| |
Di balik Gaya Berkhotbah Seorang Pengkhotbah Oleh: Pdt. Benny Solihin
Hamba-hamba Tuhan mempunyai gaya berkhotbah yang berbeda-beda. Ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan berapi-api dan berkesan galak, ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan lembut kebapakan, ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan begitu serius seperti nabi, tapi ada pula yang berkhotbah dengan jenaka dan bersahabat. Bila kita coba memikirkan faktor-faktor apakah yang membentuk gaya berkhotbah seorang pengkhotbah, maka kita akan menemukan satu analisa yang sangat menarik yang mungkin dapat membantu kita, sebagai seorang pengkhotbah, dalam mengembangkan gaya berkhotbah kita sendiri. Faktor-faktor pembentuk itu banyak dan kompleks, namun di sini saya akan membatasinya hanya pada tiga faktor yang dominan saja, yakni: temperamen, peniruan, dan citra diri pengkhotbah.
Temperamen Dari sudut psikologi, kita tahu bahwa manusia mempunyai temperamen yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Pada dasarnya temperamen manusia dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Kolerik, Sanguin, Melankolik, dan Plegmatik. Walaupun tidak ada manusia yang melulu memiliki satu temperamen—pada hakekatnya setiap manusia memiliki campuran temperamen—namun, tetap ada satu temperamen yang dominan dalam diri seseorang. Temperamen yang dominan ini bukan hanya mempengaruhi pembawaan seorang pengkhotbah dalam kehidupannya sehari-hari, tapi juga mempengaruhi gaya berkhotbahnya di mimbar. Seorang yang bertemperamen Sanguin, yang biasanya lebih bersifat ekstrovet, mungkin lebih menarik dan bersahabat dalam menyampaikan Firman Tuhan dibanding dengan seorang plegmatik yang introvet dan dingin. Namun seorang Plegmatik mungkin mampu berkhotbah dengan pemikiran yang lebih mendalam dari pada pengkhotbah dengan temperamen lainnya. Seorang pengkhotbah yang Kolerik nampak lebih tegas dan berwibawa dalam berkhotbah, namun seorang pengkhotbah yang bertemperamen melankolik bisa jadi lebih mengunggulinya dalam menyentuh hati pendengar. Barangkali ada di antara kita yang tidak begitu yakin dengan analisa temperamen ini, yang lebih bernuansa psikologis daripada alkitabiah, tapi pada kenyataannya seorang pengkhotbah menyadari ada suatu pembawaan yang dominan dalam dirinya—yakni temperamen—yang tidak bisa ia abaikan begitu saja, apalagi merubahnya. Ketika ia mencoba gaya yang berbeda dari pembawaannya, ia merasa sangat sukar dan tidak nyaman. Fakta itu menunjukkan bahwa, pada hakekatnya, gaya berkhotbah seorang penkhotbah tidak akan bergeser jauh dengan temperamen yang ia miliki.
Peniruan Faktor lain yang dapat membentuk gaya seorang pengkhotbah dalam berkhotbah adalah faktor peniruan. Meskipun setiap pengkhotbah itu unik dalam gaya berkhotbahnya, ada sebagian pengkhotbah justru selalu berusaha untuk meniru gaya berkhotbah dari pengkhotbah lain. Peniruan gaya berkhotbah ini bersumber dari imaginasi pengkhotbah tersebut yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh idolanya. Harus kita akui, pada umumnya setiap pengkhotbah sedikit banyak dipengaruhi oleh satu atau dua pengkhotbah lainnya. Hal itu wajar terjadi dan tidak perlu menimbulkan perasaan bersalah. Yang tidak wajar adalah bila kita terus menerus meniru gaya orang lain tanpa berusaha untuk keluar dari keterikatan tersebut dan mencari bentuk kita sendiri. Seorang pengkhotbah yang “dewasa” akan merasa tidak nyaman untuk meniru gaya pengkhotbah lain. Ia akan mantap dengan gayanya sendiri. Di samping itu, ia menyadari bahwa jemaat tidak akan menjadi kagum dengan akting peniruaannya; sebaliknya, mereka akan menjadi “geli” dengan gaya imitasinya. Kita bisa membayangkan perasaan tidak nyaman seorang pengkhotbah bila setelah usai kebaktian seseorang mengatakan kepadanya bahwa ia berkhotbah mirip dengan Pendeta anu atau Pendeta itu. Perkataan seperti itu jelas bukan pujian yang harus diterima dengan senang hati oleh si pengkhotbah, kecuali identitas diri pengkhotbah itu memang lemah. Satu fakta yang perlu kita ingat adalah bahwa seorang pengkhotbah yang terkenal dipuji bukan karena ia dapat berkhotbah dengan gaya mirip seorang pengkhotbah terkenal lainnya, tapi karena ada sesuatu yang unik di dalam diri dan khotbahnya, termasuk keorsinilan gaya berkhotbahnya. Bila kita merasa bahwa sebagian besar gaya kita masih dibayang-bayangi oleh gaya pengkhotbah idola kita, dan kita ingin memiliki gaya berkhotbah khas kita sendiri, maka ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan. Yang pertama, perlu kita sadari bahwa Allah tidak pernah menciptakan seorang manusia pun sama dengan manusia lainnya, demikian juga setiap pengkhotbah. Setiap pengkhotbah unik bukan hanya dalam temperamen, karakter, latarbelakang hidup, tapi juga unik dalam gaya menyampaikan firman Tuhan. Oleh karena itu, usaha untuk menjadi sama seperti pengkhotbah lain, meniru bahkan menjiplak, merupakan usaha yang berlawanan dengan rencana Allah yang indah bagi setiap pengkhotbah. Dengan perkataan lain, selama kita berkhotbah tidak dengan gaya kita sendiri, selama itu pula kita tidak pernah menjadi seorang pengkhotbah yang pas dengan maksud Tuhan. Satu hal yang perlu kita yakini ialah bahwa setiap gaya yang orsinil mampu berbicara lebih efektif dari pada gaya imitasi yang kita tiru dari seorang pengkhotbah yang paling efektif. Usaha kedua yang perlu dilakukan adalah timbulkan perasaan malu dalam diri kita pada waktu kita meniru baik isi khotbah dan juga kata-kata dari pengkhotbah yang menjadi idola kita. Perasaan malu itu bukan hanya akan memagari diri kita untuk tidak melangkah ke lahan gaya orang lain dan mengklaimnya sebagai hasil tanaman kita sendiri, tapi juga memaksa kita mencari bentuk dan mengembangkan gaya khotbah khas kita. Tuhan tidak menuntut kita untuk menjadi seperti seorang lain sebelum Dia memakai kita; sebaliknya, Ia memakai kita dengan keunikan yang ada pada kita. Dengan mata imaginasi kita dapat melihat betapa bingungnya Daud ketika ia “dipaksa” oleh Saul untuk memakai baju perang dan ketopong tembaga milik Saul pada waktu ia hendak berperang melawan Goliat. Saul, yang tubuh yang lebih tinggi dari rata-rata orang sezamannya, memang adalah pendekar perang yang tangguh, tapi fakta itu tidak berarti bahwa Daud yang bertubuh lebih kecil tidak dapat dipakai Tuhan sebagai alat-Nya. Daud menyadari bahwa baju perang Saul tidak pas untuknya, maka ia melepaskannya dan mengenakan bajunya sendiri. Kepercayaan dirinya tidak merosot dan ia tetap yakin bahwa dengan keunikannya Allah dapat memakainya. Keyakinan seperti itulah yang seharusnya ada dalam diri kita sebagai seorang pengkhotbah. Dari pada menjiplak gaya orang lain, pasti akan jauh lebih baik jika kita mengembangkan gaya berkhotbah kita sendiri. “Be yourself” itulah nasihat yang harus kita selalu ingat.
Citra Diri Pengkhotbah Sebagian besar pengkhotbah mempunyai citra tentang siapakah dirinya sebagai seorang pengkhotbah dan apa yang sedang ia kerjakan. Sebagian lagi, mungkin, mempunyai konsep yang samar-samar atau bahkan tidak pernah memikirkan sama sekali tentang apa dan siapakah diri mereka sebagai seorang pengkhotbah. Sebenarnya, andil yang terbesar dalam membentuk gaya seorang pengkhotbah adalah citra diri yang dimilikinya sebab citra diri tersebut mendorongnya untuk bergaya seperti apa yang ia bayangkan. Jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran bahwa dirinya adalah seorang “nabi”, ia akan berkata-kata dengan sangat otoritatif seolah-olah ia mendengar suara Allah atau mendapat penglihatan langsung dari Allah. Namun, jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran bahwa dirinya adalah seorang pengajar, maka ia akan berkhotbah dengan gaya seorang guru yang berlakon di depan murid-muridnya. Hal yang serupa terjadi, jika seorang pengkhotbah mempunyai konsep bahwa dirinya adalah seorang gembala, maka gaya khotbahnya lebih cenderung lembut, tenang dan berisi banyak wejangan. Namun, jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran dirinya adalah seorang “entertainer”, maka ia akan berkhotbah dengan gaya yang lucu dan terus melucu. Sebenarnya, ada banyak konsep tentang siapakah pengkhotbah itu, baik yang Alkitabiah maupun yang bukan. Namun demikian, Thomas G. Long dalam bukunya, The Witness of Preaching, menyakinkan bahwa gambaran yang paling tepat dan sehat tentang siapakah seorang pengkhotbah itu terdapat dalam Yesaya 43:8-13 dan Kisah Para Rasul 20:24, yakni, seorang pengkhotbah adalah “seorang saksi”. Gambaran “seorang saksi” menekankan bahwa: (1) Seorang pengkhotbah bukan sumber otoritas, tetapi ia hanya seorang saksi yang telah melihat dan mendengar firman Tuhan lebih dahulu. Ia adalah juga bagian dari jemaat dan berasal dari jemaat, kemudian diutus oleh jemaat untuk pergi menyaksikan—mendengar dan melihat—firman Tuhan untuk kemudian menyampaikan kepada jemaat apa yang telah ia saksikan. (2) Itulah sebabnya, ia tidak diharapkan untuk menyaksikan hal-hal yang lain, termasuk menyaksikan kehebatan dirinya, tetapi hanya menyampaikan berita dari firman Tuhan yang telah ia saksikan. Ini bukan berarti seorang pengkhotbah tidak boleh sama sekali menceritakan tentang dirinya di mimbar, tetapi pengertian ini lebih menekankan bahwa fokus khotbah bukanlah diri si pengkhotbah itu sendiri, melainkan berita firman Tuhan. (3) Kesaksiannya sangat penting karena menyangkut kebenaran ilahi yang bersifat kekal yang mempengaruhi pengetahuan dan pertumbuhan iman jemaat. (4) Kesaksian tersebut bukan hanya sekedar kata-kata belaka, tetapi juga menyangkut keterikatan total antara kata dan perbuatan dari si pengkhotbah. Dengan kata lain, integritas seorang pengkhotbah memegang peranan penting dalam tugasnya. (5) Yang terakhir, tentu saja dalam tugas sebagai saksi, seorang pengkhotbah dituntut untuk merancang lebih dahulu tentang bentuk kesaksiannya atau cara mengkomunikasikannya agar berita yang ia sampaikan dapat diterima oleh jemaat dengan baik. Konsep ini sangat baik dan bermanfaat karena menempatkan seorang pengkhotbah pada posisi yang tepat tentang siapakah ia dan apa yang sedang ia kerjakan. Seorang pengkhotbah yang menghayati konsep ini tidak akan pernah bergaya otoritatif begitu rupa seolah-oleh ia adalah sumber otoritas itu sendiri. Ia akan tetap menghormati Tuhan, sebagai sumber otoritas yang ia saksikan, dan jemaat yang mendengar khotbahnya. Ia akan selalu ingat bahwa ia adalah bagian dari jemaat, berasal dari jemaat, dan diutus oleh jemaat. Dengan menghayati konsep ini, seorang pengkhotbah juga diingatkan bahwa ia berdiri di mimbar sebagai seorang saksi untuk menyaksikan dan menyuarakan firman Tuhan, bukan untuk menyaksikan hal-hal lain, termasuk filsafat, psikologi, sosiologi, manajemen, atau hal-hal lainnya. Firmanlah yang menumbuhkan iman jemaat dan firmanlah yang merubah hidup mereka. Oleh karena itu, ia akan sangat serius dalam mempersiapkan firman Tuhan. Ia pergi ke ruang belajarnya sebagai seseorang yang diutus jemaat untuk menyaksikan firman Tuhan. Ia menyelidiki, menganalisa, dan bergumul berjam-jam bahkan berhari-hari dengan bagian Alkitab yang akan dikhotbahkannya untuk menyaksikan—melihat dan mendengar—kehendak Tuhan bagi jemaat. Setelah mendapatkannya, ia dengan keseriusan yang sama memikirkan bentuk penyampaian yang paling efektif sehingga berita yang hendak ia sampaikan dapat diterima oleh jemaat dengan baik. Selanjutnya, konsep ini secara implisit menyatakan bahwa khotbah bukanlah suatu karangan intelektual belaka yang disusun berdasarkan urutan yang logis; khotbah juga bukan suatu rangkaian kesaksian pribadi yang diceritakan karena ada sesuatu yang menyentuh di dalamnya. Memang khotbah yang baik menuntut baik cara pikir yang logis maupun kesaksian pribadi yang menyentuh hati pendengar, tapi yang pertama dan terutama khotbah adalah suatu event (peristiwa, saat) di mana seorang pengkhotbah berdiri sebagai seorang saksi yang telah menyaksikan kehendak Tuhan dalam Alkitab yang ia telah gumuli berhari-hari lamanya. Event itu akan sungguh-sungguh menjadi event yang penting bagi jemaat yang mendengarnya bila mereka tahu bahwa orang berdiri berdiri sebagai saksi itu memiliki keterpaduan antara kata dan tindakan: integritas.
Arah yang Benar Membawa ke Tujuan yang Benar Setelah kita mengikuti uraian di atas, kita mendapati bahwa gaya berkhotbah seorang pengkhotbah tidak hanya sekedar melukiskan cara seorang pengkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi lebih dalam dari itu, yaitu, menjelaskan tentang siapakah ia sebenarnya, paling sedikit mengindikasikan temperamen dan citra dirinya sebagai seorang pengkhotbah. Dari kedua hal itu, kita dapat menyimpulkan bahwa apapun temperamen yang dimiliki oleh seorang pengkhotbah tidak akan pernah menghalanginya untuk menyampaikan firman Tuhan dengan baik dan benar, tetapi citra diri pengkhotbah akan sangat mempengaruhi apakah ia melakukan tugas dengan baik dan benar atau tidak. Bila kita ingin mengembangkan gaya berkhotbah khas kita sendiri, kita tidak perlu meniru gaya berkhotbah dari pengkhotbah lain, kita juga tidak perlu menyesal bahwa kita bukan tipe temperamen tertentu, tetapi yang paling penting yang kita perlukan adalah memiliki citra diri seorang pengkhotbah yang benar, yang sehat, dan alkitabiah. Dengan menyakini bahwa seorang pengkhotbah adalah seorang saksi, kita akan selalu disadarkan untuk berlakon sewajarnya sesuai dengan tugas dan posisi kita. Yohanes Pembaptis mengerti sepenuhnya tentang hal itu, karena itu ia berkata kepada murid-muridnya, “Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya” (Yoh 3:28).” Akhirnya, citra diri yang benar membawa Yohanes Pembaptis pada tujuan yang benar, ini nampak dalam perkataannya, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30).
| |