SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
CHARLES CHRISTANO: WAH,
TERNYATA KELIRU! (1) Refleksi Apabila ada dua orang bertemu, sebenarnya ada enam macam orang! Aneh memang, tetapi itulah yang telah terjadi tanpa kurang kita sadari sepenuhnya. Dua orang yang pertama adalah masing-masing orang tadi menurut anggapannya sendiri-sendiri. Dua orang yang kedua adalah bagaimana masing-masing menilai orang yang ditemuinya! Dan dua orang yang terakhir adalah hakikat orang-orang tadi yang sesungguhnya. Sekarang kita lebih mudah untuk menerima kebenaran salah satu pepatah kita: Dalamnya laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu? Kalau untuk mengenal orang lain yang dapat kita tangkap dengan panca indera kita saja tidak begitu mudah, apalagi terhadap orang yang pendiam dan memang pandai menyembunyikan banyak rahasia, bagaimana mungkin kita dapat mengenal Allah yang adalah Roh? Kalau seseorang tidak bersedia dan berkenan membuka dirinya untuk menjelaskan dan memperkenalkan siapa jati dirinya kepada kita, jelas bahwa kita tidak dapat mengenal dia secara benar? Sekarang kita juga lebih mudah untuk memahami mengapa, walaupun dengan segala itikat yang baik, dengan segala kesungguhan dan kejujuran anak-anak manusia untuk mengenal Tuhan, telah "melahirkan" begitu banyak macam agama! Allah yang Penuh Misteri Kalau manusia yang serba terbatas saja masih mengandung begitu banyak misteri, apalagi Allah! Walaupun manusia sudah makin pandai dengan ilmunya yang kian canggih, toh manusia pada umumnya mencari (menghendaki), atau paling tidak mencoba mengupayakan agar segala sesuatu itu dapat di"permudah." Kecenderungan untuk meredusir yang kompleks menjadi sederhana, yang rumit menjadi simple dan praktis, barangkali masih terus akan kita lakukan. Diakui atau tidak, bahkan manusia yang sudah akil balik dan sudah berpendidikan sangat maju sekalipun memilih untuk "bermalas-malas." Bukankah makin banyak hasil teknologi tinggi cenderung untuk menyederhanakan hidup kita hanya dengan tinggal memijit tombol remote control? Sampai kini masih ada saja orang yang maunya melihat segala sesuatu itu hanya menjadi hitam/putih, baik/buruk, salah/benar, senang/susah, atas/bawah, dan seterusnya dan seterusnya titik! Padahal makin kita bertambah usia, makin kita menyadari bahwa dalam segala hal ada saja daerah "kelabu." Daerah "kelabu" tadi bukan hanya satu warna yang memisahkan dua macam kutub, tetapi ia sendiri masih merupakan bak pelangi dengan spektrum yang luas! Pernah saya disudutkan dengan berbagai macam pertanyaan yang diajukan oleh beberapa mahasiswa tingkat akhir dari suatu PTN yang sangat terkenal di Jawa Barat. Memang cukup nalar. "Pak, sungguhkah Bapak percaya bahwa Allah yang Bapak kenal itu Allah yang Mahatahu dan Mahabijak?" Jawabnya jelas, bukan? Tak ada pilihan lain! "Kalau Dia begitu Mahatahu dan Mahabijak, ngapain kok menurut Alkitab Bapak Dia tidak tahu di mana Adam dan Hawa bersembunyi? Kok kayak main petak umpet saja!" (bandingkan Kejadian 3:9). Sebelum saya sempat membalas, teman mahasiswa tadi makin menyudutkan saya: "Kalau Allah Mahatahu, ngapain Dia masih harus bertanya, "Apakah engkau makan dari buah yang Kularang engkau makan itu?" Tanpa dapat disangkal pertanyaan-pertanyaan semacam tadi memang bukan saja sangat menyudutkan, bahkan membuktikan betapa "konyolnya" Allah yang diajarkan Alkitab! Penalaran kita menuntut bahwa Allah yang Mahatahu dan Mahabijak tidak perlu bertanya ataupun mencari di mana Adam dan Hawa bersembunyi! Allah macam apa yang begitu bloon? (Apakah Anda merasa istilah yang terakhir tadi sangat kasar bahkan kurang ajar? Tetapi bagaimana sesungguhnya sikap hidup kita sesehari terhadap keberadaan dan kemahatahuan Allah?) Pemutarbalikan Peran Manusia, bagaimanapun sudah maju dan pandainya, tidak pernah lebih dari (hanya) makhluk. Tetapi manusia, barangkali tanpa menyadari sepenuhnya telah mencoba merebut kedudukan Allah. Bak pemeran utama atau primadona, manusia menganggap dirinya berada di pusat pentas kehidupan, petentang-petenteng dengan pongahnya sambil berkacak pinggang. Manusia mencari Allah, yang menurut pendapatnya, barangkali sedang bersembunyi untuk dapat ditemukan di balik kisi-kisi (sayap) di kanan-kiri pentas! Tetapi Alkitab berkata lain! Tidak kurang menyudutkan dari pertanyaan manusia yang sudah merasa arif. Marilah kita simak apa yang tersurat dalam Roma 11:34,35 (diambil dari Alkitab terjemahan bahasa Indonesia Sehari-hari, selanjutnya disebut BIS). "Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Siapakah dapat memberi nasihat kepada-Nya? Siapakah pernah memberi sesuatu kepada Tuhan sehingga bisa menuntut balasannya?" Seorang yang sangat bijak, yang tidak mau disebut namanya kecuali hanya dengan nama samaran. Pengkhotbah menulis: "Ketika aku berusaha mendapat hikmat, kuperhatikan segala kejadian di dunia ini, maka sadarlah aku bahwa meskipun kita bersusah-payah siang malam tanpa istirahat, kita tak mampu mengerti tindakan Allah. Bagaimanapun kita berusaha, tak mungkin kita memahaminya. Orang arif mengaku bahwa ia tahu, tetapi sebenarnya ia tidak tahu" (Pengkhotbah 8:16,17 BIS). Oleh seseorang yang telah menghabiskan banyak tahun untuk mempelajari kitab-kitab suci, yang belajar di bawah asuhan guru agama yang terkenal, berkata: "Orang yang menyangka bahwa ia tahu banyak, sebetulnya belum mengetahui yang sedalam-dalamnya" (1 Korintus 8:2 BIS). Memang, manusia sudah begitu merasa pandainya, sehingga ia berupaya dengan segala kemampuannya sendiri untuk mencari dan mengenal Allah! Manusia sudah begitu jauh majunya, merasa sudah mampu menapakkan kakinya di permukaan bulan dan melanglang angkasa luar, menganggap dirinya sudah berhak untuk bukan hanya mencari bahkan menilai Allah! Allah yang jauh lebih bijak seolah-olah harus dapat diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi dan memuaskan keinginan hatinya dan kemampuan daya pikirnya! Apa saja, termasuk hal-hal misteri yang diwahyukan (dinyatakan secara rohaniah), yang tidak cukup dapat diterima secara rasional, harus ditolak! Betapa sempitnya jiwa yang telah menjadi begitu arogan (sombong)! Seakan-akan apa pun yang tidak dapat dipecahkan atau dinalar oleh otak, disimpulkan sebagai sesuatu yang absurd, aneh, tidak rasional. Padahal, kemampuan otak manusia tetap terbatas. Kalau kita sungguh-sungguh mau jujur, tidak semua yang tidak dapat dicerna oleh otak tidak boleh kita simpulkan sebagai tidak rasional. Bukan mustahil apa yang selama ini, karena keterbatasan kita sebagai makhluk, yang kita kategorikan sebagai irasional (tidak masuk akal yang nalar), sebenarnya lebih tepat kalau kita namakan supra rasional (jauh) di luar jangkauan rasio manusiawi! Allah bukannya objek penelitian. Allah adalah subjek yang berkomunikasi pada kita, makhluk yang diciptakan-Nya! |