SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

C.     MANUSIA

 

11. WATAK MANUSIA

 

11.1  Pertanyaan yang abadi

 

“Apakah manusia?” tanya pemazmur berabad-abad yang lalu (#/TB Mazm 8:5*).  Kini pertanyaan ini menghadapi kita lagi, namun kemungkinan mendapat jawaban yang tuntas jauh lebih tipis daripada sebelumnya.

Berbagai faktor berpadu menjadi penyebab krisis antropologi (pengetahuan tentang

manusia) itu. Akhir-akhir ini kita menghadapi kemungkinan kemusnahan umat

manusia secara total, apakah itu karena bom nuklir, kekurangan bahan pangan,

polusi lingkungan hidup ataupun gangguan-gangguan lain yang tak terduga. Unsur-unsur

lain yang turut mempercepat krisis ini adalah kecepatan dan luasnya perubahan (_future shock_), serta kehidupan modern yang luar biasa rumitnya sehingga meng-akibatkan rontoknya dasar-dasar pikiran kebudayaan yang seragam.

Namun antropologi sekuler tidak memberikan bantuan yang diperlukan. Terlepas dari masalah jumlah teori yang terlalu besar, antropologi gagal memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan paling pokok seperti:

·        Dari mana asalnya umat manusia?

·        Apa makna manusia?

·        Akan ke manakah kita?

 

Di samping itu, dalam pengertiannya mengenai umat manusia, ilmu ini masih dilanda ketegangan-ketegangan yang belum terpecahkan. Apakah kita harus melihat diri kita terutama dalam pengertian kemampuan rasional dan spiritual, seperti dalam filsafat klasik atau pemikiran Timur, atau terutama dalam pengertian jasmani kita, seperti yang dikemukakan Epicurus, Marxisme dan segala bentuk materialisme? Apakah manusia harus dilihat terutama sebagai individu, seperti yang dianjurkan eksisten-sialisme dan banyak psikologi modern; atau sebagai masyarakat, seperti dalam sosiologi dan Marxisme? Apakah kita seharusnya pesimistis, seperti pada eksistensialisme dan beberapa bentuk penafsiran psikologis; atau optimistis seperti pada humanisme, Marxisme dan hedonisme populer?

Pertanyaan ini mengarisbawahi relevansi pandangan Kristen karena menimbulkan pertanyaan apakah semua bukti sudah dipertimbangkan. Apakah tidak ada dimensi lebih lanjut yang menjadi kunci buat pengertian diri kita sendiri? Menurut antropologi Kristen memang ada dimensi demikian dan asal mula semua kekacauan sekarang ialah pengabaiannya. Calvin menyatakan begini, ”Manusia tidak pernah mencapai pengetahuan jelas akan dirinya kecuali jika ia sebelumnya melihat wajah Tuhan, kemudian beranjak dari memandang Dia dan mulai meneliti dirinya sendiri”. Manusia hanya dapat dimengerti sepenuhnya dalam hubungannya dengan Allah serta rencana-Nya untuk umat manusia, yaitu dalam terang penyataan ilahi.

Menurut Alkitab, manusia adalah mutlak ciptaan Allah (bnd. #/TB Kej 1:26*;

#/TB Kej 2:7-8,21-22; Mazm 8:3; Kis 17:26,28*; dll.). Kita bukan buatan

sendiri, bukan pula hasil kebetulan dari suatu proses kosmik. Apa pun yang

dikatakan tentang kita, bagaimana pun kita gambarkan hubungan antara tindakan

kreatif Allah dan proses sebab akibat dari kelahiran manusia, namun inilah dasar

kokoh Alkitab: setiap laki-laki dan setiap perempuan ada hanya karena Allah

menciptakannya. Ini ditandaskan di seluruh Alkitab (#/TB Kej 5:1-2; Mazm 139:13-14; Pengkh 12:1; Mat 19:4; Rom 1:25; Yak 3:9*;

#/TB 1Pet 4:19*). Ada dua aspek penciptaan Adam oleh Allah: ”TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (#/TB Kej 2:7*).  Tindakan ganda Allah ini sesuai dengan aspek ganda watak manusia, yakni fisik dan spiritual. Namun, sebaiknya jangan membuat pemisahan yang terlalu tajam antara kedua aspek tersebut. Manusia terdiri dari tubuh dan roh, yang saling terkait secara mendalam (lihat di bawah: ps 11.3.b). Hawa dibentuk dari Adam dengan perbuatan penciptaan khusus yang lain lagi (#/TB Kej 2:21*), yang mengarisbawahi sifat saling mengisi dari laki-laki dan perempuan. Meskipun generasi-generasi berikut memperoleh hidup dengan cara yang lain dengan Adam, namun pada dasarnya ikhwal kita tidak berbeda (bnd. di atas: ps 8.2), karena kita sepenuhnya menerima hidup dari Allah. Alkitab menjaga rasa pesona yang wajar pada waktu merenungkan munculnya kehidupan manusia (#/TB Mazm 139:13 dst.; #/TB Ayub 10:8-12*).

Pada waktu diciptakan, manusia diberi harkat khusus. Diangkat Allah sebagai pemerintah dunia di bawah Dia, ia mendapat tugas untuk memiliki dan menguasainya serta memerintah makhluk-makhluk lain (#/TB Kej 1:27-2:3*; bnd. #/TB Kej 8:5*).  Keadaan kita sekarang, yang sudah jatuh ke dalam dosa, jangan sampai menutup mata terhadap keluhuran dan harkat manusia semula.

11.2  Manusia dalam hubungan dengan Allah

 

a.   Asal usul kehidupan

 

Mereka yang menolak adanya Pencipta melihat penyebab kehidupan di bumi sebagai hal untung-untungan saja. Dalam sejenis kolam air pada zaman pertama, dan sesudah kurun waktu yang sangat besar, suatu rentetan reaksi dan kombinasi yang unik tetapi kompleks akhirnya menghasilkan protoplasma dengan ciri-ciri yang membuatnya layak dikatakan ”hidup”. Eksperimen-eksperimen untuk menciptakan kembali kondisi-kondisi ini telah menimbulkan pertanyaan apakah kehidupan dapat ”diciptakan” dalam tabung kimia, dan jika demikian apa pula dampaknya bagi ajaran Kristen tentang ciptaan. Namun:

·        para ilmuwan tidak sependapat bahwa hal itu mungkin;

·        sekalipun itu terjadi, kelihatannya tidak ada kontradiksi pokok dengan ajaran Alkitab karena Tuhan membiarkan manusia untuk mengikuti pikiran-Nya melalui penyataan diri-Nya dan meniru karya penciptaan-Nya dalam hal-hal lain, misalnya dengan menghasilkan varietas tanaman dan binatang baru; dan

·        banyak tergantung dari apa yang dimaksudkan dengan ”hidup” di sini.

 

Sebenarnya adalah hampir tidak mungkin bahwa kehidupan yang begitu kompleks terjadi di planet ini secara kebetulan. Mengingat hal ini, maka kepercayaan Kristen akan adanya penciptaan bertujuan oleh kehendak sang Pencipta jelas lebih mudah diterima.

b.   Asal usul manusia

 

Masalah asal manusia telah menimbulkan perdebatan yang menggairahkan dan kadang-kadang juga sengit selama dua ratus tahun terakhir ini. Penerbitan karya Darwin, The Origin of Species (1859), menyebabkan terjadinya bentrokan antara penjelasan biologis dan agama yang sudah lama membara. Kami mengakui pengilhaman sepenuhnya dan kewenangan ilahi dari perikop Alkitab yang bersangkutan dengan hal ini (#/TB Kej 1:20-2:9*). Namun dalam usaha menafsirkannya secara tepat kami ajukan dua pertanyaan yakni:

·        Bentuk sastra apa yang dipakai? dan

·        Apa maksud penulisnya?

 

Yang menjadi pokok persoalan adalah hubungan antara perikop-perikop Alkitab ini dengan teori evolusi. Evolusi organik secara umum dapat didefinisikan sebagai ”asal usul spesies dari spesies yang sudah ada sebelumnya melalui proses penurunan dengan modifikasi”. Ada empat pandangan utama tentang teori ini.

Pertama, evolusionisme yakin bahwa teori evolusi mempunyai penjelasan menyeluruh mengenai asal usul manusia dan membuang segala keterangan mengenai karya suatu Pencipta. Tentu saja seorang Kristen tidak mungkin menerima pandangan tersebut.

Kedua, ada pandangan kreationisme langsung yang percaya bahwa asal mula manusia adalah secara harfiah seperti yang digambarkan dalam #/TB Kejadian 2:7-8*.  Adam diciptakan dari debu dan Hawa dari tulang rusuknya oleh perbuatan ilahi yang khusus. Bukti paleontologis tentang perkembangan dalam spesies dan hubungan manusia dengan proses ini tentu merupakan masalah untuk pandangan ini. Bukti itu dijelaskan berdasarkan berbagai alasan, misalnya “teori air bah” yang mengatakan bahwa banjir pada zaman Nuh menjelaskan adanya bahan fosil. Menurut ”teori kesenjangan”, #/TB Kejadian 1:2* berarti perbuatan penciptaan pertama diikuti oleh malapetaka global yang mengakibatkan kenyataan-kenyataan geologis yang dapat diamati sekarang, dan peristiwa ini pada gilirannya diikuti oleh perbuatan penciptaan kembali yang menghasilkan dunia sebagaimana dikenal sekarang.

Ketiga, pandangan kreationisme progresif menyatakan bahwa #/TB Kejadian 1:1-31* secara garis besar mencatat perbuatan-perbuatan kreatif Allah yang berturut-turut yakni dari penciptaan ex nihilo (#/TB Kej 1:1) sampai pada munculnya manusia (#/TB Kej 1:27*), yang dilihat sebagai tahapan penciptaan ilahi baru. Teori ini mengakui adanya perkembangan evolusioner dalam spesies-spesies utama, tetapi menerangkan kesenjangan-kesenjangan di antaranya sebagai tindakan penciptaan yang berturut-turut. Tindakan itu mungkin tidak menurut urutan yang diutarakan dalam #/TB Kejadian 1:1-31*, yang memang berlainan dari yang disebutkan dalam #/TB Kejadian 21:1-31*.

Keempat, evolusi teistis menerima teori evolusi sebagai penjelasan umum tentang bagaimana Allah bekerja dalam menciptakan dunia dan membentuk kehidupan di dalamnya. Namun, mengenai munculnya manusia diajukan faktor lain lagi, yaitu tindakan ilahi di mana antropoid tertentu dipisahkan dan dikembangkan sampai tingkat kesadaran baru dan dalam hubungan dengan Allah. Dalam mengevaluasi pandangan-pandangan itu harus dipertimbangkan delapan pokok berikut.

(1)  Seharusnya penciptaan dari “yang tidak ada” jangan dipersoalkan. Menurut pandangan ketiga dan keempat, bahkan untuk sebagian pandangan kedua juga, ada pola sebagai berikut:

 

·        tindakan penciptaan pertama dari yang tidak ada mengadakan bahan baku semesta alam;

·        proses yang dikendalikan oleh Allah, yang mungkin ditandai oleh lanjutan tindakan-tindakan kreatif primer, yang membentuk semesta alam yang kita kenal sekarang ini;

·        puncak proses ini yakni penciptaan manusia secara khusus, atau sebagai suatu produk baru atau dengan pembentukan kembali dari bentuk makhluk yang sudah dikembangkan.

 

(2)  Kita sebaiknya menghindari pandangan yang kaku tentang hal ini. Penafsir-penafsir Alkitab yang terpercaya, cerdas dan beriman pernah mendukung pandangan kedua, ketiga dan keempat di atas. Hal ini mengharuskan adanya toleransi antara orang Kristen yang keyakinannya berbeda-beda. Para ahli ilmu pengetahuan juga tidak boleh bersifat dogmatis karena evolusi masih merupakan teori saja, yang mungkin akan diganti dengan teori yang lebih tepat pada suatu waktu.

(3)  Manusia berbeda dari binatang lain karena sifatnya yang luar biasa. Daya rasional, kesadaran moral, pengutamaan keindahan, pemakaian bahasa, rasa takut akan punah dan persepsi spiritual, segalanya menunjang penegasan Alkitab bahwa manusia adalah unik dalam kerangka penciptaan. Beberapa ahli ilmu pengetahuan Kristen yang lebih muda percaya bahwa dasar ilmiah teori evolusi harus diper-tanyakan dan bahwa pandangan kreationisme langsung bukan saja sesuai dengan Alkitab tetapi tidak perlu bertentangan dengan penyelidikan ilmiah paling teliti tentang asal manusia.

(4)  Para pendukung teori evolusi teistis menunjukkan kemanusiaan Yesus Kristus sebagai faktor yang membantu pandangan mereka. Secara jasmani, Yesus tidak berbeda dari orang-orang sezaman-Nya. Ia mendapat bentuk fisik-Nya menurut

proses normal keturunan dari generasi ke generasi (bnd. #/TB Mat 1:1-17; Luk 3:23-38*).

Dengan begitu, keunikan-Nya tak akan tampak bagi ahli biologi abad pertama.  Apakah ini situasi yang sama dengan situasi Adam dalam hubungannya dengan “nenek moyang-Nya” yang diduga berupa binatang antropoid? Memang patut dicatat bahwa sejumlah teori dan teknik ilmiah seperti astronomi Copernicus, operasi bidang kedokteran dan anestesi, pernah dinyatakan bertentangan dengan agama Alkitab, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Mungkin juga teori tentang asal usul tubuh Adam melalui proses evolusi, nanti akan masuk kelompok teori itu.

(5)  Satu pokok persoalan ialah bahwa proses penciptaan pada titik-titik perkembangan tertentu nampaknya serampangan. Bayangkanlah seekor serangga yang merayap di Borobudur: apakah serangga itu dapat mengetahui tujuan keseluruhan candi itu? Seandainya pun serangga itu dapat mengerti susunan batu-batu dalam bangunan itu dan terbang memandangnya secara keseluruhan, apakah ia dapat menangkap tujuan gedung itu menurut pemahaman manusia? Demikian juga, kita mengakui adanya tujuan ilahi bagi semesta alam karena penyataan sang Pencipta, walaupun belum tentu kita memahami semuanya.

(6)  Persoalan lain yang terkait adalah mengenai kepurbaan manusia. Persoalan ini timbul karena silsilah-silsilah yang terdapat dalam Kitab Kejadian, yang menunjukkan hubungan kekeluargaan Adam dengan Abraham dan bangsa Israel (#/TB Kej 5:1-32; 11:10-27*) dan menyebabkan Uskup Agung Ussher pada abad ke-17 menghitung waktu penciptaan pada tahun 4004 sM. Namun sebenarnya silsilah dalam Kitab Kejadian bukan laporan keturunan langsung dari ayah kepada anak.  Silsilah tersebut merupakan hasil penyingkatan dari beberapa generasi, bahkan kadang-kadang mengacu pada dinasti dan bukan perorangan. Barangkali hal ini dapat menjelaskan umur panjang orang sebelum air bah.

 

Jadi kapan Adam itu hidup? Jika bukti paleontologi dapat diterima secara umum, ia dapat ditempatkan pada bagian permulaan pada skala waktu genealogis ataupun mendekati bagian akhirnya.

Kalau kita menempatkannya pada permulaan skala waktu, maka ini cocok dengan penegasan dalam #/TB Kisah 17:26* bahwa bangsa-bangsa diturunkan dari satu orang. Namun, untuk menyesuaikan ini dengan keseluruhan skala waktu, maka silsilah-silsilah dalam Kitab Kejadian harus dianggap meliputi 200.000 tahun.  Hal ini bukan tidak mungkin. Akan tetapi ada hal lain yang mempersulit pula, yaitu gambaran tentang peradaban yang sudah maju dalam #/TB Kejadian 4:26*, yang menurut bukti-bukti di luar Alkitab harus ditempatkan sekitar 8.000 tahun atau paling tidak 16.000 tahun sM.

Alternatifnya adalah pandangan bahwa Adam muncul agak kemudian pada skala waktu.  Dengan demikian dihasilkan hubungan yang lebih baik antara skala waktu Alkitab dan skala waktu paleontologis, tetapi tidak menyelesaikan kesulitan adanya ”manusia” lain yang hidup pada zaman yang sama dengan Adam. Salah satu penyelesaiannya adalah bahwa Adam mempunyai fungsi khusus sebagai wakil manusia dalam hubungan asli dengan Allah (bnd. tentang federalisme di bawah ini: ps 12.2.c) dan bahwa ia mewakili semua leluhurnya serta ”manusia” lain yang hidup pada zaman itu. Yang kedua itu ditingkatkan bersama dengan dia kepada tingkat manusia benar. Ini cocok dengan kesan yang diberikan #/TB Kejadian 4:16* mengenai populasi bumi.

Namun, ”manusia” lain itu (hominid) mungkin juga punah begitu saja, seperti dikatakan kebanyakan ahli antropologi akhir-akhir ini. Dalam hal demikian, maka varietas bangsa-bangsa yang ada di dunia sekarang semua berasal dari satu keturunan, _homo sapiens _(#/TB Kis 17:26*).

Pada lain pihak, bukti paleontologis secara keseluruhan dapat dipertanyakan, menurut beberapa ilmuwan. Kalau begitu, mungkin juga tidak ada ketegangan penting antara pandangan alkitabiah dan ilmiah.

(7)  Banyak tergantung pada cara kita menafsirkan Kej 1:1-31-3:1-32. Apakah ini mitos agama? Ataukah gambaran sejarah yang terus terang, bahkan gambaran ”ilmiah”? Suatu penafsiran ”religius” (bahwa Kitab Kejadian mengajarkan kebenaran-kebenaran agama, bukan kebenaran-kebenaran sejarah) tentu mengurangi konflik dengan teori-teori evolusi yang umum diterima; pendekatan demikian diterima oleh cukup banyak orang Kristen, tetapi juga mempunyai kesulitan-kesulitan.

 

Misalnya, pandangan ini tidak memberi tempat layak pada segi ruang dan waktu dalam #/TB Kejadian 1:1-3:24*, misalnya lokasi taman Eden yang cukup tepat (#/TB Kej 2:8-14*) dan hubungan sejarah antara Adam dengan Abraham dan Kristus (#/TB Kej 10:1-11; Luk 3:23-38; Kis 17:26*). Bentuk cerita dalam #/TB Kejadian 1:1-3:24 berkesinambungan dengan #/TB Kejadian 4:1-26*, demikian juga #/TB Kejadian 1:1-11:32 dan #/TB Kejadian 12:1-20*. Lagi pula #/TB Kejadian 1:1-2:25* menggambarkan dunia yang sempurna di mana penderitaan, kematian dan kejahatan kemudian masuk sebagai akibat ketidakpatuhan Adam.

Dalam semuanya ini, kita harus mengingat sifat khusus dari peristiwa-peristiwa

ini yang berada pada batasan antara dunia yang kita ketahui (yang penuh dosa)

dan dunia sebelum masuknya dosa, yang tidak kita ketahui. Pengalaman kita secara

tegas dibatasi oleh dosa dan kejatuhan dan peristiwa-peristiwa dalam #/TB Kejadian 1:1-2:25*

berada di luar batasan itu. Jelaslah bahwa ada kesinambungan, karena Adam dan Hawa masih merupakan oknum-oknum yang sama sesudah kejatuhan mereka, namun janganlah kita terlalu cepat menentukan apa yang dimaksudkan atau yang tidak dimaksudkan oleh #/TB Kejadian 1:1-3:24*.

(8)  Akhirnya, kita harus menjaga supaya perdebatan mengenai hal-hal ini tidak meniadakan pernyataan pokok Alkitab, yakni bahwa umat manusia adalah makhluk yang ditempatkan Allah di dunia kepunyaan-Nya, yang berhubungan secara unik dengan Dia serta bertanggung jawab secara khusus untuk menjaga tatanan ciptaan.

 

c.   Gambar Allah

 

Manusia dikatakan telah diciptakan “menurut gambar dan rupa” Allah (#/TB Kej 1:26*).

Ungkapan itu diterapkan pada Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru (#/TB 2Kor 4:4; Kol 1:15;

bnd. #/TB Ibr 1:3*) dan dikatakan juga bahwa orang Kristen akan ikut memiliki

gambar ilahi itu melalui hubungan mereka dengan Kristus (#/TB Rom 8:29; 1Kor 15:49; Kol 3:10*).

Bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Dalam tradisi Kristen, ”gambar” itu ditafsirkan sebagai ciri-ciri seperti pengetahuan, kesadaran moral, kesempurnaan moral asli dan kekekalan. Beberapa pakar ingin memberikan arti fisik kepada ”gambar” itu (bnd.  #/TB Kej 5:3*), namun kenyataan bahwa Allah adalah Roh melawan pandangan ini. Pakar yang lain mengartikannya sebagai ”wakil” atau ”simbol”, sehingga manusia merupakan wakil Allah di dunia ini (sebagaimana patung dalam agama kafir berfungsi sebagai wakil dewa yang disembah oleh umatnya; atau gambar Presiden di kantor atau sekolah merupakan simbol kekuasaannya yang berlaku di tempat itu).

Ada bermacam-macam pandangan mengenai bagaimana gambar itu dipengaruhi oleh kejatuhan. Irenaeus (130-200) membedakan antara ”gambar” (Ibr. tselem), yang diartikannya sebagai akal manusia dan kebebasan moral, dan ”rupa” (Ibr. demut) yang disamakan dengan kebenaran aslinya, dan dia mengajarkan bahwa hanya ”rupa” itu yang hilang pada saat kejatuhan. Tafsiran ini diikuti terus sepanjang abad pertengahan di Eropa dan membantu menghasilkan pandangan yang pada dasarnya optimistis tentang sifat manusia tersebut. Sedangkan Luther menjelaskan bahwa #/TB Kejadian 1:26* adalah contoh kesejajaran dalam bahasa Ibrani, sehingga ”gambar” dan ”rupa” mempunyai arti yang sama. Oleh sebab itu, gambar Allah hilang sama sekali dan hanya dapat dipulihkan melalui kelahiran kembali oleh Roh Kudus.

Namun Alkitab sebenarnya tidak berbicara tentang kehilangan total gambar Allah dan pada tempat-tempat tertentu memakai istilah itu untuk manusia yang sudah jatuh (bnd. #/TB Kej 9:6; 1Kor 11:7; Yak 3:9*). Oleh sebab itu, Calvin berbicara tentang “sisa” gambar Allah dalam manusia yang telah jatuh. Sisa itu tidak memberi dasar bagi pembenaran manusia, namun masih membedakannya dari binatang dan menerangkan bakat dan prestasi manusia bukan Kristen. Beberapa pakar Belanda seperti Kuyper (1837-1920) dan Bavinck (1854-1921) memakai istilah ”anugerah umum” dengan maksud bahwa Allah dalam kemurahan-Nya menahan akibat yang paling buruk dari kejatuhan dan memungkinkan kehidupan sosial yang lumayan bagi manusia.

Namun pandangan alkitabiah juga mencakup anugerah Allah melalui Yesus Kristus, karena melalui Dia gambar Allah akan pulih sepenuhnya dalam mereka yang percaya.

11.3  Manusia dalam hubungan dengan dirinya

 

Alkitab membedakan beberapa segi dalam sifat manusia, misalnya:

·        roh (Ibr. ruakh, Yun. pneuma);

·        jiwa (Ibr. nefesy, Yun. psukhe);

·        tubuh (hanya dalam Perjanjian Baru, Yun. soma); dan

·        daging (Ibr. basar, Yun. sarx).

 

 

Kata ”hati” (Ibr. lev, Yun. kardia) biasanya mengacu pada manusia seluruhnya, yang dilihat dari pusat pengendalian dirinya, manusia secara hakiki.  Ada tiga pokok persoalan teologis yang perlu dicatat.

a.       Dikotomi atau trikotomi?

 

Telah terjadi perdebatan mengenai apakah manusia terdiri dari tubuh dan jiwa (dikotomi) atau tubuh, jiwa dan roh (trikotomi).

Para pendukung dikotomi menunjukkan pemakaian istilah jiwa dan roh secara

berganti-ganti dalam Alkitab (bnd. #/TB Mat 6:25; 10:28; Luk 1:46* dengan

#/TB Pengkh 12:7; 1Kor 5:3-5*). Kematian dilukiskan sebagai “menghembuskan

nafas terakhir” (#/TB Kej 35:18*) dan “menyerahkan nyawa” (#/TB Mazm 31:6; Luk 23:46).

Orang mati disebut “roh” (#/TB Ibr 12:23*) dan juga “jiwa” (#/TB Wahy 6:9*).

Pendukung trikotomi terutama mengacu pada #/TB Ibrani 4:12* dan #/TB 1Tesalonika 5:23*,

namun kedua ayat itu tidak dapat menentukannya dengan pasti. Dalam #/TB Ibrani 4:12*

diterjemahkan ”jiwa dan roh”, tetapi mungkin sekali artinya firman Allah menyoroti manusia dari segi mana pun (bnd. #/TB Ibr 4:13*), bukan bahwa ada pemisahan antara jiwa dan roh. #/TB 1Tesalonika 5:23* menegaskan kuasa Allah untuk menguduskan manusia seutuhnya.

Beberapa pihak, termasuk John Wesley, mengatakan bahwa manusia adalah dikotomi sebelum lahir kembali dan sesudahnya menjadi trikotomi, namun patut diragukan apakah kelahiran kembali itu memberi unsur tambahan kepada pribadi orang. Sikap ini dapat mendorong pandangan bahwa “unsur ketiga” pada orang percaya adalah Allah yang merupakan Roh Kudus itu sendiri. Secara teologis pandangan ini berbahaya karena membuka pintu pada pendapat yang hampir bersifat menghujat bahwa manusia ”memiliki Allah” sebagai bagian dari dirinya. Secara pastoral pandangan ini berbahaya karena berdasarkannya orang dapat menyatakan bahwa keinginan rohnya adalah pancaran dari Roh Allah dan dengan demikian mengesampingkan koreksi dari Alkitab dan gereja.

b.       Kesatuan pribadi manusia

 

Kini persoalan dikotomi/trikotomi sebagian besar sudah digeser dengan menekankan

keterpaduan pribadi manusia. Menurut Alkitab, manusia tidak terdiri dari

beberapa bagian yang digabung, apakah dua bagian atau tiga, melainkan merupakan

kesatuan psikosomatis. Istilah yang digunakan Alkitab—”tubuh”, ”jiwa”, ”roh”,

”hati”, ”akal budi” dan sebagainya—kesemuanya hanya merupakan cara yang

berbeda-beda untuk melihat pribadi yang satu itu. Penting sekali bahwa kata-kata

yang diterjemahkan sebagai ”jiwa” (Ibr. nefesy, Yun. psukhe) di tempat-

tempat tertentu (#/TB 1Raj 17:22; Luk 16:22*) disebut terlepas dari tubuh,

namun pada umumnya yang dimaksud adalah pribadi manusia seutuhnya (#/TB Yos 10:28*;

#/TB 1Raj 19:14; Mat 6:26; Kis 27:37*).

Keterpaduan alkitabiah ini kelihatan jelas sekali bila dibandingkan dengan pemikiran filsafat Yunani. Plato melihat manusia terdiri dari dua bagian yang dapat dipisahkan yakni tubuh dan jiwa; pada saat meninggal jiwa dibebaskan, api ilahi dalam manusia meninggalkan kehidupan dalam perangkap gelap tubuh manusia untuk kehidupan di dunia nyata yang melampaui peleburan fisik. Bertentangan dengan hal itu, pandangan Alkitab tentang hidup sesudah kematian adalah kebangkitan tubuh. Manusia hanya dapat masuk dalam kehidupan sebenarnya jika ia mempunyai tubuh.

Namun dua hal perlu dikemukakan di sini. Pertama, meskipun kehidupan manusia yang sesungguhnya adalah bertubuh, namun ini tidak berarti bahwa tubuh itu mutlak perlu untuk pengungkapan dirinya yang hakiki. Perjanjian Baru dan khususnya Yesus melihat kemungkinan manusia terlepas dari tubuhnya (#/TB Mat 10:28; Luk 19:19-31; 23:43*). Ini mempunyai dampak yang penting bagi keadaan sementara orang Kristen antara kematian fisiknya dan kedatangan Kristus kembali saat Ia menerima tubuh kebangkitan (bnd. di bawah: ps 34.2).  Akan tetapi keadaan tak bertubuh ini bukan keadaan yang ideal (#/TB 2Kor 5:1-10*).  Tujuan selengkapnya dan sesungguhnya bagi orang percaya tercapai pada kembalinya Kristus ”yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuhNya yang mulia” (#/TB Fili 3:21*).

Kedua, tujuan akhir manusia ini terletak dalam hubungannya dengan Allah pada

tingkat rohani dan akhlak. Kendatipun hubungan ini mempunyai dampak pada

setiap tingkat kehidupan manusia, termasuk tingkat lahiriah dan sosial, dan juga

mengandung janji akan pembaruan akhir seluruh keberadaan manusia, namun dimensi-dimensi

ini bukanlah hal yang pokok dari hubungan ini. Demikianlah kelahiran kembali

tidak mempunyai dampak langsung bagi tubuh manusia sekarang (bnd. #/TB 2Kor 12:7; 2Tim 4:20*

dsb.) ataupun bagi status sosial atau politik (#/TB 1Kor 7:17-24*).

11.4  Manusia dalam hubungan dengan sesamanya

 

a.   Makhluk sosial

 

Sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, Allah menyatakan bahwa keadaan Adam yang seorang diri itu “tidak baik” (#/TB Kej 2:18*). Hawa diberikan kepada Adam sebagai manusia pelengkap dan mitra. Jadi dari permulaan ”manusia diciptakan sebagai makhluk sosial” (Calvin). Mungkin ini mencerminkan sifat Allah sendiri sebagai Tritunggal. Pandangan ini terdapat dalam seluruh Alkitab.  Kisah Alkitab berkisar pada satu bangsa (Israel) dan satu persekutuan (gereja).  Meskipun dimensi individual penting sekali, namun aspek sosial manusia diper-tahankan dan mencapai puncaknya di kota kudus, Yerusalem baru, pada saat kembalinya Kristus (#/TB Wahy 21:1-27*). Pertanyaan Kain, ”Apakah aku penjaga adikku?” (#/TB Kej 4:9*), harus dijawab ”ya”. Manusia tidak sendiri dan memang tidak dimaksudkan untuk hidup secara tersendiri. Setiap orang dijadikan dengan dan untuk sesamanya.

b.   Laki-laki dan perempuan

 

Di samping membenarkan sifat hidup manusia sebagai hidup berkelompok di bawah Allah, hubungan Adam dan Hawa mengungkapkan perbedaan kelamin yang diciptakan Allah. Alkitab mengatakan dua hal yang saling mengisi mengenai hal ini.

Laki-laki dan perempuan sederajat dalam nilai dan status Hawa adalah ”tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” bagi Adam (#/TB Kej 2:23*).  Persamaan ini bukan hanya secara biologis, karena Hawa oleh Penciptanya dikatakan ”penolong ... yang sepadan dengan dia” (#/TB Kej 2:18*), yang mempunyai makna ”sama dan cukup”. Perempuan itu tidak lebih rendah ataupun lebih tinggi daripada laki-laki. Dia bukan budak laki-laki atau bawahannya, tetapi dengan tulus hati berdiri di sampingnya menghadap Allah. Martabatnya paling jelas kelihatan dalam kitab-kitab Injil. Yesus menghargai wanita dengan cara yang sama seperti pria, salah satu segi yang mencolok dan revolusioner dari pelayanan-Nya (#/TB Luk 7:36-50; Yoh 4:1-30; 8:11; 12:1-8*). Dan pernyataan yang paling jelas mengenai persaaman ini terdapat dalam #/TB Galatia 3:28*, ”dalam Kristus tidak ada laki-laki atau perempuan”.

Fungsi laki-laki dan perempuan berbeda tetapi saling melengkapi Persamaan

status diwujudnyatakan dalam peranan yang saling melengkapi. Ini pada dasarnya

dinyatakan dalam peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda, walaupun saling

melengkapi, dalam memimpin keluarga (#/TB Kej 3:16; 1Kor 11:3-16; Ef 5:21-33; 1Pet 3:1-7*)serta melahirkan anak (#/TB Kej 3:16*). Kepemimpinan itu tidak mengorbankan persamaan yang hakiki walaupun dari penyalahgunaannya sering mengakibatkan eksploitasi wanita. Dengan menghubungkan kasih yang saling melengkapi dari suami istri dengan kasih Kristus dan gereja (#/TB Ef 5:23*), Paulus mengangkat seluruh hubungan laki-laki dan perempuan di dalam Kristus ke tingkat yang mempesona. Hubungan suami istri Kristen yang teratur baik, walaupun secara samar-samar, menggambarkan perjanjian kekal antara Allah dan umat-Nya. Tidak ada hubungan antara manusia yang lebih luhur daripada hubungan ini.

Ada yang menegaskan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan patokan bagi kehidupan manusia, artinya manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di sinilah terdapat kebenaran yang mendalam (bnd. #/TB Kej 2:20-25*) dengan dampak yang penting bagi pemenuhan peranan sosial maupun bagi kelayakan perkawinan heteroseksual. Namun, kita tidak boleh menarik kesimpulan bahwa orang yang tidak menikah tidak termasuk umat manusia sejati, karena justru Yesus —orang yang normatif—tidak menikah, dan Perjanjian Baru sama sekali tidak menganjurkan pernikahan sebagai hal yang hakiki untuk pemenuhan kehidupan Kristen.

11.5  Manusia dalam hubungan dengan alam

 

Untuk membahas pokok ini kita perlu memperhatikan #/TB Kejadian 1:29* dan #/TB Kejadian 2:19*, juga perjanjian Allah dengan Nuh sesudah kejatuhan (#/TB Kej 9:2*).Kendatipun kita mungkin tidak sanggup menyebut burung-burung itu sebagai ”saudara-saudara” seperti Fransiskus dari Assisi, namun lingkungan adalah ciptaan Allah dan oleh sebab itu patut dihormati. Memang lingkungan itu berada terlepas dari Allah dan Alkitab mengesampingkan pemujaan alam (#/TB Kel 20:4; 2Raj 23:5*) maupun pengaguman yang menjurus pada pendewaan alam dalam beberapa bentuk roman-tisisme.

Hubungan manusia dengan dunia sesuai dengan kehendak Allah dapat diungkapkan dengan dua kata. Yang pertama adalah kuasa. Manusia ditempatkan di atas bentuk-bentuk kehidupan lain (#/TB Kej 1:28; 9:2-3*; #/TB Ibr 2:8*).  Manusia merupakan puncak penciptaan dan melekat dengan rencana seluruh alam semesta, suatu keyakinan yang tidak berkurang karena semesta alam itu begitu luas (gagasan itu tidak baru, lihat #/TB Kej 15:5; Ayub 22:12*). Tetapi kekuasaan manusia diimbangi dengan penatalayanan. Allah tetap merupakan pemilik segala-galanya (#/TB 1Taw 29:11; Mazm 24:1*); oleh sebab itu boleh dikatakan pemilikan oleh manusia berupa kontrak sewa bukanlah pemilikan mutlak.  Pada suatu hari kita harus memberikan pertanggungjawaban kita kepada-Nya, yakni bagaimana kita menggunakan pemberian-Nya (#/TB Mat 25:26-27; Luk 12:24*).

11.6  Manusia dalam hubungan dengan waktu

 

Dunia tempat manusia hidup, berkuasa dan mengadakan penatalayanan adalah dunia waktu dan ruang. Manusia diberi waktu oleh Allah supaya dia mengisinya secara bertanggung jawab dan menikmati persekutuan dengan Pencipta (#/TB Kej 3:8*).  Ada perdebatan tentang apakah waktu yang diberikan kepada Adam terbatas atau tidak. Apakah manusia pada hakikatnya kekal dan menjadi tidak kekal hanya sebagai akibat dari dosa? Ataukah umur manusia yang terbatas memang sudah direncanakan oleh Allah?

Alkitab secara nyata menghubungkan kematian dengan dosa (#/TB Kej 2:17*;

#/TB Kej 3:19; Rom 5:12* dst.). “Jika Adam tidak berbuat dosa, ia tentu masih hidup secara badani dan membutuhkan makanan, minuman dan istirahat.

Hidupnya akan bertumbuh, bertambah dan berkembang sampai Tuhan mengangkatnya ke

dalam kehidupan dalam roh. Di sana ia hidup tanpa sifat kebinatangan yang alami, kalau boleh saya katakan demikian ... Namun, ia tetap orang bertubuh dan bukan roh yang murni seperti para malaikat” (Luther).

Bahan Alkitab

Manusia diciptakan oleh Allah:

#/TB Kejadian 1:26; 2:7,21-23; 5:1; Ayub 33:4; Mazmur 139:13-14*;

#/TB Matius 19:4; Markus 10:6; Roma 1:25; Yakobus 3:9*.

Manusia sebagai gambar Allah:

#/TB Kejadian 1:26; 5:3; 9:5-6*;

#/TB 1Korintus 11:7; 15:49; 2Korintus 4:4; Kolose 3:10*.

Sifat manusia:

#/TB Pengkhotbah 7:29; 12:7*;

Matius 10:28; 22:37; Markus 8:35-36; 16:19-31; 23:43;

#/TB 1Korintus 2:14; 5:5; 15:35-37; 2Korintus 5:1-10; Filipi 3:20-21*;

#/TB 1Tesalonika 5:23; Ibrani 4:12*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Uraikan relevansi pandangan Kristen tentang manusia mengingat

 

( a) ancaman terhadap kelangsungan hidupnya pada masa modern dan ( b) kekacauan masa kini di bidang antropologi.

2.   Dapatkah penjelasan secara alkitabiah dan penjelasan ilmiah tentang asal usul manusia disesuaikan?  Bagaimana penilaian Anda terhadap kekuatan dan kelemahan dari berbagai penyelesaian yang dikemukakan?

3.   Apa penafsiran Anda mengenai ungkapan ”gambar Allah”? Selidikilah dampak-dampaknya bagi

 

( a) penginjilan Kristen,

( b) kehidupan Kristen, dan

( c) pengharapan Kristen.

 

4.   Menurut pandangan Anda, apakah manusia itu terdiri dari dua bagian, tiga bagian atau berbentuk lain lagi? Tunjukkanlah dasar alkitabiah bagi pendapat Anda.

5.   “Manusia adalah manusia dalam masyarakat.” Sebutkanlah ajaran Alkitab yang berhubungan dengan pernyataan ini dan selidikilah dampak-dampaknya bagi

 

( a) masyarakat dan

( b) perkawinan serta keluarga.

 

 

Kepustakaan (11)

Berkouwer, G. C.

1962 Man: the Image of God (Eerdmans).

Boston, T.

1964 Human Nature in its Fourfold State (Banner of Truth).

Cairns, D.

1973 The Image of God in Man (Fontana).

Davidheiser, B.

1969 Evolution and the Christian Faith (Presbyterian & Reformed).

Houston, J. M.

1979 I Believe in God the Creator (Hodder).

Kidner, D.

1967 Genesis (Tyndale Press).

Machen, J. G.

1965 The Christian View of Man (Banner of Truth).

MacKay, D. M.

1973 Science and Christian Faith Today (Falcon).

Orr, J.

1948 God’s Image in Man (Eerdmans).

Pearce, E. K. V.

1976 Who was Adam? (Paternoster).

Ramm, B.

1955 The Christian View of Science and Scripture (Paternoster).

Schaeffer, F. A.

1972a  _ Genesis in Space and Time_ (Hodder).

1972b  _ Back to Freedom and Dignity_ (Hodder).

Whitcomb, J. C. & Morris, H. M.

1961 The Genesis Flood (Evangelical Press).

 

12. MANUSIA BERDOSA

 

Pasal 11 di atas memberi gambaran mengenai apa yang mungkin terjadi seandainya Adam tetap setia. Tetapi kenyataannya ia jatuh, jadi kita harus menilik umat manusia dalam dosa.

12.1   Kejatuhan manusia

 

#/TB Kejadian 3:1-7* mengisahkan tentang dosa pertama umat manusia, dan ada juga banyak lagi bahan Alkitab yang mengacu pada kejatuhan manusia ini (lihat akhir pasal ini). Lagi pula, terlepas dari acuan-acuan eksplisit itu, kejatuhan merupakan bagian integral dari seluruh berita Alkitab. Ada berapa tafsiran kisah kejatuhan yang perlu kita pertimbangkan.

Pertama, _ pandangan harfiah _melihat kisah dalam Kitab Kejadian sebagai tulisan sejarah. Inilah pandangan yang diterima secara umum di gereja selama berabad-abad dan masih terus dibela oleh banyak pendukung. Namun akhir-akhir ini timbullah pendapat-pendapat yang lain.

Kedua, _pandangan mitologis _menolak adanya sedikit pun unsur sejarah. Pandangan ini menganggap cerita dalam Kitab Kejadian sebagai suatu gambaran religius yang menyampaikan kebenaran-kebenaran penting tentang manusia dan kondisi moralnya.

Dengan demikian cerita Kejadian bukan mengenai asal dosa melainkan mengenai

hakikatnya. Memang ada unsur kebenaran dalam pandangan ini dan dalam #/TB Roma 1:1-32*

Paulus sedikit banyak menggunakannya ketika ia menggambarkan dosa dan pemberontakan di dunia bukan Yahudi pada zamannya. Namun pandangan ini bukanlah arti utama dari #/TB Kejadian 3:1-24* karena menolak adanya unsur sejarah dan ini jelas tidak sejalan dengan penulis-penulis Alkitab kemudian.

Ketiga, _pandangan ”historis” _menegaskan bahwa—walaupun #/TB Kej 2:1-3:24*:

tidak selalu dapat ditafsirkan secara harfiah—namun jelas peristiwa-peristiwa

diceritakan di dalamnya yang dibatasi oleh waktu dan ruang. Alkitab berbicara

tentang kejatuhan sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (#/TB Rom 5:12-13*),

memberi lokasi taman Eden secara cukup jelas (#/TB Kej 2:10- 14*) dan menempatkan Adam pada garis sejarah yang berlanjut sampai pada Abraham dan Israel (#/TB Kej 4:1; 5:4; Kej 11:27; Luk 3:38*). Jadi kejatuhan merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah moral umat manusia.

Untuk menafsirkan perikop yang sangat penting ini dengan tepat, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.

(1)  Ada kesulitan dalam memakai bahasa sehari-hari kita dengan keadaan sebelum kejatuhan, karena semua bahasa dibentuk oleh pengalaman sejak kejatuhan.  Begitu pula, tentang waktu pengaruh-pengaruh kejatuhan itu ditiadakan oleh kedatangan kembali Kristus, Alkitab sekali lagi menggunakan semacam simbolisme untuk menggambarkan situasi masa mendatang (#/TB Wahy 21:1-22:21*).

(2)  Berkouwer mengemukakan bahwa kejatuhan tidak mungkin dipahami sepenuhnya kalau kita tidak mengakui keterlibatan pribadi kita dalam peristiwa menyedihkan itu. Sekalipun prinsip ini tidak perlu menghambat segala pembahasan tentang sifat kejatuhan, namun sebaiknya kita hindari pendekatan yang terlalu teoretis.

(3)  Para evolusionis sering menolak gagasan tentang dosa dan argumen-argumen Kristen lain yang terkait. Akan tetapi orang percaya sekurang-kurangnya dapat melihat bahwa sekali kegagalan moral manusia diakui (dan bukti empiris bagi kegagalan itu cukup besar!) maka kecenderungan dalam manusia itu harus ada titik pangkal dalam waktu. Telah terjadi suatu tindakan pemberontakan pertama yang melawan norma-norma moral yang diketahui, dalam hal ini kehendak Allah.  Oleh sebab itu asal dosa dapat ditempatkan dalam waktu dan dihubungkan dengan keseluruhan rangkaian peristiwa manusia.

(4)  Dalam #/TB Roma 5:12 (bnd. 1Kor 15:22*), Paulus menggunakan kejatuhan sebagai tema pengiring penjelasan rinci mengenai karya penyelamatan Kristus. Pengaruh ”satu” (yaitu ”yang pertama”) dosa Adam (#/TB Rom 5:16,18*) ditiadakan oleh ”satu perbuatan kebenaran” (#/TB Rom 5:18*) Kristus dengan kematian-Nya bagi orang berdosa (bnd. #/TB Rom 3:25; 4:25; 5:8*).  Tidak mungkin mempertahankan analogi antara perbuatan Adam dan perbuatan Kristus jika kejatuhan tidak diterima sebagai peristiwa dalam waktu dan ruang.

 

12.2   Sifat serta jangkauan dosa

 

a.         Sifat dosa

 

Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah pemberontakan manusia terhadap Allah dan jawaban-Nya yang penuh anugerah. Istilah-istilah alkitabiah serta berbagai corak artinya dapat dicari dalam ensiklopedi Alkitab. Di sini kita cukup mencatat kata-kata utama dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diterjemahkan sebagai ”dosa”.

Istilah paling lazim dalam Perjanjian Lama adalah khattat (misalnya #/TB Kel 32:30) serta istilah seasal khet (#/TB Mazm 51:11*). Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama dan mengungkapkan tentang pikiran yang tidak mengenai sasaran atau membuat salah. _Pesya _(#/TB Ams 28:13*) mempunyai arti pemberontakan aktif, dosa atau pelanggaran terhadap kehendak Allah. _Syaga _(#/TB Im 4:12*) mengungkapkan tentang pikiran yang memilih jalan sesat.  _Awon _(#/TB 1Raj 17:18*) berkaitan dengan bentuk yang berarti memutar, dan mengacu pada rasa bersalah yang dihasilkan dosa.

Kata utama untuk dosa dalam Perjanjian Baru _hamartia _(#/TB Mat 1:21*).  Kata ini juga mempunyai makna tidak kena sasaran dan meliputi gagasan kegagalan, salah dan perbuatan jahat. Adikia (#/TB 1Kor 6:8*) berarti ketidakjujuran atau ketidakadilan. _Parabasis _(#/TB Rom 4:15*) mengenai pelanggaran hukum.  Anomia (#/TB 1Yoh 3:4*) juga berarti tidak mempunyai hukum. Asebeia (#/TB Tit 2:12*) mengandung arti kuat mengenai tidak mengenal Allah, sedangkan ptaio lebih berarti tergelincir secara moral (#/TB Yak 2:10*).

Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bnd.  #/TB Mazm 51:6; Rom 8:7; Yak 4:4*). Setiap usaha untuk mengurangi ini, misalnya dengan mengartikan dosa sebagai sifat mementingkan diri, sangat meremehkan kegawatannya. Ungkapan dosa yang paling jelas ialah saran Iblis bahwa manusia dapat merampas tempat penciptanya, ”kamu akan menjadi seperti Allah ...”( #/TB Kej 3:5*). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bnd. #/TB Fili 2:6*), mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas sang Pencipta dan pemeliharaan-Nya dalam kasih. Dengan sikap menghujat ia menahan dirinya dari ibadah dan kasih yang memuja, yang merupakan tanggapan manusia yang wajar terhadap Allah. Ia memberi penghormatan kepada musuh Allah dan juga memperhatikan ambisi-ambisinya sendiri.

b.         Jangkauan dosa

 

Dosa itu universal. “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (#/TB Rom 3:10; bnd. #/TB Rom 3:1-10,23; Mazm 14:1*). Hanya Yesus Kristus yang hidup sebagai orang “tidak berdosa” (#/TB Ibr 4:15*). Penilaian alkitabiah ini cukup banyak dibenarkan oleh antropologi sosial dan pengalaman umum.

Dosa itu menyeluruh bukan hanya secara geografis, tetapi mempengaruhi setiap manusia secara keseluruhan:

·        kehendak (#/TB Yoh 8:34; Rom 7:14-24; Ef 2:1-3; 2Pet 2:19*);

·        pikiran dan pengertian (#/TB Kej 6:5; 1Kor 1:2; Ef 4:17*);

·        perasaan (#/TB Rom 1:24-27; 1Tim 6:10; 2Tim 3:4*); dan

·        ucapan dan perilaku (#/TB Mr 7:21-22; Gal 5:19-21; Yak 3:5-9*).

 

Keadaan ini menurut tradisi disebut “kerusakan total” (_total depravity_). Ini tidak berarti bahwa taraf kejahatan setiap manusia sudah maksimal, yang akan membuatnya setaraf dengan setan, tetapi bahwa tak satu pun dari segi watak yang luput dari pengaruh dosa. Tidak ada satu segi dari kepribadian manusia yang dapat dikemukakan untuk menyatakan diri benar.

Kenyataan bahwa orang sewaktu-waktu berpikir, berbicara atau bertindak dengan cara yang relatif “baik” (#/TB Luk 11:13; Rom 2:14-15*) tidak membantah kerusakan total, karena “baik” ini bukanlah kebajikan sepenuhnya sepanjang hidup yang memungkinkan kita menghadap kepada Tuhan. Tidak ada ”suaka alam” di dalam pribadi manusia, tempat ”keadaan asli” manusia tetap terpelihara. Kita jatuh secara total dan sebab itu memerlukan penebusan secara total.

Alkitab juga mengajarkan mengenai kerusakan total dengan mengatakan bahwa dosa

telah mempengaruhi inti manusia. Hati (Ibr. lev) adalah hakikat seseorang,

yang telah disesatkan oleh dosa. Kita ingat pernyataan Yesus, ”dari dalam,

dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian,

pembunuhan...Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (#/TB Mr 7:21-23;

bnd. #/TB Kej 6:5; Yer 17:9*; #/TB Rom 3:10-18; 7:23*).

Justru karena ”kerusakan total” dalam arti alkitabiah ini, manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Kerusakan total berarti ”ketidak mampuan total”.

c.         Penyebaran dosa: dosa warisan

 

Hubungan antara ketidaktaatan Adam dan dosa manusia selanjutnya adalah persoalan dosa warisan. Alkitab mengajarkan bahwa dosa Adam melibatkan seluruh umat manusia. Dalam #/TB Roma 5:12* Paulus menegaskan bahwa melalui ketidaktaatan Adam, dosa dan kematian menjadi kenyataan bagi semua orang ”karena semua orang telah berbuat dosa” artinya karena mereka semua berdosa di dalam dosa Adam (#/TB Rom 5:14-19*; #/TB 1Kor 15:22*). Ada dua penjelasan tradisional mengenai hal ini.

_Realisme _menafsirkan kata-kata Paulus dalam #/TB Roma 5:12* secara harfiah. “Semua orang telah berbuat dosa dalam Adam” berarti bahwa semua hadir dan terlibat ketika Adam berbuat dosa. Sifat manusia umum yang universal, yang meliputi sifat pribadi semua orang, dengan satu atau lain cara hadir “dalam Adam” sehingga ketika ia berbuat dosa setiap orang berdosa dengan dia (bnd.  #/TB Rom 7:4-10*; Lewi ada “dalam tubuh” bapa leluhurnya, Abraham). Tafsiran ini adalah usaha menghindari kesewenangan dalam penafsiran dosa warisan.  Namun, terlepas dari kesulitan dalam mengerti apa yang dimaksud dengan gagasan sifat manusia umum, maka kita masih diperhadapkan dengan kesulitan yang disebabkan oleh dampaknya bagi kemanusiaan Kristus. Jika kemanusiaan Kristus bukan bagian dari umat manusia secara umum dan universal di dalam Adam, maka kesatuannya yang hakiki dengan manusia terancam. Sebaliknya kalau Ia termasuk di dalamnya, itu berarti bahwa Ia juga turut dalam kejatuhan.

_Federalisme _mengingat perbandingan yang diadakan antara Adam dengan Kristus (#/TB Rom 5:12-19; 1Kor 15:22,45-49*), dan menerangkan bahwa solidaritas universal kita dengan Adam adalah sejenis dengan solidaritas Kristus dengan mereka yang Ia tebus, yaitu sebagai wakil, atau kepala federal. Zaman sekarang istilah federal biasanya berarti suatu sistem politik tertentu. Secara teologis istilah ini, yang artinya diturunkan dari kata Latin foedus ‘perjanjian’, berarti “sesuai perjanjian”. Perjanjian Allah dengan Adam, yang sering disebut “perjanjian perbuatan”, dilanggar oleh Adam dengan dosanya dan membawa akibat yang mengerikan bagi mereka yang ia wakili atau kepalai. Dalam Kristus, perjanjian ini diperbarui dan di bawahnya kebajikan-Nya yang sempurna menjadi jalan berkat dan penyelamatan bagi mereka yang Ia wakili atau kepalai (#/TB Kej 2:15-17; Yer 31:31; Rom 3:21-31; 5:12-12; 1Kor 11:25*). Prinsip yang berlaku dalam kedua hal itu sama:

·        oleh persatuan dengan Adam sebagai kepala perwakilan manusia, kita menjadi orang berdosa; dan

·        oleh persatuan dengan Kristus melalui iman, kita menjadi benar.

 

Prinsip ini jangan dianggap sewenang-wenang, seolah-olah manusia dihukum untuk

dosa yang tidak diperbuatnya. Allah yang adil menyatakan seluruh dunia bersalah

di hadapan-Nya (#/TB Rom 3:19*) dan hal itu cukup nyata dalam dosa-dosa yang

diperbuat baik oleh orang Yahudi maupun oleh yang bukan Yahudi (#/TB Rom 1:18-3:8*).

Tentu ada kaitan dengan dosa warisan “dalam Adam” (#/TB Rom 5:12*), namun

Alkitab umumnya mengaitkan penghakiman terakhir manusia dengan perbuatan-perbuatannya

yang tidak memenuhi syarat Allah dan bukan terutama dengan persatuannya dengan Adam (misalnya #/TB Mat 7:21-27; 13:41; 25:31-46; Luk 3:9; Rom 2:5-10*;

#/TB Wahy 20:11-14*).

12.3   Pengaruh dosa

 

Kejatuhan ke dalam dosa mempunyai pengaruh luas sekali bagi masing-masing bagian manusia yang diuraikan dalam pasal terdahulu.

a.   Dalam hubungan dengan Allah

 

Inilah inti dari segala dampak dosa yang diuraikan secara rinci di bawah. Dalam hubungannya dengan Allah, dosa berarti beberapa hal.

Pertama, kita tidak layak untuk menghadap kepada Allah. Pengusiran Adam dari Taman Eden adalah ungkapan secara geografis dari pemisahan spiritual manusia dari Allah, serta ketidaklayakan untuk menghadap Dia dan menikmati keakraban dengan Dia (#/TB Kej 3:23*). Tempat kehadiran-Nya menjadi tempat yang menakutkan; pedang yang bernyala-nyala yang menutup jalan kembali ke Eden melambangkan kebenaran mengerikan bahwa dalam dosanya, manusia menghadapi pertentangan dan perlawanan Allah, yaitu murka Allah yang kudus (#/TB Kej 3:24; Mat 3:7; Rom 1:18; 1Tes 1:10*). Dibandingkan dengan murka Allah, semua ketakutan dan kekuatiran manusia hanya seperti mimpi buruk saja; segala kebutuhan yang lain, betapa pentingnya atau besarnya pun memudar sampai terasa tidak penting lagi.

Kedua, kita tidak sanggup melakukan kehendak Allah. Walaupun Allah memanggil

dan memerintah manusia dan menawarkan kepada kita jalan kehidupan dan kebebasan,

kita tidak sanggup lagi menjawab panggilan-Nya sepenuhnya. Manusia tidak bebas lagi untuk menyesuaikan diri dengan rencana Allah dan telah menjadi budak dosa (#/TB Yoh 8:34*; #/TB Rom 7:21-22*).

Ketiga, kita tidak benar di hadapan Allah. Kegagalan untuk mematuhi kehendak atau hukum Allah mempunyai dampak lanjut yang serius bahwa manusia sudah di bawah kutukan hukum, rasa bersalah dan penghukuman yang makin bertambah bagi pelanggar hukum (Ula 27:26,28; #/TB Rom 3:19; 5:16; Gal 3:10*).

Keempat, kita tidak peka lagi terhadap firman Allah. Allah berbicara melalui ciptaan, melalui hukum moral, melalui bangsa Israel dalam Perjanjian Lama dan gereja dalam Perjanjian Baru, dan di atas segala-galanya melalui Firman-Nya baik yang menjelma maupun yang tertulis. Dalam keadaan berdosa manusia hanya mendengar secukupnya sehingga tidak beralasan untuk tidak percaya, namun tidak cukup untuk benar-benar mengerti jalan dan kehendak Allah. Pada akhirnya, dosa membawa manusia pada keadaan tidak mengenal Allah dan tidak sanggup mengerti hal-hal mengenai Roh.

Pengaruh-pengaruh dosa ini nyata dalam _keangkuhan _manusia. Manusia menentang pemerintahan Allah dan menentukan diri sebagai penguasa, membuat diri sebagai patokan realitas, dan akal serta pengalaman adalah patokan kebenaran. Manusia menyatakan kekuasaan atas dunia dan memikul tanggung jawab atas masa depan ras.  Keangkuhan yang paling parah berbentuk perasaan seperti raksasa yang serba bisa, yang membuat manusia seperti di Babel memanjat ke arah surga dengan maksud merendahkan Allah (bnd. #/TB Kej 11:1-9; 2Tes 2:4*).

Dalam lingkungan keagamaan, keangkuhan ini diungkapkan sebagai _pembenaran diri_. Manusia menentukan norma-norma bagi dirinya dan membenarkan diri menurut norma-norma tersebut. Ia mencari-cari alasan bagi dosa dan merasa yakin di hadapan Allah karena prestasi-prestasi moral dan religiusnya.

Namun manusia tidak luput dari Allah. Hubungan yang terputus nyata sebagai ketakutan kepada Allah; bukan sikap rendah hati dari orang yang beriman (bnd.  #/TB Ul 10:12*) tetapi sikap ketakutan seorang buronan yang lari dari Allah yang tidak ditaatinya. Rasa takut ini dapat mendorong orang untuk mencari ilah pengganti yang tidak menyingkapkan kesalahannya. Ada yang menolak eksistensi Allah secara teori (ateisme), ada lagi yang menganut suatu paham alternatif seperti Marxisme dan melibatkan diri dalam aktivitas yang tak ada henti-hentinya. Tetapi sebenarnya semua itu hanya untuk bersembunyi dari Allah (seperti Adam dan Hawa di Eden) dan menghindari keseraman apabila harus berdiri di hadapan Allah dengan kesalahannya terpampang di depannya.

b.   Dalam hubungan dengan sesamanya

 

Putusnya hubungan dengan Allah langsung mempengaruhi hubungan manusia dengan

sesamanya. Adam menuduh Hawa dan mempersalahkannya mengenai kelakuannya sendiri

(#/TB Kej 3:12*) dan kisah kejatuhan segera disusul dengan laporan pembunuhan Habel (#/TB Kej 4:1-16*). Manusia yang melawan Allah juga adalah manusia yang melawan sesamanya sebagai orang asing dan musuh, sebagai ancaman bukan teman.

Dosa membawa konflik dan menghasilkan perpecahan-perpecahan besar di antara

bangsa-bangsa. Dosa menyebabkan prasangka rasial dan antagonisme, dan membentuk

blok-blok kekuasaan internasional yang besar. Dosa menciptakan perpecahan sosial dan dengan begitu membawa kepada konflik antar kelompok atau kelas. Dosa memisahkan orang-orang kaya dengan orang-orang miskin dan menyebabkan konflik dalam semua kelompok manusia, baik kelompok pendidikan, masyarakat, sosial, waktu senggang maupun agama. Lagi pula dosa membawa perpecahan dalam keluarga dan gereja. Secara paradoks, ancaman dari sesama membuat manusia mencari keamanan dengan membentuk berbagai persekutuan yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Dosa juga menyebabkan eksploitasi sehingga kita ”memakai” sesama kita. Kita mengeksploitasi dia untuk menjaga harga diri, untuk membenarkan rencana-rencana jahat dan untuk menopang kelemahan-kelemahan diri kita. Kita membuat dia menjadi korban dari frustrasi dan perasaan bersalah kita. Eksploitasi ini bahkan dinyatakan sebagai kekerasan fisik atau psikologis, seperti dalam hubungan pria/wanita yang sepanjang sejarah bercirikan dominasi pria, penggunaan wanita untuk kepentingan egois pria dan penolakan memberinya persamaan hak dan martabat yang hakiki. Bahkan dalam mengasihi sesama kita mencoba mendapat manfaat dari tanggapan terhadap kasih itu: pemberian kita tidak lain dari penerimaan belaka.

Putusnya hubungan dengan sesama sering dinyatakan sebagai ketakutan bahwa orang lain akan menjadi sadar akan pribadi kita sebenarnya dengan segala kelemahan, rasa bersalah dan rasa jijiknya. Oleh sebab itu kita mencoba bersembunyi dari dia, di satu pihak dengan memproyeksikan gambaran palsu dari diri kita dan di pihak lain dengan usaha memadamkan ancaman dari dia dengan mengotak-ngotakkannya, melihatnya sebagai anggota suatu kelompok: ”kasus”, ”mahasiswa”, ”guru”, ”direktur”, ”pekerja”.

Salah satu hasil paling getir dari pemisahan diri dari sesama adalah pengalaman yang berulang kali terjadi ialah salah paham bahkan juga walaupun ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengenal dan dikenal orang.

c.   Dalam hubungan dengan dirinya

 

Dosa mengadudombakan manusia melawan dirinya; ia hidup dengan konflik batin dan

perpecahan sambil berseru, “Aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum

akal budiku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku?” (#/TB Rom 7:23*).Orang kehilangan arah batin dan menjadi tidak jelas bagi dirinya sendiri, sejuta dorongan yang saling bertentangan. Pengaruh dosa dinyatakan dalam _penipuan diri sendiri_. Kehilangan pengetahuan diri yang sebenarnya akan mengakibatkan semacam pemujaan diri atau penghakiman diri yang neurotik berdasarkan patokan yang tidak realistis. Orang tidak mampu menilai diri dengan tepat, namun juga tidak sanggup untuk menyerahkan segala hal kepada Allah dan membiarkan Dia menjadi hakim (#/TB 1Kor 4:3*). Konflik batin ini juga terungkap sebagai _rasa malu_, perasaan tidak enak dengan diri sendiri (bnd. #/TB Kej 3:7-8*). Dosa telah menyita kepercayaan diri dan kesanggupan melihat diri sebagai makhluk Allah; orang malu akan dirinya. Segala ungkapan konflik batin manusia ini mengakibatkan keresahan yang tak terobati dalam dirinya. “Orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tenang, ...’ Tiada damai bagi orang-orang fasik itu’ firman Allahku” (#/TB Yes 57:20-21*).

d.   Dalam hubungan dengan alam semesta

 

Umat manusia kehilangan keharmonisan dengan alam. Penatalayanan lingkungan sesuai dengan kehendak Allah tergeser oleh perampasan oleh manusia yang berdosa.  Ini diwujudkan sebagai eksploitasi dan perusakan dunia, tanpa memikirkan keindahannya yang tercipta ataupun nilai hakikinya. Ini juga terungkap sebagai polusi, penggunaan bahan baku yang mengotorkan samudera dan suasana secara serakah, hanya untuk kepentingan diri dengan keuntungan ekonomi belaka, kehidupan mewah dan pemuasan hati.

e.   Dalam hubungan dengan waktu

 

Manusia yang jatuh ke dalam dosa hidup dalam waktu yang dibatasi karena dosa itu. Karena dosa, manusia kehilangan kekekalan (#/TB Kej 2:17; 3:19*), hari-harinya terbatas. Penghakiman melalui kematian adalah pertanda penghakiman Allah nanti.  Oleh Allah, manusia diberi waktu, tetapi waktu itu berjalan terus mendekati akhirnya ketika semua rencana, tujuan dan mimpi akhirnya dihentikan oleh kematian.

Pengaruh dosa ini terungkap dalam _materialisme _manusia serta hedonisme praktis yang sebenarnya hanyalah penerapan materialisme. Kita berpegang pada dunia yang nyata bagi pancaindera sebagai usaha untuk mempunyai pegangan dalam dunia yang terus bergolak. Usaha ini juga nyata dalam keinginan untuk menciptakan tanda-tanda peringatan, bentuk-bentuk materi yang dapat memperpanjang kenangan kepada orang setelah ia tiada.

Pembatasan waktu ini juga mengkibatkan kegelisahan. Kematian tak ada bandingnya untuk menyadarkan orang akan keadaannya yang tak berarti dan kelemahannya, dan menunjukkan kebodohan orang yang berlagak mulia. Bahkan kalaupun seorang mencoba menghadapi kematian dengan hati teduh, ia tidak berhasil sepenuhnya mengatasi kegelisahan ini. Takut akan kematian menguasai manusia sampai akhirnya ia juga pergi menerima hasil dosanya.

12.4   Soal-soal lain

 

a.   Dosa yang tak terampuni

 

Beberapa perikop Perjanjian Baru berbicara tentang dosa yang tidak dapat diampuni, yakni dosa atau penghujatan terhadap Roh Kudus. Yesus menyinggung hal ini (#/TB Mat 12:31-32; bnd. #/TB Ibr 6:4-6; 10:26-29; 1Yoh 5:16*). Ada yang menganggapnya sebagai perbuatan langsung untuk menghujat Roh Kudus, biasanya dalam hubungan dengan kesaksian-Nya mengenai Kristus.

Penafsiran akhir-akhir ini melihat hakikat dosa itu lebih bersifat kristologis.

Yesus membedakan antara dosa terhadap Roh Kudus dan dosa “menentang Anak

Manusia” (#/TB Mat 12:32*) sebelum kematian dan kebangkitan-Nya dan turunnya

Roh Kudus pada hari Pentakosta. Sebelum Paskah pertama ”Anak Manusia” merupakan

penyataan Allah yang terselubung dan penuh teka-teki. Kegagalan mengenal Yesus selama misi-Nya di dunia (misalnya keluarga-Nya sendiri, #/TB Mr 3:21*) tidak begitu serius dibandingkan dengan sikap percaya bahwa seluruh misi-Nya, khususnya karya-karya baik-Nya, adalah pekerjaan Iblis seperti yang dituduhkan orang Farisi kepada-Nya. Dengan adanya peristiwa Pentakosta, perbedaan itu hilang. Yesus diperlihatkan sebagai Anak Allah dan Injil salib diberitakan dengan kuasa Roh Kudus. Penolakan terhadap pesan ini serta terhadap Kristus yang diabadikan oleh pesan ini, berarti menolak Roh Kudus yang menyaksikan akan kebenaran-Nya (#/TB Ibr 10:29*). Dosa ini tidak diampuni jika dilanjutkan, karena olehnya orang menolak harapan satu-satunya akan penebusan. Yohanes menyebutnya “dosa yang mendatangkan maut” (#/TB 1Yoh 5:16*).

b.   Kebebasan manusia

 

Masalah arti dan batas kebebasan manusia sejak kejatuhan telah diperdebatkan dengan gigih berabad-abad. Sering perdebatan ini lebih banyak menghangatkan situasi daripada memberi kejelasan. Ini cukup sering disebabkan oleh kecenderungan mengacau permasalahan teologis dengan masalah yang jelas-jelas bersifat filsafat, yakni determinisme dan indeterminisme. Ada paling sedikit tiga arti istilah ”kebebasan”.

Pertama, orang mengalami kebebasan secara psikologis sehari-hari ketika dia menghadapi beberapa alternatif dan membuat pilihan. Ini meliputi hal-hal sepele, seperti ”Koran mana yang akan saya beli pagi ini?” sampai pada yang serius seperti ”Maukah engkau menikah dengan saya?” Inilah kebebasan yang mendasari tanggung jawab moral. Alkitab menganggap bahwa kuasa untuk memilih secara bertanggungjawab dan atas kemauan sendiri adalah milik semua orang, baik orang Kristen maupun yang bukan Kristen.

Tingkat pengertian yang kedua timbul dari pertanyaan apakah perbuatan-perbuatan

kita pada masa mendatang akan ditentukan oleh faktor-faktor pada masa kini dan

oleh sebab itu dapat diramalkan. Agaknya Alkitab tidak membenarkan atau menolak

kebebasan dalam arti ini. Yang pasti adalah bahwa watak dipengaruhi oleh

perbuatan orang: keputusan dan perbuatan masa lampau membentuk tipe manusia yang

ada sekarang. “Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (#/TB Gal 6:7*).  Di lain pihak, Alkitab tidak membenarkan adanya pengurangan tanggung jawab manusia.

Ketiga, segi teologis dari kebebasan muncul dengan persoalan apakah orang bukan Kristen bebas untuk menggenapi kehendak Allah, khususnya apakah mereka bebas untuk menyesali dosanya dan percaya kepada Kristus sebagai Penebus dan Tuhan.  Perbudakan kemauan manusia karena kejatuhan kelihatannya tidak memungkinkan orang benar-benar secara bebas menaati Allah. Ketidaksanggupan untuk berpaling kepada Allah tanpa bantuan-Nya tercermin dalam kenyataan bahwa orang hanya dapat masuk ke dalam kerajaan surga melalui kelahiran kembali (tentang ini lihat di bawah: ps 23.2.c).

12.5   Perdebatan akhir-akhir ini

 

Persoalan-persoalan antropologis merupakan inti perdebatan antara orang Kristen dan bukan Kristen masa kini, dan kita tidak dapat meramalkan hubungan apa antara pandangan Kristen tentang manusia dan penafsiran ilmiah, psikologis, dan sosiologis yang nantinya akan muncul. Di sini kita akan menyelidiki dua pendekatan yang sangat berpengaruh. Untuk pembahasan yang lebih lengkap, pembaca dipersilakan membaca bahan kepustakaan pada akhir pasal ini.

a.   Marxisme

 

Antropologi Marxis sebaiknya dilihat sebagai suatu bentuk antropologi humanis:

umat manusia ditempatkan pada pusat dan peningkatan kehidupan manusia merupakan tujuan nyatanya. Namun, berlainan dengan kebanyakan teori humanis akhir-akhir ini, Marxisme tidak merasa optimis secara naif tentang umat manusia tetapi mengambil kesengsaraannya sekarang sebagai titik tolaknya.

Segala sesuatu tentu tergantung pada pengertian kesengsaraan itu. Dalam

Marxisme, agama dianggap sebagai bagian dari proyeksi diri manusia yang bersifat

khayalan, jadi dimensi keagamaan ditolak. Manusia dimengerti menurut kategori-kategori

materialis dan sosiologis semata-mata, sebagai wujud nyata dari hubungan-hubungan sosial dan ekonomi. Sumber segala kesedihan manusia terletak dalam kenyataan bahwa hubungan-hubungan tadi salah sehingga manusia menjadi terasing dari keberadaannya yang benar. Tentu saja analisis sosial ekonomi Marxisme merupakan satu di antara sekian banyak alat untuk menemukan sebab-sebab kejahatan sosial ekonomi yang hendak dikurangi oleh orang Kristen atau jika mungkin ditiadakan.

Marxisme gagal dalam semua usahanya untuk memikirkan ”manusia kongkret yang sebenarnya” sekalipun, karena tidak melihat keterasingan manusia dari Allah dan keadaannya yang tak terlindungi dari murka-Nya. Dan lagi, bagi Marxisme umat manusia hanya merupakan bagian dari arus kesadaran yang sedang terbentang, yang terbentuk oleh hubungannya dengan faktor-faktor sosial ekonomi. Karena itu ia dapat diubah secara wajar. Secara khusus, ia dapat diubah melalui revolusi sosial untuk menjadi Manusia Baru, yang hidup dalam sistem sosial baru yaitu komunisme.

Tentu saja komunisme dalam praktek nyata-nyata telah gagal menghasilkan manusia baru, seperti disaksikan oleh pertikaian-pertikaian antar negara komunis, pengusikan dan penganiayaan pemrotes-pemrotes, penolakan hak-hak asasi, kamp-kamp tawanan yang biadab dan sistem polisi rahasia yang sangat luas di negara-negara Marxis. Kegagalannya tak terelakkan, karena manusia memang tidak dapat diubah secara fundamental oleh lingkungan sosial ekonomi, ataupun oleh inisiatif atau kuasa manusia mana pun. Ini tidak berarti tanggapan tepat terhadap kejahatan sosial adalah berdiam diri secara sosial, tetapi dengan jelas menunjukkan kesemuan akhir Marxisme.

Sekian banyak analisis ilmiah sosial pun tak akan berhasil memberi dasar yang efektif bagi optimisme Marxisme mengenai masa depan umat manusia. Optimisme ini merupakan kepercayaan buta yang diperoleh dengan memasukkan faktor-faktor ideologi yang sudah ditentukan terlebih dahulu ke dalam analisis sosial itu.  Kegagalannya mengidentifikasikan masalah yang sebenarnya mempunyai dampak lebih lanjut, yang digarisbawahi oleh ajaran Kristen tentang penciptaan. Dalam Marxisme, setiap orang merupakan titik sementara, dan karena itu kebetulan saja, dari kesadaran diri material yang terjadi karena proses sosial. Dengan demikian diletakkanlah dasar untuk penaklukan individu demi kepentingan masal, dan penggunaan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan secara amoral. Dampak-dampak mengerikan dari pandangan ini dalam rezim-rezim Marxis di seluruh dunia sudah cukup terkenal.

Bertentangan dengan itu, ajaran Kristen tentang penciptaan manusia menurut gambaran Allah, serta kasih Allah bagi kita hingga pada pengorbanan diri-Nya dalam diri Yesus di kayu salib, membuka jalan untuk mengakui nilai hakiki dan arti dari setiap individu, serta martabat manusia meskipun dalam kemalangan dan dosa. Oleh sebab itu, Alkitablah yang meletakkan dasar untuk humanisme sejati, bebas dari optimisme humanisme sekuler seperti Marxisme. Alkitab mengungkapkan kebutuhan manusia yang sebenarnya dan mendalam serta menunjukkan satu-satunya penyelesaiannya, yakni manusia baru dalam Yesus Kristus.

b.   Eksistensialisme

 

Antropologi eksistensialis sebaiknya dipelajari melalui Kierkegaard (1813-55), pemikir Denmark yang saleh walaupun tidak ortodoks. Kierkegaard menuduh gereja negara Lutheran mengaburkan kekristenan yang sejati, karena sama sekali tidak menitikberatkan keadaan manusia sebagai orang berdosa di hadapan Allah, rasa bersalah, penderitaan batin, serta keputusasaan pribadi, yang oleh Kierkegaard dianggap sangat penting untuk dialami sebelum orang dapat menjadi Kristen. Ia juga menentang filsafat Hegel yang sangat berpengaruh pada waktu itu, yang menerangkan segala sesuatu menurut suatu kerangka cakupan menyeluruh, tetapi tidak menerangkan kebebasan pribadi serta kegelisahan yang diciptakannya bagi manusia, yang oleh Kierkegaard dilihat sebagai realitas manusia yang fundamental. Eksistensialisme Kristen dikembangkan, walaupun dengan perubahan, oleh para ahli teologi seperti Tillich (1886-1965) dan Bultmann (1884-1976), yang teologinya jelas menyimpang dari ortodoksi Kristen historis.

Untuk bagian terbesar masa pengaruhnya, eksistensialisme terputus dari asalnya yang Kristen. Nietzsche (1844-1900) secara nyata membawanya ke arah anti-Kristen.  Bagi Sartre (1905-80), tidak adanya Tuhan merupakan aksioma, sebab hanya jika Tuhan mati maka manusia dapat bebas. Eksistensialisme menolak setiap pembahasan keberadaan manusia yang bersifat umum, teoretis, objektif, baik pembahasan filsafat maupun ilmiah. ”Kebenaran adalah subjektivitas” (Kierkegaard), yang hanya dapat dialami oleh subjek manusia secara individual dengan berpartisipasi secara pribadi dan batiniah dalam keberadaan. “Dengan melibatkan diri dalam dunia, dengan menderita dan bergumul, manusia mendapat arti sedikit demi sedikit” (Sartre). Menurut pandangan ini, manusia hanya ”berada” sebagaimana ia menciptakan dirinya dengan memutuskan untuk bertanggung jawab atas keberadaannya dan menegaskan diri menghadapi tantangan-tantangan hidup dan panggilan menuju kebebasan.

Dalam praktek, eksistensialisme menekankan unsur-unsur keberadaan yang negatif dan tragis. Keberadaan manusia sewenang-wenang sekali, tanpa arti akhir: ”Setiap orang yang ada dilahirkan tanpa alasan, memperpanjang keberadaannya karena kelemahan dan mati secara kebetulan” (Sartre). Meskipun demikian, manusia terpanggil secara tak terelakkan untuk bebas dan dengan begitu mengalami rasa takut dan kegelisahan.

Peradaban modern cenderung tak bersifat pribadi, seringkali mengorbankan individu untuk kepentingan program atau keuntungan, dan merencanakan pada skala besar serta cenderung ke arah monopoli dalam administrasi dan pemerintahan.  Sebagai protes terhadap pengurangan kesadaran individual ini, maka eksistensialisme dapat dianggap sebagai jeritan dari lubuk hati untuk nasib manusia. Dalam hal itu, diperlukan perspektif yang lebih bersifat Kristen.  Penekanan pada individu yang bertentangan dengan masyarakat sosial merupakan perbaikan yang bermanfaat atas teori sosial Marxis.

Penekanannya pada ketidakcakapan dan rasa bersalah manusia, kelihatannya juga dapat menguntungkan. Novel dan drama eksistensialis menyuguhkan penilaian manusia yang lebih realistis daripada utopianisme akhir abad ke-19, dan memberi imbangan yang bermanfaat bagi optimisme sentimental yang bahkan juga berasal dari beberapa mimbar dan penerbit Kristen. Namun, sampai pada titik ini pun eksistensialisme pada akhirnya tidak menyajikan kebenaran; analisis kesengsaraan manusia tidaklah cukup. Kepelikan manusia tidak terletak dalam keputusasaan eksistensinya, atau ”keberadaan yang tidak otentik” (Heidegger), Angst atau ‘ketakutan’ (Kierkegaard), ”kegelisahan” (Tillich). Semua ini merupakan ciri-ciri dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih menakutkan, yakni pemisahan manusia dari Tuhan dan keadaan tak terlindungi dari murka-Nya. ”Jalan ateisme yang panjang dan berat” yang dibicarakan Sartre menjadi jalan menyenangkan dibandingkan dengan jalan orang terkutuk di hadapan Allah, jalan yang ditempuh Yesus ke Bukit Golgota, yakni jalan yang menunggu mereka yang tidak bertobat pada hari penghakiman. ”Ngeri benar kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup” (#/TB Ibr 10:31*).

Selanjutnya, eksistensialisme pada akhirnya akan membawa pada kehancuran umat manusia, pada penyangkalan martabat manusia sebagai makhluk kesayangan Allah, karena eksistensialisme tidak dapat membenarkan masyarakat manusia, bahwa manusia hidup dengan dan bagi orang lain. Berdasarkan prakiraan ekistensialis, sesama manusia menjadi ancaman yang menghambat dan mempengaruhi kebebasan individu. Bahkan kasih yang dimengerti sedcara eksistentialis berakhir dengan frustrasi karena bertujuan memiliki yang dikasihi. Bertentangan dengan gambaran suram ini terdapat pengalaman mengenai kasih sejati yaitu kasih kepada sesama yang diwujudkan oleh Kristus (#/TB Yoh 13:1; 15:12*) dan sekarang diwujudkan dalam umat-Nya melalui Roh Kudus (#/TB Rom 5:5*).

Akan tetapi, keputusasaan akhir dari eksistensialisme bukan kebetulan. Ia tak mengenal penebus yang dapat mengangkat manusia dari keadaannya yang tanpa arti, mengampuni kesalahan yang lalu, menanamkan kekuatan moral dan spiritual baru di tengah-tengah persekutuan mereka yang ditebus pada waktu sekarang, dan mengisi kehidupan dengan tujuan akhir dalam pelayanan kerajaan Allah yang kekal.

12.6   Ringkasan

 

Alkitab mengajarkan dua hal mendasar tentang umat manusia. Pertama, kita adalah makhluk-makhluk Allah yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, bukan suatu kejadian kosmis yang kebetulan saja ataupun angka birokratis. Manusia pernah berdiri dengan gemilangnya di hadapan Penciptanya. Kedua, kita adalah orang berdosa yang jatuh menjauhi Tuhan dan maksud-Nya bagi kita. Kita hidup dalam pemberontakan secara implisit dan eksplisit melawan Dia. Pascal memadukan kedua kebenaran ini ketika ia berbicara tentang manusia sebagai raja yang diturunkan dari takhtanya, didepak dari kebesarannya, ditundukkan, bejat moral, namun tak pernah dapat melupakan keadaannya dulu yang seharusnya dinikmati sekarang juga.

Kita harus mempertahankan kebenaran ajaran Alkitab mengenai umat manusia sebagai makhluk dan orang berdosa melawan semua antropologi alternatif, baik yang dari zaman purba maupun yang modern.

Bahan Alkitab

Kejatuhan:

#/TB Kejadian 3:1-7; Ulangan 32:8; Ayub 31:33; Pengkhotbah 7:29*;

#/TB Yesaya 43:27; Hosea 6:7*;

#/TB Lukas 3:38; Roma 5:12 dst.; #/TB 1Korintus 15:22-23*;

#/TB 2Korintus 11:3; 1Tesalonika 2:13-14; 1Timotius 2:13-14; Yudas 1:14*.

Sifat dan jangkauan dosa:

#/TB Kejadian 3:6; Mazmur 14:1-3; 51:6; Yesaya 64:6; Yeremia 17:9*;

#/TB Markus 7:21-22; Yohanes 8:34-35; Roma 3:9-20; 5:10; 7:14-24*;

#/TB Galatia 5:19-21; Efesus 4:17-18; Yakobus 3:5-9; 2Petrus 2:19*.

Pengaruh dosa:

#/TB Kejadian 3:17-24; 4:14; 19:1-12; 1Samuel 31:1-6; Mazmur 90:5-10*;

#/TB Pengkhotbah 1:1-2:26; Yesaya 5:8-23*;

#/TB Roma 1:18-32; Efesus 2:1-3; Yakobus 5:1-6; 2Petrus 3:5-10*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Menurut Anda, tafsiran mana tentang kejatuhan yang paling cocok dengan ajaran Alkitab? Mengapa pandangan ”mitos” tidak cukup?

2.   ”Kejatuhan merupakan hipotesis bisu dari seluruh ajaran Alkitab tentang dosa dan penebusan”. Bahaslah.

3.   Apa artinya ”kerusakan moral total”? Apa pengaruh ajaran ini bagi pesan serta cara-cara para penginjil?

4.   Apa penafsiran Anda mengenai pernyataan Paulus, ”oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa” (#/TB Rom 5:19*)?

5.   Sebutkan pengaruh-pengaruh utama dosa terhadap hubungan manusia dengan

 

( a) Allah,

( b) sesamanya,

( c) dirinya sendiri,

( d) lingkungannya, dan

( e) waktu.

 

Berikan contoh-contoh dari biografi Alkitab dan dari surat kabar.

6.   Sebutkan pengaruh dosa terhadap hubungan manusia dengan sesamanya dalam kaitannya dengan

 

( a) hubungan internasional,

( b) masyarakat Anda,

( c) lingkungan terdekat Anda,

( d) tempat kerja/tempat kuliah Anda,

( e) gereja Anda/kelompok Kristen Anda, dan

( f) kehidupan Anda.

 

7.   Bayangkan diri Anda berbicara dengan

 

( a) seorang Marxis dan

( b) seorang eksistensialis.

 

Bagaimana akan Anda sampaikan Injil Kristus kepada mereka masing-masing?

Kepustakaan (12)

Berkouwer, G. C.

1971 Sin (Eerdmans).

Luther, M.

1957 The Bondage of the Will (James Clarke).

Murray, J.

1959 The Imptutation of Adam’s Sin (Eerdmans).

Philip, J.

1972 The Christian Warfare and Amour (Victory Press).

Venning, R.

1965 The Plague of Plagues (Banner of Truth).

Perdebatan akhir-akhir ini

Bockmuehl, K.

1980 The Challenge of Marxism (IVP).

Carey, G.

1977 I Believe in Man (Hodder).

Cook, D.

1980 Blind Alley Beliefs (Pickering & Inglis).

Guinness, O.

1973 The Dust of Death (IVP).

Jeeves, M. A.

1976 Psychology and Christianity, the View Both Ways (IVP).

Kaye, B. & Wenham, G.

1978 Law, Morality and the Bible (IVP).

Kitwood, T. M.

1970 What is Human? (IVP).

Lloyd-Jones, D. M.

1959 Conversions, Psychological and Spiritual (IVP).

1979 Karl Marx (Lion).

MacKay, D. M.

1979 Human Science and Human Dignity (Hodder).

Stott, J. R. W.

1972 Your Mind Matters (IVP).

 

 

 

 

13. MANUSIA DALAM ANUGERAH

 

Tak ada sesuatu dalam manusia yang dapat memperpanjang sejarahnya melampaui penciptaan dan kejatuhan. Manusia yang ”mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa” (#/TB Ef 2:1*) tidak mampu memperpanjang riwayat hidupnya, ataupun menyebabkan kebangkitannya sendiri.

13.1           Yesus Kristus: Allah dan manusia

 

Riwayat manusia diperpanjang melampaui kejatuhan, semata-mata karena mujizat anugerah Allah. Dengan penjelmaan-Nya, Allah mempersatukan keberadaan manusia dengan diri-Nya dan bergerak dalam waktu dan ruang sebagai mitra manusiawi.

Paulus menggambarkan Yesus sebagai Adam terakhir atau yang kedua (#/TB Rom 5:12; 1Kor 15:22,47-48*),

yang memulihkan situasi Eden; sekali lagi terdapat seseorang yang berdiri di hadapan Allah dalam kemanusiaan penuh tanpa dosa, manusia sejati sebagaimana yang dimaksudkan.

Meskipun Alkitab tidak menyajikan biografi Yesus yang lengkap, namun cukup banyak bahan terdapat dalam kitab-kitab Injil untuk menunjukkan kesempurnaan kemanusiaan Yesus sebagaimana yang terungkap dalam lima aspek antropologi yang tercatat dalam dua pasal terdahulu.

a.   Dalam hubungan dengan Allah

 

Yesus selalu hidup dalam hubungan erat dengan Bapa yang menyatakan kekuasaan

atas tatanan yang tercipta yang tadinya diberikan kepada umat manusia

(#/TB Mat 13:3-9; Luk 5:4; 15:3-6*). Inilah seorang manusia yang benar-benar menyadari suatu kehidupan yang memuliakan Allah (#/TB Yoh 12:28; 17:4*).  Jelas, beberapa unsur keberadaan Yesus tidak terdapat dalam diri Adam, bahkan sebelum kejatuhan, karena Yesus secara bersamaan merupakan manusia dan juga Allah. Namun demikian, karena penjelmaan-Nya yang nyata, Ia benar-benar berada pada kedudukan Adam sehingga menjadi manusia normatif dan dengan demikian merupakan manusia yang berhubungan dengan Allah.

b.   Dalam hubungan dengan sesama-Nya

 

Yesus dengan sempurna mewujudkan perintah untuk mengasihi sesama manusia

(#/TB Mat 9:36; Yoh 13:1,34; 15:12-16*). Sebagai “manusia bagi orang lain”,

Ia tidak menahan diri-Nya untuk diri sendiri tetapi memberikan diri-Nya

sepenuhnya bagi sesama-Nya manusia. Tidak ada contoh yang lebih jelas lagi dari

perwujudan pengabdian diri-Nya daripada kematian-Nya (#/TB Mr 10:45; Rom 5:8;  Gal 2:20; 1Yoh 3:16*).

c.   Dalam hubungan dengan diri-Nya

 

Sedikit sekali disinggung tentang kehidupan batin Tuhan Yesus, tetapi sudah

cukup untuk memperlihatkan bahwa Ia tidak mengalami ketegangan batin,

kebingungan dan konflik yang disebabkan oleh kejatuhan dan rasa bersalah

(#/TB Mat 22:46; Mr 3:4; Yoh 19:8-11*). Ia tampil sebagai manusia secara

utuh dalam kesadaran akan diri-Nya, yakni dalam hubungannya dengan sang Bapa,

dan komitmen sepenuhnya untuk menggenapkan kehendak Bapa-Nya yaitu membangun

kerajaan Allah. Inilah contoh seorang manusia yang menyadari sepenuhnya potensinya di hadapan Allah (#/TB Mat 11:28-29*).

d.   Dalam hubungan dengan alam semesta

 

Walaupun tidak banyak buktinya, jelaslah Yesus memperlihatkan kepekaan terhadap

tatanan dunia di sekitar-Nya dengan mengakuinya sebagai ciptaan Allah (#/TB Mat 6:26-30*).Yesus juga menyatakan kekuasaan atas tatanan yang tercipta yang tadinya diberikan kepada umat manusia (#/TB Mat 13:3-9; Luk 5:4; 15:3-6*).

e.   Dalam hubungan dengan waktu

 

Yesus bebas dari dosa yang mengakibatkan kematian. Ia menguasai kematian

(#/TB Luk 7:11-16; 8:49-56; Yoh 11:1-57*), tetapi pada akhirnya Ia tunduk

padanya, bukan karena kematian mempunyai semacam tuntutan terhadap diri-Nya,

tetapi dengan menggelutinya Ia mengatasinya untuk kita manusia. Bahwa Ia tetap

berkuasa dan tidak terkalahkan, pada akhirnya ditunjukkan dengan tegas melalui

kebangkitan-Nya yang megah (#/TB Mat 28:1-20*; Yoh 5:21-29:20;  #/TB 2Tim 1:10; Ibr 2:14*).

13.2           Orang Kristen: ciptaan baru dalam Kristus **1**

 

**1**.Tema-tema ini dibahas secara lebih lengkap di bawah ini: ps 20-21.

 

Segi terakhir dari antropologi Alkitab ini paling bagus diuraikan dengan dua

istilah, kelahiran kembali dan pengudusan. Kelahiran kembali adalah pekerjaan

Roh Kudus yang memampukan orang-orang berdosa untuk berbalik dan percaya kepada

Yesus Kristus sebagai penebus mereka, dan bangkit dari kematian rohani menuju kehidupan yang baru (bnd. #/TB Yoh 1:13; 3:1-8; 1Pet 1:3,23; Tit 3:5*), yang bergabung dengan Kristus dalam kematian, kebangkitan dan kehidupan yang ditinggikan (#/TB Rom 6:1-11*; #/TB Ef 2:5,6*). Dari perspektif ini, keajaiban dan pentingnya kemanusiaan Kristus yang sejati dapat dimengerti; karena orang percaya, melalui kesatuan dengan Kristus, menikmati buah-buah dari kemanusiaan yang sempurna pada setiap tingkat keberadaan.

Dari segi Allah, kesatuan dengan Kristus ini dicapai pada saat kelahiran kembali; dari segi manusia, kesatuan itu mulai pada saat adanya pertobatan secara sadar dari dosa dan beriman kepada Kristus. Hal ini diikuti oleh suatu periode di mana keuntungan dari iman dengan Kristus semakin disadari, yaitu suatu proses yang biasa disebut pengudusan. Jadi manusia baru, karena anugerah, adalah manusia yang telah dilahirkan kembali dan sekarang dalam proses untuk dikuduskan; hal ini mempengaruhi setiap bagian keberadaan kita.

a.   Dalam hubungan dengan Allah

 

Penghalang dosa dihilangkan melalui iman dalam Kristus. Kita didamaikan dengan Allah dan murka-Nya disingkirkan (#/TB Rom 5:9-10*); kita dibenarkan di hadapan Allah, dan hukum-Nya dipenuhi secara menyeluruh oleh Kristus (#/TB Rom 3:24-25; Gal 3:13*); kita ditebus dari perbudakan dosa dan kejahatan (#/TB Ef 1:7*); kita diterangi oleh kebenaran ilahi oleh Roh Kudus (#/TB 1Kor 2:10-11*). Orang-orang Kristen diangkat menjadi anggota keluarga Allah dan menikmati hidup bersama Allah dan secara spontan dapat memanggil Dia sebagai Bapa surgawi (#/TB Luk 11:2*), dengan menggunakan kata abba sebagaimana digunakan oleh Yesus (#/TB Rom 8:15*).

b.   Dalam hubungan dengan sesama kita

 

Bersatu dengan Kristus berarti bersatu dengan umat-Nya, yaitu tubuh Kristus

(#/TB Rom 12:4-5; 1Kor 12:13*). Pada waktu Yesus sang Mesias menggenapi

misi-Nya dalam kasih kebersamaan dengan umat mesianik yang diwakili oleh murid-murid-Nya,

kemanusiaan yang Ia berikan kepada kita adalah sesama manusia yang makin meluas dan mencakup mereka yang betul-betul berada ”di dalam Kristus” bersama kita.  Orang Kristen, sama seperti Yesus, harus menjadi orang yang hidup bagi orang lain sehingga keberadaannya yang sejati diungkapkan dalam pelayanan bagi sesamanya.

c.   Dalam hubungan dengan diri kita sendiri

 

Selanjutnya kita semakin sadar mengenai diri kita sendiri dalam hubungan dengan Allah dan semakin bebas dari pandangan yang salah mengenai diri kita sendiri.

Dengan kesadaran dan kemanusiaan baru, kita melihat diri kita sebagaimana

sebenarnya dan kita menemukan kebebasan baru dari cara kita berpikir dalam

hubungan dengan tujuan Allah secara keseluruhan. Dengan hal ini rasa menghargai

diri juga akan bertambah, karena walaupun perbuatan kita yang jahat terungkap,

namun kita mengakui bahwa kita adalah makhluk dan anak-anak Allah, dan

merupakan sasaran kasih-Nya yang berlimpah. Kita juga menyadari adanya kemampuan

kita sejak lahir dan karunia-karunia Roh. Bila hal-hal ini dipersembahkan kepada Allah dan secara aktif digunakan, maka akan ada perkembangan yang semakin bertambah mengenai kepuasan diri yang sejati.

d.   Dalam hubungan dengan alam semesta

 

Kita mempunyai perasaan hormat dan tanggung jawab terhadap dunia yang tercipta dengan bermacam-macam spesiesnya. Jelaslah bahwa tebalnya perasaan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, pendidikan dan watak, tetapi setiap orang Kristen sedikit atau banyak akan dibina mengenai suatu hubungan seperti yang dikenal Adam di Taman Eden sebagai tuan dan penatalayan alam.

e.   Dalam hubungan dengan waktu

 

Kelahiran kembali mengantar kita melalui krisis yang oleh Alkitab dilukiskan

sebagai hal dibuat mitra Kristus dalam kematian-Nya di kayu salib (#/TB Gal 2:20; Kol 2:12*).Oleh sebab itu, manusia baru sudah melampaui kematian. Walaupun dalam arti fisik kita masih akan mengalami kebinasaan badani, namun kengerian terhadap kematian serta penghakiman sebagai akibat dosa sudah ditinggalkan untuk selama-lamanya.  Kebenaran ini tercermin dalam keterangan mengenai ”kehidupan kekal” sebagai pemberian Allah (#/TB Yoh 3:16,36* dsb.). Ini tidak hanya berarti hidup di surga, tetapi suatu hidup baru yang dimulai sekarang dan berlangsung terus-menerus sampai kekal.

tBagi orang Kristen, waktu tidak lagi merupakan musuh yang bergerak terus tak terkendalikan, yang mendorong orang setiap jam lebih mendekati akhir hidup yang tak terelakkan. Orang Kristen mempunyai waktu, bukan untuk disia-siakan tetapi untuk digunakan dalam pelayanan menurut pengarahan Kristus. Dimensi akhir keberadaan baru ini mengantar kita melampaui batas kehidupan fana menuju bagian terakhir antropologi Alkitab, yaitu umat manusia dalam kemuliaan.  aran—Bab 13. Manusia dalam Anugerah [Indeks 01005]

13.3           Manusia yang akan dimuliakan

 

Pokok ini akan dibahas dnegan lebih lengkap di bawah (ps 34). Di sini kita hanya

mencatat bahwa keadaan manusia yang dimuliakan adalah penggenapan pembaruan dan

pemulihan umat Allah yang oleh anugerah sudah dimulai pada zaman ini. Umat manusia akan bangkit sekali lagi untuk mencapai ketinggian dari mana ia jatuh.  Alkitab menyebut ini sebagai pemulihan menjadi serupa dengan gambaran Kristus (#/TB Rom 8:29*; #/TB 1Kor 15:49; Kol 3:10*). Dengan demikian, kita yang telah dibuat serupa dengan gambar Allah akan tampil di hadapan-Nya dengan gambar itu juga pada zaman baru yang akan mulai pada kedatangan Kristus kembali (#/TB 2Pet 3:13; Wahy 22:1-5*).

Begitulah kelima aspek antropologi, yang dibicarakan dalam bagian ini sebagai kerangka pembahasan, akan disempurnakan. Dalam kemuliaan, manusia akan berhubungan secara sempurna dengan Allah (#/TB Wahy 21:3; 22:4), dengan sesamanya (#/TB Ef 4:13; Wahy 21:10*), dengan dirinya (#/TB Wahy 21:4), dengan lingkungannya (#/TB Rom 8:21-23*; #/TB Wahy 22:1) dan dengan waktu (#/TB 1Pet 1:3*; Wahy 21:40).

Bahan Alkitab

Yesus Kristus: Allah dan manusia:

#/TB Matius 1:23; 9:36; 10:27; 11:28-29; Lukas 5:4-5; 9:35; 12:24-28*;

#/TB Yohanes 1:14; 4:34; 5:30; 6:38; 10:11,18; 15:12-16; 1Kor 15:47-48*;

#/TB Efesus 5:25; 1Timotius 3:16; Ibrani 2:14; 10:7*.

Orang Kristen: ciptaan baru:

#/TB Yohanes 1:12; 3:1-8; Roma 6:1-2; 8:15; 1Korintus 13:1-13*;

#/TB Galatia 2:20; 5:22; Kolose 3:1-2; 1Tesalonika 4:9; 2Timotius 2:11*;

#/TB 1Petrus 1:3-5*.

Manusia dalam kemuliaan:

#/TB Yesaya 2:1-4; 11:1-9*;

#/TB Matius 22:30; Yohanes 11:24; Roma 8:18-30; 1Korintus 15:35-57*;

#/TB 2Korintus 5:1-10; Filipi 3:20; 1Yohanes 3:1-2; Wahyu 21:1-22:21*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Menurut Anda, apa yang dimaksudkan dengan menyebut Kristus sebagai “Adam kedua”?  Selidikilah dampak-dampak julukan ini.

2.   Sebutkanlah bukti-bukti Alkitab yang menopang keyakinan Kristen bahwa Yesus adalah manusia sempurna atau manusia normatif.

3.   Pada titik-titik mana kemanusiaan Kristus yang sempurna paling tegas menantang pengalaman serta sikap saat ini

 

( a) di gereja Anda/kelompok Kristen Anda dan

( b) dalam hidup Anda sendiri?

 

4.   Menurut Anda, dengan cara bagaimana kemuliaan manusia pada masa yang akan datang seharusnya mempengaruhi sikap kita sekarang?

5.   Selidikilah dampak ajaran Alkitab tentang umat manusia bagi

 

( a) sikap Kristen sosial dan politik,

( b) diskriminasi rasial,

( c) perkembangan ekonomi dunia ketiga,

( d) gerakan pembebasan wanita,

( e) pengguguran, eutanasia dan transplantasi organ-organ tubuh, dan

( f) kampanye untuk memelihara lingkungan dan melindungi spesies

yang terancam punah.

 

Kepustakaan (13)

Kuyper, A.

1931 Calvinism (Eerdmans).

Lewis, C. S.

1955 Mere Christianity (Fontana).

Lloyd-Jones, D. M.

1974a Life in the Spirit (Banner of Truth).

1974b Romans 8:5-17—The Sons of God (Banner of Truth).  1975  Roma 8:17-39—The Final Perseverance of the Saints ( Banner of Truth).

Macaulay, R. & Barrs, J.

1979 Christianity with a Human Face (IVP).

Schaeffer, F. A.

1970 The Church at the End of the Twentieth Century (Norfolk Press).

Stott, J. R. W.

1966 Men Made New (IVP).

Triton, A. N.

1970 Whose World (IVP).

 

14. PENERAPAN

 

14.1           Watak manusia

 

a.   Ketergantungan

 

Penciptaan menjelaskan ketergantungan manusia sepenuhnya pada Allah. Seluruh keberadaan kita dan segala yang kita miliki datang dari Dia, setiap nafas kita memang sesungguhnya merupakan anugerah-Nya. Oleh sebab itu, tanggapan kita yang pantas adalah kerendahan hati di hadapan-Nya, baik secara nyata dalam ibadah maupun secara tidak langsung dalam seluruh semangat kehidupan.

b.   Penegasan

 

Karena manusia dan dunia adalah ciptaan Allah, maka orang Kristen menerima dan menegaskan kenyataan yang tercipta dalam segala bentuknya.

Pertama sekali, orang Kristen menerima dan menegaskan diri sendiri. Kadang-kadang

dalam Alkitab Allah memperlihatkan semacam ”ketidaksabaran” kepada orang yang

tidak melakukan hal itu (bnd. #/TB Kel 4:10-14; 1Sam 15:17; Yer 1:6*). Allah

menegaskan bahwa kita adalah makhluk-Nya dan dalam Kristus telah menjadi anak-anak-Nya

sendiri, dan Dia mengajak kita untuk mengiakan penegasan itu. Begitu pula Yesus melihat bahwa murid-murid-Nya mempunyai potensi untuk masa mendatang (#/TB Mat 4:19; 16:17; Kis 9:5,15*).

Penegasan diri ini meliputi ciri-ciri khas dan unik dari kepribadian, ”aku” yang hakiki, dengan makna tersendiri yang tak dapat diganti dalam hubungan dengan Allah dan rencana-Nya (bnd. #/TB 1Kor 12:14-26*). Hal ini juga menyangkut tubuh yang adalah pemberian Allah dan oleh karena itu tidak boleh dianggap hina (#/TB 1Kor 6:13; Ef 5:29; 1Tim 4:8*). Pekerjaan dan ketegangan yang berlebihan, mengabaikan kebersihan atau olah raga, mengambil resiko fisik yang tak perlu, kesemuanya ini menyangkal kekudusan tubuh yang diciptakan Allah untuk menjadi bait bagi Roh-Nya. Hal ini juga meliputi seksualitas kita serta keinginan dan dorongannya. Meskipun kewaspadaan dan disiplin diri senantiasa perlu (#/TB Mr 9:43*; #/TB 1Kor 7:1-6*), namun sifatnya yang pokok sebagai pemberian Tuhan dan kebaikan dari naluri seks itu harus tetap dipertahankan. Menurut Alkitab ungkapan sepenuhnya dari naluri itu ditemukan dalam perkawinan yang bersifat monogami antara pribadi-pribadi berlainan kelamin. Namun ungkapan itu tidak terbuka bagi semua orang karena ada yang terpanggil untuk tidak kawin dan kepada mereka dijanjikan anugerah untuk disiplin dan kesempatan khusus yang tak terpisahkan dari panggilan itu (#/TB Mat 19:11; 1Kor 7:7,32-35*).

Kedua, orang Kristen menerima dan menegaskan sifat sosialnya (Kej 2:18; 22:39).

Ini berarti menerima kehidupan berkeluarga dari Allah dan mengakui sepenuhnya

tanggungjawabnya. Mereka yang mengabaikan tugas ini ditegur tajam oleh Alkitab

(#/TB 1Tim 5:8*), walaupun menjadi warga kerajaan surga tetap merupakan hal

yang paling utama (#/TB Luk 14:25*). Tanggung jawab ini berlaku bagi laki-

laki dan perempuan, orang tua serta kedua mitra perkawinan (#/TB Yoh 19:26; Ef 5:21-6:4*),

seperti sering dilukiskan dalam biografi Alkitab. Kehidupan bermasyarakat harus juga dilihat sebagai pemberian Allah. Kehidupan sebagai pertapa menolak keberadaan yang diciptakan dan mengurangi kesempatan untuk mengasihi orang lain; warga negara yang bertanggung jawab serta padanannya dalam lingkungan universitas, akademi, pabrik, kantor dan rukun tetangga mewujud-nyatakan secara praktis kepercayaan akan ajaran Alkitab ini. Kehidupan sosial harus juga dinyatakan dalam bidang-bidang kebudayaan lain, seperti kesusastraan, musik serta bentuk-bentuk seni lain, olah raga dan sebagainya. Memang kita harus memperhitungkan selera pribadi dan harus tahu bertindak dengan bijaksana kalau kita menjumpai pengaruh kejatuhan, namun prinsip alkitabiahnya tetap berlaku ”semua yang diciptakan Allah itu baik...jika diterima dengan ucapan syukur ... Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (#/TB 1Tim 4:4; 6:17*).

Kemanusiaan yang dinyatakan Yesus dan dikuduskan-Nya membenarkan hal ini. Ia

menjadi ”sahabat” bagi koruptor dan wanita tuna susila untuk menolong mereka dan

Dia sering disambut di pertemuan-pertemuan sosial (#/TB Luk 15:1-2; 5:27-32; 7:36-50; Yoh 2:1-11*).

Dalam ajaran-Nya kadang-kadang ada nada humor yang tulen (#/TB Mat 23:24*;

#/TB Luk 7:31-34*). Ada dimensi kemanusiaan yang hangat, terbuka dan riang yang wajar untuk kehidupan Kristen di dunia dan tak berlawanan dengan kepekaan mendalam terhadap penderitaan atau kebejatan moral dalam hati manusia.

Penciptaan sesuai dengan gambar Allah juga merupakan alasan untuk mengasihi

orang lain yang diungkapkan dengan perasaan terlibat dan keprihatinan sungguh-sungguh

terhadap kesejahteraan pada setiap tingkat. Ketiga, ajaran tentang penciptaan juga membuat kita menerima dan menegaskan dunia alam sebagai pemberian Allah, menerima mandat Allah untuk mengadakan penatalayanan yang bertanggungjawab dan melawan segala bentuk pencemaran lingkungan yang tak perlu serta perusakan (#/TB Kej 1:26; 2:20*).

c.   Konfrontasi

 

Fakta bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu berarti bahwa tidak ada satu pun bagian kehidupan (bahkan dari kehidupan seluruh kosmos) yang berada di luar perhatian-Nya atau asing di hadirat-Nya. Karena itu, orang Kristen harus membawa sikap sungguh-sungguh dan tanggung jawab yang wajar dalam segala aspek kehidupannya, karena Allahlah yang selalu dihadapinya pada setiap saat di tempat pekerjaan, di rumah, dalam masyarakat, gereja, aktivitas waktu luang dan lain-lain.

d.   Tujuan

 

Segala sesuatu diciptakan untuk tujuan tertentu. Oleh sebab itu, manusia juga dijadikan sebagai makhluk bertujuan, yang dibentuk untuk mencari kemuliaan Allah di dalam segala hal, kebaikan bagi orang lain dan pewujudnyataan diri di bawah bimbingan Allah.

14.2           Manusia berdosa

 

a.       Pandangan kita mengenai dunia (masyarakat)

 

Fakta bahwa semua orang berdosa menghindarkan orang Kristen dari rasa optimisme yang tidak realistis. Kita harus mengakui keterbatasan segala usaha untuk mencapai perbaikan moral, yang hanya mengarah pada kesanggupan manusia untuk mengangkat diri menuju pengendalian diri dan persaudaraan. Tidak mengherankan kalau rencana perbaikan sosial gagal, kalau ”orang-orang besar” ternyata ketahuan juga berbuat dosa; bahkan di lingkungan Kristen pun, kita harus menjaga agar jangan terlalu mengangkat-angkat pemimpin sebagai orang ideal, begitu pula dengan hamba-hamba Tuhan yang lain yang teramat diandalkan.

Kejatuhan ke dalam dosa juga berarti dunia sudah menjadi wilayah kegiatan kuasa kegelapan. Kendatipun kuasa Iblis dipatahkan oleh kemenangan Kristus, namun dia tetap mempertahankan cengkeramannya di tempat-tempat di mana Injil tidak diterima. Jadi kejatuhan telah mengakibatkan dunia ini menjadi tempat percekcokan dan peperangan bagi mereka yang mengikuti Yesus Kristus; dan oleh sebab itu, penegasan orang Kristen terhadap dunia, seperti tersebut di atas, harus dilakukan dengan mata terbuka dan hati yang bijaksana. Dunia bukan tempat yang netral, namun itu pun jangan dijadikan sebagai alasan untuk lari dari dunia. Orang Kristen yang mengingat kejatuhan akan mempelajari Alkitab untuk mengenal musuh rohaninya, tentang bagaimana Iblis menyatakan diri di dunia, jenis serangan yang dilancarkannya terhadap anak-anak Allah serta karya-Nya dan bagaimana ia dapat dikalahkan oleh orang Kristen yang menggunakan senjata-senjata Allah dalam perang rohani ini (#/TB 2Kor 10:3-5; Ef 6:10-18*).

Dengan mengakui kejatuhan dunia dan kepelikan manusia sezamannya, kita harus menyampaikan kepada dunia satu-satunya berita yang dapat menyelamatkan dan membebaskannya, yakni kabar baik tentang Yesus Kristus. Motivasi untuk menginjili lebih daripada belas kasihan saja, tetapi unsur ini juga terdapat di dalamnya (#/TB Mat 9:36*). Karena mengetahui bahwa pada akhirnya baik pria maupun wanita tidak berdaya secara moral dan spiritual, maka kita mohon kepada Allah dalam rahmat dan anugerah-Nya untuk menyadarkan generasi ini akan kebutuhannya, supaya dengan berpaling kepada-Nya mereka dapat mengalami kasih sayang-Nya serta keselamatan yang kekal.

b.       Pandangan kita mengenai diri kita

 

Ajaran tentang kejatuhan manusia seharusnya membangkitkan kerendahan hati dan penyesalan atas dosa bila kita melihat diri sebagai orang yang dalam ketololan dan pemberontakannya terhadap Allah tidak dapat diselamatkan dengan jalan lain kecuali melalui salib Kristus. Meskipun kesalahan kita diampuni di hadapan Allah, namun kita tetap berwatak jatuh dalam dosa. Semua dosa adalah perlawanan terhadap Allah dan rencana-Nya bagi kita tidak dapat dipenuhi sebelum seluruh dosa dihapuskan dari hidup kita. Jadi, bagi setiap orang Kristen ada tugas pembaruan moral yang harus dilakukan, suatu kursus sepanjang hidup tentang pembangunan kembali watak kita. Karena itu, kita terpanggil untuk mawas diri dalam terang firman Allah untuk mengenal dosa-dosa, agar kita dapat bertobat dan meninggalkannya. Dalam hal ini, kita harus realistis secara praktis dan alkitabiah dan mengakui bahwa dosa telah berakar dalam diri kita dan bahwa pekerjaan pembaruan yang dibutuhkan sangat luas, sehingga kita pun jangan cepat putus asa kalau pekerjaan anugerah dalam diri kita itu kelihatan lambat dan terputus-putus.

Dalam proses pembaruan ini, kita dapat mengharapkan bahwa Allah akan menggunakan

keadaan kehidupan kita, bahkan peristiwa yang mungkin terjadi yang membawa penderitaan atau cobaan seperti kekecewaan, frustrasi, penyakit fisik atau emosional, dan lain-lain. Itu tidak berarti bahwa kita tidak harus mencari pertolongan, malahan sebaliknya. Akan tetapi, kalau peristiwa itu datang tanpa diharapkan, atau bahkan sebagai hasil kebodohan atau ketidaktaatan, seringkali kita dapat melihat tangan Allah yang menertibkan kita ”untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusanNya” (#/TB Ibr 12:10*).

Semua ini hanya merupakan segi negatif dari pekerjaan Allah di dalam kita. Ada juga segi positifnya, yaitu mengalami berkat kehidupan Kristen karena Roh Kudus dan perkembangan buah Roh dalam diri kita (#/TB Gal 5:22*).

14.3           Manusia dalam anugerah

 

a.   Ibadah

 

Kisah umat manusia tidak akan berkelanjutan kalau manusia dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Adanya pria dan wanita yang hidup di dalam anugerah hanya terjadi karena Allah yang hidup memiliki anugerah. Pada waktu menyadari itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali memuji dan beribadah kepada-Nya.

b.   Pengharapan

 

Walaupun terdapat halangan terhadap pertumbuhan sebagai orang Kristen, serta serangan-serangan si jahat dan masa-masa kekeringan, namun orang yang menerima anugerah tidak putus asa sama sekali karena sadar bahwa ”Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya” (#/TB Fili 1:6*). Orang itu berkali-kali berpaling kepada Kristus dan melihat di dalam Dia tujuan mereka, yaitu seseorang yang sudah mencapai hubungan yang sempurna dengan Allah, sesamanya, dirinya, dunia dan waktu. Bila kita memandang kepada Kristus dengan penuh harapan, maka kita akan belajar melihat perintah-perintah Alkitab sebagai janji-janji gemilang, sehingga apa yang diperintahkan-Nya kepada kita akan menjadi kenyataan. Dengan kata lain, perintah-perintah itu merupakan janji yang akan berkembang.

Pengharapan orang Kristen juga diungkapkan dalam sikap terhadap orang bukan Kristen; sebab jika Allah telah mengubah kehidupan kita oleh anugerah-Nya yang berdaulat, maka ada pengharapan bagi setiap orang.

c.   Persekutuan

 

Karya anugerah Allah berlangsung terus dalam persekutuan umat Allah yang hidup.  Dalam persekutuan itu keterbatasan dan kelemahan masing-masing individu dilengkapi dan umat Allah bertumbuh bersama menuju kedewasaan di dalam Kristus (#/TB Ef 4:12-16*). Perhatian terhadap pembaruan dan pertumbuhan di dalam diri kita akan diungkapkan secara bersama dalam komitmen yang semakin mendalam kepada persekutuan jemaat setempat.

d.   Kemuliaan

 

Di sini pengharapan Kristen terungkap sepenuhnya. Pada suatu hari umat manusia akan diperbarui sepenuhnya dan akan berdiri di hadapan Allah sebagaimana Adam pernah berdiri sebelum kejatuhan. Banyak orang Kristen telah diracuni pikirannya oleh materialisme yang semakin merajalela, sehingga praktis mengabaikan prospek surga, sampai betul-betul dihadapkan kepada kematian dan dunia sesudah mati.  Para penulis Perjanjian Baru tidak dihambat demikian, begitu pula orang Kristen pada zaman-zaman terdahulu. Calvin misalnya menganggap bahwa hal merenungkan hidup masa depan adalah ciri utama orang Kristen. Hanya kalau kita sengaja menerima perspektif abadi ini, maka kita dapat melihat keberadaan manusia di dunia ini dalam proporsi sebenarnya dan melihat kematian sebagai pintu gerbang yang akan kita lalui menuju hidup yang kekal. Selanjutnya, sifat moral yang sempurna yang akan jadi milik kita di dunia yang akan datang, akan merupakan rangsangan penting untuk maju terus dalam pekerjaan pengudusan.

Perspektif ini akan memacu puji-pujian yang baru, sehingga kita memuliakan Allah karena segala yang telah dicapai-Nya dalam mengangkat umat manusia yang jatuh dari kedalaman kerusakannya dan menempatkannya di hadapan diri-Nya serta mengucapkan kata-kata yang pertama-tama diucapkan-Nya mengenai Adam, yakni “sungguh amat baik” (#/TB Kej 1:31; Yes 42:1; Mat 17:5; Luk 3:22; Wahy 21:1-4*).