada latar belakang yang menarik dari kata bijaksana dan sopan ini. Ternyata pada masa itu, kedua sikap ini bukan hanya dituntut dari kekristenan, tetapi juga oleh orang-orang non-Kristen. Bahkan menurut seorang komentator, orang-orang pada masa itu akan menganggap remeh suatu agama yang pengikutnya mengabaikan sikap-sikap ini dalam kehidupan mereka.

Saudara yang kekasih, bila kita memperhatikan syarat   dapat menahan diri, bijaksana, dan syarat ke lima  sopan yang kesemuanya ini merefleksikan salah satu buah Roh yaitu pengendalian diri. Saudara, Pemimpin yang dapat mengendalikan diri dengan baik akan dapat mengatasi masalah dengan baik pula. Syarat ke enam Ia juga harus seorang yang suka memberi tumpangan. Kata Yunani yang digunakan untuk ungkapan ini adalah philoxenos. Kata ini merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos yang berarti teman atau kekasih, dan xenos yang berarti orang asing. Jadi kata ini berarti mengasihi orang asing, suka memberi tumpangan, atau berbuat baik kepada tamu. Ungkapan ini dilatarbelakangi oleh kondisi pada masa itu dimana orang-orang Kristen berkeliling dari suatu tempat ke tempat lain untuk melakukan penginjilan. Dan dalam melakukan pelayanan ini, mereka sangat membutuhkan bantuan dan kebaikan dari jemaat lokal untuk menampung mereka ketika mereka melakukan penginjilan di daerah yang bersangkutan karena pada masa itu rumah penginapan masih sangat jarang. Kalaupun ada, biasanya tempat itu kotor dan digunakan untuk melakukan tindakan amoral. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemimpin rohani untuk memiliki kesukaan menyediakan rumahnya sebagai tempat menumpang sebagai sarana menyatakan kasih Kristus kepada orang lain. Dalam beberapa bagian firman Tuhan disebutkan juga bahwa tindakan ini merupakan suatu perbuatan yang baik dan sangat dianjurkan untuk dilakukan (Rm.12:13; 1 Tim.5:10; 1 Pet.4:9; 3 Yoh.5-8).

Syarat yang ke-7 adalah cakap mengajar orang. Seruan ini mengacu pada kompetensi, ketrampilan, dan kemampuan secara didaktik dan intelektual dalam mengkomunikasikan kebenaran firman Tuhan. Keberadaan syarat ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin rohani membutuhkan kemampuan, baik untuk menjelaskan doktrin-doktrin kekristenan dengan baik maupun untuk mencegah atau menegur kesalahan. Tentu saja untuk dapat mengajar orang lain dengan baik, sebelumnya seorang pemimpin rohani harus terlebih dahulu memiliki kemauan untuk menerima pengajaran dari firman Tuhan.

Bagian kedua dari kualifikasi pribadi ini terdapat di ayat 3 dan 6 yang dituliskan dalam bentuk negatif yaitu Pertama, bukan peminum; Kata peminum yang dimaksud dalam ungkapan ini berarti seseorang yang tidak dapat melepaskan diri dari kebiasaan minum anggur (yang beralkohol). Bila di kalangan masyarakat umum saja seorang peminum dianggap merusak citranya, terlebih lagi di kalangan kekristenan.

Kedua, bukan pemarah melainkan peramah. Bukan berarti pemimpin tidak boleh marah sama sekali, melainkan ia bukan orang yang suka marah. Dalam kehidupan sehari-harinya, ia harus menjadi orang yang ramah dan memancarkan kasih Kristus kepada orang lain. Syarat ini berkorelasi erat dengan syarat ke-3 yaitu pendamai. Dalam versi LAI kata ini diterjemahkan dalam bentuk positif sedangkan dalam bahasa Inggris nampak jelas bahwa kata ini ditulis dalam bentuk negatif yaitu not quarrelsome yang berarti bukan seseorang yang suka bertengkar atau berdebat.

Selanjutnya, bukan seorang hamba uang. Hal ini penting karena "Akar dari segala kejahatan adalah cinta uang" (6:10). Dan menjadi hamba uang adalah salah satu karakteristik dari para guru palsu (1 Tim.6:5; 2 Tim.3:2). Jadi syarat yang Paulus ungkapkan ini sangatlah beralasan.

Dan syarat yang terakhir dari kualifikasi ini yaitu bukan seorang yang baru bertobat (v.6). Ini berbicara mengenai pentingnya kedewasaan rohani seorang pemimpin dimana hal itu tidak datang secara otomatis. Seperti halnya suatu tanaman memerlukan waktu untuk berakar dan tumbuh hingga besar dan berbuah, demikian pula proses pertumbuhan seorang Kristen tidak dapat dipaksakan. Ia butuh waktu untuk memiliki akar yang kuat dalam pemahamannya terhadap firman Tuhan sehingga ia dapat menghasilkan buah yang baik dan membuktikan kemurnian pertobatannya.

Menarik sekali untuk diperhatikan bahwa dalam bagian paralelnya yaitu dalam Titus 1: 5-9 kualifikasi ini tidak dituntut dari jemaat di Kreta, karena mereka masih merupakan jemaat yang baru. Berbeda dengan jemaat Efesus yang telah ada selama lebih dari 10 tahun ketika Timotius menggembalakan jemaat ini sehingga memungkinkan bila Paulus memberikan syarat ini. Dengan kata lain, Paulus tidak memaksakan kualifikasi ini kepada jemaat di tempat-tempat yang berbeda, melainkan perlu dilihat konteksnya. Tetapi bukan berarti bagi jemaat yang baru dibangun, dalam pemilihan pemimpin rohani tidak perlu memperhatikan kedewasaan rohani dan kestabilan seseorang, melainkan hendaknya kita sungguh-sungguh memilih orang-orang yang pemahaman rohaninya lebih baik dari orang-orang lain dalam jemaat yang bersangkutan.

Adapun alasan yang Paulus berikan untuk syarat ini adalah agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. Saudara yang kekasih, ada bahaya yang mengintai bila syarat kedewasaan rohani ini diabaikan. Orang itu akan menjadi sombong. Hal ini dapat terjadi karena orang Kristen yang baru itu terlalu cepat menerima tanggung jawab yang terlalu banyak hingga menyebabkan ia merasa bisa dalam banyak hal dan mengandalkan diri sendiri. Orang yang demikian akan jatuh pada dosa yang sama seperti iblis, sang Malaikat yang sombong.

Saudara yang kekasih, Paulus membutuhkan hampir setengah bagian dari perikop ini untuk memaparkan tentang kualitas pribadi seorang pemimpin karena karakter dan kehidupan pribadi seorang pemimpin sangat penting dan berpengaruh bagi hidup dan pelayanan yang dijalaninya. Seorang pemimpin bisa saja mampu berorganisasi, membuat program dengan baik, tetapi tanpa karakter dan kehidupan pribadi yang baik, tanpa perbuatan yang sejalan dengan perkataannya, semuanya itu hanya akan berakhir dengan omong kosong. NATO: No actions, talk only.

Saudara, begitu pentingnya karakter dalam suatu pelayanan hingga Warren Wiersbe dalam buku 10 Power Principles for Christian Service menempatkan satu bab, khusus tentang karakter sebagai bab pertama yang diberi judul The Foundation of Ministry is Character (Dasar pelayanan adalah karakter). Dalam bab tersebut beliau menggambarkan karakter sebagai berikut:

Karakter berarti menjalani hidupmu di hadapan Tuhan, hanya takut akan Dia dan terus berusaha menyenangkan Dia saja, tak peduli bagaimana perasaanmu atau apa yang akan orang lain pikir tentangmu.

Saudara yang kekasih dalam Tuhan Yesus, setiap kita di sini adalah orang-orang yang mendambakan pekerjaan indah yang Tuhan percayakan. Tapi mari kita evaluasi diri, apakah kita telah berusaha sedemikian rupa agar karakter dan kehidupan pribadi kita setara dengan keindahan dan kemuliaan pekerjaan tersebut? Bersediakah kita membuka diri kita, karakter kita, untuk dipangkas – diubah – dibentuk – dan dibangun oleh Tuhan, sekalipun itu sangat sakit rasanya? Ketika kita mengalami pergumulan, dapatkah kita berkata, "Tuhan, terima kasih, karena Engkau mengizinkan saya mengalami satu pergumulan lagi untuk membuat pribadi saya lebih indah di hadapanMu"? Saudara yang kekasih, pembentukan karakter memang merupakan suatu proses yang tidak mudah yang melibatkan seluruh aspek dan pengalaman dalam hidup kita. Tetapi ketika kita mengizinkan pembentukan dari Tuhan itu terjadi dalam diri kita, maka kita akan menjadi seperti sebuah bejana yang indah di tangan sang Penjunan yang agung.

Saudara, siapapun kita, apakah kita berani berkata Ooh saya sudah menjadi pemimpin yang baik? Orang yang menyadari kekurangannya dan selalu mau belajar untuk lebih baik adalah langkah menuju kesuksesan dalam kepemimpinannya. Siapakah yang telah mampu,  mampu memenuhi semua syarat tersebut dan telah sempurna dalam karakter dan kehidupan pribadinya ? Sebagai seorang yang sehat jasmani dan Rohani  kita semua di tempat ini, masih harus  bergumul untuk karakter kita yang buruk. Kita harus berserah diri membiarkan firman Tuhan  menegur dan memotivasi kita semua. Dengan pertolongan Tuhan, marilah kita hidup sedemikian rupa agar kita memiliki karakter yang berkenan kepada-Nya, setara dengan keindahan pekerjaan yang Tuhan percayakan kepada kita.

2. Kualifikasi dalam kehidupan keluarga (v.4-5)

Saudara yang kekasih dalam Tuhan Yesus, ada perbedaan yang cukup signifikan dalam penerjemahan ayat ini menurut versi NIV dan LAI. Dalam versi NIV dituliskan He must manage his own family well and see that his children obey him with proper respect (Ia harus mengatur keluarganya sendiri dengan baik dan memperhatikan bahwa anak-anaknya menaatinya dengan rasa hormat yang pantas). Di balik kata mengatur ini terdapat konsep memerintah dan merawat yang terrefleksi dalam servant ministry yang bercirikan kasih dan otoritas yang dimiliki seorang kepala keluarga.

Mengapa seorang pemimpin rohani harus seorang kepala keluarga yang dapat mengatur keluarga dengan baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya? Alasannya jelas dipaparkan di ayat 5 (baca). Di sini Paulus memberikan sebuah analogi antara keluarga pemimpin rohani dan jemaat Allah. Bahkan di ayat 4, 5, 15 ia menggunakan kata yang sama untuk keluarga dan jemaat, yaitu oikos. Saudara, melalui analogi ini Paulus ingin menegaskan bahwa apa yang dipraktekkan dalam keluarga pemimpin rohani akan menjadi dasar pelatihan bagi apa yang akan dikerjakannya dalam keluarga Allah. Jadi tidak ada alasan bagi seorang hamba Tuhan (atau jemaat) untuk mengabaikan keluarganya dengan dalih sibuk melayani di gereja.

Steve Diggs, seorang pemimpin sebuah perusahaan iklan pernah berkata di hadapan sekelompok pengusaha Kristen:

Di dalam rumah tanggalah keberhasilan sejati atau

kegagalan kita yang sebenarnya akan diukur.

Bukan hanya untuk pengusaha Kristen, kalimat ini menjadi relevan, tetapi juga untuk setiap kita di sini yang mendambakan pekerjaan yang indah dari Allah. Bagi Bpk/Ibu yang telah berkeluarga, izinkan saya bertanya, menjadi seperti apakah keluarga Anda selama ini? kepada setiap kita yang belum berkeluarga, apa yang menjadi impian dan cita-cita kita bagi keluarga yang akan kita bina nantinya? Apakah itu sesuai dengan kehendak Tuhan? Kira-kira apakah yang akan dikatakan orang lain ketika mereka melihat keluarga kita? Apakah mereka akan melihat Kristus dalam keluarga kita? Biarlah kiranya kerinduan Tuhan menjadi kerinduan kita semua, membina keluarga kita menjadi keluarga yang mengasihi Allah, memuliakan nama-Nya, dan menjadi berkat bagi orang lain sehingga melalui keluarga kita, orang lain dapat melihat keindahan dan keagungan dari pekerjaan pelayanan milik Tuhan itu.

3. Kualifikasi dalam kehidupan sosial (7)

 

Setelah memaparkan panjang lebar tentang kualifikasi dalam kehidupan pribadi dan keluarga, kini Paulus memberikan cakrawala pemahaman yang lebih luas lagi, yaitu dalam kehidupan sosial. Syarat yang dituntut adalah ia harus mempunyai nama baik di luar jemaat. Melalui syarat ini, Paulus mengingat bahwa dunia sedang memperhatikan kehidupan anak-anak Tuhan. Ia berharap agar dalam kehidupan sehari-hari mereka bersikap bijaksana sehingga keberadaan mereka sebagai umat Allah dapat dihargai dan dihormati, tidak digugat orang dan tidak jatuh dalam jebakan Iblis. Jadi, baik di dalam maupun di luar gereja, mereka harus hidup tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.

Seorang kafir bernama Ono Sander memberikan gambaran pemimpin yang ideal:

Ia harus dengan bijaksana dapat mengendalikan diri, sadar, hemat, tekun bekerja,

cerdas, tidak mencintai uang, tidak muda dan juga tidak tua,

 jika mungkin ia adalah seorang ayah dari satu keluarga,

 cakap berbicara dan mempunyai nama baik.

Saudara ku yang kekasih, perhatikan, ucapan Ono Sander ini, bukankah sangat mirip dengan daftar yang dikemukakan oleh Paulus?!. Saudara, jika orang non-Kristen saja menghendaki standar kualitas kepemimpinan seperti demikian, apakah berlebihan jika setiap kitapun, sebagai pemimpin-pemimpin rohani, dituntut standar seperti yang Tuhan inginkan? Saudara yang kekasih, jika kita telah mengetahui dan mengalami sendiri betapa mulia dan indahnya pekerjaan pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita ini, lalu pantaskah kita membuat pekerjaan pelayanan itu menjadi murahan hanya karena kehidupan kita menjadi batu sandungan bagi orang lain? Ooh, Saudara, kita tidak punya hak sedikitpun untuk membuat pekerjaan yang indah itu tercemar karena hidup kita yang tidak memuliakan Dia.

Saudara yang kekasih, Billy Graham pernah berkata:

To receive Christ costs nothing, to follow Christ costs something,

but to serve Christ costs everything.

 

Jemaat yang dikasihi Yesus, kita perlu menyerahkan segala sesuatu di dalam hidup kita untuk melayani Tuhan. Bukan karena Tuhan kekurangan, bukan pula karena Ia butuh kita, melainkan karena pekerjaan pelayanan yang kita dambakan itu sangat indah dan mahal harganya. Marilah kita berusaha hidup sedemikian rupa setara dengan keindahan dari pekerjaan pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita. Amin.

God Bless You