| |
Tema : “Aku adalah Aku” (Mengenal nama-Nya berarti mengenal pribadi-Nya) Nats : Kel.3:13-15 Penulis : Benny Solihin Tujuan : Agar jemaat lebih mengenal pribadi Allah, melalaui namaNya, Allah yang penuh kasih memperkenalkan diriNya., dengan mengenal pribadi Allah akan lebih mengenal rencana dan pemeliharaan Allah dalam kehidupan ini.
Pendahuluan Banyak orang memiliki nama yang tidak pas dengan keadaan dirinya. Ada orang yang namanya Hercules tetapi bodynya gepeng dan seumur hidup batuk melulu. Ada orang yang namanya Bangun Perkasa, tetapi orangnya siang malam teler melulu. Ada orang yang namanya Tjahya Gemilang, tetapi mimik mukanya murung terus, mungkin lebih cocok jika diberi nama Lembah Kekelaman. Saya bisa mengerti maksud dari para orang tua pada waktu mereka memberi nama kepada anak mereka. Tentu saja pemberian nama-nama seperti itu karena mereka memiliki seberkas harapan kepada anak mereka di kemudian hari. Begitu juga dengan orang Israel, mereka memberi nama anak-anak mereka sesuai dengan harapan mereka atau sesuai dengan keadaan pada waktu anak itu dilahirkan. Bagi mereka nama itu penting; nama itu mengandung makna, mengatakan sesuatu. Oleh karena itu, pada waktu Musa bertanya kepada Allah yang menampak diri kepadanya, “Siapakah nama-Mu?” tentu jawaban dari pertanyaan ini penting sekali. Penting bagi dia yang bertanya dan penting bagi kita sekarang ini. Mengapa? Yang pertama, karena Allah sendiri yang menyatakan nama diri-Nya. Yang kedua, nama itu bersangkut paut dengan hidup dan iman kita. Hari ini kita akan mempelajari arti nama Tuhan yang diungkapkan-Nya kepada Musa dalam Keluaran 3: 14-15. Semoga dengan mengerti hal itu, kita akan lebih mempercayakan hidup kita kepada-Nya. 1. Allah yang selalu hadir dalam hidup umat-Nya Dalam bagian Alkitab yang kita baca tadi, diceritakan tetang Allah memanggil dan mengutus Musa untuk membawa bangsa itu keluar dari Mesir. Selama kurang lebih 400 tahun bangsa Israel mengeluh karena perbudakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh bangsa Mesir, dan mereka berseru-seru kepada Tuhan. Saya percaya tidak sedikit orang Israel yang putus asa dan tidak lagi berharap Allah akan menolong mereka. Ada pula sebagian dari mereka yang pasrah-apatis dan berpikir, “Jika Allah hadir mengapa Ia membiarkan kami menderita sekian lama? Jika Allah ada mengapa Ia tidak mendengar keluhan kami dan menolong kami?” Mungkin itulah pertanyaan-pertanyaan mereka selama empat ratusan tahun. Musa merasa sangat keberatan dengan tugas panggilan Allah ini. Ia mempunyai beberapa alasan yang ia lontarkan kepada Allah. Salah satunya adalah, “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimanakah tentang nama-Nya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (ay.13). Apakah Musa menganggap bahwa orang Israel memang ingin mencari tahu tentang nama Allah? Apakah mereka telah melupakan atau tak pernah mengetahui dengan sebenarnya nama Allah mereka? Pokok pertanyaan itu bukanlah, “Siapakah nama-Nya?” Pertanyaan itu dapat dijawab dengan, “Namanya adalah Yahweh,” tetapi lebih tepat “Bagaimana tentang nama-Nya?” Kata Ibrani mah (What is His name?) menanyakan tentang signifikansi, kualitas, dan relasi dari nama tersebut dengan umat yang akan dibebaskan. Dalam Perjanjian Lama, nama bukanlah semata-mata untuk membedakan seseorang dari orang lain, tetapi nama seseorang mewakili dan menyatakan sifat maupun kepribadiannya. Mengetahui nama seseorang berarti memasuki suatu hubungan yang dalam sekali dengan orang itu. Jadi, Musa sebenarnya bertanya, “Apakah hubungan Allah dengan umat Israel?” Memang Allah adalah “Allah nenek moyang mereka”, tetapi apa signifikansi-Nya bagi bangsa Israel yang sedang menderita sekarang?” Lalu Allah menjawab Musa, Lagi firman-Nya: “AKU ADALAH AKU. Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.” (ay.14-15). Perhatikan di sini bahwa Allah memberikan tiga jawaban kepada pertanyaan Musa. Pertama, dalam ayat 14, “AKU ADALAH AKU.” Kedua, dalam ayat 14 pula, “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: “AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” Ketiga, dalam ayat 15, “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN (Yahweh), Allah nenek moyangmu, …, telah mengutus aku kepadamu…” Dari jawaban ini, kita mendapati bahwa nama diri Tuhan, yaitu Yahweh, dapat saling ganti dengan AKU ADALAH (I AM). Memang kedua kata ini, yakni Yahweh (TUHAN) dan AKU ADALAH, dibentuk dari kata Ibrani yang sama, yaitu kata kerja “hayah” (to be) yang berarti “ada”. Dengan demikian, jawaban Tuhan, “AKU ADALAH AKU” mempunyai pengertian, “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang ada, benar-benar hadir.” Tafsiran ini didukung oleh konteks bangsa Israel dan Musa saat itu yang berada dalam keadaan putus asa dan membutuhkan sepatah kata dari Tuhan sebagai sumber pengharapan mereka. Dengan mengungkapkan nama pribadi-Nya, Tuhan menyatakan bahwa diri-Nya adalah Allah yang ada, yang hadir di tengah-tengah hidup dan penderitaan umat-Nya dan siap menolong mereka. Alkitab mengatakan kepada kita dalam Luk.1:23, bahwa Tuhan yang menampakkan diri kepada Musa ini suatu kali kelak datang ke dalam dunia melalui rahim seorang dara dan Ia akan disebut Imanuel, yang artinya Allah menyertai kita. Pribadi kedua dari Allah Tritunggal, berinkarnasi menjadi manusia, melawat manusia, menyapa manusia, tinggal di tengah-tengah manusia. Kepada orang-orang Yahudi yang meragukan asal-usulnya, Ia berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham ada Aku telah ada (hadir).” (before Abraham was I am). Ayat 15 menghubungkan Yahweh dengan generasi sebelum (Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub) dan sesudah Musa (turun temurun). Jadi Allah adalah Allah yang hadir dalam sejarah dari generasi ke generasi. Ia tidak pernah absen. Dalam Wahyu 2: 8, Allah yang sama, pribadi kedua dari Tritunggal, berkata, “Aku adalah Alfa dan Omega, yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa.” Ia, yang awal dan akhir dari sejarah dunia ini, adalah Allah yang selalu hadir dan mengendalikan sejarah manusia. Allah yang demikianlah yang memanggil Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Sejarah bisa berjalan dengan kelam, ganas dan penuh ketidakadilan seakan-akan yang jahat menjadi tuan yang tak terkalahkan, tetapi sejarah menunjukkan bahwa selalu ada masa di mana sang jahat tumbang; belum pernah ada kelaliman, kejahatan, yang tidak terputus. Kita, orang-orang beriman, percaya tangan Allah yang mahadahsyatlah yang mengendalikan bola sejarah manusia karena Ia tetap hadir di dalam sejarah manusia. Ilustrasi Pdt. Eka Darmaputra pernah berkata bahwa keadaan negara Indonesia akhir-akhir ini merupakan fenomena yang luar biasa. Secara rational bangsa Indonesia ini seharusnya sudah runtuh karena gelombang besar yang menerpa tiada henti tahun-tahun belakangan ini. Andaikata negara lain, seperti Korea atau Thailand menghadapi seperempat dari besarnya tekanan yang dihadapi oleh Indonesia ini pasti mereka sudah rontok. Tetapi Indonesia masih tetap berjalan. Aplikasi Saudara saya setuju dengan pendapat itu dan saya ingin mengajak kita berpikir lebih jauh dengan pertanyaan, “mengapa?” Mengapa bangsa ini tidak runtuh atau belum runtuh? Jawabannya bisa bermacam-macam, tetapi dari sudut iman kita harus mengatakan, “Karena Allah hadir di tengah-tengah bangsa ini, Ia mempunyai rencana untuk bangsa ini, dan karena itu Ia mengendalikan sejarah bangsa ini.” Inilah yang memberi kita kekuatan untuk terus melayani Tuhan. Walaupun nampaknya kekristenan akan makin sulit dan terjepit di masa kemudian, tetapi Allah tetap hadir dan memegang kendali. Inilah sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya bagi orang percaya sepanjang zaman, terlebih dalam saat-saat yang sulit. 2. Allah yang hadir bertindak pada waktu-Nya Pada waktu kita membaca Kitab Keluaran, penderitaan dan penganiayaan bangsa Israel itu hanya dilukiskan dalam dua pasal pertama, begitu singkat dan cepat. Padahal kurun waktu kejadiannya adalah 400 tahun (Kej 15:13; Kis 7:6). Kalau kita perkirakan rata-rata umur orang Israel saat itu adalah 70 tahun, itu berarti selama 6 generasi bangsa itu hidup dalam penderitaan. Dengan pelukisan lain, begitu seorang anak Israel lahir status mereka adalah budak, obyek penganiayaan bangsa Mesir. Sejak anak itu kecil ia telah mendengar orang tuanya, kakek-neneknya menaikan doa memohon pertolongan kepada Allah dan sampai ia dewasa, tua dan menjelang ajal doa yang sama berulang-ulang ia naikan kepada Allah. Tetapi apa hasil doa yang ia naikan puluhan tahun, bahkan seumur hidupnya? Adakah perubahan yang terjadi? Jawabnya adalah tidak, semua sama saja! Lalu, jika Allah hadir umat-Nya mengapa Allah tidak bertindak menujukkan kuasa-Nya? Saudara, dari konteks ini, konklusi yang kita dapatkan adalah kehadiran Allah tidak identik dengan kesegeraan tindakan Allah. Tidak selalu kehadiran Allah dibarengi dengan tindakan-Nya, sebaliknya, ketiadaan tindakan-Nya bukan berarti Ia tidak hadir. Waktu Allah bukan waktu manusia dan bukan pula waktu Musa. Empat puluh tahun sebelum perjumpaan Musa dengan Allah, Musa secara pribadi pernah berusaha untuk memulai gerakan pembebasan itu. Tetapi Allah sama sekali tidak berespons bahkan seolah-olah Ia bukan hanya tidak berminat tapi sama sekali tidak mempunyai agenda ke arah itu. Selama 40 tahun Musa lari dan hidup di tanah Median dan saya percaya agendanya telah ia delete dari kalbunya. Tetapi di saat Musa telah melupakannya, jadwal Allah baru mulai beroperasi. Keluaran 2: 24-25, menyatakan Dia bukan hanya ada dan hadir tetapi mendengar mereka mengerang, mengingat kepada perjanjian-Nya, melihat orang Israel itu, dan memperhatikan mereka. Ada empat kata kerja di tempat ini, yaitu mendengar (shama), mengingat (zakar), melihat (ra’ah) dan memperhatikan (yada). Kata-kata kerja ini bukan berarti bahwa Allah baru mendengar seolah-olah sebelumnya Allah tidak pernah tahu, atau Allah baru teringat seolah-olah Ia lupa pada janji-Nya sendiri, atau baru celik mata-Nya seolah-olah dulu dibutakan, atau baru memperhatikan seolah-olah dahulu ia kurang perhatian karena kesibukan atau kurang informasi. Tetapi keempat kata itu ingin menyatakan sekarang Allah yang mendengar, mengingat, melihat dan memperhatikan sekarang mulai bertindakan. Allah bekerja sesuai dengan waktuNya. 2000 tahun yang lalu ketika Kerajaan Romawi mengalami kejajayaannya dengan Pax Romana (ketentraman Romawi) dan Lex Romana (hukum Romawi), ketika orang-orang Yunani bangga dengan kearifannya, dan ketika orang-orang Yahudi mengagung-agungkan kesalehannya, Gal 4:4 menuliskan, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak,” Frasa “setelah genap waktunya” menunjukkan bahwa Allah bekerja dengan perhitungan waktu yang tepat, Ia tidak pernah terlambat tetapi juga tidak pernah menjadi terlalu cepat. Pengenalan akan Allah yang demikian seharusnya membuat kita hamba-hamba-Nya tetap tenang, tekun dan tidak kehilangan akal dalam menghadapi kesulitan apapun, walaupun kita tidak melihat tanda-tanda apapun bahwa Allah akan bertindak. Ia ada, Ia hadir dan Ia tahu kapan Ia harus bertindak. Ilustrasi Seorang guru TK pernah bercerita suatu kejadian yang menarik. Setiap permulaan tahun ajaran baru, guru-guru TK selalu stress menanggani anak-anak yang baru masuk. Pada hari pertama, sebagian besar murid-murid baru itu pasti menangis menghadapi suasana baru dan di kelilingi dengan orang-orang asing. Yang lebih merepotkan adalah para orang tua yang ikut campur masuk ke kelas, membuat suasana lebih tidak terkendali. Berdasarkan pengalaman itu, setelah 3 hari sekolah, para orang tua dilarang untuk menemani anak-anak mereka. Para orang tua diminta tetap tinggal di luar. Alkisah ada seorang gadis kecil yang selalu menjerit-jerit memanggil-manggil nama mamanya. Walaupun guru-guru sudah membujuknya dengan segala cara ia tetap menangis dan menjerit. Akhirnya, diambil tindakan yang lebih bijaksana. Mama si anak itu dipanggil untuk menemani anaknya dan anak itu menjadi diam. Tetapi begitu mama si anak itu akan pergi si anak menjerit-jerit lagi. Ketika para guru mulai bingung si mama berkata, “Jangan takut! jangan menangis! Mama tetap ada di sini, hanya Mama akan berdiri di luar kelas di balik tembok itu. Mama akan memberi tanda dengan memunculkan jari telunjuk mama di atas tembok itu, oke? Saudara, anak perempuan kecil itu tidak lagi menangis dan kelas menjadi tenang. Tetapi tahukah Saudara, sepanjang jam pelajaran si anak itu tidak pernah dapat mengikuti pelajaran apa-apa karena matanya selalu tertuju kepada jari telunjuk mamanya yang muncul di atas tembok.Ia terlalu takut dan cemas kalau-kalau mamanya tidak ada di sana. Penutup: Kita mungkin takut dan cemas melihat situasi politik dan keamanan negara kita. Kita juga mungkin cemas dengan hari depan kita dan masa depan kita. Takut dan cemas adalah bagian dari kehidupan dan itu manusiawi sekali. Namun, sebagai orang percaya dan yang mengenal siapakah Tuhan kita, kecemasaan dan ketakutan kita tidak boleh mengalahkan iman kita kepada-Nya. Bila gadis kecil memerlukan sebuah tanda untuk meyakinkannya bahwa Mamanya masih hadir di sana, apakah kita juga masih memerlukan tanda bahwa Allah masih hadir dan bekerja di negara yang kita cintai ini?
==================================
| |