SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Tuhan Berpihak pada Korban
Oleh Yonky Karman

Ribuan warga sipil Irak menjadi korban mesin perang Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Ada korban tewas, terluka, dan cacat seumur hidup. Ada yang kehilangan orang yang dicintai, rumah, harta benda, mata pencaharian, dan masa depan. Mereka terpaksa dibuat menderita karena tidak berdaya menghadapi keganasan mesin perang agresor.

Gelombang protes di seluruh dunia menyatakan keberpihakan pada korban perang. Di Indonesia, kita melihat di televisi ada ibu sambil memeluk bayi ikut berdemonstrasi menentang agresi itu. Tidak ketinggalan guru TK dan anak-anak menyatakan solidaritasnya pada anak-anak Irak yang menjadi korban perang.

Bagi agresor, darah dan air mata rakyat sipil adalah harga yang harus dibayar sehingga tidak menyurutkan langkah agresinya. Kaum agresor mengubah kebenaran Injil, "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki Bumi" (Matius 5:5), menjadi "Berbahagialah agresor dan penakluk."

Dalam seminar di Universitas Stanford (kuartal musim dingin 1990), René Girard menegaskan, pertanyaan fundamental dalam antropologi adalah "Mengapa resiprositas fundamental untuk eksistensi manusia?" Berdasarkan fakta sepanjang sejarah peradaban, balas-membalas adalah hukum yang dipakai untuk eksis. Konflik diselesaikan dengan kekerasan. Dalam perkembangannya, ada pihak tak bersalah ditargetkan menjadi korban kekerasan kolektif (viktimisasi).

Menurut Girard, mekanisme viktimisasi itu dilestarikan dalam dalam ritus korban di mana hewan dikorbankan atau dikambinghitamkan sebagai solusi konflik (Violence and the Sacred, tr., Baltimore, 1977; Things Hidden Since the Foundation of the World, tr., Stanford, 1987). Demikianlah, kekerasan kolektif disakralkan dalam ritus kurban (viktim dari Latin victima/hewan kurban; Inggris sacrifice/kurban dari Latin sacer/sakral dan facere/menjadikan).

Tragedi 11 September 2001 adalah viktimisasi yang dilakukan teroris internasional. Seharusnya AS mengoreksi kebijakan politik luar negerinya yang selama ini merestui dan mem-back up tindakan brutal kekerasan Israel di Palestina. Tetapi, negeri adidaya itu justru mulai melancarkan strategi ofensif dengan menyerang Afganistan dan kini Irak. Akankah agresivitas AS meredam terorisme internasional, atau sebaliknya, memotori babak baru spiral kekerasan?

Korban menjadi kurban
Menurut Girard, keunikan mekanisme viktimisasi dalam Injil adalah keberpihakan Allah pada korban. Yesus menderita di kayu salib menjadi korban kekerasan kolektif yang dilakukan bangsa Yahudi dengan meminjam tangan penguasa pemerintah Romawi. Yesus dituduh menjadi biang keladi kekacauan dan keresahan di kalangan masyarakat Yahudi. Untuk mereka yang berlindung di balik kemunafikan, kehadiran Yang Otentik memang meresahkan. Untuk mereka yang tetap berkanjang dalam dosa, kehadiran Yang Kudus memang meresahkan. Karena itu, Yesus harus disingkirkan.

Baru selang beberapa hari sebelumnya, massa menyambut Yesus dengan pujian "Hosana!" Namun, mereka cepat berubah, lalu dengan histeris berteriak "Salibkan Dia!" Yesus harus menjadi korban supaya komunitas Yahudi selamat, seperti ditegaskan Imam Besar Kayafas, "Lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita ini binasa" (Yohanes 11:50).

Penguasa Romawi saat itu diwakili Pilatus hanya ingin mengambil hati komunitas Yahudi. Meski tahu Yesus tidak bersalah secara hukum, ia mengikuti saja kemauan massa dan mencuci tangan tanda tidak mau bertanggung jawab atas nasib orang Yahudi yang satu itu. Dengan demikian, ia membiarkan seorang yang tidak bersalah dihukum mati sebab Yesus dianggap kambing hitam persoalan. Yesus sadar bahwa Ia menjadi korban, "Mereka membenci Aku tanpa alasan" (Yohanes 15:25).

Akhirnya Yesus wafat, namun pada hari ketiga bangkit. Kebangkitan itu merupakan bukti keberpihakan Allah padanya seperti diperlihatkan di seluruh Perjanjian Baru lewat pemakaian kata kerja pasif "dibangkitkan" untuk peristiwa itu. Yesus tidak membangkitkan diri sendiri, tetapi dibangkitkan Allah, bukti keberpihakan Allah pada Sang Korban.

Namun "sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya" (Yesaya 53:4). Dalam diri Yesus, victim menjadi sacrifice, korban menjadi kurban. Dalam tradisi Kristiani Barat, Jumat Sengsara juga disebut Good Friday. Yesus tidak semata-mata korban kebrutalan massa, tetapi kurban yang mendatangkan selamat.

Dalam perspektif sejarah manusia, Yesus adalah korban kekerasan kolektif dan ketidakadilan. Sebuah kecelakaan sejarah. Tetapi, dalam perspektif sejarah keselamatan, Yesus adalah kurban keselamatan, kurban yang membebaskan manusia dari putus asa dan memberi harapan baru, kurban yang membebaskan manusia dari belenggu dosa dan memberi hidup baru, kurban yang membebaskan manusia dari kegelapan dan memberi terang kehidupan (sacrificial atonement).

Empati pada korban
Menurut Girard, yang menonjol dari kematian Yesus adalah kasih dan belas kasihan Allah, keberpihakan Allah pada Yesus. Bukan secara kebetulan Alkitab konsisten memperlihatkan Allah yang berpihak pada korban tak bersalah. Allah mengasihi mereka yang tersisih, yang tidak memiliki akses kepada perlindungan, yang nasibnya selalu menjadi korban kekerasan terstruktur.

Ihwal Yesus menjadi korban, itu melawan kecenderungan umum manusia yang ingin melestarikan struktur kekerasan. Keberpihakan Allah pada Yesus memperlihatkan keberpihakan pada korban. Martabat korban dipelihara dan dihormati. Dalam jangka panjang, Allah tidak menghendaki manusia menjadikan sesamanya sebagai korban. Manusia harus bisa eksis berdasar prinsip koeksistensi dan proeksistensi.

Memperingati wafat Kristus bukan semata-mata anamnesis, mengingat-ingat masa lalu. Masa kini mengandung kemungkinan dan harapan yang harus menjadi bagian dari sebuah masa depan yang lebih baik. Kita mempunyai tanggung jawab untuk hadirnya masa depan yang bebas dari kekerasan kolektif dan viktimisasi. Salah satu alasan kehadiran gereja di dunia adalah mendemonstrasikan kasih Allah, menyatakan keberpihakan pada korban.

Teologi pembebasan dari Gustavo Gutiérrez, sering disalah mengerti sebagai pemberi inspirasi kekerasan melawan penguasa. Sebenarnya teologi yang dimaksud adalah refleksi atas situasi ketidakadilan. Kekerasan terstruktur menyebabkan kaum lemah selalu dieksploitasi dan menjadi korban (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, tr. and rev., Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.). Dengan kritis, teologi pembebasan membongkar kekerasan yang dilakukan penguasa demi mempertahankan status quo.

Dalam kata pengantarnya yang baru, setelah lima belas tahun buku monumentalnya beredar, Gutiérrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas. Tentang bukunya ia berkata, ""My book is a love letter to God, to the church, and to the people to which I belong" (xlvi). Surat cinta pasti jauh dari bahasa kekerasan.

Pemerintah Indonesia belum mampu menghargai martabat korban karena itu tidak terlihat keberpihakan padanya. Suara korban kurang didengar dan diperhitungkan. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, baik yang dilakukan negara (vertikal) maupun massa (horizontal), belum tuntas dan hanya menjadi wacana politik.

Bangsa Indonesia belum benar-benar berdamai dengan masa lalu dan tidak belajar menyelesaikan masa lalunya dengan arif. Akibatnya, gerak maju bangsa selalu terhalang kasus-kasus lama yang terus diungkit. Kasus Lampung, Tanjung Priok, Tragedi Mei, Tragedi Semanggi I dan II, Aceh, Papua, Ambon, Maluku, Poso, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Pemerintah dan elite politik cenderung melupakan masa lalu dan memberlakukan impunitas, tidak serius mengakui suara korban sekaligus mengabaikan martabatnya. Padahal, tanpa pemulihan martabat korban, rekonsiliasi hanya setengah hati. Karena itu, kehadiran sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menitikberatkan sekaligus memberi empati kepada korban, amat penting

Gereja hadir di Indonesia dalam atmosfer politik yang belum berpihak pada korban. Gereja tidak dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk berpihak pada korban. Keberpihakan itu dinyatakan dalam praksis sosial tanpa terjerumus ke dalam politisasi agama. Dalam keberpihakan inilah gereja hadir untuk memberikan empati kepada korban dan begitulah kehadirannya terasa di tengah-tengah masyarakat.

* Yonky Karman Rohaniwan