SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

 

F.     GEREJA

 

27. IDENTITAS GEREJA

 

Agama dalam Alkitab selalu menyangkut manusia secara bersama. Sebelum Adam

jatuh, disebutkan bahwa dia tidak lengkap bila tidak ada seorang penolong (#/TB Kej 2:18*).Sifat kebersamaan dari tujuan Allah dalam penciptaan diulangi dalam tujuan-Nya dalam penyelamatan. Perjanjian dengan Nuh (#/TB Kej 9:8) dan Abraham (#/TB Kej 12:1-3; 15:1-5; 28:14*) jelas bukan hanya meliputi orang perorangan saja, tetapi juga keturunan mereka sampai pada seluruh bangsa di bumi.

Dalam Perjanjian Lama diceritakan tentang suatu bangsa dan perlakuan Allah

terhadap mereka. Memang ada tokoh-tokoh yang menonjol, dan hubungan tiap orang

dengan Allah bersifat mendasar (#/TB Ul 24:16*; #/TB Mazm 23:1; 51:12-14; Yeh 18:1-32*),

tetapi hubungan itu berkembang dalam kerangka persamaan. Persekutuan orang percaya merupakan tanah tempat bunga iman pribadi bertumbuh dan dipupuk. Harapan Perjanjian Lama akan Mesias mempunyai dimensi persamaan, tokoh Anak Manusia dan hamba yang menderita dapat dikatakan sebagai tokoh pribadi dan tokoh korporat (#/TB Dan 7:13-14,27; Yes 42:1; 44:1*). Dalam pengertian tentang penggenapan dalam Perjanjian Baru, kita lihat bahwa ayat-ayat ini menunjuk pada Kristus.  Tetapi Mesias tanpa umat mesianik tidaklah mungkin.

Sifat ini terjadi dalam Perjanjian Baru juga. Yesus datang untuk menyelamatkan umat-Nya (#/TB Mat 1:21*). Ia mengumpulkan dua belas murid yang jumlahnya sama dengan jumlah suku Israel dan jelas Ia bermaksud supaya mereka menjadi titik dasar dari Israel Baru, umat Allah yang baru yang akan terikat pada Allah dalam perjanjian yang baru melalui misi-Nya sebagai penebus. Yesus langsung berbicara tentang “gereja” yang akan timbul sesudah puncak misi-Nya tercapai (#/TB Mat 16:18; 18:17*) dan penugasan-Nya yang terakhir kepada murid-murid-Nya membayangkan adanya persekutuan orang percaya yang bersaksi dan berkesinambungan (#/TB Mat 28:19-20*).

Peristiwa Pentakosta pada hakikatnya bersifat peristiwa yang dialami bersama-sama (#/TB Kis 2:1*). Dari situ pengalaman para rasul berkembang dalam pengalaman bersama-sama (#/TB Kis 2:44; 4:32-35; 5:12-16; 6:1-7*). Ketika Injil tersebar ke dunia bukan Yahudi, orang-orang Kristen baru dikumpulkan dalam gereja-gereja di pusat-pusat penduduk (#/TB Kis 11:26*; #/TB Kis 13:1; 14:23*).  Pengertian para rasul akan rencana Allah diungkapkan oleh Yakobus sebagai ”memilih suatu umat dari antara mereka [bangsa-bangsa lain] bagi namaNya” (#/TB Kis 15:14*).

Demikianlah, Alkitab tidak mengenal agama yang bersifat perorangan saja. Tak ada orang yang dapat diperdamaikan dengan Allah kalau ia tidak juga diperdamaikan dengan umat yang dimasukinya karena pengalaman anugerah Allah. Jadi soteriologi (ajaran tentang penyelamatan) terjalin sepenuhnya dengan eklesiologi (ajaran tentang gereja).

27.1           Kiasan-kiasan tentang gereja dalam Alkitab

 

a.   Umat Allah

 

Hubungan Allah dengan umat-Nya merupakan tema pokok Perjanjian Lama yang berulang kali diungkapkan dalam pernyataan ”Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umatKu” (#/TB Kel 6:7; 19:5; Im 26:12*; #/TB Yeh 36:28; Hos 2:23*).  Hubungan ini dimulai dengan perjanjian Allah dengan Nuh (#/TB Kej 6:18*) dan kemudian dengan Abraham dan keturunannya (#/TB Kej 12:1; 15:1- 19; 17:3-14*).  Perjanjian terakhir ini ditegaskan kembali pada tingkat nasional pada zaman Musa (#/TB Kel 6:6-7; 19:1-24:18*) dan zaman Daud (#/TB Mazm 89:4-5; 2Sam 7:12-17*).  Perjanjian di sini tidak berarti kontrak antara dua pihak yang membuat Allah berkewajiban terhadap umat-Nya; yang dimaksud adalah perjanjian anugerah, perjanjian dengan Allah sebagai pihak yang mengambil inisiatif dan yang menentukan. Ada jaminan kehadiran dan berkat Allah bagi Israel dalam konteks ketaatan kepada Dia.

Gagasan tentang umat Allah dilanjutkan dalam gereja Perjanjian Baru, ”Israel

milik Allah” (#/TB Gal 6:16*). Khususnya Petrus menggunakannya (#/TB 1Pet 2:9;

bnd. #/TB Tit 2:14*) dan Alkitab menutup dengan penegasan bersifat

kemenangan, “kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama

dengan mereka. Mereka akan menjadi umatNya” (#/TB Wahy 21:3*).

Perjanjian sebagai dasar hubungan tersebut dilanjutkan juga dalam Perjanjian Baru. Gereja mewarisi janji-janji kepada Israel berdasarkan perjanjian baru yang dibuat melalui pengurbanan Mesias, yaitu Yesus (#/TB Mat 26:23; Luk 22:20; Ibr 9:15; bnd. #/TB Yer 31:31*).

Sebagian dari sifat dasar ”umat Allah” terungkap dalam dua kata Perjanjian Lama yang menyebutkannya. Yang pertama, qahal, berarti orang- orang yang dikumpulkan oleh panggilan Allah (#/TB Kel 35:1; Bil 16:26*; #/TB Ul 9:10*); kata ini kemudian diterjemahkan dalam Perjanjian Lama bahasa Yunani sebagai ekklesia. Yang kedua, eda, berarti persekutuan agama nasional yang dimasuki orang karena kelahirannya (#/TB Kel 12:3*; #/TB Bil 16:9; 31:12*). Orang Kristen mula-mula mencontohkan diri pada gagasan dinamis dari qahal, umat Allah yang berkumpul dalam ketaatan pada panggilan Allah. Tetapi itu bukan intinya.

Panggilan Allah yang telah menciptakan umat Allah (#/TB Kej 12:1-2*;

#/TB Kel 3:1-2; Hos 11:1-2) terdengar lagi dalam Yesus (#/TB Mat 11:28-29*;

#/TB Mr 1:14-20; Yoh 7:37-38*). Sesudah kenaikan-Nya panggilan itu terus terdengar dalam panggilan Injil (#/TB Kis 2:39; 2Tes 2:14*). Ketika seseorang memberi tanggapan pada panggilan Allah dalam Injil, ia masuk ke dalam jemaat atau umat Allah atas dasar perjanjian.

Latar belakang Alkitab ini berarti bahwa jemaat terdiri dari mereka yang telah menjawab panggilan ilahi, karena itu bukan salah satu struktur gerejawi.  Struktur itu dapat digabungkan dengan gagasan ekklesia tetapi hal ini bukan merupakan hakikatnya.

Ekklesia dalam Perjanjian Baru digunakan baik untuk kelompok-kelompok setempat (#/TB Kis 8:1; Rom 16:16; 2Tes 1:4*) maupun untuk umat Allah di seluruh dunia sepanjang abad (#/TB Mat 16:18; 1Kor 15:9*; #/TB Ef 5:25-26*).

Hubungan kumpulan orang Kristen lokal dengan keseluruhan umat Allah sangat halus

dan tidak ada padanan insani, karena kelompok lokal itu bukan hanya bagian yang

relatif tidak lengkap dari kelompok besar yang lengkap. Gereja setempat yang

dikaitkan secara erat dengan gereja am merupakan gereja lengkap yang menerima

segala janji Allah. Kristus sebagai kepala dan Tuhan gereja hadir di tengah-

tengahnya, sama seperti Ia hadir dalam kelompok-kelompok yang lebih besar (#/TB Mat 18:20*).

b.   Tubuh Kristus

 

Kiasan ”tubuh Kristus” sangat disukai oleh Paulus dan dipakainya untuk

menekankan hal-hal yang dimiliki oleh umat Allah secara bersama-sama. Panggilan

yang mengumpulkan mereka adalah panggilan untuk percaya kepada Yesus Kristus

(”Firman” yang telah menjadi ”manusia”); karena itu mereka dipersatukan dalam

Dia dan menjadi anggota-anggota tubuh-Nya. Jelaslah bahwa konsep ini mempunyai

arti kiasan (bnd. #/TB Yoh 15:5*: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya”).Hubungan gereja dengan Kristus sungguh erat, yakni suatu bentuk kesatuan organik yang olehnya orang percaya dibuat menjadi satu dalam hidup bersama dengan Dia (#/TB Kol 3:4*).

Ada kalanya Kristus digambarkan sebagai keseluruhan tubuh, sedangkan orang percaya merupakan anggota-anggota “di dalam” Dia (#/TB Rom 15:5*;

#/TB 1Kor 10:16; 12:27*). Paulus juga menggunakan kiasan ini dengan cara yang agak berbeda, yakni Kristus sebagai kepala tubuh (#/TB Ef 5:23*;

#/TB Kol 1:18; 2:19*). Ini bukan perubahan mendasar, karena Kristus tetap sebagai Tuhan seluruh tubuh yang menjadi milik-Nya.

Kiasan ini juga menekankan hubungan timbal balik antara Kristus dan umat-Nya.

Kristus memerintah di sebelah kanan Allah bagi gereja (#/TB Ef 1:22-23*).  Keberadaan-Nya sebagai kepala berarti bahwa hidup dan pemeliharaan datang dari Dia; umat-Nya hidup dari Dia, melalui Dia dan bagi Dia.

c.   Mempelai perempuan Kristus

 

Kiasan ini berakar dalam Perjanjian Lama: Israel disebut mempelai perempuan

Allah (#/TB Yes 54:5-8; 62:5; Yer 2:2*). Sayang Israel tidak setia (#/TB Yer 3:1-25; Yeh 16:1-63*).Yesus memakai kiasan yang sama dengan menyebut diri-Nya mempelai laki-laki yang kehadiran-Nya di antara tamu-tamu pesta pernikahan berarti berpuasa tidak pantas (#/TB Mr 2:18-20*). Kristus mewujudkan kasih Allah sebagai suami bagi gereja dengan ungkapannya yang paling mulia yakni pengurbanan diri-Nya bagi gereja, agar gereja dapat dipersembahkan kepada mempelai laki-laki surgawi ”dengan cemerlang tanpa cacat atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tak bercela” (#/TB Ef 5:27*). Demikianlah Yohanes melihat tujuan gereja pada masa mendatang: “hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantinNya telah siap sedia”. Klimaks nubuatnya menyingkapkan “kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan unutk suaminya” (#/TB Wahy 19:7; 21:2*).

Kiasan ini menggarisbawahi hal bahwa hubungan Allah dengan umat-Nya adalah berupa kasih total. Ia telah memilih dan menebus umat-Nya karena keinginan-Nya terhadap dia, objek kasih abadi-Nya. Kiasan ini juga menghadapkan kita pada tanggung jawab beribadah dengan tulus ikhlas; dan menyadarkan kita bahwa kasih dan kesetiaan kepada hal-hal lain, apalagi ambisi dan minat pribadi, sangat gawat. Kasih Allah begitu mendalam sehingga tidak dapat mentoleransi kasih tandingan.

d.   Bangunan Allah

 

Kiasan ini berasal dari ayat-ayat Perjanjian Lama yang mengacu pada kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya (#/TB Kel 25:8; Mazm 132:13-14*; #/TB Yes 12:6*)

dalam kemah suci yang di dalamnya terdapat tabut perjanjian (#/TB Kel 25:8-22; 1Sam 4:21-22*),

dan kemudian di dalam Rumah Allah yang dibangun oleh Salomo (#/TB 2Taw 6:18; Mazm 139:7-12*).

Rumah Allah yang didirikan Salomo dihancurkan oleh tentara Babel pada tahun 587 sM. Rumah Allah kedua yang dibangun oleh orang yang kembali dari pembuangan (#/TB Ezr 3:1-13*) berdiri hampir 500 tahun dan kemudian diganti oleh Rumah Allah Herodes yang diselesaikan beberapa tahun sebelum kelahiran Yesus. Yesus mengisyaratkan bahwa Rumah itu tidak lagi merupakan tempat kediaman Allah dengan perkataan, ”Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (#/TB Yoh 2:19*). Yang dimaksudkan sebenarnya adalah tubuh-Nya sendiri sebagai tempat Allah berdiam (#/TB Yoh 2:21*). Ia juga menegaskan bahwa dalam mendekati Allah, pertimbangan penting bukanlah lokasi geografis tetapi kecenderungan hati dan watak orang (#/TB Yoh 4:32*). Kata-kata Yesus tentang Rumah Allah ternyata bersifat nubuat: Rumah itu dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70 M (bnd. #/TB Mr 13:1-2*).

Akan tetapi gagasan bahwa Allah diam di tengah-tengah umat-Nya tetap dipegang, sebab tubuh Yesus yang dikurbankan di atas kayu salib memungkinkan kedatangan Roh Kudus, yang membentuk gereja sebagai tubuh Kristus, Rumah Allah yang baru untuk kehadiran Allah. Kristus sendiri adalah dasar bangunan (#/TB 1Kor 3:11; Ef 2:20*) dan di atasnya dibangun umat Allah sebagai ”bait Allah” (#/TB 1Kor 3:16*), ”tempat kediaman Allah di dalam Roh” (#/TB Ef 2:22*). Penyelesaiannya kelak pada kedatangan Yesus kembali: ”kemah Allah ada di tengah- tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka” (#/TB Wahy 21:3*).

Harus ditekankan bahwa pengertian gereja sebagai bangunan dalam Perjanjian Baru

hanya kiasan saja dan bukan alasan untuk menyamakan gereja dengan gedung. Kiasan

ini dalam pengertian Perjanjian Baru justru bergeser menjauhi gagasan bangunan

batu. Kiasan itu menggarisbawahi sifat spiritual yang hakiki dari gereja sebagai

ciptaan Roh Kudus serta tempat Kristus yang sentral sebagai landasan dan batu

penjuru; dan menekankan kehidupan Kristen yang bersifat timbal balik secara mendasar.Dalam kehidupan ini pengalaman dan pelayanan bagi Allah terjadi dan diungkapkan melalui kesatuan antara yang satu dengan yang lain sebagai batu-batu hidup bagi Rumah Allah yang satu itu (#/TB 1Pet 2:5*).

e.   Kerajaan Allah

 

Gagasan dasar Alkitab ini akan dibahas dengan lebih lengkap di bawah ini (ps 32). Asalnya juga terdapat dalam Perjanjian Lama. Pemerintahan Allah ditolak dan tidak diindahkan oleh dunia. Bahkan dalam Israel sekalipun, meskipun Allah telah memilih mereka sebagai ”wilayah kekuasaanNya” (#/TB Mazm 114:2*), kehendak-Nya ditentang, dan hukum-Nya dilanggar dan diabaikan. Dari keadaan ini muncullah pengharapan para nabi akan hari yang akan datang ketika Allah akan menegaskan kekuasaan- Nya dan menegakkan pemerintahan-Nya sebagai Raja di atas manusia.  Yesus memberitakan tibanya masa tersebut. Melalui pelayanan-Nya yang mencapai puncaknya pada hari kebangkitan, pemerintahan Allah sudah ditegakkan, meskipun ungkapannya yang sepenuhnya menunggu kedatangan- Nya kembali dalam kemuliaan.  Sementara itu pemerintahan Allah ditegakkan di dalam mereka yang ”Ia telah melepaskan ... dari kuasa kegelapan dan memindahkan ... ke dalam kerajaan AnakNya yang kekasih” (#/TB Kol 1:13*) dan Kristus memerintah melalui Roh Kudus (#/TB Rom 14:17*).

Meskipun salah untuk menyamakan gereja dengan kerajaan Allah, namun gereja menjadi alat pemerintahan Allah kalau benar-benar menyerahkan diri kepada Kristus dengan mematuhi firman-Nya. Kiasan ini menyatakan sifat dasar gereja sebagai pelayan serta menunjukkan bahwa gereja perlu senantiasa meletakkan seluruh kehidupannya dengan segala aspeknya di bawah pemerintahan Allah melalui firman-Nya.

f.    Keluarga Allah

 

Dalam Perjanjian Lama sudah ada petunjuk ke arah kiasan ini ketika Israel disebut anak Allah (#/TB Hos 11:1*), yang pada gilirannya mengacu ke depan kepada Yesus (#/TB Mat 2:15*), Anak Allah dalam arti yang mendasar.

Dalam Perjanjian Baru, seluruh arti kiasan ini menjadi jelas. Dalam Kristus,

orang dilahirkan kembali ke dalam keluarga Allah; kita diangkat menjadi anak-anak-Nya

dan Roh Allah dikirim ke dalam hati agar orang dapat menyebut-Nya Bapa (#/TB Rom 8:14-17*).

Sebab itu gereja adalah keluarga atau rumah tangga Allah (#/TB Ef 2:19; 1Tim 3:15*).  Kiasan ini mengingatkan akan Allah yang berkenan kepada orang yang diangkat-Nya ke status yang mulia sebagai anak-anak- Nya. Kiasan ini juga menunjukkan sifat hubungan timbal balik orang sebagai anggota- anggota satu keluarga dan menantang kita untuk percaya bahwa Allah Bapa di surga akan memenuhi seluruh kebutuhan kita (#/TB Mat 6:25-24*).

g.   Kawanan domba Allah

 

Israel merupakan kawanan domba Allah (#/TB Mazm 80:2; 95:7*). Ketika

pemimpin-pemimpin Israel atau “gembala” gagal menjaga kawanannya, Allah

menyatakan keprihatinan-Nya, ”Aku sendiri akan menggembalakan domba-dombaKu”

(#/TB Yeh 34:15*). Yesus menjadikan pelayanan penggem- balaan itu sebagai

tugas-Nya sendiri (#/TB Yoh 10:1-30*). Ia adalah Gembala Agung umat Allah

(#/TB 1Pet 5:4; 2:25; Ibr 13:20*), yang memberikan nyawa- Nya untuk mereka

(#/TB Yoh 10:11*). Kini Ia mengutus pelayan-Nya sebagai ”pembantu gembala”

untuk menjaga kawanan domba Allah (#/TB Yoh 21:17*; #/TB Kis 20:28-30; 1Pet 5:1-3*).Kiasan ini menitikberatkan ketergantungan sepenuhnya dari gereja kepada kepala dan Tuhannya, rahmat dan kasih-Nya, dan tanggung jawab-Nya untuk membina, melindungi dan memelihara umat-Nya (#/TB Yoh 10:2-15*).

h.   Kebun anggur Allah

 

Israel adalah pokok anggur yang dibawa Allah dari Mesir dan ditanam di Kanaan, “maka berakarlah ia dalam-dalam dan memenuhi negeri” (#/TB Mazm 80:10*).  Tetapi ketika Allah datang untuk memetik hasilnya, yaitu buah anggur yang baik (= ketaatan dan keadilan), yang dihasilkan hanya buah anggur asam (= ketidakadilan dan penindasan; #/TB Yes 5:2,7*). Karena itu Allah menjadikan tanahnya tandus (#/TB Yes 5:6*). Dalam salah satu perumpamaan-Nya, Yesus menggunakan kiasan ini untuk pemindahan rencana penyelamatan Allah kepada bangsa bukan Yahudi. Ia menam bahkan bahwa anak pemilik kebun, yang dibunuh oleh penggarap kebun, akan menjadi pelaku perubahan tersebut (#/TB Mr 12:1-12*). Ia sendiri adalah pohon anggur yang benar, yang ranting-rantingnya akan berbuah bila tinggal di dalam Dia (#/TB Yoh 15:1-8*). Kiasan ini berbicara tentang pemeliharaan Allah terhadap gereja, tentang ketergantungan sepenuhnya gereja terhadap Tuhannya untuk kehidupan dan eksistensinya, dan tentang perhatian Allah akan kemurnian dan kesuburannya di dunia.

27.2           Ciri-ciri gereja yang sejati

 

Di mana kita dapat menemukan gereja sejati sekarang ini dan apa ciri- cirinya yang hakiki? Pertama harus kita bedakan antara berbagai arti kata ”gereja”.

(1)  Kumpulan orang-orang Kristen setempat yang berkumpul untuk beribadah dan melayani. Arti ini mencakup sebagian besar acuan me- ngenai gereja (_ekklesia_) dalam Perjanjian Baru, dan hampir sama dengan pengertian kata ”jemaat”.

(2)  Seluruh umat Allah di dunia pada waktu yang sama, yang dapat juga disebut ”gereja universal”. Gereja dalam arti ini hanya sekali-sekali muncul dalam Perjanjian Baru (#/TB 1Kor 10:32; Gal 1:13*).

(3)  Keseluruhan umat Allah yang tersebar sepanjang masa, seluruh kumpulan dari mereka yang terpilih. Ini yang oleh para reformis disebut “gereja yang tidak nyata”.

(4)  “Gereja di dalam gereja”. Telah dicatat di atas perbedaan yang dibuat dalam

Perjanjian Lama antara eda (seluruh jemaat yang nyata) dan qahal (anggota-anggota

jemaat yang menjawab panggilan Allah). Yesus mengajarkan bahwa kerajaan surga

sesuai dengan pola ini: benih gandum tercampur dengan lalang (#/TB Mat 13:24-30,36-43*).

Dalam seluruh persekutuan Kristen terdapat umat Allah, yakni gereja sejati. Jadi

tidak ada gereja di dunia yang dapat dikatakan murni; dalam setiap jemaat

agaknya ada orang yang mencari-cari, yang belum mengaku iman, dan ada pula yang

pengakuan imannya pada hari terakhir akan ternyata tidak sungguh- sungguh (#/TB Mat 7:21-23*).

Harus diakui, sebelum zaman kemuliaan tidak mungkin ada gereja yang sempurna di dunia. Lalu ke mana kita harus mencari umat Allah sejati yang berkumpul secara nyata? Menurut tradisi ada empat tanda gereja yang sejati: esa, kudus, am dan rasuli.

a.   Esa

 

Keesaan gereja tercipta karena dialaskan pada satu Allah (#/TB Ef 4:1-6*).  Semua orang yang benar-benar termasuk dalam gereja merupakan satu umat dan karena itu gereja yang benar akan nyata dari kesatuannya. Namun, keesaan ini tidak perlu berarti keseragaman secara total.

Dalam gereja Perjanjian Baru terdapat berbagai macam pelayanan (#/TB 1Kor 12:4-6*),

dan berbagai pandangan mengenai hal-hal yang kurang penting (#/TB Rom 14:1-15:13*).

Terdapat keseragaman dalam hal keyakinan- keyakinan teologi mendasar

(#/TB 1Kor 15:11; Yud 1:3*), namun keyakinan itu diberi penekanan berbeda-beda

menurut masalah yang dihadapi para rasul (#/TB Rom 3:20; bnd. #/TB Yak 2:24; Fili 2:5-7;

bnd. #/TB Kol 2:9-10*).

Ada juga beraneka macam bentuk ibadah. Bentuk ibadah di Korintus (#/TB 1Kor 14:26* dst.)mungkin sekali tidak biasa di gereja-gereja Palestina yang mempunyai bentuk ibadah yang berkembang menurut pola dari sinagoge (rumah ibadah Yahudi), mengikuti pola yang lebih formal dan berpusat pada penjelasan firman tertulis.  Contoh sinagoge menyebabkan jemaat pertama dianggap sebagai cabang agama Yahudi;

bahkan #/TB Yak 2:2* menggunakan kata sunagoge untuk kumpulan orang-orang Kristen. Ada juga variasi dalam bentuk pengurusan gereja (lihat di bawah: ps 30).

Kesatuan sejati dalam Roh Kudus dari semua orang yang lahir kem- bali adalah kenyataan, sekalipun ada perbedaan denominasi yang lahiriah. Maka ajakan dalam Perjanjian Baru untuk bersatu merupakan panggilan untuk ”memelihara” kesatuan kehidupan mendasar yang telah diberikan oleh Roh Kudus yang satu melalui kelahiran kembali (#/TB Ef 4:3*). Para reformis mengemukakan pokok ini dengan membedakan antara gereja yang tidak nyata (semua orang terpilih yang benar-benar satu dalam Kristus) dan gereja yang nyata (campuran orang yang telah lahir kembali dan yang belum). Kesatuan gereja yang tidak nyata merupakan fakta yang diberikan dengan keselamatan.

Pernah dikatakan bahwa kesatuan gereja Roma Katolik adalah bukti bahwa itulah gereja sejati, dibanding dengan gereja-gereja Protestan yang terpecah-pecah.  Namun pandangan ini tidak memperhitungkan fakta bahwa gereja Roma Katolik melepaskan diri dari gereja Ortodoks pada tahun 1054 dan tidak pernah diakui oleh gereja itu sebagai gereja satu- satunya yang benar. Lagi pula tanda-tanda gereja saling melengkapi: adanya keturunan historis atau kesatuan formal tidak ada gunanya kalau tidak dihubungkan dengan ”sifat kerasulan” (lihat di bawah: ps 27.2.d), yakni kesetiaan pada Injil rasuli. Kendatipun gereja-gereja Protestan sering terpecah-pecah, namun dapat dikemukakan bahwa gereja Roma Katolik juga merupakan penyebab perpecahan karena penyimpangannya dari ajaran Alkitab.

Alkitab menganjurkan agar kesatuan diungkapkan sepenuhnya oleh umat Allah, namun

diterangkan juga bahwa jika yang menjadi taruhan adalah hakikat kekristenan,

maka pemisahan adalah sesuai sepenuhnya dengan kehendak Allah. Contohnya ialah

perbedaan pandangan Paulus dengan pandangan orang-orang Yahudi (#/TB Gal 1:6-12*)dan perselisihan Yesus dengan orang Farisi (#/TB Mr 7:1-13*). Ketika Yudas ingin menulis tentang ”keselamatan kita bersama”, ia merasa perlu untuk mendorong pembacanya agar “tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (#/TB Yud 1:3*). Bagi Perjanjian Baru, kesatuan adalah tanggung jawab secara sadar akan kebenaran- kebenaran yang dinyatakan melalui para rasul.

Perjanjian Baru menujukan ajarannya mengenai kesatuan kepada kelompok-kelompok Kristen tertentu, dengan dampak langsung terhadap hubungan nyata mereka (#/TB Ef 2:15; 4:4; Kol 3:15*). Yesus berdoa untuk kesatuan yang akan membawa dunia kepada iman (#/TB Yoh 17:23*). Persama- an kesatuan orang Kristen ini dan kesatuan Yesus dengan Bapa (#/TB Yoh 17:11,22*) menegaskan sifat spiritual mendasar dari kesatuan menurut Alkitab. Namun jelas tercakup di dalamnya kesamaan kehidupan dan tujuan yang nyata, sebagaimana keseluruhan misi Yesus mengungkapkan keesaan dengan kehendak Allah yang nyata. Dengan kata lain, ada kebutuhan untuk mencari kesatuan yang lebih nyata, lebih sempurna dari- pada yang sekarang dialami oleh orang Kristen yang menganut Injil rasuli.

Hal ini relevan secara khusus apabila dua badan yang mengaku iman Kristen yang hakiki melayani di tempat yang sama, seperti misalnya di kampus universitas.

Namun tantangan paling mendalam dari ajaran ini terdapat pada tingkat hubungan-hubungan

dalam satu jemaat dan antara jemaat itu dengan jemaat yang lain. Dalam konteks ini sebaiknya kesatuan hidup dalam Kristus diungkapkan sebagai kepedulian dan tanggung jawab yang sungguh-sungguh antara yang satu dengan yang lain. Kegagalan dalam hal ini mau tidak mau mempermasalahkan pernyataan sebagai gereja Kristen sejati (#/TB 1Kor 3:3-4*).

b.   Kudus

 

Umat Allah adalah “bangsa yang kudus” (#/TB 1Pet 2:9*). Artinya gereja adalah kudus, begitu juga setiap orang Kristen adalah kudus, berdasarkan persekutuannya dengan Kristus. Kita dipisahkan untuk menjadi milik-Nya dan diberikan-Nya kebenaran yang sempurna (bnd. ps 18.2.b). Gereja berdiri di hadapan Allah “di dalam Kristus” tak bernoda dan tak bercacat secara moral.  Perbedaan antara gereja nyata dan tidak nyata berlaku di sini, karena kekudusan ini hanya menjadi milik anggota jemaat yang menaruh kepercayaannya pada Kristus sebagai Juruselamat.

Persatuan dengan Kristus juga menyangkut kehidupan kudus secara nyata. Hubungan

gereja dengan Kristus sebagai kepalanya akan nyata dari sifat moralnya dan

kualitas kehidupannya sehari-hari. Gereja yang tidak mengenal kekudusan, tidak

mengenal Kristus. Ketika Kristus ber- bicara kepada ketujuh jemaat di Asia

Kecil, Ia dengan jelas mengharap- kan perbedaan dalam sikap moral itu dan

apabila hal ini tidak didapati- Nya Ia sangat keras dalam penghakiman-Nya (#/TB Wahy 2:1-3:22*).

Tentu saja belum ada gereja yang sempurna di dunia ini. Kehidupan di gereja-gereja Perjanjian Baru ditandai kekhilafan, perpecahan, kegagalan moral dan ketidakstabilan, dan masalah-masalah seperti itu tetap ada sampai saat ini.  Namun demikian, mau tidak mau, gereja Allah yang sejati pasti akan menunjukkan beberapa tanda kekudusan dan kemajuan menuju kekudusan yang lebih sempurna.

c.   Am

 

Kata ”am” (atau ”katolik”) berarti ‘menyangkut keseluruhan’. Istilah ini mula-mula menunjuk pada gereja am untuk membedakannya dari gereja setempat. Kemudian artinya berubah menunjuk pada gereja yang mengaku iman ortodoks untuk membedakannya dari bidat-bidat. Kelak gereja Roma mengambil alih istilah ini untuk mengacu pada organisasi gerejanya yang sudah berkembang secara historis dan menyebar luas secara geografis dan berpusat pada Paus. Para reformis abad ke-16 berusaha mengembalikan arti kata ini kepada arti semula, yakni mengaku iman ortodoks, dan mereka menganggap diri sebagai gereja katolik yang sebenarnya dan bukan gereja Roma.

Segi utama dari sifat am dalam gereja mula-mula adalah keterbukaannya terhadap semua orang. Berbeda dengan agama Yahudi dengan ekslusivisme rasialnya dan aliran Gnostik dengan ekslusivisme intelektualnya, maka gereja membuka pintunya lebar-lebar bagi semua yang ingin masuk, dari tiap ras, warna kulit, status sosial, kecakapan intelektual atau sejarah moralnya. Gereja masuk ke dalam dunia dan membawa iman bagi semua (#/TB Mat 28:19; Wahy 7:9*). Syarat satu-satunya untuk masuk ialah iman kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan, dan baptisan yang mengungkapkan Injil anugerah itu sebagai upacara masuk (#/TB Mat 28:19*;

#/TB Kis 2:38,41*).

Pada tingkat dasar inilah tanda “am” harus diterapkan. Gereja-gereja yang menetapkan ujian-ujian lain harus diwaspadai. Gereja sejati tidak memberi tempat pada diskriminasi ras, warna kulit, status sosial, kecakapan intelektual atau moral, asal saja ada bukti pertobatan.

d.   Rasuli

 

Seorang rasul adalah saksi tentang pelayanan dan kebangkitan Yesus, dan karena

itu adalah pembawa Injil yang berwenang (#/TB Luk 6:12-13*; #/TB Kis 1:21-22; 1Kor 15:8-10*).Dalam Perjanjian Baru yang disebut “rasul” ialah kedua belas murid Yesus, Paulus dan beberapa orang lain. Para rasul menempati posisi antara Yesus dan semua generasi penganut iman Kristen berikutnya. Kita mengenal Kristus hanya melalui kesaksian para rasul tentang Dia, yang telah dicatat dalam Perjanjian Baru.  Dalam pengertian mendasar ini, gereja “dibangun di atas dasar para rasul” (#/TB Ef 2:20;

bnd. #/TB Mat 16:18*; Wahy 24:14). Sebab itu, sifat rasuli dari gereja tergantung

pada penyesuaiannya dengan iman rasuli yang telah disampaikan kepada kita (#/TB Kis 2:42; Yud 1:3*).Boleh dikatakan para rasul masih tetap memimpin dan mengatur gereja sejauh gereja membiarkan kehidupan, pengertian dan pemberitaan firmannya senantiasa disesuaikan dengan ajaran Alkitab.

Istilah ”rasul” (_apostolos_) secara harfiah berarti ‘utusan’, dan Perjanjian Baru kadang-kadang mengacu pada rasul-rasul dengan arti yang lebih luas (#/TB Rom 16:7*). Dalam pengertian umum ini, semua orang yang diutus oleh Tuhan sebagai penginjil, pengkhotbah, pendiri gereja dan sebagainya, dapat disebut ‘utusan’ dan berfungsi seperti rasul. Namun ini tidak berarti bahwa mereka mempunyai status atau wewenang khusus yang dapat menandingi kelompok rasul asli, yang pimpinannya berlangsung terus melalui tulisan-tulisan rasuli.

Ada dua pengertian yang salah tentang jabatan rasuli ini yang perlu dihindari.  Pada satu pihak, ada pemimpin di gereja atau persekutuan tertentu yang menyatakan diri ”rasul”. Hal ini berbahaya karena menyalahartikan ajaran Alkitab dan dalam praktek menentang wewenang dan sifat mutlak dari penyataan Allah dalam Perjanjian Baru. Pada pihak lain, ada yang menafsirkan tanda rasuli sebagai kesinambungan historis dalam pelayanan gereja yang dimulai dari Kristus serta rasul-rasul-Nya dan dilanjutkan melalui garis penggantian uskup. Penafsiran ini sama sekali tidak mendapat dukungan dari Perjanjian Baru. Anugerah Allah tidak disampaikan hanya melalui garis pejabat gereja. Lagi pula garis itu tidak menjamin penerusan kebenaran Kristen tanpa salah. Allah tidak terikat oleh organisasi gereja, dan kadang-kadang Dia bekerja melalui gereja sebagai lembaga, kadang-kadang di luar lembaga itu.

Garis pengganti para rasul, tepatnya penurunan atau pewarisan Injil, berarti kebenaran rasuli harus diteruskan dari satu generasi kepada generasi yang lain:

“orang-orang yang dapat dipercayai ... mengajar orang lain” (#/TB 2Tim 2:2*).  Singkatnya, suatu gereja bersifat rasuli kalau dalam praktek ia mengakui wewenang tertinggi dari tulisan-tulisan rasuli.

e.   Tanda yang dikemukakan para reformis

 

Para reformis tidak menolak empat tanda tradisional ini, namun perhatian mereka tertuju pada hal-hal lain karena perselisihan mereka dengan gereja Roma Katolik.  Mereka mengemukakan dua tanda lain dari gereja nyata yang sejati, yakni pemberitaan firman dan pelayanan sakramen.

Tanda pemberitaan firman menarik perhatian pada keunggulan Injil alkitabiah dan justru karena inilah terjadi perpecahan dengan Roma. Mendasari penekanan ini terdapat keyakinan bahwa ada ikatan kokoh antara firman tertulis dan Roh Allah.

Seorang yang termasuk persekutuan dengan Roh pasti akan mengungkapkan ini dengan

mematuhi firman yang telah diilhamkan oleh Roh itu. Para reformis yakin bahwa Roh mengarahkan orang kepada firman; dan kasih tidak terlepas dari iman dan kebenaran.

Pokok lain yang menurut mereka merupakan tanda gereja sejati, yaitu sakramen, juga bersifat polemis. Justru dalam ajaran dan praktek mengenai sakramen, para reformis melihat pelanggaran gereja saat itu yang paling jelas terhadap agama Alkitab. Memang ada kelompok Kristen (misalnya Bala Keselamatan) yang tidak menjalankan sakramen, sehingga kita harus hati-hati sebelum menyatakan bahwa sakramen itu menjadi tanda hakiki gereja sejati. Namun Tuhan Yesus jelas menghubungkan baptisan itu dengan berita gereja dan respons manusia terhadapnya (#/TB Mat 28:19-20*) dan perjamuan kudus dikemukakan sebagai landasan bagi kelangsungan kehidupan gereja (#/TB Luk 22:19; 1Kor 11:24-25*).

f.    Misi—suatu tanda yang dilalaikan?

 

Dalam perintah Yesus mengenai kehidupan gereja (#/TB Yoh 13:1-16:33*;

#/TB Luk 10:1-20; Kis 1:1-8*) ada unsur yang hampir tidak kelihatan dalam tanda- tanda gereja yang telah dikemukakan sampai sekarang, yakni misi: tanggung jawab untuk membawa kabar baik tentang Yesus sampai ke ujung bumi.

Dalam Kisah Para Rasul, tema pokok adalah penyebaran pekabaran Injil secara

berturut-turut dari Yerusalem ke Yudea, Samaria dan kemudian ke dunia orang

bukan Yahudi (#/TB Kis 1:8*; bnd. #/TB Kis 6:8-9; 7:1-60; 8:1-40; 10:34-48; 11:19-26; 13:1*

dst.). Pekabaran Injil merupakan tugas utama gereja menurut Alkitab.

Jadi gereja yang tidak memberitakan Injil, juga tidak mempedulikan kesejahteraan moral dan spiritual masyarakat di sekelilingnya, serta tidak mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap orang miskin di mana saja mereka ditemukan, telah kehilangan sifatnya sebagai gereja sejati dan menyangkal Tuhannya.

Secara ringkas, gereja sejati dikenal karena persatuannya, keharmonisan dalam hubungan-hubungannya, kekudusan kehidupannya, keterbukaannya bagi semua orang, ketaatannya terhadap wibawa tulisan-tulisan rasuli, pemberitaannya tentang Kristus dalam kata dan sakramen, dan komitmennya kepada pekabaran Injil.

Bahan Alkitab

#/TB Kejadian 9:8-9; Keluaran 6:6-8; Mazmur 95:7; Yesaya 5:1-7*;

#/TB Matius 16:18; 18:15-20; 28:18-20; Markus 12:1-12; Lukas 24:47-49*;

#/TB Yohanes 10:1-30; 17:17-23; Kisah 1:8; 2:42-47; 4:23-37*;

#/TB Kisah 15:13-18; 20:28-32; 1Korintus 11:23-26; 12:1-28*;

#/TB Ef 2:17-22; 4:1-6; 5:22-27; 1Petrus 2:4-10; Wahyu 7:9-11; 21:1-22:5*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Selidikilah hubungan antara individu dan persekutuan dalam pengalaman keselamatan dalam

 

( a) Perjanjian Lama dan

( b) Perjanjian Baru.

 

2.   Periksalah kiasan-kiasan Alkitab utama mengenai gereja.

Sebutkan apa yang diajarkan oleh masing-masing kiasan tentang

( a) Allah dan sikap-Nya kepada jemaat,

( b) hak-hak istimewa gereja,

( c) tanggung jawab gereja, dan

( d) misi gereja di dunia.

 

3.   Bahaslah nilai dan bahaya dari perbedaan antara gereja nyata dan gereja tidak nyata.

4.   Selidikilah ”tanda-tanda” esa, kudus, am, dan rasuli dari segi

 

( a) dasar alkitabiah,

( b) penerapan di gereja setempat atau kelompok Kristen Anda, dan

( c) penerapan di gereja-gereja sedunia.

 

5.   Seberapa jauh ”tanda-tanda” gereja yang dikemukakan para reformis berdasarkan Alkitab dan relevan?

6.   Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa misi (pekabaran Injil) termasuk hakikat gereja?

Tegaskan jawaban Anda dengan mengutip dari Alkitab.

Apa dampak pernyataan ini bagi program mingguan gereja setempat Anda?

Kepustakaan (27)

Balchin, J.

1979 What the Bible says about the Church (Kingsway).

Berkouwer, G. C.

1976 The Church (Eerdmans).

Carson, H. M.

1976 Dawn or Twilight? (IVP).

Griffiths, M.

1975 Cinderella with Amnesia (IVP).

Kuiper, R.

1967 The Glorious Body of Christ (Banner of Truth).

Lloyd-Jones, D. M.

1962 The Basis of Christian Unity (IVP).

Stott, J. R. W.

1969 One People (Falcon).

Watson, D.

1978 I Believe in the Church (Hodder).

Wells, D.

1973 Revolution in Rome (Tyndale Press).

 

28. KEHIDUPAN GEREJA

 

Dalam bagian ini kita beralih dari tinjauan mengenai sifat gereja menuju tinjauan mengenai perbuatannya. Tugas dan tanggung jawab gereja ditentukan oleh sifat gereja itu. Oleh karena gereja adalah umat Allah, maka tujuan keberadaannya bukan terletak dalam dirinya, melainkan dalam pelayanannya bagi kemuliaan dan hormat Allah (#/TB Rom 11:36*; #/TB 1Kor 8:6*).  Bagaimana gereja melayani kemuliaan Allah itu?

28.1           Ibadah

 

Ibadah (Yun. latreia) adalah cara yang paling jelas bagi gereja untuk memenuhi tujuannya, yakni menghormati Allah.

a.   Contoh-contoh dalam Alkitab

 

Ibadah sering disebut atau tercermin dalam Alkitab. Ungkapannya yang terindah terdapat dalam Kitab Mazmur, yang merupakan kumpulan nyanyian rohani Perjanjian Lama.

Dalam Perjanjian Baru ada contoh-contoh ibadah (#/TB Mat 6:9*;

#/TB Mr 14:12-13; Luk 1:46-55,68-79; 2:14,29-32; 4:16; Kis 3:1-2; 4:24-25*) serta banyak nyanyian dan doa yang memuliakan Allah (#/TB Rom 11:33-36*;

#/TB  Rom 16:27; 1Tim 1:17; 6:15-16; Yud 1:24-25; Wahy 1:5-6*). Ada juga baris-baris dari nyanyian rohani Kristen mula-mula (#/TB Ef 5:14*;

#/TB Fili 2:5-11; Kol 1:15-20; 1Tim 3:16*) dan rumusan liturgis (misalnya Maranatha, artinya: ‘Ya Tuhan datanglah’, #/TB 1Kor 16:22*; Amen yang berarti ‘kiranya jadilah demikian’, #/TB Rom 1:25*; Abba, ‘Bapa’, #/TB Rom 8:15*).  Diperlihatkan juga bahwa ibadah adalah unsur dasar dalam tatanan surgawi (#/TB Wahy 4:8-11; Wahy 5:11-14; 7:9-12*).

Gereja berfungsi seperti kelompok imam yang mempersembahkan kurban syukur kepada

Allah (#/TB Ibr 13:15; 1Pet 2:5*). Bila gereja mengenal tanggungjawabnya untuk mempersembahkan ibadah maka hal ini cocok dengan arti dasar kata latreia, yaitu ”kebaktian” atau ”pelayanan”. Sayang terlalu sering orang mengikuti ibadah dengan pikiran, ”Apa yang dapat saya peroleh dari kebaktian ini?”; sedangkan pikiran yang lebih tepat ialah, ”Apa yang dapat saya persembahkan [kepada Tuhan] dalam kebaktian ini?”

b.   Unsur-unsur ibadah

 

Persembahan puji-pujian sangat mendasar. Firman Allah, unsur dasar yang

lain, diwarisi kepada ibadah Kristen dari sinagoge Yahudi, yang memprioritaskan

pembacaan dan penjelasan hukum Taurat dalam ibadahnya (#/TB Luk 4:16-27; Kis 13:14-15*).

Dalam ibadah Kristen mula-mula Alkitab dibacakan di depan umum (#/TB Kol 4:16;

1Tes 5:27*) dan diuraikan (#/TB Kis 2:42-43; 6:2*). Pemberitaan firman Allah bukanlah tambahan pada ibadah tetapi seharusnya merupakan puncaknya, yakni kesempatan mendengar suara Allah yang hidup lalu menyerahkan diri kepada Dia dalam kesalehan dan pelayanan. Unsur ibadah yang lain ialah persembahan.  Mengenai unsur ini terdapat latar belakang Perjanjian Lama yang kaya dalam hal membawa persepuluhan dan persembahan kepada Allah (#/TB Kel 14:20; Im 27:30*; #/TB 1Taw 29:6-7; Ezr 1:6; Mal 3:10*). Dalam Perjanjian Baru, ayat terpenting adalah #/TB 1Kor 16:1-4 (bnd. #/TB Mat 6:2-4; 2Kor 8:1-9:15*).  Sakramen-sakramen Injil, yakni baptisan dan perjamuan kudus, adalah segi lain lagi yang mendasar (lihat di bawah).

c.   Ciri-ciri ibadah

 

Ada tiga hal utama yang seharusnya mencirikan ibadah Kristen.

Pertama, Kristus yang hidup hadir di tengah-tengah jemaat-Nya. Ini tidak ada

padanannya dalam agama lain. Orang berkumpul bukan hanya untuk mengingat saja,

tetapi untuk merayakan kehadiran Tuhan, untuk bersukacita sebab Tuhan sudah

menang dan untuk berjumpa dengan Dia dalam Roh melalui firman (#/TB Mat 18:20; 28:20*).

Kedua, Roh Kudus memberi kuasa untuk beribadah (#/TB Yoh 4:24; Fili 3:3*).

Ia menciptakan realitas (#/TB 1Kor 12:3*), membatasi dan mengatur (#/TB 1Kor 14:32-33,40),

mengilhamkan doa (#/TB Rom 8:26*), menggerakkan puji-pujian dan syukur (#/TB Ef 5:18-19*),

mengantar kepada kebenaran (#/TB 1Kor 2:10- 13), memberikan karunia-karunia-

Nya (#/TB Rom 12:4-8*) dan menginsafkan orang tak percaya (#/TB Yoh 16:8; 1Kor 14:24-25*).

Ketiga, suasana kasih dalam persekutuan meliputi jemaat. Ibadah Kristen mula-mula ditandai oleh perhatian mendalam terhadap sesama dan partisipasi sungguh-sungguh dalam pertemuan jemaat (#/TB Kis 2:42-47*; #/TB Kis 4:32-35*). Hal ini khusus dinyatakan dalam bentuk perhatian untuk saling memberi semangat dan bertumbuh dalam Kristus (#/TB Ef 4:12-16*).

d.   “Luapan” ibadah

 

Ibadah tidak terbatas pada puji-pujian bersama dan pelayanan firman, tetapi

seharusnya diteruskan dan dijadikan sikap seluruh hidup. Begitulah Paulus

mendorong budak-budak di Kolose untuk taat dan melayani tuannya dengan rajin dan

dengan segenap hati ”seperti untuk Tuhan” dan karena ”takut akan Tuhan” (#/TB Kol 3:22-23*).Ibadah harus menjadi pola hidup, sehingga ”segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita” (#/TB Kol 3:17*).

28.2           Persekutuan

 

Persekutuan (Yun. koinonia) berhubungan erat dengan gereja yang memuliakan Allah: ”Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (#/TB Rom 15:7*). Kalau orang Kristen hidup bersama dalam persekutuan sejati, Allah dimegahkan. Koinonia pada dasarnya berarti bersama-sama menerima bagian dalam sesuatu: penekanannya agak berbeda dengan pengertian persekutuan akhir-akhir ini, yakni saling bersahabat. Namun kedua hal ini pada akhirnya tidak terpisah artinya, karena saling berpartisipasi yang meliputi saling bersahabat.

Persekutuan umat Allah dialaskan pada partisipasi bersama dalam kehidupan Allah (#/TB 1Yoh 1:3,7*). Ini adalah ciri khas gereja sejak semula (#/TB 2Tes 1:3*).

Namun persekutuan Perjanjian Baru tidaklah tanpa diskriminasi; persekutuan dapat

ditarik kembali dalam hal kelakuan yang sangat tidak pantas (#/TB 1Kor 5:4-5; 2Tes 3:14*)

dan tidak meliputi mereka yang menyangkal ajaran para rasul (#/TB Kis 2:42; Gal 1:8-9*).Ungkapan mendasarnya adalah agape, kasih yang memberikan diri untuk sesamanya (#/TB 1Kor 13:1-13; 1Yoh 3:16*), yang oleh Yesus disebut sebagai ciri yang membedakan persekutuan baru (#/TB Yoh 13:34- 35*) dan akan membawa dunia kepada iman oleh beritanya (#/TB Yoh 17:23*).

Mencolok sekali, kata agape tidak dipakai umum di luar Perjanjian Baru dan gereja. Istilah umum untuk kasih (_eros_) dirasakan tidak memadai untuk menyatakan sifat hakiki kasih Kristen, yakni kasih bagi orang yang hina, kasih yang dijumpai para rasul dalam diri Yesus dan kasih yang mereka saling alami melalui Roh Kudus. Inilah sebabnya mengapa definisi agape dalam Perjanjian Baru mengacu pada salib: ”Inilah agape (kasih) itu ... Allah telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (#/TB 1Yoh 4:10; bnd. #/TB Rom 15:7*). Agape berarti kasih Golgota, yaitu kasih berharga yang merendahkan diri dan mengampuni dosa, ciri khas persekutuan orang Kristen mula-mula dan sifat hakiki gereja yang memuliakan Allah dalam setiap generasi.  Kasih kualitas itu tidak mungkin bagi manusia, itulah sebabnya mengapa Per-janjian Baru senantiasa menyebutnya sebagai pemberian Roh Kudus (#/TB Rom 5:5).  Namun, kasih itu sangat praktis (1Yoh 3:17-18*; bnd. #/TB Rom 15:25-26; 2Kor 8:1- 9:15*).

Ayat-ayat terakhir ini mengacu pada persembahan yang dikumpulkan Paulus dari gereja-gereja bukan Yahudi untuk membantu orang Kristen Yahudi di Palestina, yang menderita akibat kelaparan. Persembahan itu tidak hanya menyatakan persekutuan di antara orang-orang Kristen mula-mula, tetapi memperkokoh dan membina persekutuan tersebut.

Persekutuan dalam Perjanjian Baru juga meliputi keramahan (#/TB Ibr 13:2*;

#/TB 1Pet 4:9); tolong menolong dalam menanggung beban (#/TB Gal 6:2*); saling memberi semangat (#/TB Ibr 10:25*) dan saling mendoakan (#/TB Fili 1:9-11,19*).  Persekutuan ini khususnya nyata dalam perjamuan kudus (#/TB 1Kor 10:16-17*).

Kehidupan orang Kristen mula-mula sebagai persekutuan sangat menarik bagi orang kafir zaman itu. Demikian juga pada zaman kita ini, persekutuan lokal maupun internasional merupakan syarat mutlak untuk menjamin kelangsungan hidup gereja.  Hampir tidak ada hal lain yang dimiliki gereja yang lebih relevan bagi dunia ini sekarang daripada rahasia hubungan antara manusia dengan sesamanya secara tulus ikhlas. Maka ajakan untuk mengasihi merupakan salah satu tantangan yang sangat mendalam yang disampaikan Kristus kepada gereja-Nya.

28.3           Pelayanan

 

Gereja mula-mula merasa wajib melayani (Yun. diakonia ‘pelayanan’), sebagai cara lain untuk memuliakan Allah (#/TB 1Pet 2:12*). Berlainan dengan dunia bukan Yahudi, yang melihat kebesaran sebagai perpadanan dari otoritas atau kuasa untuk memaksa, Yesus mengajar bahwa kebesaran terdapat dalam pelayanan dengan rendah hati (#/TB Mr 9:33-37; Luk 22:24-27*). Hal ini secara radikal menantang sikap kita sekarang ini seperti juga terjadi pada zaman para rasul.  Pelayanan itu bukan jalan atau persiapan bagi kebesaran seperti dianggap pada umumnya; pelayanan adalah kebesaran. Di balik pandangan ini terdapat pelayanan Yesus sendiri, ”Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (#/TB Mr 10:45*). Mesias yang adalah Hamba mengajak gereja untuk mengikuti teladan-Nya dalam persekutuan melayani. Kebenaran ini mengandung imbalan luar biasa; yang berarti bahwa penggenapan kehidupan ada dekat pada kita, dalam pelayanan penuh kerendahan hati satu dengan yang lain.

Masih ada tiga aspek lagi ajaran Alkitab tentang pelayanan gereja.

a.   Karunia-karunia Roh

 

Bersama dengan kelahiran kembali dan hidup baru, Roh Kudus memberikan kepada setiap orang percaya karunia khusus untuk pelayanan. Semua perikop Perjanjian Baru yang membahas tema ini menyatakan bahwa karunia Roh dimiliki setiap orang yang benar-benar dilahirkan kembali (#/TB Rom 12:3-8*;

#/TB 1Kor 12:7-11; Ef 4:7,16; 1Pet 4:10*). Dengan kiasan tubuh (#/TB Rom 12:5; bnd. #/TB 1Kor 12:12-26*) Paulus mengajarkan bahwa setiap anggota mempunyai tugas yang bermanfaat untuk melayani seluruh tubuh. Perjanjian Baru tidak mengisyaratkan bahwa penerimaan dan penggunaan karunia Roh Kudus ini bergantung pada suatu pengalaman khusus dari Roh Kudus sesudah kelahiran kembali. Jadi setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani; menjadi anggota Kristus berarti menjadi pelayan Kristus (#/TB 1Kor 12:7,11*).

Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memberi contoh-contoh karunia dan pelayanan Roh Kudus (#/TB Kel 35:30-33; Hak 3:10*;

#/TB Rom 12:3-8; 1Kor 12:4-11,28; Ef 4:11-12; 1Pet 4:10-11*). Roh Kudus memang bebas dan berdaulat untuk membagi-bagikan karunia dan pelayanan:

”Semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan

karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikendakiNya” (#/TB 1Kor 12:11*).Masing-masing orang percaya bertanggung jawab untuk mengenal karunia dan pelayanannya lalu menggunakannya untuk kebaikan gereja setempat atau kelompok Kristen lain. Maksud karunia dan pelayanan ini ada dua:

·        memegahkan Tuhan Yesus Kristus, dengan menyatakan kemenangan-Nya atas maut

( #/TB Ef 4:8;  Kis 2:32-33*); dan

·        memajukan pertumbuhan tubuh Kristus (#/TB Ef 4:12*).

 

b.   Kepemimpinan Kristen

 

Karunia Roh dibutuhkan secara khusus oleh orang-orang yang mendapat pelayanan khusus sebagai pemimpin dalam kelompok Kristen. Perjanjian Lama mengutamakan pelayanan oleh imam-imam (#/TB Kej 14:18; Kel 28:1-2*), nabi-nabi (#/TB Ul 18:15-16; Yes 6:1 dst.) dan tua-tua (#/TB Kel 3:16*; #/TB Ul 19:12*).  Yesus melanjutkan prinsip ini dengan memanggil dua belas murid, dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang kemudian mencerminkan pola yang sama dalam pengangkatan penatua (_presbuteroi_) atau uskup (_episkopoi_) serta diaken (_diakonoi_) (#/TB Kis 14:23*; #/TB 1Tim 3:1-3; Tit 1:5*). Pola itu nampak juga dalam pelayanan seperti penginjil, gembala dan guru (#/TB Ef 4:11*).

Jabatan dan tugas pelayanan ini tidak berarti kehidupan Kristen bertingkat dua. Perbedaan antara pelayanan kaum pendeta dan pelayanan kaum awam pada dasarnya bersifat fungsional. Pekerja Kristen purna-waktu, apa pun gelarnya, tidak lebih utama atau lebih dekat kepada Tuhan dibanding dengan anggota-anggota jemaat yang awam.

Dapatkah jemaat setempat mengangkat seseorang untuk pelayanan tanpa mengacu pada

gereja yang lebih luas? Ada yang berpendapat bahwa pentahbisan untuk pelayanan memerlukan otorisasi dari pimpinan sinode atau sebagainya. Sedangkan ada yang lain percaya bahwa gereja setempat boleh bertindak atas nama Kristus untuk mengangkat petugas-petugas tanpa konsultasi dengan gereja secara lebih luas.  Dalam hal ini kita sebaiknya mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam gereja kita sendiri.

Wewenang jabatan-jabatan ini berbeda-beda. Namun perlu ditegaskan bahwa Perjanjian Baru tidak mengenal jabatan imam, yang berfungsi sebagai perantara manusia kepada Allah serta menyampaikan anugerah Allah kepada orang berdosa.  Dalam Perjanjian Baru kata ”imam” dipakai dalam bentuk tunggal hanya untuk Yesus. Dia unik sebagai Imam Agung sebagaimana diberlakukan-Nya di Golgota, dan keunikan-Nya itu membuat imam-imam perantara lainnya tak perlu lagi. Jika seseorang mencoba bertindak sedemikian, itu merupakan penghujatan yang menolak kurban Kristus yang berlaku sekali untuk selama-lamanya, dan seolah-olah berkata bahwa kurban-Nya tidak efektif. Namun konsep keimaman masih terdapat dalam Perjanjian Baru, yakni dalam ”keimaman semua orang percaya” yang menunjuk pada tugas-tugas keimaman umum dari seluruh umat Allah (#/TB Ibr 13:15-16; bnd. Rom 12:1-2; 1Pet 2:5,9; Wahy 1:6*).

Ada bahaya besar kalau orang-orang tertentu terlalu ditinggikan dalam gereja, apakah dia ditahbiskan atau tidak. Bahaya itu dapat dihindari dengan mengakui bahwa sebenarnya pelayanan Kristen adalah pelayanan oleh Kristus sendiri. Ucapan paling mendalam yang dapat diutarakan tentang pelayanan Kristen dalam segala bentuknya ialah bahwa pelayanan itu tak lain dari pelayanan Tuhan yang bangkit di antara dan melalui umat-Nya (#/TB Rom 15:18*). Pengertian ini juga tersirat dalam gagasan gereja sebagai tubuh Kristus.

c.   Pelayanan di luar gereja

 

Pelayanan gereja pertama-tama ditujukan kepada mereka yang tercakup dalam persaudaraan seiman (#/TB Gal 6:10*). Namun tak mungkin kegiatan itu berhenti di situ saja, sebab pelayanan Yesus yang paling mendalam ditujukan kepada musuh-musuh-Nya (#/TB Rom 5:6-8*). Karena itu gereja harus memuliakan Tuhan dengan bertindak sebagai garam dan terang dalam masyarakat (#/TB Mat 5:16*), tidak hanya melalui pekabaran Injil tetapi juga melalui usaha-usaha lain untuk mempengaruhi masyarakat untuk hidup dengan lebih adil, murni, jujur dan rahmani, yang lebih mendekati sifat Allah sendiri dan karena itu menghormati Dia.

Cara utama yang dipakai gereja dalam melaksanakan tanggung jawab itu, selain kesaksian langsung mengenai Injil, adalah membentuk pria dan wanita Kristen yang kuat dan teguh, yang kehadiran sehari-harinya mempengaruhi corak dan suasana masyarakat. Tambahan pula, kadang kala gereja akan merasa perlu untuk bertindak secara kelompok sebagai respons atas kebutuhan-kebutuhan sosial tertentu.

28.4           Kesaksian

 

Ajakan untuk bersaksi (Yun. marturia ‘kesaksian’) merupakan pokok perintah terakhir Yesus kepada rasul-rasul (#/TB Kis 1:8*) dan pada hari Pentakosta mereka mulai melaksanakannya. Gereja di Yerusalem tidak langsung mengadakan pekabaran Injil ke seluruh dunia; baru sesudah kematian Stefanus sebagai martir dan pelayanan Paulus, gereja dihadapkan pada tanggung jawabnya dengan segala dimensinya. Tetapi seperti diceritakan dalam Kisah, rencana Tuhan terlaksana:

”Kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (#/TB Kis 1:8*). Gereja sekarang ini adalah keturunan secara rohani dari generasi pertama orang percaya, hanya kalau menyerahkan diri pada tugas untuk bersaksi seperti mereka.

Dalam konteks hukum, marturia berarti membuat pembelaan; kesaksian lisan adalah intinya. Tentu saja perbuatan orang Kristen harus sesuai dengan perkataannya, tetapi tugas pokok yang dipercayakan Yesus kepada gereja meliputi kesaksian dengan kata-kata (#/TB Mat 28:19-20*; #/TB Yoh 20:21 dst.;

#/TB Kis 10:42-43*).

Bila bersaksi, perhatian harus ditujukan kepada karya Allah yang objektif dalam Kristus. Sayang sekali bahwa hal bersaksi itu kadang-kadang disamakan dengan menceritakan bagaimana seorang pribadi beroleh iman. Tak perlu diragukan bahwa cerita seperti itu kadang kala dapat memberi warna otentik kepada kesaksian, namun harus ditekankan bahwa inti kesaksian terletak dalam usaha mengarahkan orang kepada Kristus sambil mencoba menghadapkan mereka kepada karya-Nya untuk menyelamatan manusia.

Tugas kesaksian ini diwarisi oleh gereja Perjanjian Baru sebagai Israel baru dari tugas yang gagal direalisasikan oleh Israel dalam Perjanjian Lama (#/TB Kej 12:1-3; 18:18; Yes 49:6; bnd. Yes 43:10,12; 44:8*).

Terlalu sering dilupakan oleh gereja, dan khususnya oleh para teolog, bahwa tulisan-tulisan luhur Perjanjian Baru ditulis oleh misionaris dan penginjil yang terlibat dalam kegiatan yang sangat sulit, berupa penginjilan dan penggembalaan yang meminta pengorbanan besar. Hanya orang yang benar-benar menghayati misi mereka dan merasakan kegairahan yang mendesak untuk meletakkan dunia di kaki Kristus, yang sanggup menilai pemikiran dan menafsirkan ajaran mereka.

Cukup banyak perdebatan terjadi mengenai hubungan antara pemberitaan dalam bentuk kata-kata dan bentuk-bentuk pelayanan Kristen lain di dunia, misalnya di bidang pendidikan, medis dan sosio-politis. Boleh dikatakan, kesaksian dalam pengertian Perjanjian Baru terutama sekali merupakan pernyataan verbal, namun kita harus sadar bahwa ini tidak mencakup seluruh tugas gereja di dunia.  Perspektif yang lebih luas ini dapat disebut “misi”, yang mencakup segala sesuatu yang ditugaskan kepada gereja yang diutus Allah ke dalam dunia. Dengan demikian memberi kesaksian bukanlah keseluruhan tugas gereja, walaupun tetap sentral dalam penugasannya. Tugas untuk bersaksi mengenai Injil di seluruh dunia dalam setiap generasi merupakan prioritas gereja setiap generasi. Unsur tugas gereja itu tidak boleh diturunkan menjadi sekunder saja.

Dapat dicatat bahwa tanggung jawab untuk bersaksi, yaitu mengembangkan tugas rasuli, pertama-tama terletak di tangan persekutuan rasuli, yaitu gereja.

Sebagai individu, orang bertanggung jawab untuk bersaksi kepada teman, rekan dan

tetangganya; namun hal itu tidak terlepas dari gereja setempat yang ditugaskan

Tuhan untuk mengadakan kesaksian di tempat tersebut. Sebab itu, seharusnya

jemaat setempat memampukan serta mengatur anggota-anggotanya agar menjadi saksi-saksi

Kristus di dunia. Dan kiranya setiap orang Kristen melimpahkan seluruh usaha, doa dan karunianya kepada program penginjilan dari gereja atau kelompok Kristen setempat.

Bahan Alkitab

Ibadah:

#/TB Kejadian 8:20; Keluaran 15:1-18; 1Samuel 2:1-10; 1Tawarikh 29:10-13*;

#/TB Nehemia 9:5-6; Mazmur 148:1-150:6; Yesaya 6:1* dst.;

#/TB Amos 5:21-27; Maleakhi 3:10*;

#/TB Matius 6:1-18; 18:20; Markus 14:22-26; Yohanes 4:24; Roma 12:4-8*;

#/TB 1Korintus 11:18-22; 16:1-4; Filipi 1:9-11; 3:3; 4:20*;

#/TB 1Timotius 1:17; 3:16; 4:13; 6:15-16; Ibrani 10:19-25; 13:15*;

#/TB Yakobus 5:13; Yudas 1:24-25; Wahyu 1:5-6; 4:8-11; 5:11-14; 22:16*.

Persekutuan:

#/TB Kisah 2:42-47; Roma 5:5; 12:13; 15:1,5-7,25-26*;

#/TB 1Korintus 10:16; 13:1-13; 1Tesalonika 3:6,12-13; 2Tesalonika 1:3*;

#/TB Ibrani 13:2,16; 1Petrus 4:9; 1Yohanes 1:3,7*.

Pelayanan:

#/TB Keluaran 35:10-33; Bilangan 18:15-16; 19:12; Hakim 3:10*;

#/TB 1Samuel 10:10; Nehemia 8:7-8*;

#/TB Markus 4:10-11; Lukas 6:12-13; 22:24-27*;

#/TB Yohanes 13:14-16; 20:21; Kisah 6:1-7; 11:30; 14:23*;

#/TB Efesus 4:11-16; 1Timotius 3:1-13; 1Petrus 5:1-5; Wahyu 1:6*.

Kesaksian:

#/TB Yesaya 43:10-13*;

#/TB Matius 28:18-19; Kisah 1:8; 4:20; 13:1-3*;

#/TB 2Korintus 5:11-20; 1Yohanes 1:2*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Prinsip-prinsip apa yang melandasi ibadah umat Allah dalam Perjanjian Lama?

Sebutkanlah beberapa perbedaan dengan ibadah menurut Perjanjian Baru.

2.   Bahaslah peranan kebebasan dan keteraturan dalam ibadah: petunjuk apa yang diberikan oleh Alkitab di sini?

3.   Apa yang dimaksudkan dengan ”persekutuan” (_koinonia_)? Selidikilah cara-cara persekutuan ini dinyatakan dalam gereja-gereja Perjanjian Baru. Apa padanannya sekarang ini?

4.   Cobalah menilai arti pokok-pokok berikut bagi persekutuan sejati:

 

( a) ajaran rasuli (#/TB Kis 2:42*),

( b) perjamuan kudus (#/TB 1Kor 10:11*), dan ( c) Roh Kudus serta karunia-Nya (#/TB 1Kor 12:1-31*).

5.   Apa artinya ajaran Alkitab mengenai karunia-karunia Roh dalam hubungannya dengan pelayanan di gereja?

6.   Sebutkan syarat-syarat Perjanjian Baru untuk pelayanan-pelayanan khusus di gereja (bnd. #/TB 1Tim 3:1-13; Tit 1:9-15; Kis 6:3*).

7.   Bagaimana kesaksian gereja dapat memuliakan Allah?

8.   Apa yang tercakup dalam “misi”?

9.   Apa dasar-dasar alkitabiah bagi keterlibatan sosial orang Kristen?

10. Apa yang diajarkan oleh Alkitab tentang misi melalui

 

( a) doa,

( b) persembahan berupa uang,

( c) kesaksian secara perorangan, dan

( d) kesaksian secara bersama?

 

Selidikilah dampaknya di setiap bidang bagi tanggung jawab pribadi Anda kepada misi.

Kepustakaan (28)

Allen, Roland.

1960 Missionary Methods—St. Paul’s or Ours? (World Dominion Press).

Bavinck, J. H.

1961 An Introduction to the Science of Missions (Presbyterian &

Reformed),

Blauw, J.

1974 The Missionary Nature of the Church (Lutterworth).

Bridge, D. & Phypers, D.

1973 Spiritual Gifts and the Church (IVP).

Copley, D.

1978 Building with Bananas (Paternoster).

Douglas, J. D.

1975 Let the Earth Hear His Voice (Worldwide).

Green, E. M. B.

1964 Called to Serve (Hodder).

Martin, R. P.

1964 Worship in the Early Church (Morgan & Scott).

Milne, B.

1978 We Belong Together (IVP).

Morris, L.

1964 Ministers of God (IVP).

Packer, J. I.

1961 Evangelism and the Sovereignty of God (IVP).

Stott, J. R. W.

1969 Our Guilty Silence (IVP).

1975a  _ Baptism and Fullness_ (IVP, edisi ke-2; ada juga terjemahan ke

dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh YKBK).

1975b  _ Christian Mission in the Modern World_ (Falcon).

 

 

 

29. PERTUMBUHAN GEREJA

 

Seharusnya gereja lebih merupakan organisme daripada organisasi, artinya gereja adalah sesuatu yang hidup dan bertumbuh. Pertumbuhan itu menyangkut baik kuantitas (menambah anggota melalui pekabaran Injil) maupun kualitas (memperdalam dan mematangkan kehidupan dan imannya). Dalam pasal ini kita memperhatikan secara khusus aspek kedua itu, tetapi sebenarnya kedua dimensi itu tidak pernah dapat terpisah. Gereja yang sehat dan bertumbuh akan diberkati baik dengan penambahan orang yang baru bertobat maupun akan menjadi semakin serupa dengan Kristus. Allah telah menyediakan sarana tertentu untuk mencapai pertumbuhan ini.

29.1           Firman Allah

 

Sarana Allah yang paling unggul untuk memperbarui umat-Nya menurut citra Kristus

adalah firman-Nya (#/TB Yoh 17:17; bnd. #/TB 2Tim 3:16-17*), karenanya

pengajaran firman adalah sentral dalam pekerjaan pendeta (#/TB 2Tim 4:2*)

sebagaimana terlihat dalam contoh Paulus sendiri (#/TB Kis 20:20-21*). Sama

seperti Roh Kudus menggunakan firman untuk membawa orang kepada iman dalam

Kristus (#/TB Ef 1:13*), begitu juga Ia memakainya untuk pengudusan (#/TB Ef 5:26-27*).

a.   Khotbah (pemberitaan firman)

 

Pembacaan dan penjelasan Alkitab oleh kuasa Roh Kudus mempunyai arti yang tak terhitung nilainya bagi pembaruan dan pertumbuhan umat Allah. Sesungguhnya kehidupan gereja setempat bergandengan dengan penjelasan firman yang diterimanya, artinya, khotbah-khotbah yang mengupas ajaran Alkitab dan menerapkannya secara relevan. Jika pengajaran dalam khotbah dangkal saja, demikian pula kehidupan gereja.

b.   Penelaahan Alkitab secara pribadi

 

Menjadi orang Kristen yang mantap berarti harus belajar firman Allah. Karena itu, disiplin menelaah Alkitab setiap hari adalah cara pertumbuhan rohani yang nyata dan diberkati Tuhan. Membaca dan merenungkan Alkitab secara pribadi dapat membawa berkat-berkat yang tak terhitung banyaknya.

Memang harus diakui juga ada bahaya dalam kebiasaan ini, misalnya sikap yang bersifat takhyul saja bisa berkembang jika bagian Alkitab untuk dipelajari dilepaskan dari konteksnya dalam Alkitab, dan si pembaca mencoba memperoleh pesan khusus dari dalamnya yang berhubungan dengan keadaannya hari itu. Tentu saja sewaktu-waktu Allah membuat firman-Nya menjadi luar biasa relevan untuk keadaan khusus, tetapi perlu diingat bahwa seluruh Alkitab adalah firman Allah untuk manusia sepanjang waktu; kebenaran yang terkandung di dalam setiap ayat adalah bagian dari keseluruhan kebenaran dalam konteks alkitabiah dan teologis (lihat di atas: ps 3.6). Prinsip-prinsip penafsiran yang tepat harus dipakai dalam usaha pribadi untuk mengerti Alkitab, bukan hanya dalam usaha di depan umum.

Perlu juga menjaga terhadap bahaya lain, yaitu menganggap bahwa kita layak menerima berkat Tuhan karena sudah memenuhi kewajiban sehari-hari untuk belajar Alkitab; atau sebaliknya, bahaya merasa salah dan yakin bahwa ”hari ini pasti kacau” karena tidak sempat mempelajari Alkitab. Allah yang berdaulat dalam kemuliaan tidak bergantung pada usaha kita yang lemah. Tanpa itu pun Dia dapat memberlakukan maksud-Nya dalam kehidupan kita, untuk melindungi dan memberkati menurut kemurahan-Nya.

Namun demikian, janganlah kita membiarkan bahaya-bahaya ini menghalangi kebiasaan seumur hidup untuk mempelajari firman Allah setiap hari, suatu kebiasaan yang tak ternilai manfaatnya.

c.   Penelaahan Alkitab berkelompok

 

Kita melihat adanya kelompok penelaahan Alkitab informal dalam Perjanjian Baru (#/TB Kis 17:11*). Kelompok seperti ini telah menjadi faktor dalam pembaruan gereja, khususnya ketika berkhotbah di depan umum dilarang atau ditolak. Namun agar menjadi bermanfaat, diperlukan kepemimpinan tangguh dan keuletan dalam menghindari kecenderungan untuk menyimpang dari pokok pembicaraan, menonjolkan pendapat sendiri, atau tukar menukar kesaksian yang tidak jelas hubungannya dengan bagian Alkitab yang sedang dipelajari. Asalkan bahaya ini disadari dan dihindari, tak salah lagi, penelaahan Alkitab berkelompok merupakan cara yang benar-benar melestarikan pertumbuhan gereja.

29.2           Sakramen

 

“Sakramen” (Lat._ sacramentum_) secara sederhana dapat disebut “ungkapan lahir dan nyata dari anugerah batin dan tidak nyata” (Katekismus gereja Anglikan).  Jika istilah ini dibatasi pada yang diperintahkan oleh Kristus, hanya ada dua sakramen: baptisan dan perjamuan kudus. Ada yang menganggap bahwa hal ini ditegaskan dalam dua ketetapan Perjanjian Lama yaitu sunat dan Paskah.

Pada Konsili Trent (1545-63) Gereja Roma Katolik mengaku tujuh sakramen, karena mereka menambahkan hukuman dosa (_penitentia_), pentahbisan imam, pernikahan, peneguhan sebagai anggota jemaat dan pemberian minyak kepada orang pada saat meninggal. Mungkin saja acara-acara seperti itu ada gunanya dalam kehidupan gereja, namun tidak ada dukungan dalam Alkitab untuk menganggapnya sakramen.  Sedangkan orang Kristen Menonit mengenal satu sakramen tambahan, yaitu ”pembasuhan kaki” berdasarkan #/TB Yohanes 13:14-15*. Harus diakui bahwa pembasuhan kaki itu sering menghasilkan kerendahan hati dan keindahan watak dalam budi pekerti kelompok-kelompok tersebut, namun hampir semua penafsir setuju bahwa perintah Yesus ini hanya menuntut sikap saling melayani dengan rendah hati, bukan menetapkan sakramen.

Ada juga orang Kristen, seperti Bala Keselamatan, yang tidak melaksanakan sakramen, bahkan mereka melawan usaha untuk menghargai sakramen secara berlebihan atau membatasi anugerah Allah kepadanya. Namun kebanyakan orang Kristen berpendapat bahwa ini tidak cukup sebagai alasan untuk mengabaikan perintah Kristus untuk melaksanakan sakramen.

Sakramen mempunyai tiga unsur utama, yakni tanda, anugerah dan hubungan antara kedua-duanya.

(1)  Tanda yang dilihat berupa air pada baptisan dan roti serta anggur pada perjamuan kudus.

(2)  Anugerah yang tidak dilihat ditunjukkan oleh sakramen itu. Banyak orang Kristen ingin menambahkan di sini bahwa sakramen memeteraikan anugerah itu (menjaminnya) bagi orang percaya. Dalam hal baptisan, anugerah ini adalah ”permandian kelahiran kembali” (#/TB Tit 3:5*), pengampunan dosa (#/TB Kis 2:28*), penyatuan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan (#/TB Rom 6:1*) serta keanggotaan dalam tubuh Kristus (#/TB 1Kor 12:12*). Dalam hal

perjamuan kudus, anugerah adalah penerimaan manfaat pengurbanan Kristus (#/TB 1Kor 10:16*),

semacam makanan rohani dari tubuh Kristus (#/TB 1Kor 11:24*) dan persekutuan dengan umat Allah (#/TB 1Kor 10:17*).

(3)  Hubungan sakramental antara tanda yang dilihat dan anugerah yang tidak dilihat diartikan menurut berbagai cara. Pada satu ekstrim, ada yang menganggap tanda dan anugerah itu identik; sedangkan pada ekstrim yang lain, hubungan antara tanda dan anugerah diartikan hanya secara simbolis. Yang terakhir itu sering dihubungkan dengan reformis abad ke-16, Zwingli. Ayat-ayat utama yang menyatakan bahwa Kristus menetapkan baptisan dan perjamuan kudus juga menyebut hal mengajar (#/TB Mat 28:20) dan memberitakan (#/TB 1Kor 11:26*).

Sakramen-sakramen adalah sakramen Injil, yang menunjuk kepada Kristus, kematian

dan kebangkitan-Nya bagi orang berdosa. Para reformis ketika mengoreksi

penyalahgunaan sakramen oleh gereja yang bersifat takhyul itu, menekankan

perlunya memberitakan firman pada waktu melaksanakan sakramen. Mereka mendukung

Augustinus yang melukiskan sakramen sebagai ”kata-kata Allah yang nyata”. Ini prinsip yang penting, karena hanya dalam terang firman sakramen itu dapat berperan secara tepat, yaitu sebagai penegasan dan dukungan yang mengantar kepada Kristus dan menegaskan iman kepada Dia.

a.   Baptisan

 

Perjanjian Lama menyebutkan upacara penyucian atau acara lain yang menggunakan air untuk menyatakan pembersihan dari polusi dan rasa bersalah karena dosa (#/TB Kel 19:14-15; Im 16:4,24; bnd. Mazm 51:4*).

Dalam konteks langsung misi Yesus, baptisan yang dilaksanakan oleh Yohanes (#/TB Mr 1:2-11; Yoh 19:34*) menitikberatkan dua pokok. Baptisan itu adalah baptisan karena bertobat (#/TB Mat 3:2*), mendahului kedatangan kerajaan Allah yang akan membawa penghakiman berat (#/TB Mat 3:7-12*).

Yesus sendiri dibaptiskan oleh Yohanes. Ini menimbulkan pertanyaan mengapa Dia harus dibaptis sebagai tanda pertobatan, sedangkan Dia tak berdosa, suatu hal yang juga membingungkan Yohanes (#/TB Mat 3:14*). Penjelasannya ada dua.  Pertama, Yesus sadar bahwa Mesias yang dijanjikan harus menjadi satu dengan mereka yang Ia selamatkan: ”Biarlah hal itu terjadi karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (#/TB Mat 3:15*).  Kedua, Yesus menyerahkan diri terhadap Bapa-Nya di depan umum untuk karya penyelamatan (#/TB Mat 3:17*) dengan cara yang jelas mengakui Yohanes sebagai pendahulu-Nya yang dipilih Allah (#/TB Luk 7:24 dst.; #/TB Mal 3:1*).

Yesus mengizinkan murid-murid-Nya untuk membaptis pada permulaan pelayanan umum-Nya

ketika Yohanes masih aktif (#/TB Yoh 3:22; 4:1*). Ia juga menyebutkan pekerjaan-Nya sebagai pembaptisan, suatu penyelaman dalam air penuh penderitaan (#/TB Luk 12:50*; Yun. baptizo ‘selam’, atau ‘menyebabkan binasa karena tenggelam’).

Sebagai Tuhan yang telah bangkit Yesus mengutus gereja untuk menjadikan bangsa-bangsa sebagai murid-Nya dan membaptisnya dalam nama Allah Tritunggal:

Bapa, Anak dan Roh Kudus (#/TB Mat 28:19-20*). Selebihnya, Perjanjian Baru menceritakan bagaimana gereja menggenapi penugasan itu.

Arti baptisan

Baptisan adalah _pengakuan iman dalam Kristus _(#/TB Rom 6:3-4; 1Pet 3:21*;

#/TB Kis 8:37*), yang berhubungan dengan pengakuan di depan umum bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat (#/TB Kis 2:38; 10:48; 8:16*).

Baptisan adalah mengalami persekutuan dengan Kristus (#/TB Kol 2:12*).  Calon baptisan dihubungkan oleh iman dengan Tuhan yang atas nama-Nya ia dibaptis, supaya dalam pengertian tertentu ia ikut serta dalam kematian dan kebangkitan Kristus itu. Maka bagi Perjanjian Baru baptisan adalah saat ideal ketika orang berdosa bergabung dalam persekutuan dengan seluruh kegiatan penebusan Kristus, hidup, kematian, kebangkitan, kenaikan dan pemerintahan-Nya (#/TB Gal 2:20; Ef 2:5-6*). Ini tidak berarti bahwa keselamatan diberikan melalui acara baptisan itu sendiri. Hanya iman yang menyelamatkan atau, lebih tepat lagi, Kristus (yang diterima oleh iman) yang menyelamatkan. Tetapi dalam Perjanjian Baru, baptisan biasanya dilakukan saat iman itu dinyatakan di hadapan umum, sehingga merupakan tanda seseorang mengaku iman kepada Kristus dan memperoleh berkat penyelamatan-Nya berupa penyucian dari dosa, pembaruan dalam Roh, perlengkapan untuk pelayanan dan penerimaan menjadi anggota tubuh Kristus (#/TB 1Kor 12:12; 1Pet 3:21*).

Baptisan adalah penyerahan diri untuk hidup bagi Kristus (#/TB Rom 6:4-22*).

Jadi hidup sembrono dilihat sebagai penyangkalan baptisan.

Baptisan adalah janji penggenapan melalui Kristus (#/TB Rom 6:22*).  Seperti perjamuan kudus, baptisan mengarahkan perhatian ke belakang kepada peristiwa-peristiwa besar tentang Injil pada masa lampau, dan ke depan kepada penggenapan kerajaan, yang sudah mulai dialami oleh orang yang bersatu dengan Kristus melalui iman.

Baptisan dan gereja

Pada zaman Perjanjian Baru tidak ada orang Kristen yang tidak termasuk salah satu gereja atau persekutuan Kristen, karena respons kepada Injil dengan baptisan membawanya ke dalam persekutuan dengan kelompok umat Kristen setempat.  Kesulitan sekarang untuk menerapkan ajaran ini pada masa kini adalah karena baptisan dipisahkan dari pertobatan (pengakuan menjadi pengikut Kristus) sehingga sering kali bertahun-tahun memisahkannya. Kita juga terhambat karena ”gereja” sudah mendapat struktur berlembaga dan tidak lagi hanya persekutuan hidup dari orang-orang dalam Kristus seperti dulu.

Baptisan dan Roh Kudus

Sejumlah ayat menunjukkan kaitan antara baptisan dengan air dan baptisan dengan Roh (#/TB Gal 3:26-27; 1Kor 12:12; Kis 2:38*).

Siapa yang boleh dibaptis?

Ajaran di atas akan diterima oleh orang Kristen yang termasuk dalam beraneka ragam gereja (denominasi), tetapi ada satu pokok perbedaan dasar yang masih perlu disebut. Apakah baptisan itu terbatas untuk orang yang menyatakan iman dalam Kristus, ataukah baptisan dapat dilaksanakan juga kepada anak-anak orang percaya? Dalam Perjanjian Baru baptisan agaknya dilaksanakan bagi orang yang menyatakan iman pribadi mereka, sehingga masalahnya menjadi: dukungan Alkitab apa yang dapat dikemukakan untuk pembaptisan anak? Di bawah ini diberikan beberapa argumentasi yang sering dipakai.

(1)  Menurut beberapa orang ada dua sakramen dalam Perjanjian Lama, yakni sunat dan Paskah. Di dalam Perjanjian Baru baptisan menggantikan sunat sebagai upacara permulaan, dan perjamuan kudus menggantikan Paskah sebagai upacara persekutuan.  Sunat dilakukan dalam keluarga setelah bayi laki-laki berumur delapan hari (#/TB Kej 17:12*); dengan begitu baptisan seharusnya juga berlaku bagi anak-anak orang percaya. Menurut pandangan ini kedua sakramen dikatakan sama dalam #/TB Kolose 2:11-12*, dan sifat kedua perjanjian sebagai perjanjian anugerah dan iman dinyatakan oleh Paulus dalam #/TB Roma 3:21-4:24*. Demikian juga pengertian janji dalam #/TB Kisah 2:39*.

 

Tetapi masalahnya ialah, apakah ini penafsiran yang tepat dari #/TB Kolose 2:11-12* dan ajakan Paulus dalam Surat Roma? Ada juga pertanyaan, apakah pandangan ini dapat menampung kenyataan bahwa pada zaman Perjanjian Baru kedua upacara, sunat dan baptisan, dilangsungkan berdampingan. Yesus, murid-murid-Nya dan generasi pertama orang Kristen Yahudi semuanya diberikan kedua upacara itu; jadi tidak ada bukti bahwa gereja mula-mula menganggap yang satu sebagai pengganti dari yang lain.

(2)  Dalam Perjanjian Baru ada berbagai laporan tentang baptisan terhadap seluruh anggota rumah tangga (#/TB Kis 16:15,13; 1Kor 1:16*; #/TB 1Kor 16:15-16*).  Bukankah ini berarti bahwa anak-anak juga ikut dibaptis? Penangkis pandangan ini menunjuk pada keterangan mengenai iman dalam #/TB Kisah 16:31,34*; bahwa Lidia tidak dilukiskan sebagai seorang ibu muda dengan bayi kecil; dan bahwa anggota rumah tangga di Korintus disebut sebagai anggota yang bertanggung jawab (#/TB 1Kor 16:15-16*). Apakah pokok-pokok penyanggahan ini meyakinkan?

(3)  Paulus berbicara tentang anak-anak orang percaya dan menyebutnya “suci” (#/TB 1Kor 7:14*). Walaupun tidak ada sebutan langsung tentang baptisan, agaknya ia menunjukkan perbedaan antara anak orang percaya dan anak orang yang tidak percaya. Tetapi dari segi yang lain, ditunjukkan bahwa istilah “kudus” (Yun. hagios, hagiazo) dipakai lebih dulu dalam ayat yang sama mengenai pengaruh “penyucian” suami atau istri Kristen terhadap jodohnya yang bukan Kristen. Rupanya kesimpulan apa pun yang diambil dari ayat ini mengenai anak-anak orang percaya harus juga diterapkan pada jodoh yang tidak percaya dalam perkawinan.

(4)  Beberapa orang menyokong baptisan anak karena menganggapnya cara yang unik untuk menunjukkan kemurahan Allah yang bersedia menyelamatkan bahkan sebelum objek rahmat-Nya (anak) mendapat kesempatan untuk menunjukkan iman. Sedangkan

mereka yang menentang pendapat ini mempertanyakan apakah pemisahan antara rahmat

dan iman itu sesuai dengan ajaran Perjanjian Baru mengenai anugerah ataupun iman.

Demikianlah beberapa alasan untuk membaptis anak dan jawaban terhadapnya yang sering didengar. Pada akhirnya pokok perselisihan yang hakiki adalah soal kesinambungan dan perbedaan antara perjanjian yang lama dan yang baru.

Pada satu pihak, ada orang yang membatasi baptisan hanya pada orang percaya (aliran ”baptis”, yaitu gereja Baptis, Pentakosta dan lain-lain). Orang itu perlu merenungkan apakah mereka benar-benar memberi tempat pada unsur kesinambungan antara kedua perjanjian itu. Jika kesinambungan ini dianggap penting, maka fakta bahwa Perjanjian Baru tidak menyinggung masalah ini mendukung hal baptisan anak-anak, sejajar dengan penyunatan anak-anak, sama seperti kalau hal itu jelas disebutkan.

Pada pihak lain, ada orang yang membaptis anak orang percaya (aliran ”paedo-baptis”, mencakup gereja Kalvinis dan Lutheran, Metodis dan Anglikan, demikian juga gereja Roma Katolik). Sebaiknya orang itu juga bertanya pada dirinya apakah mereka pernah mempertimbangkan unsur perbedaan antara kedua perjanjian itu.  Apakah perjanjian baru yang mereka anut benar-benar baru? Apakah mereka sudah merenungkan fakta bahwa kerajaan Allah sudah dekat dan Mesias sudah datang, dengan segala dampaknya bagi arti iman? Jika tidak, fakta bahwa Perjanjian Baru tidak menyinggung baptisan anak-anak merupakan kesulitan serius.

Orang Kristen masih tidak sependapat mengenai soal ini. Tetapi janganlah kita mengabaikan kenyataan bahwa Allah telah memberkati pelayanan hamba-hamba-Nya dari kedua belah pihak perselisihan, misalnya Luther dan Wesley (dari aliran “paedo-baptis”) serta Spurgeon dan Billy Graham (dari aliran “baptis”). Pada zaman modern ada banyak orang Kristen yang berpendapat “paedo-baptis” dan banyak juga yang berpendapat ”baptis”. Sekalipun kita berbeda pendapat namun kita harus saling menghargai. Tidak perlu ada perselisihan fanatik mengenai masalah ini.

b.   Perjamuan kudus

 

Sakramen Kristen kedua ini diberi berbagai nama, antara lain: perjamuan kudus, perjamuan malam, pemecahan roti, ekaristi, komuni, misa. Asalnya dari perjamuan malam terakhir, ketika ”pada malam waktu Ia diserahkan” (#/TB 1Kor 11:13*) Yesus menetapkannya sebagai acara yang harus dilangsungkan terus oleh murid-murid-Nya.Penyelidikan bukti yang relevan menyokong pandangan bahwa perjamuan malam terakhir itu adalah perjamuan Paskah tradisional yang oleh Yesus diberi arti baru. Pengidentikan ini membantu penafsiran dalam beberapa hal.

”Inilah tubuhKu ... Cawan ini adalah perjanjian baru ... perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (#/TB Luk 22:19-20*). Yesus berbicara dalam bahasa Aram, jadi sebenarnya tidak ada kata yang berarti ”adalah”. Mungkin saja maksudnya ”berarti” atau ”mewakili”.

Pada abad pertama orang Yahudi melihat hubungan antara makan Paskah dan peristiwa keluaran yang dilukiskannya (#/TB Ul 16:3*). Dengan makan Paskah mereka percaya bahwa peristiwa masa lampau hidup kembali pada saat sekarang sehingga, seperti dikatakan Misyna, ”di setiap generasi orang harus menganggap bahwa ia sendiri seolah-olah keluar dari Mesir”. Mengikuti pikiran ini maka roti yang dipecahkan oleh Yesus pada makan malam itu dan cawan yang diambil-Nya berbicara tentang tubuh dan darah-Nya yang dikurbankan sebagai jalan keluaran baru (bnd. #/TB Luk 9:31*) dan untuk menetapkan perjanjian baru. Ketika perjamuan itu diulangi oleh murid-murid-Nya, acara itu berarti bahwa mereka berbagi rasa dalam peristiwa yang mendasari perjanjian itu (yaitu kematian Kristus) dan mengambil bagian dalam berkat-berkatnya.

Kebanyakan bahasa Eropa harus menambah kata yang berarti ”adalah” pada kalimat

”roti ini tubuh-Ku” dan karena itu timbul teori yang menyamakan roti dan anggur

dengan daging dan darah Yesus yang sesungguhnya, seolah-olah roti ”adalah” (sama

dengan) tubuh Yesus dan anggur adalah darah-Nya. Hal ini sama sekali tidak

benar. Tetapi pandangan ekstrim yang lain, yang hanya melihat perjamuan kudus

sebagai peringatan simbolis, semacam Hari Pahlawan versi Kristen, juga tidak

memuaskan karena agaknya ada hubungan batin yang sungguh-sungguh dengan Tuhan

dalam kematian-Nya dan bukan hanya peringatan bersifat mental (bnd. #/TB 1Kor 10:16*).

Perjanjian yang lama antara Allah dan Israel sudah lama dirusakkan oleh ketidaktaatan dan kemurtadan bangsa itu (#/TB Yer 3:20*). Di tengah-tengah reruntuhan tatanan lama, Yeremia memimpikan suatu perjanjian baru yang akan dibuat oleh Allah ketika Ia akan menulis hukum-Nya ”dalam hati mereka” dan dosa mereka tidak diingat lagi (#/TB Yer 31:31-34*). Hubungan baru ini menitikberatkan batin, tanggung jawab pribadi dan pengampunan dosa secara penuh dan tuntas, dan hubungan baru ini dimulai oleh Yesus dengan pengurbanan-Nya.

“Cawan” perjanjian mempunyai berbagai hubungan dalam Perjanjian Lama. Pada

umumnya cawan itu mengacu pada hubungan manusia dengan Allah. Kalau hubungan ini

positif, manusia beriman menikmati piala yang penuh melimpah (#/TB Mazm 23:5*).  Jika manusia berdosa dan berpaling dari Allah, ia mendapat piala beranggur pahit (#/TB Mazm 75:9*). Inti kepahitan itu terletak dalam hal menjadi kurban murka ilahi, dan rupanya di sinilah harus dicari arti sepenuhnya dari acuan pada saat perjamuan kudus sedang berjalan. Inilah cawan yang diminta oleh Yesus untuk dilewatkan dari-Nya di Getsemane (#/TB Luk 22:42-43*). Perjanjian baru dengan segala berkatnya tidak ringan dan tidak mudah untuk diberlakukan. Hanya ketika dampak-dampak yang mengerikan dari terputusnya hubungan manusia dengan Allah itu dihadapi, yaitu dengan jalan ada Orang yang menanggung murka ilahi terhadap dosa, maka perjanjian yang baru itu diwujudkan dan manusia yang berdosa itu ditebus.

Orang Yahudi harus mengadakan perjamuan Paskah setiap tahun dan setiap kali mengakui ketergantungan mereka atas karya penebusan yang bersejarah itu serta menggunakan manfaatnya (#/TB Kel 12:14; 13:9*). Begitu pula, gereja dalam setiap perayaan perjamuan kudus memberi kesaksian mengenai karya bersejarah yang menjadi dasarnya itu, yaitu penebusan (#/TB 1Kor 11:24-26*), dan kembali lagi merasakan melalui iman manfaat-manfaat kurban kudus itu.

Setiap laporan tentang perjamuan itu mengarahkan pikiran ke depan pada akhir zaman. Menurut Matius dan Markus, Yesus mengatakan bahwa Ia tidak akan minum hasil pokok anggur sampai Ia minum yang baru dalam kerajaan yang akan datang (#/TB Mat 26:29; Mr 14:25*). Lukas mencatat bahwa Yesus mengatakan dalam konteks yang sama bahwa para murid akan ”makan dan minum semeja dengan Aku di dalam kerajaanKu” (#/TB Luk 22:29-30*). Paulus menambahkan bahwa perjamuan kudus selalu harus dirayakan ”sampai Ia datang” (#/TB 1Kor 11:26*). Jadi, perjamuan kudus menurut pemikiran Yesus harus dengan sengaja dan sadar dirayakan sambil menunggu penggenapan kerajaan Allah yang akan datang. ”Pada selamat tinggal-Nya ditambahkan ‘sampai jumpa lagi”‘ (Martin). Sayang pada perjamuan kudus modern, dimensi alkitabiah ini—yakni sukacita mengharapkan penyatuan sempurna dengan Tuhan pada kedatangan-Nya kembali—sudah hampir hilang.

Ada empat garis penafsiran utama dalam gereja tentang pengertian tentang perjamuan kudus, yakni pandangan Roma dan tiga pandangan Protestan.

Pandangan Roma

Dalam misa, unsur-unsur roti dan anggur dikuduskan oleh imam, yang menurut

peraturan sudah ditahbiskan dalam garis keturunan dari para rasul. Dengan

demikian, menurut pandangan Roma, roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan

darah Kristus. Memang rasa dan bentuknya masih tetap sama, tetapi substansi atau

sarinya tidak lain dari tubuh dan darah Kristus sebenarnya. Secara teknis ini

dikenal sebagai “transubstansiasi”. Sebagai pengakuan akan hal ini, imam

mengangkat hosti (Lat. hostia ‘kurban persembahan’) untuk disembah oleh

jemaat. Mereka yang mengambil bagian dalam sakramen dikatakan telah dijamu dari

tubuh dan darah Kristus sendiri. Dasar pandangan ini berasal dari filsuf Yunani,

Aristoteles, dan menuruti kerangka acuan yang gagasannya asing sekali bagi

seorang Yahudi seperti Yesus. Lagi pula pandangan ini mengaburkan, bahkan

menentang, penegasan yang sangat menentukan bahwa satu-satunya kurban pendamaian

yang berlaku sudah dipersembahkan sekali untuk selama-lamanya di Golgota (#/TB Ibr 7:27; 9:12; 10:10*).

Selanjutnya pernyataan bahwa imam mempersembahkan Kristus di mezbah kedengaran

seperti menghujat bagi orang yang akrab dengan Alkitab.

Pandangan Luther

Luther menolak ”transubstansiasi”. Menggantikan pandangan itu ia mengemukakan bahwa tubuh dan darah Kristus ada “dalam” dan “di bawah” unsur roti dan anggur.

Tidak ada perubahan dalam substansi unsur-unsur itu, tetapi pada waktu

menerimanya jemaat sesungguhnya menerima tubuh Kristus yang sudah dimuliakan dan

memang ada di mana-mana. Dengan demikian, Kristus benar-benar hadir dalam Perjamuan, dilokalisasi dalam unsur-unsur roti dan anggur yang tidak berubah sifatnya.

Pandangan Zwingli

Menurut pandangan ini perjamuan hanya bersifat simbolis. Secara hidup, sakramen ini mengingatkan jemaat akan apa yang dilakukan Kristus baginya di kayu salib dan dia diajak untuk kembali menyerahkan hidupnya kepada Allah dalam terang salib. Kristus hadir hanya dengan pengertian bahwa Ia selalu hadir dengan orang percaya melalui Roh Kudus yang mendiami manusia.

Pandangan Calvin

Calvin mengemukakan bahwa Kristus benar-benar menjadi jamuan, kalau peserta perjamuan datang dengan iman yang tulus. Kristus seutuhnya, daging maupun roh, yang dijamukan. Namun penekanan jatuh pada segi spiritual dan mistik dari persekutuan dengan Kristus melalui Roh Kudus. Oleh Roh Kudus, gereja mengalami persekutuan dalam perjamuan dengan kepala gereja yang dimuliakan, Tuhannya, dan makan dari-Nya untuk memupuk imannya.

29.3           Doa

 

Dalam Perjanjian Lama terdapat sejumlah besar contoh tentang Allah yang memberkati bangsa-Nya sebagai jawaban atas doa mereka (#/TB Kej 18:16-33; Kel 3:7-10; Bil 21:4-9; 1Raj 18:20-39; Neh 1:1-11*).

Lagi pula doa diberikan tempat yang sangat penting dan teratur dalam pelayanan

Yesus (#/TB Luk 3:21; 5:16; 9:28-29; Ibr 5:7*) dan murid-murid dengan tekun

mengikuti teladan-Nya baik secara bersama maupun secara individual

(#/TB Kis 1:14; 2:42; 4:4-6,23- 31; Ef 1:16; Fili 4:1-23*). Yesus tidak

hanya memberi contoh. Ia juga mengajar murid-murid untuk selalu berdoa dan juga

tentang bagaimana melakukannya (#/TB Mat 5:44*; #/TB Mat 6:5-15; Luk 1:1-13; 18:1- 8*).

Nasihat untuk berdoa bergema dalam tulisan-tulisan rasuli (#/TB Ef 6:18*;

#/TB Kol 4:2; 1Tes 5:17; 1Tim 2:1-2; Yak 5:13-18*). Tentu saja orang tidak berdoa hanya karena doa itu menyenangkan. Doa yang seimbang mengandung puji dan syukur kepada Allah dan doa syafaat bagi orang lain selain permohonan pribadi.  Meskipun begitu, kita didorong agar sering menghadap Allah dan memohon pertolongan dan berkat dalam tantangan hidup dan melayani Dia di dunia ini.

Doa seharusnya tidak dilalaikan, baik secara bersama maupun secara perorangan.

Janji akan berkat khusus dihubungkan dengan doa bersama (#/TB Mat 18:19-20).

Hal ini dialami dalam gereja mula-mula (Kis 1:14*; #/TB Kis 2:42*). Cara

berdoa secara teratur dengan teman seiman akan membawa angin baru dan kegairahan

dalam permohonan dan syafaat pribadi yang sering kurang semangat dan tersendat-sendat.Kiranya tidak perlu disangsikan lagi bahwa sejak dahulu pemulihan kembali dalam gereja didahului serta diiringi doa pribadi dan bersama yang sungguh-sungguh.

Alkitab menjanjikan bahwa doa yang demikian didengar dan Allah berkenan mengabulkannya. Jawaban atas doa mungkin tidak selalu seperti yang kita harapkan, tetapi kita boleh yakin bahwa pemberian Allah kepada orang yang berdoa merupakan hal terbaik untuk kepentingannya sebagai ungkapan kasih-Nya yang paling dalam. Selain itu, ada semacam anugerah bila kita menyisihkan waktu untuk berhubungan dengan Allah dalam doa. Anugerah itu tidak langsung nyata dan tidak dapat langsung diukur dan ada baiknya demikian, agar kita tidak mencari Allah hanya untuk apa yang bisa didapatkan dari-Nya. Namun sejarah Kristen membenarkan bahwa kehidupan yang dibina dengan berdoa secara teratur dan sungguh-sungguh adalah kehidupan yang akan banyak mengenal damai dan kuasa Allah.

29.4           Persekutuan

 

Persekutuan dengan orang lain dalam tubuh Kristus mendatangkan anugerah yang

ampuh bagi orang Kristen. Allah tidak pernah bermaksud agar orang Kristen hidup

menyendiri dan mencoba untuk hidup seperti itu adalah bodoh (#/TB Yoh 15:1-8; Ef 4:1-16*).Sewaktu-waktu bisa timbul situasi yang membuat orang Kristen tidak mungkin bersekutu dengan orang Kristen lain, dan kita dapat yakin bahwa Allah tidak akan membiarkan seorang pun dari anak-anak-Nya dalam keadaan seperti itu, tanpa penghiburan dan kehadiran-Nya yang khusus (#/TB 1Raj 19:1- 18; Kis 23:11*).

Tetapi jika persekutuan terbuka bagi kita, maka kita hanya mengundang malapetaka

rohani kalau tetap menyendiri. Dalam hal ini, bukanlah tidak berarti bahwa

sebagian besar ajaran Alkitab mengenai kehidupan Kristen ditujukan kepada

gereja, artinya kepada kelompok orang Kristen dalam persekutuan. Maka orang

Kristen harus sadar bahwa orang lain dapat menyediakan persekutuan untuk

kehidupan dan pertumbuhan Kristen kita; demikian juga kita harus berpartisipasi

sepenuhnya dalam memberi dukungan untuk pertumbuhan anggota-anggota segerejanya

(#/TB 1Kor 12:24-25*; #/TB Gal 6:2; 1Tes 5:14*).

29.5           Penderitaan

 

Gereja terpanggil untuk mengikuti Kepala dan Tuhannya, khususnya dalam penderitaan dan penolakan (#/TB Luk 14:25-33; Yoh 12:23-25; Rom 8:17*;

#/TB Wahy 1:9*). Salib itu menentukan kehidupan dan misi Yesus, demikian pula harus menentukan kehidupan dan misi pengikut-Nya. Gereja itu merupakan persekutuan di bawah salib (#/TB Mr 8:3-38; Kis 14:22*; #/TB 2Tim 3:12*).  Menurut Perjanjian Baru, penderitaan merupakan tanda dasar kesaksian dan kehidupan Kristen. Kata Yunani untuk ”saksi” adalah martus dan kata ”martir” diturunkan dari kata itu.

Dalam menggenapkan rencana-Nya untuk membentuk gereja menurut citra Tuhan dan memperluas kesaksiannya agar semakin lengkap di dunia, Allah memakai penderitaan, baik secara berkelompok maupun perorangan (#/TB Ayub 23:10; Mazm 119:67,71; Yoh 15:2; Rom 5:3; Ibr 12:4-13*;

#/TB 1Pet 1:6-7*).

Bahan Alkitab

Firman Allah:

#/TB Bil 29:29; 2Tawarikh 34:14-33; Nehemia 8:1-8; Mazmur 1:1-3; 19:7-11*;

#/TB Mat 4:1-10; Markus 12:24; Kisah 17:11; 20:27-32*.

Baptisan:

#/TB Keluaran 19:14-15; Imamat 16:4*;

#/TB Matius 3:1-17; 28:19-20; Markus 10:38-39; Yohanes 3:22; 4:1*;

#/TB Kisah 2:38,42-43; 8:16,36; 9:18; 10:47; 16:15*;

#/TB 1Korintus 1:13-17; 10:2; 12:12; Galatia 3:27-28; 1Petrus 3:21*.

Perjamuan kudus:

#/TB Keluaran 13:1-16; Yeremia 31:31-34; Matius 26:17-30*;

#/TB Lukas 22:7-23; 1Korintus 10:14-22; 11:17-34*.

Doa:

#/TB Kejadian 18:16-33; 32:9-32; Keluaran 17:4-16; 33:12-23; Yosua 7:6-13*;

#/TB 2Samuel 7:18-29; 1Raja 3:3-15; 18:20-39*;

#/TB 2Raja 19:14-37; 20:1-11; Nehemia 1:1-11; Daniel 9:1-23*;

#/TB Matius 9:38; 26:36-44; Markus 1:35; 9:29; 11:22-25*;

#/TB Lukas 3:21; 5:16; 11:1-13; 18:1-8; Yohanes 16:24; 17:1-26*;

#/TB Kisah 1:14; 12:5,9; Roma 1:9; 8:26; 10:1; 12:12; Efesus 6:18*;

#/TB Kolose 4:2; 1Tesalonika 5:17; 1Timotius 2:1-2; Ibrani 5:7*;

#/TB Yakobus 5:13-18*.

Persekutuan:

#/TB Kejadian 2:18; Keluaran 17:8-16; 1Samuel 23:16*;

#/TB Lukas 22:28; Yohanes 15:1-8; Kisah 2:42-47; 4:32-37*;

#/TB Roma 1:12; 15:1-7; 1Korintus 12:24* dst.;

#/TB 2Korintus 7:6; Galatia 6:2; Filipi 2:4; 1Tesalonika 5:11,14*;

#/TB Ibrani 3:13; 10:24-25; Yudas 1:20*.

Penderitaan:

#/TB Ayub 23:10; Mazmur 66:10-12; 119:67,71*;

#/TB Markus 8:35-38; Lukas 14:25-35; Yohanes 12:23-35; 15:2,18-19*;

#/TB Kisah 14:22; Roma 5:3; 8:17; 2Korintus 1:3-9; 4:10-11; 12:7-10*;

#/TB Galatia 6:14; Filipi 1:29; 3:10; 2Timotius 3:12; Ibrani 12:4-13*;

#/TB 1Petrus 1:6-7; 4:13; Wahyu 1:9*.

Bahan diskusi/penelitian

1.   Menurut Anda apa artinya ”cara mendapatkan anugerah”? Berdasarkan Alkitab, tunjukkan peranan apa yang dipegangnya dalam pertumbuhan umat Allah.

2.   ”Gereja tidak dapat bertumbuh lebih tinggi daripada tingkat keterangan tentang firman yang diterima melalui khotbah”. Bahaslah!

3.   Selidikilah manfaat dan masalah yang berhubungan dengan

 

( a) penelaahan Alkitab pribadi, dan

( b) penelaahan Alkitab berkelompok.

 

4.   Apa ”sakramen”?  Jelaskan dasar alkitabiah dari pandangan bahwa ada dua, dan hanya dua, sakramen saja.

5.   Peranan apa yang harus disediakan dalam liturgi perjamuan kudus untuk

 

( a) firman Allah,

( b) persekutuan seluruh jemaat,

( c) peringatan akan penderitaan Kristus di salib,

( d) kepastian akan pengampunan bagi orang percaya yang bertobat, dan

( e) pengharapan akan kedatangan Kristus kembali dalam kemuliaan?

 

6.   Apa yang dapat dipelajari tentang baptisan dari

 

( a) Perjanjian Lama, dan

( b) Yesus?

 

7.   Apa argumentasi alkitabiah yang dikemukakan untuk mendukung pembaptisan anak-anak? Apakah hal-hal itu cukup meyakinkan Anda? Selidikilah kemungkinan persekutuan sejati dan kerjasama bagi mereka yang tidak sependapat mengenai masalah ini.

8.   Dengan cara apa persekutuan dan penderitaan mendapatkan anugerah? Tunjukkan nilainya dengan gambaran dari

 

( a) ajaran Alkitab dan biografi,

( b) pengalaman Anda, dan

( c) pengalaman orang Kristen yang Anda kenal.

 

Kepustakaan (29)

Beasley-Murray, G. R.

1972 Baptism in the New Testament (Paternoster).

Berkouwer, G. C.

1962 The Sacraments (Eerdmans).

Bounds, E. M.

1954 Power through Prayer (Marshall, Morgan & Scott).

Bonar, H.

1966 When God’s children suffer (Evangelical Press).

Bridge, D. & Phypers, D.

1977 The Water that Divides (IVP).

Fraser, J. O.

1963 The Prayer of Faith (CIM).

Hallesby, O.

1961 Prayer (IVP).

Kevan, E. F.

1966 The Lord’s Supper (Evangelical Press).

Kingdon, D.

1973 Children of Abraham (Carey Publications).

Lloyd-Jones, D. M.

1971 Preaching and Preachers (Hodder).

Marcel, P. C.

1953 The Biblical Doctrine of Infant Baptism (James Clarke).

Martin, R. P.

1964 Worship in the Early Church (Marshall, Morgan & Scott).

Milne, B.

1978 We Belong Together (IVP).

Murray, J.

1952 Christian Baptism (Presbyterian & Reformed).

Packer, J. I.

1963 Eucharistic Sacrifice (Church Book Room Press).

Ryle, J. C.

1964 Knots United (James Clarke).

Sproul, R. C.

1980 Knowing God’s Word (Scripture Union).

Spurgeon, C. H.

1977 Lectures to My Students (Baker).

Stott, J. R. W.

1961 The Preacher’s Portrait (Tyndale Press).

Stibbs, A. M.

1950 Understanding God’s Word (IVP).

1955 Obeying God’s Word (IVP).

1960 Expounding God’s Word (IVP).

1962 Sacrament, Sacrifice and Eucharist (Tyndale).

 

30. GEREJA DALAM SEJARAH

 

30.1           Bentuk-bentuk organisasi

 

Kita dapat membedakan tiga pola umum, walaupun ada banyak kelompok yang tidak sepenuhnya tergolong salah satu pola tersebut.

a.   Episkopal

 

Kata ”episkopal” berarti pimpinan oleh para uskup (_episkopos_). Ini merupakan pola yang diikuti oleh gereja Anglikan dan, dengan modifikasi, gereja Lutheran dan Metodis. Mereka mengenal pelayanan rangkap tiga yang mencakup uskup, pendeta dan diaken. Dalam praktiknya, para diaken biasanya adalah pendeta dalam masa percobaan. Hanya para uskup yang boleh mentahbiskan yang lain untuk pelayanan, dan suksesi mereka harus ditelusuri kembali melintasi abad-abad yang lampau.  Sistem ini tidak bisa dinyatakan alkitabiah dalam pengertian bahwa Alkitab mengajarkan sistem organisasi gereja seperti itu. Kini sudah diterima secara umum di antara para ahli dari semua tradisi bahwa kata Yunani episkopos (uskup) dan presbuteros (penatua) adalah padanan dalam Perjanjian Baru (#/TB Kis 20:17,28; Fili 1:1; Tit 1:5,7*). Jadi pengertian Perjanjian Baru tentang “uskup” pada umumnya tidak sama dengan pengertian dalam tradisi episkopal. Dalam Perjanjian Baru uskup adalah pejabat gereja setempat, dan biasanya beberapa uskup bekerja di dalam satu jemaat menurut pola penatua di sinagoge Yahudi.

Pada pihak lain, gereja episkopal mengemukakan dua faktor penting untuk mendukung tradisi mereka. Pertama, adanya pelayanan di gereja mula-mula yang melampaui pelayanan jemaat setempat. Para rasul adalah contoh terbaik; dan rupanya para nabi kadang-kadang juga bekerja dengan cara demikian. Timotius, Titus dan Yakobus dianggap sebagai contoh pelayanan Perjanjian Baru “dimensi ketiga” ini, karena mereka jelas diberi tanggung jawab atas sejumlah jemaat.  Kedua, sudah hampir pasti bahwa pelayanan rangkap tiga ini mempunyai sejarah yang dimulai tak lama sesudah zaman rasuli, dan menjelang pertengahan abad kedua sudah menjadi pola pelayanan Kristen hampir di mana-mana. Ketika gereja dihadapkan pada ajaran sesat di dalam lingkungan sendiri dan penganiayaan dari luar, pimpinan resmi diperkuat, khususnya jabatan uskup, untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Karena itu pola ini merupakan bentuk pelayanan yang telah memberi manfaat besar kepada gereja selama berabad-abad.

Gereja Roma Katolik juga mengikuti paham episkopal. Ciri unik dari organisasinya adalah keunggulan uskup Roma, yakni Paus. Perbedaan dengan gereja Reformasi juga terdapat dalam pengertiannya mengenai pendeta sebagai imam yang berhak mempersembahkan kurban, suatu pengertian yang juga terdapat pada gereja Ortodoks Yunani dan aliran Anglo-Katolik dalam gereja Anglikan.

b.   Presbiterial

 

Pimpinan oleh para penatua (_presbuteros_) merupakan ciri khas gereja-gereja Calvinis di seluruh dunia. Biasanya para penatua membentuk satu badan pusat seperti majelis nasional dan dewan-dewan setempat dengan wewenang di wilayah geografis yang lebih kecil. Suatu bentuk presbiterial juga berlaku di gereja setempat yang dipimpin oleh sekelompok penatua. Bentuk ini dikatakan mendapat dukungan langsung dari Perjanjian Baru, yaitu tentang mengangkat penatua-penatua di jemaat-jemaat setempat. Pejabat-pejabat ini muncul dalam konsultasi dengan para rasul pada sidang Yerusalem dalam Kisah Para Rasul #/TB Kis 15:1-41*.  Di antara penatua jemaat setempat, seorang dapat dipilih sebagai ”penatua yang mengajar” untuk melayani firman dan sakramen, berbeda dengan penatua-penatua lainnya yang bersama dengan dia memegang pimpinan (bnd. #/TB 1Tim 5:17*).  Pada tingkat lebih umum, organisasi gereja terdiri dari suatu sistem panitia-panitia, atau dewan, yang ditunjuk oleh gereja dengan wewenang berjenjang.  Paham Presbiterial juga mengakui hak seluruh jemaat untuk ikut memilih pendeta.  Para diaken bertindak sebagai pelayan pembantu yang memperhatikan urusan gereja sehari-hari. Berbeda dengan paham episkopal, maka di sini semua pendeta secara resmi berstatus sama.

c.   Kongregasional (independen)

 

Dalam pola ini kepemimpinan ditangani oleh seluruh jemaat setempat (dari Ing.

congregation ‘jemaat’). Pola ini diikuti oleh gereja Baptis, gereja

Kongregasional, sebagian besar gereja Pentakosta dan beberapa gereja independen lain. Jemaat setempat adalah kesatuan dasar: tidak ada pejabat atau badan gerejawi yang berhak memerintahnya. Segala urusan dan kebijaksanaan penting diserahkan kepada seluruh jemaat untuk memberi keputusan terakhir. Dalam hal ini pendeta, diaken dan penatua (kalau ada) setingkat dengan anggota lain. Masing-masing jemaat bebas mencari kehendak Tuhan tanpa campur tangan dari jemaat atau badan lain, walaupun dalam praktiknya kebanyakan gereja independen berkerja sama dengan yang lain dalam masalah yang menyangkut mereka bersama. Pentahbisan pendeta dapat dilaksanakan tanpa melibatkan gereja lain, walaupun dalam praktiknya hal ini jarang terjadi; bahkan banyak “kongregasionalis” menganggap perwakilan yang lebih luas penting. Pelayanan biasanya rangkap dua—pendeta dan diaken—meskipun dalam beberapa jemaat tanggung jawab rohani dipegang oleh pendeta bersama dengan sejumlah penatua. Ada juga beberapa jemaat kongregasional yang tidak mengangkat pendeta, dan para penatua melayani firman dan sakramen.

Pendukung-pendukung pandangan ini mengacu pada peranan jemaat setempat dalam Perjanjian Baru. Sebagaimana telah kita lihat, Alkitab membahas sifat gereja berhubungan dengan jemaat setempat maupun tentang gereja secara keseluruhan.  Agaknya dalam Perjanjian Baru kehidupan jemaat setempat tidak dikendalikan oleh badan-badan yang lebih tinggi atau pejabat dari luar jemaat itu, kecuali oleh para rasul dan wakil-wakil pribadi mereka seperti Titus dan Timotius. Pandangan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa Kristus sebagai kepala gereja senantiasa ada di tengah-tengah umat-Nya dan berkuasa untuk menyampaikan kehendak-Nya tanpa perantaraan seseorang atau suatu kelompok.

Dalam praktik, pola kongregasionalis mengakui manfaat persekutuan dan kerja sama antar gereja, asalkan tidak membatasi kebebasan dan tanggung jawab jemaat setempat untuk mencari dan melakukan kehendak Tuhan dalam urusan jemaat itu.  ebenaran—Bab 30. Gereja dalam Sejarah [Indeks 01005]

d.   Kesimpulan

 

Dari uraian yang singkat ini tentang pola episkopal, presbiterial dan kongregesional, jelaslah tidak ada pola tunggal yang dapat dikatakan didukung oleh Alkitab secara gamblang. Ini tidak berarti bahwa bukti Alkitab harus dikesampingkan dan persoalan ini diputuskan berdasarkan alasan-alasan pragmatis.  Namun, dalam menjadi anggota tubuh Kristus, kita harus memilih gereja yang mengikuti salah satu pola organisasi tersebut. Tanpa komitmen demikian, keanggotaan jemaat tidak ada artinya. Tetapi setiap orang Kristen harus mengakui bahwa pengertiannya terbatas, dan memberi kelonggaran dalam hal-hal yang tidak menentang ajaran Alkitab. Kasih adalah ciri khas umat Allah (#/TB Yoh 13:34-35*).

30.2           Perspektif sejarah

 

a.   Abad-abad pertama

 

Pada masa sesudah zaman rasuli, gereja diartikan sebagai umat Allah, persekutuan rohani baru orang-orang yang percaya kepada Yesus. Orang boleh menjadi anggotanya melalui baptisan. Mereka membentuk semacam bangsa ketiga di samping dan yang berlainan dengan orang Yahudi dan orang kafir, dan mereka dikenal karena norma-norma moralnya yang tinggi dan kehidupan persekutuan yang rapat sekali.

Selama abad kedua, perubahan-perubahan nyata mulai terjadi. Timbulnya ajaran-ajaran sesat memaksa mereka untuk memastikan batas-batas yang jelas. Tradisi-tradisi rasuli dipertahankan oleh para uskup yang dilihat sebagai pewaris para rasul.  Hal ini menjurus pada pembentukan struktur-struktur yang tersentralisasi. Sifat gereja yang pada asalnya bersifat spiritual bergeser dan diganti dengan gereja sebagai lembaga lahiriah. Pergantian ini tidak tanpa perlawanan. Montanisme (abad kedua), Novatianisme (abad ketiga) dan Donatisme (abad keempat) dengan cara-cara yang berbeda berusaha mengembalikan kemurnian moral dan spiritual semula.

Pimpinan gereja pada umumnya menolak gerakan-gerakan ini dan pergeseran terus terjadi. Cyprianus, yang menulis kira-kira pada pertengahan abad ketiga, berpendapat bahwa mengundurkan diri dari gereja nyata sama dengan melepaskan keselamatan. Seabad kemudian, Augustinus mengakui bahwa gereja sejati adalah persekutuan tidak nyata dari orang-orang yang dipilih oleh Allah, yang kudus, yang memiliki Roh Kudus dan yang dikenal karena kasih mereka yang sejati. Namun demikian ia berpendapat bahwa gereja sejati itu terdapat di dalam gereja Katolik, yang memegang wewenang rasuli melalui garis pergantian uskup dalam sejarah. Menurut dia, hanya dalam lingkungan gereja seseorang dapat dipenuhi dengan kasih ilahi dan menerima Roh Kudus melalui sakramennya.

Pada abad-abad permulaan, gereja Kristen terpecah menjadi gereja Timur (Ortodoks) dan Barat. Asal-usul perpecahan terletak dalam pembagian kekaisaran Roma secara administratif dan politis, tetapi secara gerejawi perpecahan itu disebabkan oleh kegagalan menyelesaikan pertikaian mengenai pribadi Kristus seusai Konsili di Kalkedon. Gereja-gereja Timur lebih bersimpati pada pandangan Nestorius (bnd. di atas: ps 17.1.f) dan pandangan Monofisit (bahwa hanya ada satu kodrat dalam diri Kristus). Mereka juga berbeda pendapat tentang Roh Kudus, yang dikatakan keluar hanya dari Bapa, sedangkan pihak Barat menegaskan bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak.

b.   Abad pertengahan

 

Pada abad pertengahan gereja merupakan landasan masyarakat seluruhnya, sehingga tidak dianggap perlu adanya pembenaran teoretis. Dua perkembangan khusus dapat dicatat.

Yang pertama menyangkut tradisi bahwa Petrus diunggulkan di atas rasul-rasul lain dan menjadi uskup Roma pertama. Kepada tradisi tersebut ditambahkan pernyataan bahwa wewenang tertinggi itu diteruskan kepada pewaris-pewaris Petrus yang menjadi uskup Roma. Paus dinyatakan sebagai ”uskup sedunia” pada awal abad ketujuh. Perkembangan kepausan ini ditentang di Timur dan mengakibatkan pemisahan lagi antara gereja Ortodoks dan gereja Barat.

Kedua, gereja Katolik yang nyata semakin disamakan dengan kerajaan Allah.

Pandangan ini, yang didasarkan pada salah pengertian tentang pemikiran

Augustinus, dikembangkan lebih jauh dengan penyebarkan dua dokumen palsu dari

abad kesembilan yang menyatakan bahwa pengertian ini sudah diterima pada zaman

kuno. Sebagai akibatnya, orang semakin mengupayakan supaya urusan kebudayaan dan

politis ditempatkan di bawah wewenang gereja.

c.   Reformasi

 

Dalam gereja pada abad keenam belas ada kebiasaan mengeluarkan surat penghapusan

siksa atas dosa. Keberatan terhadap surat-surat itu segera meluas sampai mempersoalkan sifat gereja itu sendiri. Dipimpin oleh Martin Luther, para reformis mempertanyakan seluruh struktur gereja yang diwarisi dari abad pertengahan dan mempertahankan Injil keselamatan yang berdasar hanya pada anugerah Allah. Mereka ingin memperbarui gereja dari dalam, tetapi ketika ternyata hal itu tidak mungkin maka mereka keluar dari lingkungan Roma dan membentuk jemaat-jemaat baru. Dari sini kemudian muncul gereja-gereja Protestan.  Pengertian Reformasi tentang gereja mengharuskan penulisan kembali buku-buku pelajaran teologi abad-abad terdahulu. Reformasi tidak menghasilkan satu pandangan umum mengenai gereja, tetapi suatu pendekatan tunggal yang meliputi beberapa tafsiran yang berbeda.

Luther menolak ajaran Roma tentang ketidakkhilafan gereja di bawah pimpinan Paus, demikian juga ajarannya tentang keimanan dan sakramen. Ia memulihkan kembali pengertian gereja sebagai persekutuan rohani orang-orang percaya, yang semua adalah imam. Calvin menambahkan penekanan pada disiplin dan fungsi pendidikan dari gereja. Ia berusaha mengubah seluruh masyarakat Jenewa atas dasar firman Allah.

Pandangan ketiga tentang gereja yang muncul pada waktu itu dapat dikatakan paling berpengaruh. Inilah pandangan anabaptis, yang dinamakan begitu karena mereka hanya membaptis orang percaya saja dan karena itu mereka membaptis kembali (Yun. ana) orang yang dibaptis waktu anak-anak. Walaupun ada sejumlah anggota anabaptis bertindak kurang waras dan menerima banyak sorotan, namun pada umumnya mereka mempunyai pandangan yang bijaksana dan kesalehan yang mengesankan. Mereka mengupayakan suatu reformasi yang lebih radikal lagi daripada reformasi Luther dan Calvin, dengan membentuk suatu gereja sektarian yang terdiri dari orang-orang yang menyatakan beriman dan memberi bukti tentang realitasnya. Ketetapan-ketetapan gereja dan hirarki pelayanan dianggap kurang penting dan pengalaman langsung seseorang akan anugerah Allah diberikan tempat sentral. Orang anabaptis mengajarkan pemisahan sepenuhnya dari gereja dan negara.

d.   Zaman modern

 

Dari Reformasi muncullah cabang-cabang utama Protestantisme yang berkembang di samping tradisi Roma yang berlangsung terus. Dari banyak faktor penting periode terakhir, beberapa dapat dicatat.

(1)  Gagasan bahwa gereja dan negara adalah sama, terus digempur. Meskipun dalam banyak negara Barat salah satu dari gereja-gereja Reformasi diberi hak istimewa sebagai gereja “nasional”, namun di negera-negera itu masa kini agama makin menjadi soal keyakinan pribadi saja.

(2)  Gerakan misi telah membawa Injil ke ujung dunia. Dampak usaha penuh pengorbanan dan visi ini ialah bentuk gereja sekarang ini sebagai persekutuan Kristen internasional.

(3)  Terkait dengan gerakan misi itu adalah gerakan ekumenis internasional, yang mengakibatkan dibentuknya Dewan gereja-gereja sedunia (DGD) pada tahun 1948. Gerakan ini menyangkal usaha mempersatukan orang Kristen sedunia, namun secara konsisten menganjurkan kegiatan-kegiatan ke arah itu. Akhir-akhir ini jalannya agak susah, alasannya antara lain karena badan ini telah memperjuangkan beberapa sikap teologi yang radikal dan heterodoks.

(4)  Ada tanda-tanda perubahan dalam gereja Roma Katolik. Selama tiga abad sesudah Reformasi dan Konsili Trent (1545-63), gereja Katolik mengikuti jalannya sendiri dan menolak gagasan-gagasan Reformasi. Namun suatu ”katolisisme baru” telah muncul, khususnya sejak Konsili Vatikan II (1962-65) yang dipanggil oleh Paus Yohanes XXIII. Sikap terbuka terhadap pengaruh-pengaruh modern berlangsung terus pada tahun-tahun sesudah Vatikan II, termasuk di dalamnya kontak dengan gereja-gereja Protestan. Namun, kendatipun sebagian pihak Katolik lebih terbuka terhadap pengaruh kebudayaan dan dialog dengan orang Kristen dari tradisi lainnya, sikap resmi Roma mengenai beberapa ajaran pokok tidak berubah.

(5)  Selama tahun-tahun terakhir ini telah muncul gereja-gereja dan kelompok-kelompok Kristen independen yang berkembang di seluruh dunia. Kebanyakan dari mereka bersifat Pentakosta dalam pengalaman pribadi dan bentuk ibadah. Mereka sangat mengutamakan ajaran Alkitab dan sering menunjukkan semangat besar untuk pekabaran Injil, kehidupan berkorban, sifat tidak kaku dalam struktur dan keterbukaan untuk menerima pimpinan langsung dari Allah. Begitu juga gereja-gereja dan kelompok-kelompok ini tidak merasa terikat pada tradisi atau bentuk iman Kristen yang dianut oleh gereja-gereja yang lebih besar dan bersejarah.  Gereja semacam ini sangat mencolok di Barat dan Timur, di Utara dan Selatan.

(6)  Materialisme, khususnya di negara industri Barat, telah mengakibatkan sekularisasi kehidupan dan karena itu keyakinan Kristen melemah secara mendalam dibandingkan generasi-generasi terdahulu. Dampak proses ini masih terus terasa, khususnya oleh mereka yang dahulu menganjurkan bentuk kekristenan ”liberal”. Di dunia sekarang ini, orang tidak tertarik lagi akan versi iman Kristen yang tidak tegas dan sudah melepaskan sifat supernaturalnya. Untung saja bahwa banyak gereja di dunia ketiga masih mempertahankan kegairahan iman yang jelas merupakan kelanjutan dari kekristenan zaman-zaman terdahulu. Ada juga getaran-getaran harapan dalam gereja-gereja lama dengan ditemukannya kembali wibawa Alkitab dan agama Kristen sebagai pengalaman dari Allah yang hidup dan dapat dirasakan, dan gaya hidup yang bersemangat di dunia ini, khususnya oleh para pemuda.  Kebangkitan kembali aliran yang mengutamakan Alkitab dan iman ini sudah mulai melanda seluruh dunia, walaupun masih terlalu dini untuk meramalkan apakah aliran ini akan menjadi aliran dominan dalam agama Kristen secara internasional pada abad depan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa ada masalah-masalah raksasa dalam peradaban internasional modern sehingga kebangunan kembali iman Kristen yang sejati sungguh-sungguh diperlukan.

 

30.3           Masa depan gereja

 

Sebagai ciptaan Roh Kudus, gereja selalu melihat ke depan. Roh Kudus adalah kehidupan zaman baru, semacam cicipan dari kemuliaan yang akan datang, yang membuat umat Allah merindukan kepenuhan pada hari pengantin perempuan dipersatukan dengan suami surgawinya (#/TB Ef 5:25 dst.; #/TB Wahy 21:1* dst.).

Sebab itu, kita tidak datang membatasi pemikiran kita pada gereja yang kita lihat sekarang, yang sering sama sekali tidak menyerupai pengantin perempuan surgawi sebagaimana ia akan jadi. Kita jangan lupa tentang persekutuan yang mulia pada masa mendatang yang akan menemani Kristus dan menerima bagian dalam warisan kekal-Nya. Ajaran tentang gereja tidak mungkin mengabaikan dimensi ini, yang akan dibahas dengan lebih lengkap di bawah dalam Bagian G.

Bahan Alkitab

#/TB Ul 11:16-17; Yehezkiel 34:1-31*;

#/TB Mat 18:15-20; Luk 5:1-12; 6:12-16; Kisah 6:1-6; 15:1-29; 20:17,28*;

#/TB 1Korintus 1:2; 4:1; Efesus 4:1-16; Filipi 1:1*;

#/TB 1Timotius 3:1-13; 5:1,17-18; Titus 1:3,5-9; Ibrani 13:17*;

#/TB 2Yohanes 1:1-13; Wahyu 21:1-22:5*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Sebutkan dukungan alkitabiah dan berikan penilaian Anda berhubung dengan pola organisasi gereja episkopal, presbiterial dan kongregasional.  “ Mengenai organisasi gereja, Perjanjian Baru lebih memberi prinsip-prinsip daripada pola yang rinci”. Bahaslah pernyataan tersebut.

2.   Apa manfaat mempelajari sejarah gereja?

3.   Sebutkan tanda-tanda harapan dalam perkembangan akhir-akhir ini dari

 

( a) gereja setempat Anda atau kelompok Kristen Anda, ( b) situasi Kristen nasional, dan ( c) kemajuan kekristenan sedunia.

4.   Bagaimana masa depan gereja?

 

Kepustakaan (30)

Balchin, J. F.

1979 What the Bible Teaches about the Church (Kingsway).

Chadwick, O.

1964 The Reformation (Penguin).

Griffiths, M.

1975 Cinderella with Amnesia (IVP).

Murray, I.

1965 The Reformation of the Church (Banner of Truth).

Renwick, A. M.

1958 The Story of the Church (IVP).

Smith, M. A.

1971 From Christ to Constantine (IVP).

Stibbs, A. M.

1959 God’s Church (IVP).

Watson, D.

1978 I Believe in the Church (Hodder).

Walls, D. F.

1973 Revolution in Rome (Tyndale).

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 31   Penerapan

      Ps 31.1    Pentingnya Gereja

      Ps 31.2    Kehidupan Gereja

        Sb 31.2.a   Ibadah

           31.2.b   Persekutuan

           31.2.c   Pelayanan

           31.2.d   Kesaksian

      Ps 31.3    Masa Depan Gereja

        Sb 31.3.a   Pertumbuhan

           31.3.b   Visi

 

 

 

31. PENERAPAN

 

31.1           Pentingnya gereja

 

Persekutuan dengan Kristus melibatkan persekutuan dengan umat-Nya. Gereja bukan hanya sarana penyaluran anugerah yang bermanfaat untuk pertumbuhan orang Kristen, melainkan merupakan bagian hakiki pengalaman Kristen. Menurut pengertian ini setiap orang Kristen sudah terhisap dalam gereja, yang merupakan konteks kehidupannya yang tak terelakkan.

Kasih dan kepedulian Allah terhadap umat-Nya yang membawa Kristus sampai ke salib-Nya di Golgota (#/TB Ef 5:25*). Karena itu, tingkat penyesuaian kita dengan pemikiran Kristus akan menentukan sejauh mana kita memperhatikan gereja, panggilannya dan penyebarannya, kehidupan dan semangatnya, pengertian dan keyakinannya, perkembangan dan persatuannya, kemurnian dan kekudusannya di seluruh dunia maupun di dalam situasi diri kita setempat.

31.2           Kehidupan gereja

 

a.   Ibadah

 

Gereja adalah persekutuan orang-orang yang beribadah. Orang Kristen perlu menegaskan komitmennya untuk beribadah secara umum dan memeriksa sikap kita terhadapnya. Sebagai imam-imam kita mempunyai hak istimewa dan juga tanggung jawab untuk membawa kurban syukur kita kepada Allah (#/TB Ibr 13:15*) sewaktu kita berkumpul setiap minggu. Bagaimana penghayatan kita terhadap pelayanan ibadah ini?

b.   Persekutuan

 

Gereja adalah persekutuan dalam Roh. Orang Kristen perlu menegaskan komitmennya kepada persekutuan gereja setempat dan sikapnya terhadap teman seiman Kristen.  Apakah ada perasaan benci, cemburu atau kesombongan yang harus kita sesali?  Mungkin ada kritik, fitnah atau pergunjingan yang harus kita akui, bahkan mungkin sekali kita harus minta maaf, atau memaafkan karena sakit hati kita yang lama. Mungkin diperlukan kemurahan hati yang lebih besar dalam membagikan keramahan dalam hal waktu, persahabatan, dengan uang atau doa, atau dalam hal-hal praktis yang lain.

c.   Pelayanan

 

Gereja adalah persekutuan pelayanan. Orang Kristen perlu memeriksa sikapnya dan menegaskan komitmennya untuk melayani gereja dan dunia dalam nama Kristus. Untuk tujuan ini hendaklah tiap orang Kristen mengenal karunia-karunia yang diberikan Allah kepadanya melalui Roh agar dipakai dalam mengembangkan gereja setempat. Ia menghendaki supaya orang Kristen selalu siap untuk melayani di lingkungan dan di tempat kerja. Semua hal ini akan mempengaruhi orang dalam memilih pekerjaannya, juga di mana tempatnya.

d.   Kesaksian

 

Gereja adalah persekutuan yang bersaksi. Orang Kristen perlu menegaskan komitmennya dan memeriksa sikapnya sebagai saksi bagi Kristus di dunia. Ini mencakup kejujuran dalam menghadapi beberapa pertanyaan. Apakah kita berdoa secara teratur dan penuh semangat untuk penyebaran Injil di seluruh dunia?  Apakah doa itu diarahkan secara jelas dengan menggunakan informasi untuk doa yang tersedia? Apakah kita menyumbang secara teratur dengan pengorbanan kepada pekerjaan Kristus di seluruh dunia? Apakah kita terlibat dalam usaha-usaha gereja setempat untuk memperkenalkan Kristus di lingkungan kita? Apakah kita mencari kekuatan dari Tuhan untuk menjadi saksi yang setia dan efektif demi Kristus kepada tetangga, teman sekerja, teman pelajar atau di mana saja Tuhan telah menempatkan kita?

31.3           Masa depan gereja

 

a.   Pertumbuhan

 

Orang Kristen perlu memeriksa sikapnya terhadap saluran anugerah dan penggunaannya. Ini berarti tanggung jawab untuk secara teratur membaca dan menelaah Kitab Suci, untuk mendengar khotbah dan eksposisi, dan untuk menerapkan pesan firman Allah itu dalam kehidupan sehari-hari. Lagi pula perlu menyisihkan waktu untuk berdoa dan menantikan pimpinan Tuhan, serta secara teratur mengikuti ibadah dan perjamuan kudus. Itu berarti komitmen yang sungguh-sungguh kepada persekutuan gereja setempat, dan kesediaan untuk ikut menanggung penderitaan demi Injil dan demi pertumbuhan kita sendiri dan gereja.

b.   Visi

 

Gereja sebagaimana kita kenal, apakah itu dalam situasi nasional atau di persekutuan Kristen setempat, mungkin kurang menarik. Terkadang sulit untuk melihat persamaan dengan citra Kristus. Tetapi kita harus melawan rasa cemas atau kecewa melihat gereja yang nyata ini. Kendatipun banyak kelemahan akhir-akhir ini, gereja dipersiapkan untuk menjadi agung dan indah. Kadang-kadang kita perlu melihat di balik kenyataan sekarang dan membayangkan gereja megah yang akan datang, umat Kristus yang disempurnakan, pengantin perempuan-Nya yang tidak beraib, yang akan dipersembahkan kepada suami surgawinya pada kedatangan-Nya.

Visi itu akan menguatkan tekad kita untuk memberikan waktu dan milik kita, untuk mengarahkan daya dan doa, dan untuk berkarya sepanjang tahun-tahun yang diberikan kepada kita untuk menyesuaikan tubuh Kristus sekarang ini, yang patah dan penuh ketidaksempurnaan, menjadi dewasa dan cemerlang di hadapan Tuhan yang akan kembali untuk menjemputnya.