sumber kristen

                                                                  www.sumberkristen.com

Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

Mengapa Sebuah Khotbah Tidak Menarik?

(Bagian 1)

Oleh: Pdt. Benny Solihin

 

Bukan Pekerjaan yang Mudah

Khotbah tidak seperti sebuah film. Film menyampaikan pesannya melalui paduan gambar, kata, dan musik, serta didukung oleh banyak artis profesional yang di samping  cantik dan ganteng juga berakting dengan sempurna atas peran yang mereka jalankan. Itulah sebabnya, film menjadi begitu menarik dan hidup. Sangat berbeda dengan khotbah, hampir seluruh pesannya disampaikan hanya dengan sarana kata-kata, tidak ada latar belakang gambar yang berganti-ganti, tidak ada musik pendukung, dan tidak ada artis-artis profesional selain si pengkhotbah itu sendiri. Jemaat hanya melihat satu orang yang sama dengan suara yang sama dan latar belakang panggung yang sama. Tidak heran, khotbah memang sangat sukar menarik perhatian pendengar, dan berkhotbah jelas bukan suatu pekerjaan yang mudah. 

Namun demikian, itu bukan berarti kita tidak mungkin berkhotbah dengan menarik.  Dalam sejarah kekristenan, tidak sedikit pengkhotbah yang berkhotbah dengan sangat menarik, bahkan pengaruhnya jauh lebih besar daripada sebuah film yang paling berpengaruh. Kekuatan seorang pengkhotbah tentu saja pertama-tama dan yang terutama terletak pada kuasa Roh Kudus yang menyertai pemberitaan hamba-hamba-Nya (Kisah Para Rasul 1:8). Roh Kudus memakai orang-orang yang biasa untuk mengabarkan kabar kesukaan yang luar biasa. Ia mengurapi mereka dengan kuasa-Nya sehingga apa yang mereka beritakan menjadi begitu menarik dan mengena pada kehidupan para pendengar mereka.

Betapapun besar dukungan penyertaan Roh Kudus, seorang pengkhotbah tetap mempunyai bagian untuk memberikan usahanya yang terbaik dalam membuat khotbahnya menjadi lebih menarik. Umumnya, khotbah yang menarik mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempengaruhi pendengar daripada khotbah yang tidak menarik. Oleh karena itu, seorang pengkhotbah perlu terus mengevaluasi khotbah-khotbahnya dan mempunyai kesediaan untuk mengubah bentuk khotbahnya dan cara khotbahnya jika memang itu diperlukan. Tujuan tulisan ini adalah memberi sedikit sumbangsih bagi para pengkhotbah yang merasa perlu untuk terus membuat khotbahnya menjadi lebih menarik. 

Untuk membuat khotbah kita lebih menarik, akan lebih mudah jika kita pertama-tama mengetahui lebih dahulu apa yang membuat sebuah khotbah menjadi sangat membosankan. Kita akan membagi hal itu menjadi dua bagian. Bagian pertama menyangkut teknik penyampaian khotbah, sedangkan bagian kedua menyangkut isi khotbah.

Penyampaian Khotbah: Bahasa Konsep yang Menjenuhkan

Sekali lagi kita perlu menyadari bahwa hampir seluruh pesan suatu khotbah disampaikan hanya dengan sarana kata-kata, dan jemaat menangkap berita khotbah sebagian besar hanya melalui pendengaran mereka. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika bahasa dan suara yang digunakan oleh seorang pengkhotbah tidak hidup atau monoton. Mereka akan bosan dan pada akhirnya tidak akan menaruh minat lagi terhadap berita khotbah. Di sinilah seorang pengkhotbah ditantang untuk terus memperbaiki bahasa khotbahnya. 

Bahasa khotbah yang baik bukan berarti bahasa khotbah yang padat dengan istilah  teologis, atau bahasa yang mempunyai tata bahasa yang baik. Bahasa khotbah yang baik adalah bahasa yang mengena, hidup, dan memancing imajinasi pendengar. Bahasa seperti ini kadang-kadang memiliki tata bahasa tidak terlalu tepat, tetapi sangat akrab dan mengena di telinga pendengar. Dampaknya langsung dirasakan oleh pendengar karena mereka tidak perlu mencerna dua tiga kali tentang apa yang dimaksud oleh si pengkhotbah. Jika kita memakai bahasa yang membutuhkan waktu bagi jemaat untuk memahami maksudnya, sedangkan sementara mereka berpikir kita sudah meneruskan dengan kalimat yang lain lagi yang mungkin juga membutuhkan waktu untuk mencernanya, maka jemaat akan merasa frustrasi dengan banyak hal yang mereka tidak mengerti. Pada akhirnya, mereka akan berhenti dalam mengikuti alur pikir khotbah kita walaupun secara lahiriah mata mereka masih menatap kita.

Bahasa yang hidup adalah bahasa gambar, bukan bahasa konsep. Bahasa konsep berisi definisi, penjelasan-penjelasan abstrak yang lebih banyak bermain dalam kata benda atau kata ganti daripada kata kerja dan kata sifat. Bahasa gambar adalah bahasa yang menimbulkan sentuhan pada indra-indra kita dan menimbulkan gambaran atau imajinasi dalam benak pendengar. Bahasa seperti ini adalah bahasa cerita: penuh lukisan (metafora) dan sentuhan perasaan.  Di sepanjang Alkitab, kita menemukan bahwa banyak penulis Alkitab menggunakan imajinasi dalam tulisan mereka. Warren W. Wiersbe dalam bukunya  Preaching and Teaching with Imagination mengutip perkataan “L. Ryken yang berkata, “Cara mengungkapkan kebenaran Allah yang paling umum dalam Alkitab bukan dalam bentuk khotbah atau kerangka teologis tetapi dalam bentuk cerita, puisi, visi, dan surat. Semuanya itu adalah bentuk sastra dan hasil dari imajinasi.”  Yang dimaksud dengan imajinasi di sini bukan sesuatu yang berhubungan dengan fantasi atau khayalan tetapi suatu kemampuan yang berhubungan dengan kapasitas untuk melihat dan merasakan sesuatu yang tidak ada di depan mata jasmani kita.

Seperti halnya film yang menyajikan banyak gambar untuk menyampaikan berita, seorang pengkhotbah harus berusaha menciptakan gambar-gambar dengan kata-katanya sehingga jemaat yang mendengarkan bukan hanya mengerti berita yang disampaikan, tetapi juga melihat dan merasakannya. Mereka mengalami dan masuk ke dalam situasi yang dikatakan oleh si pengkhotbah. Seorang pengkhotbah yang berkhotbah dengan bahasa seperti ini akan selalu mampu memikat pendengarnya.  Dengan bahasa seperti inilah Nabi Natan menyampaikan tegurannya kepada Daud pada waktu ia telah melakukan dosa yang amat keji di hadapan Allah, yakni berzinah dengan Batsyeba dan membunuh suaminya, Uria (2 Samuel 12:1-14).

Bahasa gambar lebih cepat ditangkap dan juga bertahan lama dalam ingatan. Sering kita mendengar orang berkata, “Wah pendeta kita kalau berkhotbah sangat encer, doktrinnya tidak jelas, dan yang diingat oleh jemaat paling-paling hanya ilustrasinya.” Kalimat seperti ini pasti bukan kalimat penghormatan untuk pendeta tersebut. Namun demikian, kalimat ini mengandung sesuatu yang perlu kita perhatikan, yaitu mengapa jemaat lebih sering mengingat ilustrasi suatu khotbah daripada isi khotbah dan doktrinnya? Seorang bapak berkata, “Saya lupa pendeta tersebut berkhotbah tentang apa dan dari teks Alkitab yang mana, tapi saya masih ingat ilustrasi yang digunakannya pada waktu itu ketika ia memimpin retret remaja kami tiga puluh tahun yang lalu.” Fakta ini jelas mengatakan kepada kita bahwa bahasa gambar (cerita) lebih berkesan mendalam daripada bahasa konsep yang abstrak.

Tidak heran bila Yesus lebih banyak menggunakan cerita dalam khotbah dan pengajaran-Nya daripada bahasa teologis yang rumit. Injil juga menyajikan banyak cerita, symbol, dan perumpamaan.  Kita tidak akan mengerti Injil Yohanes dengan sepenuhnya bila kita membaca dan menganalisanya secara harafiah dan rational, karena penulis Injil tersebut menyajikan tulisannya dengan menggunakan bahasa simbol rohani. Umpamanya,  “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” “Jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak akan dapat melihat kerajaan Allah.” “Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi.” “Akulah Air hidup….” “Akulah Roti hidup….” Bahasa seperti ini bukan bahasa definisi tetapi bahasa gambar yang hidup.

Perhatikan cara Yesus mengajar murid-murid-Nya dengan bahasa gambar dalam Matius 6:26. Kepada para murid-Nya yang sedang mengkhawatirkan masa depan mereka, Dia berkata, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” Para murid tidak perlu berpikir dua kali tentang apa yang dimaksud Yesus dengan perkataannya itu, sebab bahasa yang Yesus gunakan sudah menciptakan dalam pikiran mereka gambaran tentang burung-burung yang terbang di langit bebas dan gambaran tentang petani yang sedang menabur, menuai, dan mengumpulkan bekal dalam lumbung. Dari perbandingan ini, mereka dengan cepat mengerti apa yang dimaksud oleh Yesus, yakni jangan khawatir.

Menguasai Bahasa Gambar Atau Cerita

Untuk dapat mahir menggunakan bahasa gambar atau cerita tentu saja diperlukan latihan. Salah satu cara yang terbaik untuk menguasainya adalah dengan menulis naskah khotbah kita secara lengkap. Dengan menulis, kita dipaksa untuk memikirkan dan memilih setiap kata yang hendak kita gunakan. Kita menyadari bahwa waktu khotbah kita terbatas dan daya konsentrasi jemaat untuk memperhatikan khotbah kita juga terbatas. Dengan demikian, tentunya kita tidak ingin membuang waktu dengan mengucapkan kata-kata yang berulang-ulang, tidak menyambung, dan tidak mengena. Seperti seorang tentara yang menghabiskan selusin peluru hanya untuk merobohkan seorang musuh, demikian pula halnya dengan seorang pengkhotbah yang tidak pernah melatih diri untuk menulis khotbahnya secara lengkap. Banyaknya kata yang tidak efektif yang dikatakan oleh pengkhotbah merupakan penghamburan energi dan waktu yang pada akhirnya melelahkan konsentrasi jemaat. Bila sudah demikian, mereka tidak tertarik lagi untuk terus mendengarkan khotbahnya.

Harus kita akui bahwa kebiasaan berkhotbah tanpa teks lengkap membuat kita menjadi lebih lancar berkata-kata, tetapi itu tidak menjamin bahwa khotbah kita akan semakin menarik dan kita semakin mahir menggunakan bahasa yang hidup dan tepat dalam khotbah. Mungkin yang terjadi bisa sebaliknya, kita terperangkap dalam penggunaan kosakata yang itu-itu juga, dan kehilangan gregetnya. Akhirnya, jemaat menjadi bosan mendengarkan khotbah kita.

Bagi kita yang sudah menjalani pelayanan mimbar bertahun-tahun dan terbiasa membuat khotbah hanya dalam bentuk kerangka khotbah, ada baiknya kembali menulis naskah khotbah secara lengkap. Tulislah naskah khotbah dalam bahasa khotbah (bahasa lisan) dengan membayangkan bahwa seakan-akan kita sedang berkhotbah. Pergunakanlah lebih banyak bahasa gambar (cerita) daripada bahasa konsep. Kemudian, mulailah menghafalkan apa yang kita tulis. Tentu saja akan ada bagian-bagian yang tidak seratus persen tepat seperti yang kita tulis, tetapi itu tidak menjadi masalah karena secara keseluruhan bahasa dalam khotbah kita telah mengalami banyak kemajuan. Pada waktu kita berkhotbah, naskah khotbah itu bisa kita bawa ke mimbar, bukan untuk dibacakan melainkan untuk dikhotbahkan. Artinya, kita berkhotbah dengan lepas seakan-akan tidak terikat pada naskah khotbah kita, namun sesekali kita boleh melihatnya untuk tetap mengontrol alur pikir dan bahasa khotbah kita.

Usaha seperti ini, untuk pertama kali memang terasa sulit karena kita perlu meluangkan waktu persiapan khotbah lebih banyak, namun lama kelamaan semua itu akan menjadi lebih mudah. Satu hal yang kemudian paling menghibur kita adalah kita akan mendapati bahwa jemaat semakin menaruh perhatian pada khotbah-khotbah kita, bahkan mereka begitu menantikannya. Itu berarti firman Tuhan yang dipercayakan kepada kita telah kita sampaikan sebagaimana mestinya, dan kita berharap melalui pelayanan kita nama-Nya semakin dimuliakan.

Penyampaian Khotbah: Suara yang monoton

(Bagian II)

Mengapa Sebuah Khotbah Tidak Mudah Dimengerti?

Oleh: Pdt. Benny Solihin

Andil Bersama

            Pada suatu hari Minggu, sepulang dari kebaktian, seorang ibu ditanya oleh anak gadisnya, “Bu, Pak Pendeta khotbah tentang apa pagi ini?” Ibu tersebut menjawab dengan kesal, “Ibu engga tahu deh dia ngomong apa. Tiap kali Pendeta kita berkhotbah, Ibu engga bisa ngerti. Bicaranya ketinggian.” Sang anak bertanya lagi, “Ketinggian apa ngalor-ngidul?” Dengan gemas si ibu menjawab, “Maksud ibu, ngalor-ngidulnya ketinggian.” Ungkapan serupa ini mungkin telah sering kita dengar walau dengan format kalimat yang berbeda. Intinya, apa yang dikhotbahkan oleh si pengkhotbah dari mimbar tidak bisa dimengerti oleh jemaat. Hal seperti ini pasti sering kita alami, tapi pernahkah Anda berpikir, apa yang menyebabkan sebuah khotbah sering kali tidak mudah dimengerti? Jika kita fair, jawaban pertanyaan ini terletak tidak melulu pada diri si pengkhotbah, tetapi juga pada diri jemaat atau pendengar. 

Andil Pendengar

            Hal pertama yang perlu kita ingat adalah untuk mendengar dan mengerti suatu khotbah dibutuhkan konsentrasi yang baik; konsetrasi yang baik sangat tergantung pada keadaan fisik seseorang. Bila seseorang dalam kondisi fisik yang lelah, mungkin disebabkan kurang tidur karena malam minggu yang terlalu panjang, atau banyak pikiran, stres, maka ia tidak mudah menangkap makna sebuah khotbah. Apalagi, jika ia mendengar khotbah itu di Minggu pagi. Oleh karena itu, perlu suatu wawasan yang baru bagi kita semua bahwa datang ke rumah Tuhan memerlukan persiapan, baik rohani maupun fisik.

            Andil lain dari pendengar yang membuat ia tidak bisa mengerti khotbah yang didengarnya adalah persepsi yang ia miliki terhadap hamba Tuhan yang berkhotbah itu. Persepsi yang tidak baik, misalnya ia sudah mengecap bahwa si pengkhotbah bukan seorang pembicara yang baik, membuat ia, entah sadar atau tidak sadar, enggan untuk mendengar firman yang akan dikhotbahkan. Hasilnya? Tentu saja ia pulang dalam ketidakmengertian. Terlebih lagi bila persepsi negatif itu sudah bersangkut-paut dengan karakter si pengkhotbah, maka sudah dapat kita duga bahwa pendengar itu akan pulang bukan hanya dengan membawa kesia-siaan, tapi juga segudang gerutuan. Iblis sangat pandai mencuri benih firman Tuhan dari diri kita, bahkan sebelum benih itu kita dengar ia sudah mencurinya dengan kunci palsu yang bernama persepsi negatif. Mengingat hal ini, perlu bagi kita untuk datang lebih awal dalam kebaktian yang kita ikuti, guna menenangkan diri dalam saat teduh sekaligus memohon supaya Tuhan membersihkan hati kita untuk siap menerima firman Tuhan, terlepas dari siapa pun yang menyampai kannya.

            Faktor terakhir yang sering tidak disadari oleh jemaat atau pendengar tentang mengapa ia tidak mengerti sebuah khotbah adalah pengetahuan iman Kristennya tidak bertumbuh. Pengetahuan iman Kristen meliputi pengetahuan tentang Alkitab dan doktrin-doktrin kristiani. Salah satu ciri seorang Kristen yang bertumbuh adalah mempunyai kerinduan dan disiplin untuk membaca Alkitab dan buku-buku Kristen yang membangun.  Pengetahuannya akan Allah tidak pernah berhenti, tetapi terus berkembang. Pengetahuan inilah yang memberikan kepadanya kemudahan untuk dapat mengikuti dan mengerti apa yang dikatakan oleh seorang pengkhotbah. Sebagai contoh, suatu hari seorang pengkhotbah di sebuah persekutuan pemuda dengan begitu antusias selama 45 menit mengkhotbahkan tentang kefrustrasian Musa terhadap bangsa Israel yang menyembah patung anak lembu emas. Seusai persekutuan, seorang pemuda bertanya dengan lugunya, “Pak Pendeta, ngomong-ngomong yang namanya Musa itu siapa sih?” Setelah menjawab pertanyaan itu dengan singkat, sang pendeta pulang dengan perasaan frustrasi sama seperti Musa yang frustrasi terhadap bangsa Israel yang bebal. Ketidakmengertian jemaat dalam mendengar suatu khotbah mungkin juga terjadi bukan karena khotbah itu rumit dan tinggi, tapi karena pengetahuan iman Kristen jemaat yang tidak memadai sehingga apa yang didengar tidak nyambung sama sekali. 

Andil Pengkhotbah

Di pihak lain, sebuah khotbah bisa menjadi sulit dimengerti karena faktor yang ada pada diri si pengkhotbah itu sendiri. Pertama-tama, pengkhotbah tidak jelas dengan apa yang mau ia sampaikan. Proses awal pembuatan sebuah khotbah dimulai dengan memilih teks yang akan dikhotbahkan. Setelah itu menyelidiki dan menafsirkan berita dari teks tersebut dalam konteks pembaca mula-mula, dalam hal ini adalah orang Yahudi, khususnya dalam Perjanjian Lama; dan Gereja, khususnya dalam Perjanjian Baru. Pada tahap ini seorang pengkhotbah perlu belajar mendengar suara Tuhan dalam teks yang sedang ia pelajari. Fred Craddock berkata bahwa berkhotbah itu pertama-tama berurusan dengan persoalan mendengar. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi bila seorang pengkhotbah belum mendengar dengan jelas suara Tuhan, kemudian ia naik mimbar dan berkhotbah. Hasilnya? Jelas, sama-sama tidak jelas; tidak jelas bagi hamba Tuhan yang berkhotbah dan juga tidak jelas bagi jemaat yang mendengar. 

Kejelasan berita teks, yang muncul dari seni mendengar, menuntut seorang pengkhotbah merumuskan berita dari teks tersebut dalam satu kalimat utuh yang jelas. Kemudian dari situ ia membuat tema, tujuan, dan outline khotbahnya. Memang masih ada proses panjang yang harus dilalui oleh seorang pengkhotbah sebelum ia sampai pada suatu naskah khotbah yang utuh, namun demikian perumusan tema, tujuan, dan outline sudah mengarahkan pikiran seorang pengkhotbah untuk berbicara dengan jelas. Mungkin beberapa pengkhotbah merasa cukup dengan ide samar-samar yang ada di benak mereka pada waktu mereka akan berkhotbah, selebihnya mereka mengadalkan pimpinan Roh Kudus. Pertanyaan kita adalah mengapa mereka tidak minta pimpinan Roh Kudus untuk mempersiapkan diri mereka beberapa hari sebelum mereka naik ke mimbar, ketika mereka berada dalam ruang belajarnya atau meditasi mereka? Kita perlu kritis membedakan antara ketergantungan yang penuh kepada Roh Kudus dan kemalasan hamba Tuhan untuk duduk mendengar suara “Tuannya.” Hamba Tuhan yang demikian mungkin perlu mendengar apa yang Haddon Robinson katakan, “Para pengkhotbah sering menilai terlalu tinggi keantusiasan jemaat dalam mendengar khotbah mereka, tetapi sering menilai terlalu rendah kecerdasan jemaat akan firman Tuhan.”

Hal lain yang membuat sebuah khotbah sukar dimengerti adalah bahasa yang digunakan oleh si pengkhotbah. Bahasa adalah sarana penyampaian ide sekaligus power yang mampu mengubah hidup seseorang. Allah menyatakan diri-Nya dan mengungkapkan maksud-Nya dengan bahasa. Pada Yohanes 1:1, Yesus disebut Firman (logos = word). Yesus datang ke dalam dunia dan mengubah banyak orang dengan kata-kata-Nya. Dengan kata-kata-Nya Ia menenangkan angin ribut, membangkitkan orang mati, dan mengampuni orang berdosa. Ia menggunakan bahasa yang komunikatif. 

Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang hidup dan bisa dimengerti oleh kedua pihak, baik oleh si pembicara ataupun para pendengar. Dengan kata lain, pembicara dan pendengar menggunakan kosakata yang sama. Sebagian pengkhotbah, entah sengaja atau tidak sengaja, mempunyai kecenderungan menggunakan kata-kata yang begitu wah (yang dalam pengertian si ibu tadi adalah ngalor-ngidulnya ketinggian) sampai-sampai jemaat bingung apa maksudnya. Mungkin sebagian pengkhotbah melakukan hal itu tanpa sadar; tetapi sebagian lainnya melakukan dengan kesadaran penuh, menggunakannya untuk mendatangkan nilai tambah bagi dirinya dengan mencoba memberi kesan kepada pendengar bahwa ia mengerti banyak tentang teologi. Padahal dengan melakukan hal seperti itu ia sedang menghalangi pendengar untuk mengerti khotbahnya. 

Ahli-ahli komunikasi tidak pernah berselisih dalam mengatakan bahwa seorang pembicara harus berbicara dengan bahasa pendengar jika si pembicara ingin didengar, dimengerti, dan bisa mempengaruhi orang yang mendengarnya. Pernahkah Anda bertanya kepada seorang astrolog tentang apa yang disebut “bintang jatuh” itu, dan kemudian ia menjelaskan kepada Anda tentang berlaksa-laksa bintang di langit beserta segala riwayatnya dalam bahasa Astrologi? Atau seorang ahli komputer yang menerangkan kepada Anda dengan bahasa program yang rumit ketika Anda bertanya mengapa komputer Anda sering hang. Bagaimana perasaan Anda ketika mendengarkan begitu banyak kosakata asing muncul dan Anda tidak mengetahui artinya? Seperti itulah yang terjadi dengan para pendengar ketika mereka sedang mendengarkan khotbah yang banyak menggunakan bahasa wah. Harus kita akui bahwa banyak kata teologis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pun artinya masih belum jelas bagi kebanyakan orang Kristen. Kata-kata seperti “karunia,” “nubuat,” “penebusan,” “pengudusan,” “mezbah,” “tabut Allah,” “hari Sabat,” “tahun Yobel,” mungkin artinya dimengerti secara samar-samar. Apalagi kata-kata seperti “sanctification, incarnation, Eksistensialisme, Liberalisme, Postmodernisme, saya percaya tidak banyak jemaat yang paham tentang hal itu. Untuk itu, para pengkhotbah perlu memikirkan secara serius bagaimana cara menyampaikan firman dengan lebih masuk ke bahasa pendengar.

Sementara sebagian hamba Tuhan mencoba untuk membuat hal-hal yang sederhana menjadi rumit dalam khotbah mereka, dalam Injil, Tuhan Yesus telah mencontohkan bagaimana Ia menceritakan hal-hal tentang Kerajaan Surga yang begitu rumit dengan bahasa yang sederhana dari kejadian sehari-hari pada saat itu. Ia berkata, “Hal Kerajaan Surga seumpama orang yang menabur benih yang baik di ladangnya.” Atau “Hal Kerajaan Surga seumpama harta yang terpendam di ladang.” Ia berbicara dari sudut yang telah dikenal akrab oleh pendengar, seperti ladang, gembala, domba, kebun anggur, bunga bakung di ladang atau burung-burung di langit.  Sehingga tidak heran dalam Matius 7:28-29 dicatat tentang kesan pendengar-Nya, “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa ….” Salah satu kuncinya adalah Ia berbicara dengan bahasa pendengar, sebab bagaimana mungkin mereka dapat mengatakan bahwa Ia mengajar dengan penuh kuasa jika mereka tidak mengerti apa yang Ia katakan. 

Yang perlu kita cermati secara kritis adalah membedakan antara bahasa yang rumit dan pemikiran yang mendalam dari sebuah khotbah. Khotbah yang mempunyai pemikiran mendalam dan berbobot tidak selalu menuntut bahasa yang rumit sebagai media komunikasinya. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang rumit tidak pernah identik dengan khotbah yang mengandung pemikiran mendalam dan berbobot. Membuat yang sederhana menjadi rumit bukanlah pekerjaan yang sulit, tetapi membuat yang rumit menjadi sederhana adalah pekerjaan seniman besar. Tuhan Yesus telah memperlihatkan seni berkhotbah yang tiada taranya: sederhana, gamblang, dan mengena.

Sama-sama Introspeksi diri

            Mendengar sebuah khotbah yang kita tidak mengerti apa pesan yang mau disampaikan dapat membuat kita pulang dari gereja bukan dengan membawa shalom atau damai sejahtera tapi pulang dengan membawa sungut-sungut.  Tidak jarang kita menyalahkan pengkhotbahnya.  Di pihak lain, pengkhotbah juga bisa berdalih bahwa kesalahan bukan terletak di atas pundaknya, sebab jemaat tidak mau belajar makan makanan yang keras.  Akhirnya, kedua belah pihak tidak belajar sesuatu apapun untuk memperbaiki keadaan yang tidak baik itu.  Perlu kita sadari bahwa seorang pengkhotbah memerlukan pendengar; demikian juga jemaat memerlukan pengkhotbah.  Tuhan mengutus hamba-hamba-Nya untuk berkhotbah menyampaikan suara-Nya dan Ia memerintahkan jemaat-Nya untuk berkumpul dalam rumah ibadah dan mendengarkan suara-Nya. Kedua belah pihak saling membutuhkan dan terikat pada Allah yang satu; keduanya mempunyai keinginan yang sama: pengkhotbah ingin khotbahnya dapat dimengerti dan jemaat ingin dapat mengerti khotbah hamba Tuhannya. Bila sebuah khotbah tidak bisa dimengerti, biarlah masing-masing kita mengintrospeksi diri sebelum menjatuhkan kesalahan kepada pihak lain.  Semoga Roh yang sama memimpin kita untuk memperbaiki setiap kelemahan kita.