SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

BIBLIOLOGY

 

Wewenang

 1.1 Arti wewenang

 

Wewenang adalah hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Akhir-akhir ini ada krisis wewenang yang menyebar luas dalam masyarakat, dan satu-satunya wewenang yang diterima oleh banyak orang adalah wewenang yang secara sadar dipilih oleh dirinya sendiri.

Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Seorang Kristen sejati tidak boleh berkata, ‘Aku tahu pandangan Allah tentang hal ini, tetapi aku tidak merasa wajib untuk menyesuaikan diri dengan pandangan itu’. Mungkin dia pernah melawan kehendak Allah, bahkan kadang-kadang dengan sadar. Tetapi ini selalu dilakukan secara bertentangan dengan pertimbangannya yang lebih baik.  Perasaan bersalah yang dirasakannya kemudian akan menyaksikan bahwa wewenang Tuhan tetap berlaku dan terus diakui. Wewenang ada pada Tuhan.

Apabila orang Kristen telah mengerti prinsip ini, maka soal wewenang menjadi soal praktis tentang mencari tahu kehendak dan pikiran Allah dalam setiap masalah yang dihadapinya. Akan tetapi, bagaimana orang dapat menemui Allah dan mengetahui pikiran dan kehendak-Nya? Khususnya, apakah Allah telah menyediakan sumber dari mana kita dapat menimba kebenaran-Nya, dan dengan demikian menempatkan diri di bawah wewenang-Nya?

”Berbicara dalam bahasa lidah hanya hasil emosi. Hal seperti itu terjadi dalam upacara penyembahan berhala dan tidak ada hubungan dengan Roh Kudus.”

”Jangan main-main! Ada banyak pasal dalam Alkitab yang menyinggung hal itu.

Saya sendiri sering memakai bahasa lidah”.

Tidak banyak topik yang lebih sengit diperdebatkan daripada bahasa lidah di antara orang Kristen akhir-akhir ini. Tetapi karena suasana debat yang panas, kita sering tidak sadar bahwa pertentangan yang lebih mendasar terdapat di balik perdebatan itu, yakni pertentangan mengenai wewenang dalam agama Kristen. Apakah wewenang tertinggi adalah pengalaman pribadi kita mengenai Roh Kudus? Ataukah kita harus berpegang kepada ajaran Alkitab saja? Perlukah kita mendengar apa yang dikatakan para psikolog dan antropolog tentang sifat dan pola-pola pengalaman religius?

Pertentangan mengenai wewenang keagamaan juga terdapat di balik pokok-pokok lain yang senantiasa diperdebatkan, seperti keberadaan Allah, reinkarnasi, kebangkitan, aktivisme Kristen dalam bidang politis dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa hampir tidak ada pokok persoalan tentang iman atau perilaku Kristen yang tidak ditentukan oleh keputusan terlebih dulu, yang diambil secara sadar atau tidak, mengenai letak wewenang keagamaan. Dengan mengemukakan soal wewenang, kita mungkin tidak dapat menyelesaikan segala perselisihan, namun mungkin kita dapat menjelaskan tentang pokok-pokok perselisihan yang sesungguhnya; dan dengan demikian mencegah salah pengertian yang tidak perlu.

Setiap pembahasan ajaran dasar Kristen harus bertitik tolak dari sini. Bagaimana kita menentukan apa yang menjadi ajaran Kristen yang tepat? Ke mana harus berpaling untuk penyelesaian perbedaan pendapat kita? Apa yang menjadi tolok ukur kebenaran? Inilah persoalan pertama yang harus mendapat perhatian kita.

1.2 Sumber wewenang

 

Selama berabad-abad orang-orang Kristen telah meletakkan wewenang tertinggi dalam berbagai tempat.

a.     Pengakuan-pengakuan iman (Kredo)

 

Beberapa ringkasan kebenaran Kristen dihasilkan pada zaman Kristen mula-mula dan menyatakan intisari iman Kristen pada zaman yang penuh kekacauan teologis itu.  Pengakuan Iman Rasuli adalah kredo yang paling tua dan terkenal, yang berasal dari abad ketiga dan meringkaskan iman yang dipelajari calon-calon yang mau menerima baptisan. Isinya dapat dikatakan ‘rasuli’, walaupun pengakuan itu sendiri tidak ditulis pada zaman para rasul. Pengakuan itu memberikan patokan-patokan yang dapat dipakai dalam penjelasan iman Kristen, namun tak dapat dipakai sebagai sumber akhir dan tolok ukur kebenaran Kristen. Ada dua alasan. Pertama, karena pengakuan ini terlalu umum. Pengakuan itu dapat dipakai untuk menilai pandangan ekstrim, tetapi tidak memberikan keterangan yang cukup jelas tentang ajaran yang disebutkan di dalamnya. Kedua, karena wewenangnya terus terang didasarkan pada sesuatu yang lebih tua dan memiliki wewenang yang lebih mendasar, yaitu ajaran Yesus Kristus serta para rasul-Nya.

 

b.     Pernyataan-pernyataan historis

 

Beberapa pernyataan iman Kristen dihasilkan pada zaman Reformasi dan sesudahnya.

Pernyataan itu lebih lengkap daripada pengakuan-pengakuan kuno, tetapi sekali

lagi tidak dapat dilihat sebagai wewenang tertinggi. Pertama, pada umumnya

pernyataan itu adalah milik”partai” yang hanya membeberkan pandangan salah

satu pihak dari gereja am; dan oleh karena itu mengandung unsur-unsur yang tidak

diterima oleh pihak-pihak lain. Selain itu, pernyataan-pernyataan itu bersifat

sekunder, yang secara sadar membenarkan penegasan-penegasannya dengan mengacu

pada ajaran Alkitab.

c.     Pikiran gereja

 

Menurut pandangan ini, kehadiran Tuhan dalam gereja berarti bahwa pikiran-Nya

dapat diketahui dengan meneliti aliran utama dari pemikiran dalam gereja

(” pikiran gereja”). Tetapi ada hambatan-hambatan serius untuk menerima

pandangan ini. Konsensus orang-orang Kristen sulit untuk dipastikan. Kepada

siapa harus kita dengar: para teolog, para pendeta, komisi gereja, pendapat awam

umumnya atau siapa? Selanjutnya, kalau pikiran gereja itu adalah wewenang

tertinggi, setiap perbedaan pendapat dalam gereja membawa kita pada jalan buntu,

karena tidak ada wewenang yang lebih tinggi yang dapat menyelesaikannya. Lagi

pula, sudah jelas bahwa konsensus pandangan gereja selama berabad-abad tidak

selalu sesuai sepenuhnya dengan”iman yang telah disampaikan kepada orang-orang

kudus” (#/TB Yud 1:3*), juga tidak konsisten dengan konsensus pada abad

lain.**1**

 

**1**.Menurut gereja Roma Katolik, Kristus mendirikan jawatan mengajar dalam gereja, yang dipegang oleh Petrus dan para penggantinya dalam kepausan: karena itu suara Paus adalah suara Tuhan. Beberapa kesulitan yang disebut di atas berlaku pada pernyataan ini pula.  Pandangan Roma itu akan dibahas di bawah: ps 27.2@@.

 

 

d. Pengalaman Kristen

Pandangan ini dimulai dari pengalaman manusia tentang Allah, dan mencoba untuk mengenal ajaran yang dinyatakan dalam pengalaman itu. Banyak teolog yang berpengaruh pada abad ke-19 mengikuti pandangan ini. Namun ada dua keberatan besar terhadap hal ini. Dalam pengalaman manusia tentang Allah, harus dibedakan kebenaran objektif mengenai Tuhan dan pandangan manusia secara subjektif yang serba terbatas dan berpraduga tentang Dia. Untuk itu diperlukan norma yang lebih tinggi daripada pengalaman itu sendiri. Kesulitan ini bertambah besar lagi karena manusia yang berdosa mempunyai pikiran yang berdosa pula. Pandangan ini juga membatasi penyataan kebenaran Kristen, karena tidak memberi kesempatan untuk memikirkan ajaran yang tak dapat dialami langsung, misalnya: ajaran tentang Allah Tritunggal.

e. Berpikir secara Kristen

Menurut pandangan ini, kebenaran Kristen adalah apa yang dapat kita tunjukkan

mengenai Allah melalui penalaran. Pernah ada pengikut-pengikut pandangan ini

sejak abad ketiga. Memang kita tidak sama sekali membuang pertimbangan-pertimbangan

rasional bila kita merumuskan kebenaran Kristen, tetapi nalar tidak cukup sebagai wewenang tertinggi. Persepsi manusia yang telah jatuh dalam dosa mengenai kebenaran sangat terbatas, khususnya di bidang moral dan spiritual.  Akal budi makhluk ciptaan tidak sanggup memahami sang Pencipta, lagi pula pendekatan ini selalu gagal memperlihatkan dinamika agama alkitabiah yang otentik.

 

f. ”Kata hati”

Beberapa orang menegaskan bahwa Allah langsung berbicara di kedalaman kesadaran dan bahwa”kata hati” ini adalah wewenang tertinggi. Pandangan ini lazim pada masa kini dan sering ditafsirkan sebagai dorongan Roh Kudus. Tentu saja ada unsur kebenaran di dalamnya, karena Roh Kudus memainkan peran penting dalam pengertian Kristen mengenai wewenang, namun pada hakikatnya Ia bekerja di dalam dan melalui Alkitab. Tiap pernyataan pribadi tentang dorongan dari Roh Kudus harus diterima dengan rasa curiga kalau tidak ada acuan pada firman Tuhan yang tertulis ataupun ada dukungan dari pengalaman jemaat. Dalam hal ini ketulusan banyak orang yang yakin telah menerima dorongan tadi jangan sampai menutupi bahaya yang amat besar, bahwa orang dapat menipu diri sendiri. Penipuan diri ini berulang kali menyebabkan kerapuhan spiritual sebagaimana telah terbukti dari catatan-catatan sejumlah penyuluh Kristen.

g. Sumber pokok

Tak satu pun dari pandangan tersebut tadi dapat menerangkan pikiran Allah dan oleh sebab itu tidak dapat dianggap sumber kebenaran Kristen yang berwenang.

Namun, masing-masing memberi sumbangan ke arah itu. Pengakuan iman, pernyataan-pernyataan

historis dan pikiran gereja menitikberatkan tempat kita dalam gereja Yesus Kristus yang sudah hampir dua ribu tahun umurnya. Jelaslah bahwa kita harus mempertimbangkan kesaksiannya dengan saksama. Pengalaman Kristen mengingatkan kita bahwa teologi tidak bersifat intelektual saja, sedangkan nalar Kristen menuntut agar kita merumuskan teologi menurut cara berkomunikasi yang cocok.  Akan tetapi sumber pokok wewenang adalah Allah Tritunggal sendiri sebagaimana Ia menyatakan diri melalui Alkitab. Ada tiga aspek kebenaran ini.

Pertama, Allah mengambil inisiatif. Kita belajar tentang Dia dan langsung masuk di bawah wewenang-Nya karena Ia sendiri memutuskan untuk memperkenalkan diri dan kehendak-Nya kepada kita. Inilah”penyataan diri”.

Kedua, Allah telah datang kepada kita dalam Yesus Kristus, Allah yang menjadi

manusia. Sebagai Firman abadi dan hikmat Allah, Yesus Kristus menyampaikan

segala pengetahuan tentang Allah kepada kita (bnd. #/TB Yoh 1:1; 1Kor 1:30*; Kol 22:3; #/TB Wahy 19:13*).

Ketiga, pengetahuan kita tentang Allah datang melalui Alkitab. Ia telah membuat Alkitab ditulis dan melalui kata-kata Alkitab Ia berbicara kepada kita sebagaimana Ia berbicara kepada bangsa-Nya ketika kata-kata itu pertama-tama diberikan. Alkitab harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita dan oleh sebab itu dihormati dan ditaati. Pada waktu kita tunduk kepada wewenangnya, kita menempatkan diri di bawah wewenang Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus.

Bahan Alkitab

#/TB Kejadian 1:1; Ayub 39:34-38; #/TB Ayu 42:1-6*;

#/TB Mazmur 95:6; Yesaya 40:21-23; 45:9*;

#/TB Roma 9:19-20; 11:33-36; Efesus 1:11; Wahyu 4:9-11*.

Bahan diskusi/penelitian

1.  Sebutkan pandangan Kristen mengenai wewenang.

2.  Selidiki dampak pandangan ini bagi

( a) orang Kristen yang terlibat dalam pendidikan di semua tingkat, ( b) masalah penegakan hukum serta tata tertib masyarakat, dan ( c) pendekatan Kristen kepada kesenian.

3.  Secara ringkas, sebutkan kelebihan dan kelemahan dari berbagai

pandangan tentang sumber wewenang.

4.  Uraikan nasihat yang akan Anda berikan kepada seorang Kristen yang

mencari kehendak Allah tentang suatu masalah tertentu.

Kepustakaan (1)

Artikel”Authority” dalam IBD.

Henry, C. F. H.

1976 God, Revelation and Authority 1 & 2 (Word).

Heppe, H.

1978 Reformed Dogmatics (Baker).

Ramm, B.

1957 The Pattern of Religious Authority (Eerdmans).

Schaff, P.

1977 The Creeds of Christendom (Baker).

 

 

2.       PENYATAAN

 

2.1 Arti penyataan

 

Penyataan berarti melepaskan selubung dari hal yang tersembunyi, supaya dapat dilihat dan diketahui apa sebenarnya hal itu. Akar kata yang dipakai dalam Perjanjian Lama, gala, berarti keadaan telanjang (bnd. #/TB Kel 20:26*), tetapi sering dipakai secara kiasan: dalam #/TB Yesaya 53:1* tangan Allah secara harfiah”ditelanjangi” dalam pekerjaan penyelamatan-Nya (bnd. #/TB Yes 52:10); dalam #/TB 2Samuel 7:27*, ”Engkau telah menyatakan kepada hambaMu ini, demikian”, secara harfiah berarti”Engkau telah menelanjangi telinga hamba-Mu”. Padanannya dalam bahasa Yunani, apokalupt“, dalam Perjanjian Baru dipakai hanya dalam arti teologis yang sudah diolah, yaitu membuat kenyataan-kenyataan religius diketahui (bnd. #/TB Luk 10:21; Ef 3:5*).

Istilah-istilah ini menguraikan apa yang tersirat setiap kali Alkitab berbicara tentang Allah yang berfirman atau berhubungan dengan manusia. Agama Alkitab adalah agama penyataan; suatu iman yang didasarkan atas penegasan bahwa Allah telah mendatangi manusia dan menyatakan diri-Nya. Kalau manusia hendak mengenal Allah maka penyataan sangat diperlukan berdasarkan dua alasan yang saling mengisi.

a.   Manusia adalah makhluk ciptaan

 

”Pada mulanya Allah menciptakan ... manusia” (#/TB Kej 1:1,27*). Kata-kata pertama Alkitab ini mengungkapkan perbedaan antara Allah dan umat manusia. Allah sebagai Pencipta berada bebas, terlepas dari manusia; sedangkan keberadaan tiap makhluk tergantung sepenuhnya pada Allah (bnd. laki-laki dan perempuan disebut ”debu” dalam #/TB Kej 2:7; 3:19*; #/TB Mazm 103:14*). Allah dan umat manusia termasuk golongan keberadaan yang berbeda. Istilah teknis ialah ”perbedaan ontologis”, suatu perbedaan dalam cara keberadaan.

Perbedaan ini tidak mutlak, karena manusia dijadikan”menurut gambar dan rupa Allah”. Allah berkomunikasi dengan manusia (#/TB Kej 1:28* dst.), Allah menjadi manusia dalam Tuhan Yesus Kristus (#/TB Yoh 1:1,14*); Roh Kudus diam di dalam orang-orang Kristen dan menciptakan hubungan pribadi dengan Allah (#/TB Rom 8:9-17*). Bukti ini menegaskan adanya semacam persesuaian antara Allah dan umat manusia. Kendatipun demikian, tetap ada perbedaan mendalam yang tak mungkin diubah.

Perbedaan dalam keberadaan ini meliputi perbedaan dalam hal mengetahui. ”Siapa

gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia

selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada

orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah” (#/TB 1Kor 2:11*).Hanya Allah yang sesungguhnya mengenal diri-Nya. Karena Allah adalah Pencipta dan Tuhan umat manusia, pengetahuan-Nya meliputi juga pengetahuan diri manusia (#/TB Mazm 139:2-4*); akan tetapi pengetahuan manusia tidak meliputi pengetahuan Allah akan diri-Nya. Oleh sebab itu, keadaan manusia sebagai makhluk memerlukan penyataan diri Allah jika ia ingin memperoleh pengetahuan secukupnya mengenai Dia. Bahkan Adam sebelum kejatuhannya dalam dosa perlu disapa Allah sebelum ia dapat mengetahui apa kehendak-Nya (#/TB Kej 1:28; 2:16*).

b.   Manusia sudah menjadi orang berdosa

 

Kebutuhan manusia akan penyataan menjadi makin besar karena keadaannya sebagai orang yang berdosa. Kejatuhan dalam dosa telah mempengaruhi setiap segi keberadaannya, khususnya pengertiannya tentang realitas moral dan spiritual.  Dosa membuat manusia buta dan bodoh mengenai perihal Allah (#/TB Rom 1:18;

1Kor 1:21; 2Kor 4:4*; #/TB Ef 2:1; 4:18*).

Oleh karena itu, tak ada jalan menuju pengetahuan sejati tentang Allah melalui persepsi intelektual dan moral manusia. Satu-satunya jalan menuju pengetahuan akan Allah bagi manusia adalah jika Allah rela menempatkan diri-Nya dalam jangkauan persepsi manusia dan memperbarui pengertiannya mengenai dirinya yang berdosa. Maka, jika manusia ingin mengenal Tuhan dan mendapatkan dasar yang cukup untuk pemahaman dan pengalaman Kristen, penyataan itu mutlak perlu.

2.2 Kemungkinan penyataan

 

Oleh karena Allah adalah Pencipta, maka tidak mengherankan apabila Allah menyatakan diri kepada manusia yang diciptakan-Nya agar mereka mengetahui rencana-Nya dalam penciptaan. Dan karena manusia jelas adalah makhluk yang responsif dan mampu mengadakan hubungan, agaknya tujuan Allah ketika menciptakan manusia meliputi semacam hubungan dan respons terhadap diri-Nya. Hubungan serta respons seperti itu memerlukan suatu bentuk penyataan; penciptaan itu sendiri rupanya juga menyangkut penyataan. Rasanya tidak masuk akal kalau Pencipta yang jelas bijaksana dan cerdas akan membiarkan makhluk-makhluk-Nya meraba-raba dalam kegelapan mengenai keberadaan-Nya tanpa usaha dari pihak-Nya untuk menyatakan diri-Nya.

Selanjutnya, kalau kita yakin bahwa Allah Pencipta itu penuh kasih, maka kemungkinan akan terjadinya penyataan menjadi kuat sekali. Orang tua yang menyayangi anaknya tidak akan sengaja pergi jauh supaya tidak tampak oleh anaknya, hingga ia berkembang tanpa mengetahui bahwa ia mempunyai orang tua.  Memang kita tidak dapat menyamakan kasih manusia dengan kasih Allah, namun kita dapat menganggap adanya taraf kesamaan yang cukup untuk mengatakan bahwa Allah yang mahakasih pasti akan menyatakan diri kepada mereka yang dikasihi-Nya. Namun senantiasa harus diingat bahwa kesanggupan manusia untuk memahami dan menarik keuntungan sepenuhnya dari penyataan menjadi sangat terbatas karena kejatuhannya ke dalam dosa, sebagaimana akan terlihat di bawah ini.

2.3 Penyataan umum

 

Para teolog biasanya membedakan antara dua cara penyataan: yang”umum” dan yang”khusus”. Penyataan umum adalah penyataan Allah kepada semua orang di mana-mana. Ada bermacam-macam bentuk dan ciptaan.

a.   Karya ciptaan

 

Dalam #/TB Roma 1:18-32*, Paulus menjelaskan hukuman Allah atas orang non-Yahudi sezamannya. Allah telah”menyerahkan mereka” (#/TB Rom 1:24,26,28*) kepada kecenderungan merusak diri yang ada dalam sifat berdosa mereka, ”sebab, sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepadaNya” (#/TB Rom 1:21*). Sebaliknya mereka ”menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana...dengan gambaran yang fana...  menggantikan kebenaran dengan dusta tentang Allah yang terhilang itu ialah mengakui”apa yang tidak nampak dari padaNya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, [yang] dapat nampak dari karyaNya sejak dunia diciptakan” (#/TB Rom 1:20*). Sebab itu, mereka”tidak dapat berdalih” karena penyataan Allah ini sudah ada”sejak dunia diciptakan” (#/TB Rom 1:20*).  Rupanya Paulus melihat tatanan ciptaan sebagai penyataan Allah kepada semua manusia tentang kekuasaan dan keilahian-Nya yang kekal, yang mengharuskan mereka mengenal Dia dan memuliakan serta mengucap syukur kepada-Nya. Dalam #/TB Kisah 14:17*, Paulus memberitahukan kepada bangsa kafir di Listra bahwa Allah”bukan tidak menyatakan diriNya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan”. Dan #/TB Kisah 17:26* menyebut bagaimana sang Pencipta mengatur perkara-perkara manusia pada tingkat individu dan bangsa”supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia.”

b.   Pengalaman moral

 

Menurut #/TB Roma 2:24-25*, ”apabila bangsa-bangsa lain yang tidak

memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut

hukum Taurat...mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam

hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling

menuduh atau saling membela”. Dengan demikian konflik-konflik hati nurani

manusia berhubungan dengan pokok-pokok penghakiman Allah yang terakhir (#/TB Rom 2:16;

bnd. #/TB Rom 1:32*). Para nabi Perjanjian Lama sering berbicara mengenai

penghakiman Allah yang adil terhadap bangsa-bangsa bukan Yahudi, walaupun

bangsa-bangsa ini tidak diajarkan mengenai hukum Taurat (misalnya Yer 46:51; Am 1:6-2:3*).Perjanjian Baru mengakui bahwa hati nurani orang bukan Kristen sanggup menilai cara hidup orang Kristen pada umumnya (misalnya #/TB 1Tim 3:7; 1Pet 2:12*).  Bahkan daya tarik Injil dilihat dari segi moral, penegasannya bahwa semua orang telah berbuat dosa (#/TB Rom 3:9-23*), ajakannya untuk bertobat (#/TB Kis 17:30*), tafsirannya mengenai karya Kristus dalam arti moral (#/TB Rom 3:21-26; 1Kor 15:3*), semuanya menunjukkan adanya kesinambungan sejati antara pengalaman moral universal dan pengalaman moral orang Kristen; dan ini pun pada gilirannya menunjukkan adanya kesadaran tertentu akan kehendak Allah dari pihak orang bukan Kristen.

Bahan Alkitab ini membenarkan pandangan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya kepada semua orang dalam pengalaman moral mereka. Tentu saja tidak semua tata susila manusia adalah sama dengan yang lain. Allah menyatakan diri-Nya kepada orang bukan Kristen dalam hati nuraninya, tetapi hal itu tidak berarti bahwa mereka mengetahui kehendak Allah dengan sempurna, karena mereka juga sudah jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kebebalan moral yang mengacaukan kesadaran manusia akan Allah dan kehendak-Nya. Karena itu, suara hati nurani orang bukan Kristen jelas bukan seratus persen”suara Tuhan dalam batin”. Namun demikian, Allah telah menyatakan diri. Di balik semua pengalaman moralnya, manusia mempunyai semacam kesadaran bahwa kewajiban berbuat baik dan menolak kejahatan mencerminkan kehendak Tuhan Allah yang tertinggi, yang kepada-Nya manusia harus memberikan pertanggungjawaban.

Hal ini tidak”membuktikan” keberadaan Allah: sama seperti penyataan umum dalam ciptaan juga tidak membuktikannya. Lebih tepat dikatakan, Alkitab menegaskan bahwa Allah sebenarnya menyatakan diri kepada semua orang dalam dimensi-dimensi tertentu dari pengalaman mereka, terlepas dari apakah ini dapat dibuktikan dengan penalaran atau tidak.

Ada dua segi lain dari penyataan umum yang kadang-kadang disinggung, walaupun dasarnya dalam Alkitab kurang jelas.

c.   Sejarah

 

Pernah dikatakan, bahwa Allah dalam arti tertentu menyatakan diri-Nya melalui

proses penghakiman sebagaimana tercermin dalam timbul tenggelamnya bangsa-bangsa

dan negara-negara adikuasa.

d.   Naluri religius yang universal

 

Dikatakan pula bahwa naluri religius manusia yang universal itu memperlihatkan sesuatu dari penyataan diri Allah kepada manusia. Pandangan ini sering didukung dengan mengacu kepada #/TB Yohanes 1:9*, ”Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia”; tetapi arti sesungguhnya dari ayat ini masih dipersoalkan.

e.   Faktor dinamis

 

Penyataan Allah bukan sesuatu yang terlepas dan objektif seperti benda yang dipamerkan di museum. Penyataan Allah bersifat dinamis dan berkesinambungan.  Allah berulang kali menyatakan diri dan manusia berulang kali menentang, menutupi dan menyalahgunakan penyataan itu (#/TB Rom 1:21-28*). Oleh sebab itu, hanya melalui sikap yang tunduk dan patuh sepenuhnya manusia dapat bertemu dengan penyataan Allah yang sesungguhnya. Bila orang menolak untuk bersikap demikian, ia menutup kemungkinan akan penyataan lain (misalnya #/TB Mat 25:29;

Luk 8:18*; bnd. Herodes dalam #/TB Mr 6:21-28 dan #/TB Luk 23:9*).

Seorang yang berkali-kali menolak penyataan Allah pada akhirnya dapat hilang kesanggupan untuk mengenal dan menyambut-Nya. Alkitab memang mengenal”manusia duniawi” yang tidak menunjukkan pengertian akan realitas Allah. Tetapi Alkitab menegaskan bahwa Allah adil, Ia menyatakan diri kepada semua orang pada saat atau saat-saat tertentu dalam petualangan hidup mereka. Bila seseorang menolak terang itu dan hatinya dikeraskan, mungkin terang itu akan diambil dari orang itu.

Karena manusia berdosa senantiasa menunjukkan reaksi melawan penyataan Allah,

walaupun penyataan ini membuktikan kebaikan dan kasih Allah terhadapnya, maka

benarlah komentar mendalam bahwa kita manusia adalah orang bebal (#/TB Mazm 14:1; Rom 1:2*).

f.    Fungsi-fungsinya

 

Jika penyataan umum menunjukkan kekurangan seperti tersebut di atas, apa gunanya penyataan itu?

Pertama, penyataan umum memantapkan masyarakat dengan memberi sanksi khusus kepada hukum moral. Pengertian tentang kewajiban moral, yang membedakan antara baik dan jahat, dengan mana kejahatan terkendalikan dan kehidupan manusia pada umumnya diperbolehkan berfungsi dengan lumayan tanpa dilanda oleh ledakan kejahatan yang tak terkendali, pada akhirnya hanya dapat ada berkat penyataan Allah, walaupun ini hampir-hampir tidak diakui oleh manusia.

Kedua, penyataan umum menyatakan kesalahan manusia. Allah bukan tidak menyatakan

diri. Dalam pengalaman hidup Ia bersabda kepada semua orang. Bila terang yang diberikan-Nya dipadamkan, maka kegelapan yang kemudian timbul adalah tanggung jawab manusia sendiri. ”Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong” (#/TB Rom 3:4*).

Kebenaran ini terutama penting untuk penginjilan Kristen. Setiap orang dihadapkan kepada Allah dan oleh sebab itu harus bertanggung jawab atas kealpaannya memelihara hubungan sejati dengan Dia. Injil memperkirakan adanya kesalahan universal ini pada manusia. Sudah tentu, pada akhirnya manusia akan dihakimi menurut pengetahuan serta kesempatan yang diperolehnya; yang jelas tidak sama bagi setiap orang (#/TB Mat 13:11; Luk 10:13-14*; bnd. di bawah: ps 34.4@@). Namun Alkitab jelas mengajarkan bahwa terang sedikit atau banyak diberikan kepada semua orang, dan oleh sebab itu orang bersalah karena tidak mengenal Allah.

g.   Keterbatasannya

 

Ada keterbatasan pada penyataan umum. Rupanya penyataan umum tidak cukup bagi Adam sebelum jatuh ke dalam dosa, karena Allah harus langsung berbicara kepadanya sebelum ia mengerti apa kehendak-Nya (#/TB Kej 1:28-9; 2:17-8*).  Khususnya ada kekurangan penyataan umum, mengingat bahwa manusia sudah berdosa. Dosa menciptakan jurang yang tak terjembatani antara pemikiran dan pengalaman manusia pada satu pihak dan pribadi serta sikap Allah pada pihak lain. Seperti dikatakan Paulus (#/TB 1Kor 1:21*), sekalipun berhikmat dunia tidak mengenal Allah.

Jadi, karena penyataan umum tidak cukup, maka diperlukan penyataan lanjutan yang lengkap. Agar manusia dapat mengenal Dia, maka Allah masih memberi kesaksian lagi tentang diri-Nya secara khusus.

h.   Ringkasan

 

Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya. Manusia hidup di dalam dunia Allah sebagai makhluk, setiap saat ia hidup di hadapan Allah. Kendatipun pengaruh dosa membutakan, namun manusia tidak dapat menuntut tidak adanya penyataan ilahi. Melalui penyataan umum Allah telah memperlihatkan sebagian dari hakikat-Nya serta rencana-Nya kepada manusia.

2.4 Penyataan khusus

 

Yang dimaksudkan dengan penyataan khusus ialah cara-cara Allah menyatakan diri dengan lengkap dan jelas yang jauh melebihi penyataan umum. Penyataan itu berpusat pada mujizat penjelmaan, dan diketahui melalui kata-kata Alkitab yang diilhami Allah. Dengan demikian, penyataan khusus dapat mengambil berbagai bentuk.

a.   Yesus Kristus

 

Yesus Kristus adalah Firman Allah yang abadi yang”menjadi manusia dan diam di antara kita” (#/TB Yoh 1:1,14*). Di sinilah terletak inti dan puncak seluruh penyataan ilahi, yaitu Allah menyatakan diri dalam Yesus Kristus, yang merupakan Allah hakiki dan manusia hakiki.

b.   Kitab Suci

 

Alkitab akan dibicarakan dalam pasal berikut. Di sini hanya akan disebut

penegasan bahwa Alkitab mencatat ucapan Allah kepada makhluk-Nya (#/TB Yoh 10:35; Rom 3:2; 2Tim 3:16*).

Kata-kata Alkitab, yang pada mulanya ditulis atau diucapkan kepada generasi

tertentu, berkat pemeliharaan-Nya ditujukan kepada setiap generasi (#/TB Kis 7:38; Rom 15:4; 1Kor 10:11*).

c.   Hubungan antara kedua bentuk penyataan itu

 

Kedua bentuk ini tidak dapat dipisahkan. Kristus, Firman yang menjelma menjadi manusia, dikenal melalui firman Allah yang tertulis, yaitu Alkitab. Mengenal Kristus sudah tentu adalah pengalaman yang lebih kaya daripada mengenal ajaran Alkitab tentang Dia. Namun Kristus yang dikenal melalui pengalaman pribadi adalah Kristus yang disaksikan oleh Alkitab. Tidak ada Kristus lain. Respons kepada Kristus yang membawa keselamatan berarti terikat kepada-Nya, sesuai dengan kesaksian Alkitab tentang Dia.

Sebaliknya, firman yang tertulis tidak dapat dipisahkan dari Firman yang terjelma itu. Alkitab hanya dapat ditafsirkan dengan tepat kalau penafsir bermula dari iman yang hidup dalam Kristus, yang merupakan tema pokok, puncak dan pusat penyataan Alkitab tentang pribadi dan rencana Allah.

d.   Bentuk yang ketiga?

 

Ada penulis yang berbicara tentang bentuk ketiga dari penyataan khusus, yaitu kesaksian orang Kristen tentang Injil, yang meliputi pemberitaan formal dan segala bentuk kesaksian atau pengajaran informal. Walaupun tidak setaraf dengan Kristus dan Alkitab, namun kesaksian Kristen ini menghubungkan bentuk-bentuk utama penyataan khusus itu dengan pengalaman pada masa kini, sama seperti terjadi pada zaman para rasul (#/TB Kis 2:37-38; 8:4-5,26 dst.; #/TB Kis 11:20*).  Akan tetapi, pemberitaan dan kesaksian Kristen hanya melayani penyataan Allah kalau senantiasa setia memberitakan firman Allah yang terjelma dan tertulis.

e.   Penyataan yang menyelamatkan

 

Penyataan khusus merupakan kemajuan yang sangat besar atas penyataan umum. Jauh

lebih banyak rahasia Allah yang tersingkap melalui salib Yesus daripada melalui langit yang diterangi beribu-ribu bintang. Meskipun demikian, penyataan khusus melalui Kristus dan Alkitab masih belum cukup untuk mendapatkan pengetahuan yang lengkap dan memuaskan tentang Allah, disebabkan oleh kodrat manusia. Sekiranya Adam tetap tidak berdosa, maka penyataan khusus sudah cukup sekali, sama seperti sebelum kejatuhan (#/TB Kej 2:16*). Tetapi manusia berdosa cenderung menentang setiap bentuk penyataan Allah dan berpaling daripada-Nya. Banyak orang Yahudi pada zaman Tuhan Yesus menolak baik ajaran Alkitab (#/TB Mat 15:6; 22:29) maupun Tuhan Yesus sendiri (#/TB Yoh 19:15*; #/TB Kis 7:1-60*). Dan semua saksi Kristen telah menyesali bagaimana manusia menentang bukan saja penyataan umum di dalam alam raya dan hati nurani, tetapi juga firman Tuhan, yang tertulis, terjelma dan diberitakan. Manusia berupaya menyembunyikan atau menutup kebenaran tentang Allah (#/TB Rom 1:18; 2Kor 4:4*). Maka untuk mengenal Allah, manusia harus diselamatkan dan diubah oleh penyataan, bukan hanya diberitahukan dan diajarkan.

Menurut keajaiban anugerah Allah, memang itulah sifat penyataan khusus-Nya dalam Kristus dan Alkitab. Alkitab mencatat penyataan diri Allah yang makin lama makin jelas serta rencana penyelamatan-Nya bagi manusia. Penyataan berpusat pada salib, di mana Kristus mati untuk dosa kita (#/TB 1Kor 15:3*), supaya rintangan yang menghalangi kita untuk benar-benar mengenal Allah dapat diatasi.  Roh Kudus membuat penyelamatan Kristus menjadi efektif, Ia membuat kemauan orang yang suka melawan menjadi patuh dan membukakan mata buta supaya orang percaya kepada Injil. Dengan demikian Dia memungkinkan orang masuk kerajaan Allah dan sungguh-sungguh mengenal-Nya (#/TB Yoh 3:1; 15:26; 1Tes 1:5*; #/TB Tit 3:5*).

f.    Ringkasan

 

Ada dua bagian penyataan Allah: penyataan umum kepada semua orang terutama melalui alam dan melalui suara hati; dan penyataan khusus dalam Yesus Kristus dan Alkitab. Penyataan khusus itu harus dibagi lagi. Oleh sebagian orang penyataan khusus ini ditolak, sedangkan yang lain menerimanya melalui karya Roh Kudus yang memampukan mereka percaya kepada Kristus. Apabila kita menerimanya, maka terjadilah penyataan sesungguhnya yang membawa kita kepada pengetahuan sebenarnya tentang Allah.

Bahan Alkitab

Penyataan secara umum:

#/TB Ulangan 29:29; Yesaya 55:8-9; Daniel 2:22*;

#/TB Roma 1:18; 1Korintus 1:21; 2:6-14*.

Kebutuhan manusia akan penyataan

( a) sebagai makhluk ciptaan:

#/TB Kejadian 2:7; Ayub 12:13-25; 42:1-6; Mazmur 103:14*.

( b) sebagai orang berdosa:

#/TB Ayub 37:19; Mazmur 73:22; 82:5; Yeremia 17:9*;

#/TB Kisah 17:23,30; Roma 1:18-32; 1Korintus 1:21*;

#/TB 2Korintus 4:4; Efesus 2:1-2; 4:18*.

Penyataan umum:

#/TB Mazmur 19:2-3; Yohanes 1:9; Yeremia 46:1-51:64; Amos 1:2-2:5*;

#/TB Roma 1:19-32; 2:14-15; Kisah 14:17; 17:26-27; 2Korintus 4:2*.

Penyataan khusus:

#/TB Keluaran 31:18; 2Raja 22:1-20; Mazmur 19:8-12*;

#/TB Yesaya 55:11; Yeremia 20:9*;

#/TB Markus 7:13; Yohanes 1:1-18; 10:35; 14:6*;

#/TB 1Korintus 1:21,30; 2Korintus 4:6; Galatia 1:12; Kolose 2:2-3*;

#/TB 2Timotius 3:16; Ibrani 4:12; 2Petrus 1:21*.

Karya Roh Kudus:

#/TB Yohanes 3:1-16; 14:25; 15:26; 16:13-14; 1Korintus 2:4-16*;

#/TB Efesus 1:17; 1Tesalonika 1:5; 1Yohanes 2:20,27; 3:24; 5:7-8*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   ”Hanya Allah yang dapat bersaksi tentang diri-Nya”. ”Kita hanya dapat mengenal Allah jika Ia menempatkan diri-Nya dalam jangkauan pengertian kita”. Apakah pernyataan ini dapat didukung oleh Alkitab? Selidikilah dampak-dampaknya untuk cara manusia dapat mengenal Allah.

2.   Sebutkan perbedaan antara penyataan umum dan penyataan khusus. Apakah pembedaan ini perlu? Apakah Anda dapat memberikan istilah lain untuk itu?

3.   Apa dampak-dampak dari penyataan umum bagi

( a) pekabaran Injil,

( b) pandangan Kristen tentang kebudayaan,

( c) apologetika Kristen, dan

( d) pandangan Kristen tentang negara?

4.   Apakah Allah dikenal oleh agama-agama dunia lain?

5.   Dalam hal apa suara hati dapat dijadikan penunjuk jalan kepada Tuhan?

6.   Selidikilah hubungan antara Kristus dan Alkitab dalam penyataan Kristen.

7.   Apa fungsi Roh Kudus dalam pengenalan manusia akan Allah?

 

Kepustakaan (2)

Artikel”Revelation” dalam IBD.

Berkouwer, G. C.

1955 General Revelation (Eerdmans).

Henry, G. F. H.

1959 Revelation and the Bible (Tyndale Press).

1976 Revelation and Authority 1 & 2 (Word).

Kuyper, A.

1963 Principles of Sacred Theology (Eerdmans).

McDonald, H. D.

1980 What the Bible says about the Bible (Kingsway).

Morris, L.

1976 I Believe in Revelation (Hodder).

Packer, J. I.

1965 God Has Spoken (Hodder; edisi ke-2, 1979).

Pinnock, C.

1971 Biblical Revelation (Moody Press).

Ramm, B.

1961 Special Revelation and the Word of God (Eerdmans).

 

3.       ALKITAB

 3.1 Alkitab: Bentuk nyata dari penyataan khusus

 

Penyataan khusus dari Allah sampai kepada kita di dalam dan melalui Alkitab. Di sana kita belajar tentang Yesus Kristus dan bertemu dengan-Nya. Alkitab merupakan dasar dan norma bagi seluruh pemberitaan dan pengajaran Kristen. Oleh sebab itu, Alkitab dapat disebut bentuk nyata dari penyataan khusus. Ini menimbulkan berbagai-bagai dampak.

a.   Allah merendahkan diri

 

Manusia mengetahui tentang Allah karena Dia berkenan merendahkan diri untuk berkomunikasi dengan kita. Seperti orang dewasa yang berbicara dengan anak kecil, Allah menyesuaikan bahasa dan ungkapan-Nya dengan kemampuan kita.  ”Seperti pengasuh terhadap bayi, Allah berbicara kepada kita” (Calvin; bnd.  #/TB 1Tes 2:7*). Sebab itu, jangan kita merasa tersinggung oleh bahasa yang terus terang dari Alkitab atau oleh isinya yang sering kali sederhana saja.

b.   Penyataan dalam bentuk kata-kata

 

Penegasan bahwa Allah telah berbicara melalui kata-kata dalam Alkitab adalah sesuai dengan perkiraan Kristen akan adanya Allah yang tidak diciptakan, yang berpribadi. Ia sanggup sepenuhnya untuk berkomunikasi dengan makhluk milik-Nya yang rasional dan yang dapat berbicara, pada tingkat daya tangkap mereka sendiri, yaitu dengan bahasa. Seandainya kita menolak kemungkinan penyataan lisan, seperti yang dilakukan beberapa orang, maka berarti kita menolak realitas Allah sang Pencipta. Dia yang membentuk mulut, masakan tidak berbicara (bnd.  #/TB Mazm 94:9*)?

c.   Kebenaran berdasarkan analogi

 

Allah menyatakan diri kepada manusia dengan menggunakan prinsip analogi, di mana sesuatu dalam bidang pengalaman dan bahasa tertentu dipakai untuk menjelaskan sesuatu di bidang lain. Dalam hal penyataan khusus, manusia pada satu pihak memperhatikan pengalaman Allah tentang diri-Nya serta ungkapan abadi tentang diri-Nya, dan pada pihak lain pengalaman manusia serta ungkapannya mengenai pengalaman itu. Allah memilih unsur-unsur dari pengalaman serta bahasa manusia yang dapat dipakai sebagai analogi yang relevan untuk pengalaman dan ungkapan diri-Nya sendiri. Hanya Dia yang mengenal diri-Nya sendiri, dan sebagai pencipta dan penebus Ia juga mengenal manusia, dan oleh sebab itu dengan kuasa mutlak Ia dapat menentukan titik-titik pertemuan, di mana bidang pengalaman-Nya benar-benar tercermin dalam bidang pengalaman kita. Ungkapan nyata dari penyataan diri Allah yang berupa analogi ini adalah Alkitab.

Tentu saja bahasa analogi tidak mencerminkan secara lengkap kebenaran yang diungkapkan dalam bentuk analogi itu. Manusia tetap manusia yang terbatas, dan bahasa Alkitab tetap bersifat manusiawi. Tidak semua kebenaran Allah yang dapat diungkapkan dengan cara itu. Alkitab sendiri membedakan antara”hal-hal yang tersembunyi”, yang diperuntukkan bagi Allah, dan”hal-hal yang dinyatakan” yang diperuntukkan”bagi kita dan anak-anak kita sampai selama-lamanya” (#/TB Ul 29:29*; #/TB Yes 55:8-11*). Tetapi itu tidak berarti bahwa Alkitab bukanlah benar dalam segala kenyataannya. Bahasa manusia adalah alat komunikasi yang cukup ampuh untuk menyampaikan kebenaran Allah kepada kita.  Penegasan-penegasan mengenai penyataan khusus dalam Alkitab, kalau diterima sebagai firman Tuhan yang dapat dipercaya, memberikan laporan yang benar dan andal mengenai Allah serta rencana-Nya.

d.   Keuntungan penyataan tertulis

 

Allah dalam hikmat-Nya yang besar memberikan kepada manusia dokumen tertulis yang berisi penyataan-Nya. Kuyper mencatat empat keuntungan dari adanya laporan tertulis:

·        daya tahan (kekhilafan yang muncul karena lupa dan penyimpangan sengaja atau tidak sengaja yang terjadi dalam waktu yang lama dapat diperkecil timbulnya);

·        penyebaran ke seluruh dunia melalui terjemahan, salinan dan cetakan;

·        ciri tetap dan murni; dan

·        ketuntasan dan sifat patokan, yang tak mungkin tercapai oleh bentuk-bentuk komunikasi lain.

 

 

3.2 Alkitab sebagai firman Allah yang tertulis

 

Salah satu cara untuk menyatakan keyakinan bahwa Allah sendirilah yang berbicara dalam Alkitab, adalah dengan menyebut Alkitab sebagai”firman Allah”. Konsep ini terdapat dalam Alkitab sendiri. Perjanjian Lama berbicara tentang firman Allah yang kreatif (#/TB Kej 1:11; Mazm 33:6*), hikmat Allah yang dianggap berpribadi (#/TB Ams 8:1-36*), yang adalah wahana aktivitas Allah (#/TB Yes 55:11*).  Yesus menyebutkan Perjanjian Lama sebagai”firman Allah” (#/TB Mr 7:13; Yoh 10:35*) dan para rasul berbuat demikian pula (misalnya #/TB Kis 6:4; Rom 9:6; Ibr 4:12*).  Istilah”Firman” juga dipakai untuk Yesus sendiri (#/TB Yoh 1:1,14*; #/TB 1Yoh 1:1; Wahy 19:13*).

Dalam kebudayaan Yunani klasik, kata logos (’ firman’) diartikan sebagai prinsip rasional yang mempersatukan semesta alam. Pada dasarnya, logos menyampaikan pikiran tentang karya Allah untuk menyatakan diri. Orang Kristen menggunakan istilah ini untuk keseluruhan Alkitab, karena ingin mengikuti sikap Yesus terhadap Perjanjian Lama.

a.   Pandangan Yesus terhadap Perjanjian Lama

 

Yesus mengutip dari Perjanjian Lama sebagai sumber otoritatif (#/TB Mat 4:4; Mr 14:27).

Ia menyebutnya”firman Allah” (#/TB Mat 19:4-5; Mr 7:11-13; Yoh 10:34-5*). Ia

percaya bahwa seluruhnya adalah penyataan Allah yang diilhami Roh Kudus (#/TB Mr 12:36*)dan karena itu berwenang (#/TB Luk 24:25- 27,44*). Ia memakai bahan dari setiap bagian utamanya, termasuk kelima kitab Taurat (#/TB Mat 4:4*), kitab-kitab sastra (#/TB Mr 12:10-11) dan kitab-kitab nubuat (#/TB Mr 7:6*).

Ia menganggap sejarah dalam Perjanjian Lama itu benar, termasuk adanya para bapa

leluhur (#/TB Mat 22:23; Yoh 8:56*), panggilan kepada Musa di semak belukar

yang menyala (#/TB Mr 12:26*), kunjungan ratu Selatan pada Salomo (#/TB Luk 11:31),

pelayanan Yunus (#/TB Luk 11:30*), pembunuhan Habel dan Zakharia (#/TB Mat 23:35*),

Daud yang makan roti sajian di rumah Allah (#/TB Mat 12:3), Nuh dan air bah

(#/TB Luk 17:26-7*), Lot dan pembinasaan Sodom (#/TB Luk 17:28), penghakiman

atas Tirus dan Sidon (#/TB Mat 11:21-2*) serta pelayanan Elia dan Elisa (#/TB Luk 4:26-7*).Ia juga menerima mujizat-mujizat yang tercatat di situ sebagai peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi (#/TB Luk 4:25-27; Yoh 3:14*).

Yesus menerima nubuat Perjanjian Lama (#/TB Mat 11:10; Mr 7:6*). Ia menerima etika Perjanjian Lama sebagai tolok ukur (#/TB Mat 5:17; 19:3-6*; #/TB Mr 10:19*).  Ia menegaskan bahwa Perjanjian Lama berbicara tentang Dia (#/TB Luk 24:46; Yoh 5:39,45*).Sebab itu, tidaklah mengherankan bahwa Ia mencela orang yang tidak mempercayai apa yang dikatakannya (#/TB Mat 22:29-30; Luk 24:25*) atau menghapus wewenang ilahi dengan berpaling kepada adat manusiawi (#/TB Mat 15:3*).

Walaupun sebagai Allah yang menjelma Yesus mempunyai kuasa penuh dari Allah, namun Dia tidak pernah menggunakan wewenang pribadi-Nya melawan wewenang Perjanjian Lama. Ia memang menambahkan ajaran baru dan memberi tafsiran baru (bnd. #/TB Mat 5:21-48*) tetapi sekaligus Ia menegaskan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan kitab Taurat dan para nabi melainkan untuk menggenapinya (#/TB Mat 5:17-19*; bnd. Lloyd-Jones 1959). Ia menghormati wewenang Alkitab tentang dua hal pokok: ajaran dan perbuatan-Nya (#/TB Mat 12:3-5; 19:4-5; Yoh 10:35*) dan pelayanan-Nya sebagai Mesias (#/TB Mat 26:24,53-54; Luk 24:46*).

Pokok yang terakhir itu sangat berarti. Yakin bahwa Dia adalah Mesias yang ditunggu-tunggu, dan bahwa melalui Dia kerajaan Allah akan datang, maka Yesus menyesuaikan peranan mesianik-Nya dengan ajaran Perjanjian Lama. Perjanjian Lama itu meyakinkan Yesus bahwa Ia akan ditolak dan harus menderita, dan Perjanjian Lamalah yang mendorong-Nya untuk pergi ke Yerusalem dan akhirnya menyerahkan diri kepada kengerian kayu salib (#/TB Mat 26:24; Mr 8:31; Luk 22:37*).

Sudah barang tentu hubungan unik antara Yesus dan Bapa-Nya menjamin adanya bimbingan pada tiap tahap hidup-Nya. Namun, pengarahan intuitif ini jelas didukung dan dilengkapi dengan rencana ilahi bagi pelayanan Mesias yang tertera dalam Perjanjian Lama.

Hal ini penting dalam menghadapi keberatan-keberatan yang lazim dikemukakan

terhadap penegasan di atas mengenai sikap Yesus terhadap Perjanjian Lama. Pernah

dikatakan bahwa Yesus mengacu kepada Perjanjian Lama yang dianggap mempunyai

wewenang dalam soal-soal agama pada waktu itu, karena hanya dengan cara demikian

ajaran-Nya dirasakan lebih berbobot oleh orang-orang sezaman-Nya. Pendapat ini

dibuktikan salah dengan cara Yesus membiarkan firman tertulis itu mengarahkan

misi-Nya; dengan cara Ia memakai Perjanjian Lama untuk melawan Iblis di padang

gurun (#/TB Mat 4:1-11; Luk 4:1-13*); dan dengan cara Ia mengutip dari

Perjanjian Lama pada saat penderitaan-Nya terakhir di kayu salib (#/TB Mat 27:46; Luk 23:46*).Yesus tidak pernah mengalah kepada situasi. Ia tunduk kepada pengarahan Perjanjian Lama karena menurut Dia itulah sikap yang paling tepat, terlepas dari apakah sikap itu mengikuti atau berlawan dengan teologi tradisional atau radikal pada zaman-Nya (atau teologi masa kini sekalipun).

Juga pernah dikatakan bahwa keyakinan Yesus dalam hal ini sama dengan keyakinan dan pola-pola pikir masyarakat dan kebudayaan pada zaman-Nya, bahwa memang hal ”penjelmaan” mencakup hal penyesuaian diri demikian; karena itu sebenarnya keyakinan Yesus tidak begitu ber pengaruh dewasa ini. Akan tetapi, pandangan itu adalah berdasarkan asumsi yang sama sekali tidak beralasan, yaitu: karena kita ditempa menurut aksioma dan norma-norma masyarakat, maka pasti Yesus demikian juga. Tetapi sebenaranya belum tentu hal itu berlaku mengenai tokoh sejarah mana pun yang agung, karena kehebatan tokoh itu justru terletak pada hal mempertanyakan asumsi-asumsi generasinya. Apabila Yesus terikat erat pada pandangan masyarakat-Nya mengenai soal dasar wewenang agama, berarti Dia kalah cemerlang dengan tokoh-tokoh sejarah lain.

Pandangan tersebut juga gagal memperhitungkan kesaksian Alkitab tentang apa yang terjadi dalam peristiwa kedatangan Kristus, yaitu bukan munculnya kesadaran manusiawi yang terikat oleh waktu seperti manusia biasa, tetapi pengambilan kodrat manusia oleh Dia yang adalah Firman dan hikmat Allah yang abadi (#/TB Yoh 1:1-14; 8:58; 17:5; Fili 2:5-11*; #/TB Kol 1:15-20*).  Pandangan ini juga mengabaikan kodrat manusia-Nya yang tidak berdosa (#/TB Yoh 8:46; Ibr 4:15; 1Pet 1:19*). Sebab itu, amatlah salah untuk menggunakan pengalaman biasa untuk menilai Yesus. Ia hanya dapat dimengerti kalau orang mengesampingkan norma-norma wawasan berdosa yang tidak lengkap dan membiarkan cara berpikir dibentuk oleh kesaksian Allah tentang Yesus sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab Injil. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengesampingkan sikap-Nya terhadap apa saja, khususnya sesuatu yang begitu dekat pada pusat pikiran dan perbuatan-Nya.

Pada dasarnya soal itu lebih bersifat moral daripada akademis. Jika orang berpandangan lebih rendah terhadap sifat ilahi Perjanjian Lama daripada Yesus sendiri, bagaimanakah atau berdasarkan hak apa orang itu dapat mengakui-Nya sebagai Guru dan Tuhan? (#/TB Yoh 13:13*).

b.   Pandangan para rasul terhadap Perjanjian Lama

 

Para rasul mengacu kepada Perjanjian Lama untuk memberi wewenang pada ajaran

mereka dan senantiasa mengemukakan iman Kristen sebagai penggenapan Perjanjian

Lama (#/TB Kis 2:16-35; 3:22-25; 4:11; 7:2-53; 13:29-37* #/TB Rom 1:2; Gal 3:16-18*; dll.).

Bahkan untuk penggenapan inilah Perjanjian Lama ditulis (#/TB Rom 15:4; 1Pet 1:12*).

Para rasul sadar akan wewenang khusus mereka sebagai pendiri-pendiri gerakan baru (bnd. #/TB 2Kor 10:8; Gal 1:1*) dan sebagai penerima penyataan diri Allah (#/TB 1Kor 2:13; 1Tes 2:13; 1Yoh 1:1-3*). Namun mereka selalu menghubungkan ajaran mereka dengan Perjanjian Lama. Paulus, misalnya, sangat prihatin supaya ajarannya tentang pembenaran didasarkan pada Perjanjian Lama (bnd. #/TB Rom 4:1-25*). Bagi para rasul, sama seperti bagi Guru mereka, Perjanjian Lama adalah firman Allah dalam bentuk tertulis (#/TB Kis 4:25; Rom 3:2; 2Tim 3:16; Ibr 4:3; 10:15-17*; #/TB 2Pet 1:21*).

c.   Kata-kata dan ajaran Yesus

 

Yesus jelas yakin bahwa kata-kata-Nya berkuasa dan berwenang secara unik (#/TB Yoh 6:63; 15:3). Kata-kata-Nya tidak akan berlalu (#/TB Mr 13:31*) dan harus didengar dan ditaati (#/TB Mat 5:21-22; 7:24; Yoh 8:31-32*).

Para rasul mengakui kuasa ilahi kata-kata Yesus (#/TB Kis 20:35*;

#/TB 1Kor 7:10; 11:23-24). 1Timotius 5:18* sangat berarti dalam hubungan

ini karena menggabungkan ayat dari Perjanjian Lama (#/TB Ul 25:4*) dengan

ayat dari ajaran Yesus (#/TB Luk 10:7*). Sebagai bagian kitab suci yang

berwenang, dua ayat itu dianggap mempunyai kuasa ilahi yang sama dan masing-masing

mengungkapkan pikiran dan kehendak Allah. Penghormatan para rasul terhadap kata-kata

Yesus juga ditunjukkan dengan adanya empat kitab Injil.

d.   Wewenang khusus para rasul

 

Yesus sengaja memilih orang-orang tertentu untuk menjadi murid-murid-Nya (#/TB Luk 5:27; 6:12-16; Yoh 17:6*) dan memberi mereka Roh Kudus secara khusus (#/TB Yoh 20:22; bnd. #/TB Kis 1:5*). Ia menyuruh mereka pergi dan mengajar dalam nama-Nya (#/TB Mat 28:18-20; Yoh 20:21; Kis 1:8*) dan menjanjikan bahwa Roh Kudus akan memimpin mereka dalam mengajar dan bersaksi (#/TB Yoh 14:26; 15:26; 16:13*).

Para rasul menegaskan bahwa mereka langsung mengalami wewenang dan pengetahuan

unik (#/TB 1Kor 2:3*). Mereka memberitakan Injil dengan keyakinan bahwa mereka berbicara”oleh Roh Kudus” (#/TB 1Pet 1:12*) dan mereka mengakui bahwa isi dan bentuk berita itu diberikan oleh Roh Kudus (#/TB 1Kor 2:3*).  Mereka berbicara dengan keyakinan mantap (#/TB Gal 1:7-8) dan menyuruh dengan wewenang (2Tes 3:6,12*). Bahkan pernyataan seseorang bahwa dia mempunyai Roh Kudus dinilai dengan ukuran, apakah ia mengakui wewenang ilahi ajaran para rasul (#/TB 1Kor 14:37*).

Pandangan itu mengenai ajaran dan pemberitaan para rasul berlaku bukan hanya untuk penyataan lisan, tetapi untuk tulisannya juga. Ujian kebenaran adalah ”apa yang kukatakan dalam surat” (#/TB 1Kor 14:37*; #/TB 2Tes 3:14*).  Petrus menyebutkan surat-surat Paulus setaraf dengan Perjanjian Lama (#/TB 2Pet 3:16*)**1** dan Paulus menyuruh jemaat Kolose agar suratnya dibacakan juga di jemaat (#/TB Kol 4:16*).

 

**1**.TB”tulisan-tulisan yang lain” menerjemahkan Yun. tas loipas grafas dan kata graf-biasanya menyebut kitab-kitab Perjanjian Lama.

 

Kadang-kadang dikatakan bahwa argumentasi tadi tidak berujung pangkal, karena membuktikan wewenang Alkitab dengan cara mengacu pada ayat-ayat Alkitab.  Sebagian respons kami terhadap tantangan ini tercakup dalam alasan terakhir di bawah ini, yang kami kemukakan untuk mendukung wewenang Alkitab. Di sini kami tekankan kesulitan menentukan letaknya wewenang tertinggi kecuali dengan mengacu pada apa yang berwenang tertinggi itu sendiri; karena jika kita mengukur wewenang itu dengan memakai pengukur lain, maka pengukur lain itu menjadi wewenang yang tertinggi. Prinsip ini juga berlaku bagi bidang-bidang ilmu yang lain. Yang dapat kami kemukakan ialah bahwa ajaran Kristen tentang wewenang adalah sesuai dengan fakta bahwa penulis-penulis Alkitab sendiri sering mengacu pada Alkitab. Dengan demikian, Allah yang berbicara dalam Alkitab secara konsisten merupakan wewenang tertinggi.

e.   Allah sendiri menyapa manusia melalui Alkitab

 

Banyak orang Kristen mengakui Alkitab sebagai firman Allah, terutama karena Allah sendiri berbicara kepada mereka melalui Alkitab itu. Ia berbicara dengan kata-kata Alkitab sedemikian rupa sehingga tiap keragu-raguan mengenai asal, sifat serta wewenang ilahinya hilang sama sekali. Akhirnya, hanya Allah yang dapat menjadi saksi yang memadai bagi diri-Nya sendiri. Segala kesaksian lain, seperti bukti sejarah atau pun ke-simpulan filsafat hanya mempunyai nilai sekunder.

Jutaan orang Kristen dari tiap generasi bersaksi bahwa ketika mereka membaca Alkitab atau mendengar uraian daripadanya, maka mereka tergerak untuk mengakui kuasa yang melekat padanya. Calvin melihat hal ini sebagai pekerjaan Roh Kudus yang memberi kesaksian ilahi mengenai Alkitab, dan dia menyebutnya”kesaksian batin dari Roh Kudus” yang”lebih kuat dari bukti apapun”.

Orang Kristen yang mengenal”kesaksian batin” ini akhirnya hanya dapat bersaksi bahwa memang demikian halnya. Alkitab datang kepada kita dengan kuasa karena merupakan firman Allah yang menyentuh kita sampai ke lubuk hati. Di dalamnya kita menjumpai keagungan suatu panggilan tanpa syarat yang hanya dapat digambarkan sebagai suara dan firman Allah, Pencipta dan Penebus kita. Apabila ada tuduhan subjek-tivisme, maka kita dapat menjawab sebagai berikut:

(1)  Meskipun unsur subjektif harus ada jika wewenang yang dipersoalkan benar-benar pribadi (Allah menyapa aku), namun kesaksian Roh Kudus menuntun orang dari dirinya menuju suatu wewenang objektif yakni Alkitab tertulis.  Dengan demikian, kalau orang Kristen membela”kesaksian batin” ini, ia tidak berbicara tentang pengalaman batin diri sendiri, tetapi mengutip Alkitab.

(2)  ” Kesaksian batin” ini bukan soal pribadi, tetapi hal yang biasa bagi umat Allah. Persekutuan Kristen adalah bendungan terhadap subjek-tivisme, yang diambil dari pengalaman kesaksian Roh Kudus.

(3)  Kesaksian ini lazim di antara orang Kristen pada tiap zaman dan tiap kebudayaan dan pada tiap tingkat pemahaman. Allah tidak menggantungkan wewenang firman-Nya pada kesimpulan para ahli. Firman itu bersifat am, penuh kasih dan kemurahan sebagaimana yang kita harapkan dari Allah yang dinyatakan dalam Yesus Kristus.

(4)  Ajaran wewenang ini adalah pandangan Kristen ortodoks, yang didukung secara implisit maupun eksplisit oleh tulisan-tulisan para teolog terkemuka dari gereja hampir setiap zaman.

(5)  Ada juga pengukur objektif terhadap ajaran ini berupa bukti sejarah dan bukti lain. Memang ada orang yang berpendapat bahwa tidak konsisten, bahkan tidak relevan, untuk mengemukakan bukti-bukti untuk memperkuat wewenang kesaksian Roh Kudus. Akan tetapi Perjanjian Baru sendiri memberi bukti rasional dan historis untuk mendukung keyakinan Kristen itu (#/TB Kis 1:3; 2:32; 4:20; 1Kor 15:3-11*; bnd. #/TB 1Pet 3:15*).  Bukti ini menangkis keberatan bahwa kesaksian Roh Kudus, karena akhirnya subjektif, tidak berharga.

(6)  Tuduhan mengenai subjektivisme menjadi pudar di hadapan kesaksian Roh Kudus yang begitu menyentuh hati dan persuasif. Allah telah berbicara dan masih berbicara dengan kata-kata Alkitab. Setiap orang yang langsung ikut serta dalam penginjilan serta pemeliharaan orang Kristen baru, akan melihat bagaimana orang-orang itu terdorong secara naluri untuk mempelajari dan mematuhi Alkitab (bnd. analogi Petrus tentang susu bagi bayi yang baru lahir, #/TB 1Pet 2:2*).

 

Para kritikus wewenang Alkitab tidak dapat melawan hal ini. Bagaimanapun kuatnya

alasan mereka dan bagaimanapun canggihnya pertimbangan yang mereka kemukakan,

semuanya akan tumbang di hadapan karya Roh Kudus yang penuh kuasa, pada waktu Ia

menghidupkan generasi baru dan menanamkan di hati mereka kesadaran akan wewenang ilahi yang terdapat dalam Alkitab.

Akhirnya, kita mengakui wewenang Alkitab sebagai firman Allah karena tidak ada pilihan lain. Desakan datang dari luar diri manusia, dan kita tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan Allah bertindak sebagai Allah.

3.3 Pengilhaman

 

Bila dibicarakan bagaimana penyataan diri Allah telah diungkapkan dalam kata-kata Alkitab, maka istilah yang dipakai ialah”ilham” atau”pengilhaman”. Istilah ini menyebut kegiatan Roh Allah yang mengawasi para penulis Alkitab, sehingga tulisan mereka menjadi salinan firman Allah kepada manusia. Mengatakan bahwa Alkitab”diilhami” searti dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah yang berwenang. Sesungguhnya pengilhaman ilahi memberi kepada Alkitab wewenangnya yang ditegaskan kembali oleh Roh Kudus. Sebab itu semua alasan yang dipakai untuk membuktikan wewenang Alkitab yang unik sebagai firman Allah, juga merupakan alasan yang mendukung pengilhamannya.

Setiap orang Kristen sejati sepakat bahwa Alkitab diilhami. Tetapi ada perbedaan pendapat tentang _cara _pengilhaman itu dan dampaknya bagi wewenang dan keterandalan kata-kata Alkitab sebagaimana adanya sekarang.

a.       Cara pengilhaman

 

Pengilhaman berarti Allah langsung terlibat dalam penulisan Alkitab. Seberapa jauh pengaruh ilahi itu terjadi?

Tiga perikop penting dari Perjanjian Baru

#/TB 2Timotius 3:16* menyebut”Segala tulisan [= tulisan suci] yang diilham kan Allah”. Kata”diilhamkan” secara harfiah berarti ‘dihembus nafas’ dan nafas Allah adalah metafora yang lazim menggambarkan karya Allah dalam Perjanjian Lama, khususnya melalui Roh-Nya (#/TB Kej 2:7; Ayub 33:4*;

#/TB Mazm 33:6*). Pernyataan bahwa tulisan suci itu diilhami menyatakan asal dan sifat ilahinya: tulisan suci itu dihembus oleh nafas Allah. Objek perbuatan Allah itu ialah tulisan suci, penulis-penulis manusianya tidak disebut. Memang mereka itu terlibat, namun di sini penciptaan tulisan suci sepenuhnya dilihat sebagai perbuatan Allah. Jangkauan pengilhaman itu adalah”segala” tulisan suci, yang segalanya hasil”penghembusan nafas” Allah. Dalam konteks ini maksudnya ialah seluruh Perjanjian Lama.

#/TB 2Petrus 1:19-21* mendukung dan memperluas penegasan itu. Kesaksian dari saksi mata tidak sekuat”firman yang telah disampaikan oleh para nabi” (artinya Perjanjian Lama). Firman itu tidak timbul dari renungan pribadi para penulis, melainkan”oleh dorongan Roh Kudus, orang-orang berbicara atas nama Allah”. Kata kerja Yunani fer“ yang diterjemahkan”didorong” dipakai juga dalam #/TB Kisah 27:15* tentang kapal yang terombang-ambing oleh badai.  Jelaslah bahwa Petrus menguatkan pengertian perbuatan ilahi dalam menghasilkan segala tulisan suci.

Yohanes 10:34-46 mencatat diskusi tentang pemakaian kata”Allah”

dalam Perjanjian Lama, dalam hal ini #/TB Mazmur 82:1-8*. Yesus mengemukakan

bahwa wewenang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan. Dengan keyakinan yang sama Ia

menyamakan kata-kata Perjanjian Lama dengan kata-kata Allah dalam #/TB Matius 19:5*, ”Dan firmanNya”.

Pengakuan Yesus akan wewenang dan pengilhaman ilahi seluruh Perjanjian Lama sudah disebutkan di atas. Hal yang sama berlaku bagi tulisan Perjanjian Baru, sebagaimana ditunjukkan oleh:

·        kesadaran Yesus sendiri bahwa Dia berwenang secara berdaulat;

·        pernyataan-Nya bahwa Ia mengutarakan kata-kata Allah sendiri;

·        janji-Nya kepada rasul-rasul tentang Roh Kudus yang akan menyoroti pikiran mereka;

·        turunnya Roh Kudus atas mereka;

·        keyakinan para rasul bahwa Roh Kudus menyoroti mereka dalam pengajaran; dan

·        pengakuan mereka bahwa ada kuasa ilahi khusus dalam tulisan rasuli.

 

Dengan demikian, seluruh Alkitab yang sampai kepada kita ditegaskan sebagai hasil pengilhaman ilahi, naskah yang dihembus nafas Allah.

Nabi-nabi Perjanjian lama

Pengertian mengenai bagaimana pengilhaman ini berpengaruh pada penulis-penulis Alkitab dapat diperoleh dengan mempelajari nabi-nabi Perjanjian Lama.

Inti pengilhaman kepada nabi diungkapkan dalam #/TB Yeremia 1:5-9*: ”Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa ... Aku menaruh perkataan-perkataanKu ke dalam mulutmu” (bnd. #/TB Yes 6:8; Yeh 2:1-10*).  Sebab itu, para nabi bisa mendahului berita mereka dengan kata-kata: ”Demikianlah firman Tuhan”. Firman Tuhan datang kepada mereka dan ucapan-ucapan mereka biasa berbentuk berita langsung dari Allah kepada bangsa-Nya. Para nabi (termasuk Musa dan para pemazmur, #/TB Luk 24:25-27*) begitu dikuasai oleh Allah dan firman-Nya sehingga dengan diilhami Roh Kudus berita mereka dapat disamakan dengan ucapan Allah sendiri.

b.       Teori-teori pengilhaman

 

Sejumlah teori telah dikemukakan dalam usaha menggambarkan bagaimana Tuhan menghasilkan Alkitab.

Dikte (imla)

Teori ini dalam bentuk ekstrim menduga bahwa sebenarnya para penulis manusia tidak terlibat dalam menghasilkan Alkitab. Mereka hanya seperti mesin tik atau alat rekam manusiawi yang dilalui firman Allah dalam jalannya sampai pada himpunannya dalam kitab suci.

Contoh para nabi di atas yang menekankan peranan Allah mungkin mendukung teori dikte ini. Tetapi teori ini tidak memadai sepenuhnya, karena tidak menampung faktor manusia yang juga disebut dalam Alkitab, misalnya”orang berbicara” (#/TB 2Pet 1:21; bnd. #/TB Mr 7:6; 12:19* dll.). Oleh sebab itu, biarpun fenomena seperti penglihatan, kerasukan dan suara-suara surgawi memang terjadi, namun fenomena itu tidak perlu terjadi dalam pengilhaman Alkitab.

Cara pengilhaman yang tidak langsung terdapat dalam Injil Lukas, yang ditulis karena”aku mengambil keputusan” (#/TB Luk 1:3*). Lagi pula, tidak dikatakan ada pendorong supernatural di balik bagian-bagian Alkitab lainnya, misalnya Kidung Agung, Surat Filemon dan perkataan-perkataan Agur (#/TB Ams 30:1-33*). Selanjutnya, sejarah proses pembentukan Alkitab dalam banyak hal bersifat manusiawi: sejarah itu meliputi penyelidikan sejarah (#/TB Luk 1:3*), ketergantungan langsung pada sumber-sumber terdahulu (I dan II Tawarikh), pinjaman dari kitab lain (II Petrus dan Yudas) atau mengalami berbagai edisi (#/TB Ams 10:1; 24:23; 25:1*). Bahasa di berbagai tempat jelas-jelas menunjukkan gaya bahasa penulis lain ataupun kekurangan gayanya.

Jadi cara pengilhaman Alkitab umumnya tidak membiarkan pribadi serta niat para penulis manusianya dilampaui. Tidak benar bahwa mereka hanya seperti mesin tik.  Pandangan”dikte” tidak didukung oleh teolog Protestan mana pun yang bertanggungjawab, sejak zaman Reformasi sampai pada masa kini.

Penyesuaian

Menurut pandangan ini, dalam proses pengilhaman, Allah menyesuaikan diri dengan

keterbatasan para penulis. Ahli-ahli yang menganggap bahwa Alkitab banyak

mengandung kekhilafan sering memperjuangkan teori ini. Menurut mereka kekhilafan

manusia tak terelakkan karena Allah berkenan menyesuaikan diri pada keterbatasan

manusia yang menulisnya. Sama seperti cahaya yang menembus kaca berwarna menjadi

berwarna, begitu pula penyataan ilahi muncul dalam Alkitab diwarnai oleh keterbatasan penulisnya. Tetapi teori ini langsung bertentangan dengan pandangan Alkitab sendiri serta keyakinan orang Kristen yang diperoleh dari Roh Kudus, yakni bahwa Alkitab itu berasal dari Allah dan andal.

Pengawasan

Ini variasi dari teori penyesuaian dan menampung wawasan baik dari kedua

alternatif tadi tanpa kelemahannya. Teori ini menyatakan bahwa dalam proses

pengilhaman, Allah secara berdaulat mengawasi dan mengatur latar belakang,

warisan keturunan dan keadaan sekitar masing-masing penulis. Sebagai akibat,

pada waktu penulis-penulis itu mencatat kejadian, renungan atau khotbah,

walaupun mereka secara sadar menggunakan kata-kata mereka sendiri namun kata-kata

itu sekaligus merupakan firman Allah.

Kata-kata mereka yang diilhami itu dengan demikian jelas merupakan kepunyaan mereka sendiri dan langsung membahas situasi sekeliling mereka, namun dalam pemeliharaan Allah sekaligus merupakan bagian firman Allah kepada bangsa-Nya pada tiap zaman. Jadi perumpamaan kaca berwarna itu masih dapat dipakai, tetapi dengan arti lain. Boleh dikatakan bahwa jendela kaca berwarna itu sengaja dirancang oleh arsiteknya dengan tujuan supaya terang yang menembus kaca dan membanjiri katedral mendapat corak warnanya dari kaca berwarna itu. Dengan demikian firman Allah yang datang kepada bangsa-Nya dibentuk justru melalui kualitas orang-orang yang menyampaikannya, yang dibina oleh Allah khusus untuk tujuan itu.

Pernah dikatakan sebagai keberatan terhadap pandangan ini bahwa dosa manusia tidak diperhitungkan. Bagaimana jurang pemisah yang begitu besar antara Allah dan manusia dapat dijembatani sehingga manusia dapat mengeluarkan perkataan Allah sendiri? Sebagai jawaban dapat dikemukakan bahwa orang yang dipilih Allah untuk menyatakan kebenaran-Nya bukanlah”alami” melainkan orang yang telah diperbarui oleh Roh-Nya dan terhisap dalam hubungan dengan Dia. Walaupun para penulis Alkitab tetap orang berdosa sampai mati, namun itu tidak meng-hambat mereka menjadi alat penyampaian kebenaran ilahi. Mereka diawasi secara unik oleh Allah yang Mahakuasa, yang melalui Roh Kudus menguasai segala unsur yang mempengaruhi peran mereka.

c.       Dua istilah yang berkaitan dengan pengilhaman

 

Verbal

Istilah”verbal” berarti bahwa para penulis Alkitab tidak hanya diilhami dalam gagasan-gagasan umum, tetapi juga dalam perkataan yang mereka gunakan. Ini tidak sama dengan teori pengilhaman melalui”dikte”. Sebenarnya, penegasan mengenai perkataan para penulis Alkitab hanya berlaku untuk tulisan asli mereka, bukan versi yang ada sekarang, yang merupakan turunannya. Namun dalam praktek perbedaan antara yang asli dengan versi Alkitab yang ada sekarang bersifat teoretis saja (lihat di bawah: ps 3.5.c).

Lengkap

Kata”lengkap” (Ing. plenary) menunjukkan bahwa pengilhaman berlaku bagi seluruh Alkitab. Allah menyebabkan seluruh Alkitab ditulis, bukan hanya bagian-bagian di mana pengilhaman itu nyata sekali. Ini tidak berarti bahwa semua bagian sama pentingnya dalam menjelaskan berita Alkitab. Dalam sebuah lukisan, bisa saja figur di tengah lebih penting dibanding dengan rincian latar belakangnya. Kendatipun demikian, kedua-duanya adalah hasil karya sang seniman dan masing-masing memberi sumbangan pada lukisan itu secara keseluruhan.

d.       Ulasan akhir

 

Alkitab merupakan kitab yang diilhami oleh Allah secara langsung dan berdaulat, dan karena itu harus dipatuhi sebagai firman-Nya yang hidup, yang ditujukan kepada kita. Jika kita mengakui wewenangnya, maka pada saat itu pun kita harus mengakui dua hal, yakni bahwa firman Allah itu diilhami dan bahwa kita harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan kepatuhan. Memegang pandangan lain daripada itu berarti melawan ajaran Alkitab.

Tentu saja selalu akan ada unsur misteri yang menyelubungi cara bagaimana Alkitab terjadi. Hal ini seharusnya tidak mengherankan, karena karya Allah terhadap makhluk-Nya sering diliputi oleh misteri. Begitupun penjelmaan merupakan misteri, karena manusia tidak pernah sanggup menjelaskan dengan tuntas bagaimana kodrat ilahi dan manusiawi dapat bersatu dalam pribadi Yesus Kristus yang satu itu. Namun misteri perbuatan Allah dalam kedua kasus itu tidak menghambat orang dalam percaya dan bersukacita karena kebenarannya.

Pada akhirnya, soal pengilhaman itu tergantung pada kepercayaan tentang Allah.  Orang yang mengaku Allah ”yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya” (#/TB Ef 1:11*) dan yang ”melakukan apa yang dikehendakiNya” (#/TB Mazm 135:6*), tidak akan menemui kesulitan besar. Tidak ada hal yang tidak layak mengenai perbuatan-Nya dalam menghasilkan suatu kitab yang, meskipun timbul dari pengalaman makhluk-Nya, namun melalui peraturan-Nya yang berdaulat juga merupakan firman-Nya kepada mereka.

3.4 Kanon

 

Istilah kanon berasal dari kata Yunani kanon yang berarti ‘peraturan’ atau ‘patokan’. Kata ini muncul dalam Perjanjian Baru, misalnya #/TB Galatia 6:16*:

”Dan semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera atas mereka” (#/TB Gal 6:16*), yaitu semua orang yang hidup menurut Injil rasuli. Kanon dipakai secara umum tentang Alkitab, dan membicarakan batas-batas sastranya serta hal-hal seperti mengapa hanya kitab-kitab tertentu yang dianggap diilhamkan dan mengapa kitab-kitab itu semuanya dimasukkan dalam Kitab Suci yang diilhamkan.

Ada beberapa ulasan umum. Pengertian tentang suatu kitab suci pada dasarnya mengikat kita pada gagasan kanon, yakni suatu kumpulan tulisan berwenang dengan batas-batas yang persis. Gagasan ini terdapat dalam Alkitab sendiri (#/TB Luk 11:51; Kol 4:16; Wahy 22:18*). Faktor-faktor dalam sejarah juga sangat penting dalam menentukan apakah kitab-kitab tertentu boleh dimasukkan ke dalam kanon, misalnya apakah suatu kitab ditulis oleh atau di bawah pengawasan seorang rasul. Lagi pula kitab-kitab Alkitab yang otentik memiliki wewenang inheren; artinya, umat Allah dapat mengenal suara-Nya yang berbicara kepada mereka melalui kitab-kitab itu.

a.   Kanon Perjanjian Lama

 

Ada kesan dalam Perjanjian Lama bahwa kelima kitab Taurat (Pentateukh) diterima resmi pada waktu dini (misalnya #/TB Ul 31:11; Yos 1:7*; #/TB 2Taw 23:18*).  Tidak diketahui apa yang menjadi dasar kanon pada zaman itu, sehingga yang penting bagi kita ialah bahwa Yesus serta rasul-rasul-Nya menerima kanon Perjanjian Lama. Yesus berdebat dengan pemimpin-pemimpin agama sezaman-Nya mengenai berbagai pokok persoalan, tetapi agaknya mereka tidak berselisih mengenai kanon. Dalam #/TB Lukas 11:51* tersirat bahwa kanon yang dipakai dalam rumah ibadat pada zaman Yesus, sama dengan Perjanjian Lama zaman kita.

Rupanya jarang terjadi perselisihan paham antara orang Yahudi dari zaman mana pun mengenai isi kanon itu. Perjanjian Lama versi Yunani memuat beberapa kitab dari Apokrifa, tetapi rupanya tak satu pun di antaranya diakui di Palestina.  Tidak ada bukti bahwa kitab-kitab Apokrif pernah diakui atau diterima oleh agama Yahudi secara resmi, baik di Palestina maupun di Alexandria, dan orang Yahudi zaman sekarang hanya menerima apa yang orang Kristen sebutkan Perjanjian Lama sebagai kitab suci mereka.

b.   Kanon Perjanjian Baru

 

Pada zaman rasuli tambahan pada kanon Perjanjian Lama belum dirasakan perlu.

Ada sedikit-sedikitnya dua sebab:

·        jemaat Kristen memiliki sekumpulan tradisi lisan mengenai pelayanan dan pengajaran Yesus; dan

·        bentuk tradisi yang lebih mantap tidak perlu selama para rasul dan murid-murid mereka masih hidup.

 

Oleh karena lokasi gereja-gereja yang terpencar, maka pengumpulan dan pengakuan kitab-kitab Perjanjian Lama membutuhkan waktu yang cukup lama.

Meskipun demikian, pada zaman para rasul ada faktor-faktor tertentu yang menunjukkan bahwa kelak akan muncul kumpulan tulisan yang berwenang.  Keprihatinan gereja untuk mempertahankan tradisi-tradisi mengenai Yesus menunjukkan kesadaran mereka tentang sifat normatif dari misi Yesus dan, berhubungan dengan itu, tentang sifat normatif dari catatan tertulis mengenai misi itu. Kesadaran itulah yang mendasari penulisan keempat kitab Injil. Selain itu gereja-gereja sangat menghormati surat-surat para rasul. Paulus, misalnya, membubuhi tanda tangannya pada suratnya untuk memperkuat wewenang rasulinya (#/TB 1Kor 16:21*; #/TB Kol 4:18; 2Tes 3:17*) dan memberi petunjuk supaya suratnya dibacakan di gereja-gereja. #/TB 2Petrus 3:16* menunjukkan bahwa surat Paulus dianggap sebagai “bagian kitab suci”. #/TB Wahyu 22:18* membuktikan lebih lanjut adanya perbedaan antara tulisan yang berwenang dan yang tidak.

Petunjuk lain akan munculnya kanon Perjanjian Baru datang dari penulis-penulis Kristen dari masa langsung sesudah rasul-rasul. Para bapa gereja membedakan antara wewenang tulisan-tulisan mereka dengan wewenang utama dari tulisan-tulisan para rasul.

Usaha paling dini yang diketahui untuk membuat daftar kitab-kitab kanonis adalah

“kanon Muratori” dari sekitar tahun 175 M. Daftar lengkap yang paling dini

dibuat oleh Eusebius (meninggal tahun 340). Ia membedakan antara kitab-kitab

yang diterima secara umum dan yang diterima oleh mayoritas jemaat-jemaat

(sebanyak enam buah). Dasar sangsi terhadap enam kitab ini penting: kitab-kitab

itu tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan salah satu sumber rasuli. Hal

ini menunjukkan bahwa gereja menjaga supaya kitab-kitab kanon memberi kesaksian

langsung dan otentik tentang kebenaran-kebenaran pokok iman Kristen. Jadi bahaya

justru terletak dalam hal tidak mengikutsertakan kitab-kitab kanonis bukan dalam

hal mengakui kitab-kitab bukan kanonis. Dapat dipahami bahwa pada umumnya orang

enggan mengakui Kitab Wahyu sebagai kitab kanonis; beritanya agak terselubung

dan orang yang berpandangan ekstrim sudah mulai menggunakan lambang-lambangnya

untuk memperjuangkan pandangan fantastis. Tetapi menjelang akhir abad keempat, gereja mencapai kesepakatan mengenai kitab-kitab dalam kanon Perjanjian Baru.

Dengan membaca sepintas lalu kitab-kitab Apokrifa Perjanjian Baru sudah cukup untuk memperlihatkan perbedaannya dengan kitab-kitab Perjanjian Baru. Perlu disadari bahwa dalam proses kanonisasi, gereja tidak ingin memaksa wewenangnya atas beberapa di antara sekian banyak dokumen yang beredar di antara kelompok-kelompok Kristen. Seperti Newton tidak menciptakan gaya berat tetapi hanya menemukannya, begitu pula gereja tidak menciptakan kanon Perjanjian Baru tetapi mengakui dan mendefinisikannya. Dalam tulisan-tulisan ini dan hanya di situ, gereja yang dipimpin oleh Roh Allah mendengar suara otentik dari Gembalanya yang Baik (#/TB Yoh 10:4-5*).

3.5 Masalah-masalah lain

 

Jika Alkitab adalah wewenang tertinggi yang diilhamkan Allah sampai pada kata-kata yang dipakai para penulis aslinya, seberapa jauhkah harus diakui kebenaran dan keterandalan pernyataannya?

a.   Tidak dapat khilaf

 

Bila dikatakan bahwa Alkitab ”tidak dapat khilaf” (Ing. infallible), berarti bahwa pernyataannya tidak menyesatkan. Penegasan Alkitab adalah benar dan patut dipercaya, yang secara tidak langsung berbeda dengan kata-kata manusia yang bisa khilaf. Ditegaskan bahwa Alkitab tidak menyesatkan karena merupakan kesaksian Allah sendiri. Namun istilah ini dalam hubungannya dengan Alkitab harus didefinisikan dengan cermat dengan mengacu kepada sifat tulisan-tulisan Alkitab yang ada.

Alkitab ”tidak dapat khilaf” dalam beritanya secara keseluruhan. Ini jangan diartikan bahwa ayat-ayat tertentu dapat khilaf, tetapi bahwa setiap pernyataan tidak dapat khilaf apabila dimengerti dalam konteks seluruh Alkitab. Kalau misalnya kita mengutip secara tersendiri pertanyaan Yakobus, ”Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?” (#/TB Yak 2:14*) dengan jawaban tersirat “Tidak”, maka nampaknya ini salah karena menurut bagian Alkitab lain iman dapat menyelamatkan. Kebenaran tidak khilaf dalam Surat Yakobus itu nampak hanya bila orang membaca pertanyaan tadi dalam konteks seluruh surat itu, kemudian surat itu dibacakan dalam hubungannya dengan bagian-bagian Alkitab lain yang melengkapinya, terutama surat-surat Paulus kepada jemaat di Galatia dan Roma (tentang hal ini, lihat lagi di bawah: ps 23.2.f.).

Alkitab “tidak dapat khilaf” berkaitan dengan maksud yang terkandung dalam

pikiran si penulis. #/TB Kejadian 1:1-31*, misalnya, akan dikatakan tidak

khilaf dalam mengajarkan bahwa alam semesta diciptakan dalam 6 hari, masing-

masing terdiri dari 24 jam, hanya kalau itulah yang dimaksud si penulis. Kalau

bukan itu maksudnya, maka rincian pasal itu tidak dapat dianggap ”tidak khilaf”

dan karena itu berwenang bagi kosmologi kita zaman ini (tentang masalah ”asul

usul”, lihat di bawah ini: ps 8.6). Juga suatu cerita dapat menjadi wahana untuk

menampung kebenaran teologis, seperti dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus. Kita

tidak harus percaya bahwa orang Samaria yang baik hati adalah tokoh sejarah, karena Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang itu dan kata-kata Yesus tidak boleh khilaf. Bentuk sastra suatu perikop akan mempengaruhi cara kita menyatakan ketidak-khilafannya.

Pokok-pokok di atas sebenarnya mengatakan bahwa Alkitab hanya tidak dapat khilaf kalau ditafsirkan dengan tepat. Tentu saja tidak mungkin setiap tafsiran ayat Alkitab atau Alkitab secara keseluruhan bersifat ”tidak dapat khilaf”. Intinya ialah bersepakat dengan Yesus bahwa “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan” dan “firman-Mu adalah kebenaran” dan dengan cermat menuruti isi Alkitab seperti Dia.  Bila Allah berbicara, ucapan-Nya tidak khilaf.

b.   Tidak salah

 

Istilah “tidak salah” (Ing. inerrant) sering dipakai seiring dengan “tidak dapat khilaf” dan juga merupakan akibat wajar dari pengilhaman ilahi. Kalau Alkitab telah diawasi sampai pada kata-katanya oleh Allah yang benar, pastilah tidak akan salah. Jadi apabila Alkitab menentukan isi ajaran Kristen (doktrin) atau pola kehidupan (etika) ataupun mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi (sejarah), itu adalah benar. Sekali lagi harus ditegaskan di sini bahwa tingkat ”tidak salah” tergantung pada apa yang mau diajarkan oleh penulis yang bersangkutan. Bila suatu ayat Alkitab ditafsirkan sesuai dengan maksud penulisnya selaras dengan ayat-ayat Alkitab lain, maka kebenarannya akan jelas terlihat.

c.   Sesuai dengan yang asli

 

Ungkapan “sesuai dengan yang asli” (Ing. as originally given) sering dipakai untuk mengakui bahwa kita tidak memiliki naskah asli Alkitab. Pemeliharaan Allah yang secara berdaulat mengatasi kesulitan dan mengilhamkan catatan firman Allah kepada manusia yang tak bersalah dan tak dapat khilaf, tidak sampai menjamin ketidak-khilafan salinan-salinan dan terjemahan-terjemahan yang ada dalam tangan kita sekarang.

Pandangan tentang wewenang yang diuraikan di atas tidak terpengaruhi oleh hal itu. Penelitian terhadap sejumlah besar naskah yang masih ada menunjukkan bahwa naskah-naskah itu tidak jauh berbeda dengan aslinya. Pekerjaan menyalin dilakukan dengan penuh tanggung jawab karena penyalin percaya bahwa aslinya bersifat ilahi. Salah seorang ahli yang telah meneliti naskah-naskah Alkitab beserta versi-versinya secara terinci menyimpulkan bahwa oleh pemeliharaan Allah secara luar biasa, teks Alkitab diturunkan kepada kita dalam keadaan begitu murni, sehingga bahkan edisi paling tidak kritis dari naskah Yunani dan Ibrani, atau terjemahan yang paling buruk ataupun yang paling berat sebelah, tidak memudarkan secara efektif berita Alkitab sejati atau mengurangi kuasanya untuk menyelamatkan (Bruce 1943). Ahli lain telah memperkirakan bahwa jumlah ketidaktentuan dalam pengetahuan tentang kata-kata aslinya hanya mencapai kurang dari seperseribu dari teks Perjanjian Baru.

Hal itu memberi kesaksian objektif bahwa Roh Allah tidak menyesatkan orang bila Ia bersaksi dalam gereja sekarang mengenai wewenang ilahi salinan-salinan itu. Dengan menggunakan ungkapan ”sesuai dengan aslinya” orang menjaga agar tidak menuntut terlalu banyak untuk suatu naskah dan mendorong para ahli untuk terus mencari naskah yang lebih murni dan lebih andal.

d.   Kesulitan-kesulitan

 

Pandangan tentang Alkitab yang digambarkan di atas tanpa terlalu banyak kesulitan dapat dibuktikan sebagai ajaran ortodoks tentang wewenang Alkitab, yang berabad-abad telah didukung oleh mayoritas orang Kristen, secara tidak langsung melalui praktiknya dan secara langsung melalui pengakuan-pengakuan dan tulisan-tulisan teologis.

Akan tetapi, selama tiga abad terakhir pandangan ini sering dipersoalkan.

Perdebatan terus-menerus terjadi dalam enam bidang, yaitu:

·        keterandalan historis;

·        cara penulis Perjanjian Baru mengutip Perjanjian Lama;

·        acuan pada fenomena alami;

·        persoalan-persoalan moral;

·        soal penulisan dan bentuk sastra; dan

·        terjadinya mujizat.

 

Pembicaraan panjang lebar mengenai pokok-pokok ini akan membutuhkan satu buku bagi masing-masing pokok (lihat kepustakaan pada akhir pasal ini). Tetapi berikut ini tercantum beberapa pokok umum yang dapat kami sampaikan.

(1)  Banyak kesulitan dapat dipecahkan dengan menegaskan batas-batas mana Alkitab dapat dikatakan ”tidak dapat khilaf” dan ”tidak salah”.

(2)  Penelitian tulisan-tulisan yang bersangkutan akan menunjukkan bahwa tidak ada satu pun masalah yang dikemukakan oleh orang yang menyangkal bahwa Alkitab ”tidak dapat khilaf” yang tidak dapat dijawab.

(3)  Kesulitan-kesulitan tersebut tidak dikemukakan hanya oleh ahli-ahli modern. Banyak di antaranya dihadapi oleh para bapa gereja mula-mula dan kemudian oleh para reformis serta tokoh-tokoh Puritan, yang sering menemukan penyelesaian yang memuaskan.

(4)  Janganlah kita segera menerima tuntutan ahli-ahli yang mengatakan telah menemukan bukti-bukti yang melawan pernyataan Alkitab. Sejarah kritik Alkitab penuh bertebaran dengan tuntutan demikian yang setelah diteliti lebih lanjut ternyata tidak benar. Misalnya, cerita-cerita Perjanjian Lama tentang para bapa leluhur Israel pernah disebutkan sebagai dongeng belaka oleh beberapa ahli. Tetapi sekarang dihadapkan bukti nyata bahwa isi Kitab Kejadian sangat cocok dengan sejarah dan kebudayaan di Asia Barat kuno sekitar dua ribu tahun sebelum Masehi; maka pandangan tersebut harus dibuang.

(5)  Ada beberapa masalah yang belum terpecahkan. Dalam hal seperti itu kita harus menunggu sampai ada pemecahan yang memuaskan. Sementara itu, perlu dijaga jangan sampai suatu masalah tertentu yang belum terpecahkan membuat kita ragu-ragu tentang ajaran Alkitab secara keseluruhan, atau mengaburkan kesaksian Allah sendiri mengenai firman-Nya melalui Roh.

(6)  Harus diingat, ajaran tentang wewenang Alkitab merupakan salah satu dari tumpukan ajaran iman Kristen. Sama seperti segala ajaran lain, ajaran ini juga menuntut kepercayaan dari pihak kita, yaitu penyerahan dengan iman yang berkesinambungan dengan iman Yesus Kristus dan para rasul-Nya serta dengan gereja Kristen yang historis. Kita tidak mengharapkan akan menerima keterangan mengenai segala pikiran, perkataan dan perbuatan Yesus sebelum kita percaya pada ketidak-berdosaan yang membuat-Nya layak menjadi Juruselamat; kita tidak mengharapkan akan menerima pernyataan yang ditandatangani para saksi mata sebelum kita percaya dan bergembira atas kebangkitan-Nya; demikian pula kita tidak perlu menunggu sampai setiap masalah dipecahkan sebelum kita percaya pada kebenaran Alkitab yang tidak salah itu dan mengabdikan diri di bawah wewenangnya.

 

3.6 Ilmu tafsir (hermeneutika)

 

Sebagaiman telah dikatakan di atas, soal “tidak dapat khilaf” tidak bisa dipisahkan dari soal menafsirkan Alkitab. Pernah terjadi ada orang yang menyatakan bahwa tafsiran-tafsiran yang tidak pasti dan bahkan yang eksentrik bersifat “tidak salah”. Mengingat bahwa Alkitab bersifat “tidak dapat salah” kalau ditafsirkan dengan benar, maka kita bertanya: prinsip-prinsip apa yang harus membimbing tafsiran-tafsiran kita? Atau dengan istilah teknik, apa hermeneutika yang benar? Ada empat prinsip utama.

a.         Penafsiran secara wajar

 

Alkitab harus ditafsirkan secara wajar (Ing. historico-grammatical method, yakni metode berdasarkan sejarah dan tatabahasa). Menurut prinsip ini, yang terpenting dalam tafsiran suatu ayat atau perikop adalah arti wajarnya. “Yang wajar” harus dibedakan dengan “yang harfiah”, yaitu cara baku yang tidak memperhatikan kiasan, metafora, gaya sastra dan lain-lain. Sebagai contoh, kalimat ”mata Tuhan menjelajah seluruh bumi” (#/TB 2Taw 16:9*) mengajarkan tentang kemahatahuan Allah dan bukan mengenai sepasang mata angkasa yang pergi ke mana-mana untuk menyelidiki seluruh muka bumi. Prinsip ”wajar” ini dalam penafsiran Alkitab mencakup tiga pokok utama.

(1)  Alkitab harus ditafsirkan menurut artinya yang asli. Firman Allah asli dialamatkan pada keadaan-keadaan tertentu. Orang harus mengetahui sedapat mungkin tentang keadaan asli dan arti firman bagi orang dalam keadaan asli itu, sebelum menerapkan firman pada keadaan masa kini.

(2)  Alkitab harus ditafsirkan menurut bentuk sastranya. Firman Allah terdiri dari berbagai bentuk sastra: puisi, prosa, perumpamaan, alegori (misalnya #/TB Yeh 16:1-63*), apokaliptik (Kitab Wahyu), fabel (misalnya #/TB Hak 9:8-15*) dan lain-lain. Memang itu tidak berarti bahwa bagian berbentuk puisi tidak mungkin menyampaikan fakta, tetapi bahwa bahan berbentuk puisi atau bagian yang melaporkan penglihatan jangan ditafsirkan seolah-olah mengandung sejarah atau ajaran. Para penafsir juga harus peka terhadap penggunaan metafora dan bahasa kiasan lainnya.

(3)  Alkitab harus ditafsirkan menurut konteksnya. Latar belakang suatu ayat atau ucapan dari Alkitab harus diperhatikan dalam penafsiran yang tepat.  Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa pembagian dalam pasal dan ayat tidaklah terdapat dalam naskah Alkitab asli.

 

b.         Penafsiran menurut Kitab Suci

 

“Patokan yang tidak dapat khilaf untuk menafsirkan Alkitab adalah Alkitab sendiri. Sebab itu, kalau ada persoalan mengenai pengertian yang sebenarnya dan selengkapnya dari suatu bagian Alkitab, maka kejelasan harus dicari melalui bagian-bagian lain yang berbicara dengan lebih jelas” (Pernyataan Iman Westminster). Prinsip ini, yang secara teknis dikenal sebagai prinsip penyelarasan, mengakui kesatuan dan kemantapan Alkitab yang berasal dari satu-satunya penulis yang ilahi. Prinsip ini dapat diperluas dengan sejumlah sub-prinsip.

(1)  Alkitab harus ditafsirkan menurut tujuan Alkitab. Ini berlaku bagi Alkitab secara keseluruhan (#/TB Yoh 20:31; 2Tim 3:15*). Alkitab diberikan supaya manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang keselamatan dan, seperti dikatakan Calvin, ”Kalau Anda ingin belajar astronomi atau ilmu lain yang rumit, carinya di tempat lain”. Prinsip ini juga berlaku untuk tiap bagian Alkitab: keadaan yang dialamatkan harus dipelajari. Yakobus, misalnya, menulis kepada orang-orang yang tidak mempedulikan akibat-akibat moral dan sosial dari kepercayaan mereka. Dalam Surat Galatia, Paulus menulis kepada orang-orang dalam keadaan lain, yaitu orang-orang yang bersandar pada jasa moral dan agama untuk mendapatkan anugerah Tuhan. Tidak mengherankan bahwa kedua penulis itu mengatakan hal-hal yang berbeda walaupun saling mengisi.

(2)  Alkitab harus ditafsirkan dengan penjelasan dari bagian lain yang temanya sama. Prinsip ini dipakai kalau membaca buku pelajaran mana pun: pembaca menyelidiki apakah pokok yang sulit dijelaskan penulis di tempat lain. Misalnya beberapa ketidakjelasan dalam Kitab Wahyu dapat dimengerti jika dihubungkan dengan nubuat-nubuat dalam bagian Alkitab lain.

(3)  Alkitab harus ditafsirkan dengan penjelasan yang datang kemudian dan lebih lengkap. Penyataan Alkitab semakin berkembang mengikuti penyataan diri Allah serta maksud-maksud-Nya kepada umat-Nya. Khususnya, Perjanjian Baru menafsirkan Perjanjian Lama. ”Kristus menggenapkan hukum” dan karenanya Perjanjian Lama harus ditafsirkan dalam terang penggenapan ini. Begitu juga surat-surat para rasul menafsirkan kitab-kitab Injil, karena dari pengajaran rasulilah dapat kita lihat seluruh tujuan Allah, yang mencapai puncaknya dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Komentar Calvin mengenai Surat Roma adalah nasihat yang masuk akal: ”Kalau orang memahaminya, jalan yang pasti terbuka baginya untuk menuju pengertian seluruh Alkitab”.

 

c.         Penafsiran oleh Roh

 

Alkitab hanya dapat ditafsirkan dengan bantuan Roh Kudus. Pengertian sejati tidak mungkin bagi kita secara alami, tetapi merupakan pemberian Allah (#/TB Mat 11:25; 16:17) melalui Roh-Nya (#/TB Yoh 16:13*). Hal ini tidak membebaskan orang dari kerja keras, begitu pula itu tidak berarti bahwa orang dapat memencilkan diri dari umat Kristen lain dalam usaha mengerti Alkitab. Roh Kudus adalah Roh yang dimiliki bersama, yang hidup di dalam semua bangsa Allah (#/TB 1Kor 12:12-13*). Bodoh sekali mengharapkan bahwa Allah akan mengajar orang melalui firman-Nya kalau kita mengabaikan cara-cara yang diperintahkan Allah untuk membawa kebenaran, termasuk karunia mengajar.

Prinsip hermeneutis yang ketiga ini mengandung tantangan spiritual yang mendalam. Roh Allah adalah kudus; karena itu, apa yang dimengerti oleh seseorang dari kebenaran-Nya tidak hanya berhubungan dengan daya pikir saja, tetapi terlebih dengan ketaatannya. Seberapa jauh orang dapat melihat, lebih tergantung pada seberapa jauh orang itu mendaki gunung daripada bagaimana lengkapnya perbekalan orang itu. Yesus berkata “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (#/TB Mat 5:8*).

d.         Penafsiran secara dinamis

 

Alkitab harus ditafsirkan secara dinamis. Prinsip terakhir ini sebenarnya memperluas prinsip ketiga. Roh Allah adalah Roh yang hidup, yang menggunakan firman Allah untuk tujuan-Nya yang mulia bagi umat Allah, yaitu kelahiran kembali dan pengudusan. Penafsiran Alkitab tidak terbatas hanya pada menjelaskan arti Alkitab yang sesungguhnya menurut konteksnya. Firman yang digali dari tambang kebenaran abadi Allah harus diangkat ke permukaan dan dipergunakan.  Pertama-tama kita bertanya, apa maknanya pada masanya serta dalam konteksnya sendiri dan apa maksudnya dalam konteks seluruh Alkitab. Kemudian kita bertanya, apa maknanya firman itu sekarang, pada saat ini, di sini, dalam kehidupan jemaat, bagi orang itu, atau bagi saya sendiri?

Bahan Alkitab

Mengenai Kitab Suci:

#/TB Kejadian 15:1,4; Keluaran 20:1; Bilangan 22:38; Ulangan 5:22*;

#/TB Yosua 3:9; 2Samuel 7:28; Neh 9:13-14; Mazmur 12:7; 19:8-14; 119:1-176*;

#/TB Yeremia 1:9; 30:2; Daniel 7:1-2; 8:15-18; 10:1-2*;

#/TB Matius 4:1-11; 5:17-19; 19:4-5; 22:31-32,43; 26:53-54; Markus 7:6-13*;

#/TB Lukas 16:17; 11:49; Yohanes 3:33-34; 10:34-35; 17:17; 19:35; 21:24*;

#/TB Roma 3:2; 15:4; 1Korintus 10:11; 2Korintus 6:16-17; 2Timotius 3:15-16*;

#/TB Titus 1:9; Ibrani 4:12-13; 10:15-17; 1Petrus 1:21; Wahyu 21:5; 22:6-8*.

Perkataan Yesus:

#/TB Matius 5:21-24; 7:24; Markus 13:31; Yohanes 15:26*;

#/TB Kisah 20:35; 1Korintus 7:10,25; 11:23-24; 1Timotius 5:18*.

Kewibawaan para rasul:

#/TB Matius 28:18-20; Yohanes 14:26; 15:26-27; 16:13-14; 17:6,8,26; 20:21*;

#/TB Kisah 1:8; 1Korintus 2:9-13; Galatia 1:7-8; Kolose 4:16*;

#/TB 2Tesalonika 3:6,12*.

Kesaksian batin Roh Kudus:

#/TB Yohanes 14:25; 15:26; 16:13-14; Roma 8:15-16; 2Korintus 1:22*;

#/TB Galatia 4:6-7; Efesus 1:13; 2Timotius 1:14*;

#/TB 1Tesalonika 1:5; 1Yohanes 2:20,27; 3:24; 5:7-8,20*.

Kanon:

#/TB Keluaran 24:4-7; 31:18; Ulangan 31:9-26; Yosua 1:7-8; 24:26*;

#/TB Ezra 7:6,14; Nehemia 8:1-3; Yesaya 8:16; Yeremia 36:32; Daniel 9:2*;

#/TB Matius 21:42; Lukas 24:27,44; Yohanes 5:39-47; 1Korintus 14:37-38*;

#/TB 2Korintus 10:8-9; Kolose 4:16; 2Tesalonika 2:15; 3:17; 1Timotius 5:18*;

#/TB 2Petrus 3:16; Wahyu 1:1-3; 22:8-9*.

Hermeneutika:

#/TB Kejadian 40:8; Nehemia 8:8; Daniel 4:18*;

#/TB Matius 5:17-48; 15:3-9; 22:29-32; Lukas 24:27-44*;

#/TB Yohanes 1:45; 5:39,46; 16:5-15; Kisah 2:16-21; 17:2-3*;

#/TB Roma 1:2-3; 3:21-22; 4:24; 10:4; 16:25; 1Kor 10:11; 2Kor 1:20*;

#/TB 2Timotius 2:15; 1Petrus 1:10-12; 2Petrus 1:20*.

Bahan diskusi/penelitian

1.   Sebutkan berbagai arti ungkapan ”firman Allah”. Sebutkan alasan bagi pandangan bahwa Alkitab adalah firman Allah.

2.   Apa pandangan Yesus mengenai Perjanjian Lama dan apa dampaknya bagi sikap orang terhadap Alkitab akhir-akhir ini? Apa jawaban Anda terhadap keberatan orang bahwa pandangan-Nya bersifat “kultural” saja dan karena itu tidak relevan pada masa kini?

3.   Apa ”kesaksian batin Roh Kudus” dan apa pengaruhnya bagi pengertian tentang wewenang Alkitab?

4.   Apa yang dimaksudkan dengan ”pengilhaman Alkitab”? Uraikan berbagai pandangan dengan menilai kelebihan serta kelemahan masing-masing.

5.   Mengapa orang berbicara tentang

 

( a) pengilhaman verbal dan

( b) pengilhaman lengkap?

 

6.   Selidiki hubungan antara wewenang Alkitab dan pengilhamannya.

7.   Apa yang dimaksudkan dengan ”kanon Alkitab”?

Gambarkan proses penetapan

( a) kanon Perjanjian Lama dan

( b) kanon Perjanjian Baru.

 

8.   Selidikilah dasar keyakinan bahwa Alkitab tidak dapat khilaf dan tidak salah. Sampai berapa jauh jangkauan sifat-sifat itu?

9.   Sebutkan satu demi satu pertimbangan-pertimbangan yang perlu dipikirkan kalau menghadapi apa yang kelihatannya kontradiksi atau kekhilafan dalam Alkitab. Bagaimana jawaban Anda terhadap tuduhan, ”Alkitab penuh kesalahan” dan “Orang cerdas tidak lagi percaya bahwa Alkitab itu benar”?

10. Sebutkan prinsip-prinsip penafsiran yang utama. Jelaskan maknanya dengan contoh-contoh kekhilafan yang timbul karena mengabaikan prinsip tersebut.

11. Bahaslah pandangan bahwa ”Hanya Roh Kudus saja yang diperlukan untuk membantu orang memahami Alkitab”.

12. Apa peranan bahan pembantu seperti buku-buku pengantar dan tafsiran untuk

memahami Alkitab? Apa peranan khotbah dalam menambah pemahaman Alkitab, dan

bagaimana prinsip-prinsip penafsiran mempengaruhinya?

Kepustakaan (3)

Artikel “Canon”,”inspiration”,”interpretation” dalam IBD.

Berkhof, L.

1950 The Principles of Biblical Interpretation (Evangelical Press).

Bruce, F. F.

1943 The New Testament Documents (IVP, edisi baru 1960). Buku ini sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul _Dokumen-dokumen Perjanjian Baru_ (BPK).

Calvin, J.

_ Genesis_ (Banner of Truth, terjemahan, 1975): hlm. 79, tafsiran Kej 1:6.

France, R. T.

1971 Jesus and the Old Testament (Tyndale Press).

Geisler, N. (penyunting)

1979 Inerrancy (Zondervan).

Harris, R. L.

1975 The Inspiration and Canonicity of the Bible (Zondervan).

Henry, C. F. H. (penyunting)

1959 Revelation and the Bible (Tyndale Press).

1976 God, Revelation and Authority 1 & 2 (Word).

Kuyper, A.

1963 Principles of Sacred Theology (Eerdmans).

Lloyd-Jones, D. M.

1959 Studies in the Sermon on the Mount 1 (IVP): hlm. 180-320.

Montgomery, J. W. (penyunting)

1974 God’s Inerrant Word (Bethany).

Packer, J. I.

1965 God Has Spoken (Hodder, 1979**2**).

1980 Under God’s Word (Lakeland).

Pinnock, C.

1967 A Defense of Biblical Infallibility (Presbyterian & Reformed).

1971 Biblical Revelation (Moody).

Ramm, B.

1971 Hermeneutics (Baker).

Stonehouse, N. B. & Woolley, P. (penyunting)

1946 The Infallible Word (Presbyterian & Reformed).

Stott, J. R. W.

1972 Christ the Controversialist (Tyndale Press).

Warfield, B. B.

1951 The Inspiration and Authority of the Bible (Presbyterian & Reformed).

Wenham, J. W.

1972 Christ and the Bible (Tyndale Press).

1974 The Goodness of God (IVP).

 

4.       PENERAPAN

 

4.1 Kelahiran kembali

 

Karena manusia adalah makhluk berdosa, maka kebenaran Allah hanya dapat diperoleh sebagai anugerah yang mengatasi perlawanan naluri manusia terhadap diri-Nya, dan menerangi pikiran gelap. Menurut bahasa Alkitab, orang tidak dapat mengenal Allah dan kebenaran-Nya sebelum dilahirkan kembali (#/TB Yoh 3:3*).

Mujizat kelahiran kembali dan penerangan ini selalu dihubungkan dengan respons pada Injil (atau ”kabar baik”) yang merupakan inti iman Kristen. Harus diakui, berita ajaib ini mula-mula tidak nampak sebagai kabar ”baik”, karena menghadapkan orang pada dosa, keadaan moral yang tidak berdaya, kebutaan intelektual dan hal yang suram yaitu murka Allah. Namun orang sekaligus diyakinkan akan kasih Allah yang maha-kuasa bagi manusia berdosa, yang diungkapkan dengan menganugerahkan putra-Nya, Yesus Kristus, yang mati di kayu salib bagi semua orang berdosa. Injil memanggil orang untuk meninggalkan dosa dan menggantungkan diri pada anugerah Allah yang ditawarkan Kristus kepada manusia.

Orang yang menjawab panggilan tersebut dengan penuh percaya mengalami permulaan baru dalam hidupnya, yakni suatu kelahiran baru, dan bersama dengan itu mendapat kemampuan baru untuk menanggapi penyataan Allah. Bagi orang Kristen sejati, kelahiran kembali ini sudah merupakan realitas, tetapi ia senantiasa harus mengingat ”jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat kerajaan Allah”. Prinsip ini bekerja sepanjang kehidupan Kristen. Allah memberikan kebenaran-Nya hanya kepada orang yang rendah hati. Bila orang datang kepada-Nya dengan penuh rasa ketergantungan pada-Nya sambil mengaku kebodohan yang penuh dosa serta kebutaan yang selalu memerlukan pencerahan ilahi, maka Ia akan menjenguk dalam kemurahan-Nya dan sekali lagi memberikan anugerah kebenaran-Nya.

4.2 Memahami Alkitab

 

Alkitab sampai kepada orang modern dari zaman yang meliputi sekian ribu tahun, dari pengalaman bangsa-bangsa yang kebudayaannya asing, dan dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Oleh sebab itu, untuk mengerti dan menafsirkan Alkitab dengan tepat memerlukan disiplin untuk menjembatani jurang kultural dan linguistik yang memisahkan kita dari dunia dan zaman Alkitab.

Sudah jelas bahwa Roh Kudus adalah pemandu yang mutlak perlu, dan orang Kristen sederhana (artinya, tanpa pendidikan) yang mempunyai Roh Kudus dapat menangkap berita Alkitab dan menggunakannya sepenuhnya untuk memperkaya kehidupan rohaninya. Menyangkal kemampuan orang sederhana itu berarti mengambil sikap melawan bukti-bukti sejarah. Ada bahaya bahwa kita mengulangi kesalahan gereja Roma pra-Reformasi, yang menempatkan perantara antara Allah dan jiwa orang secara individu. Pada abad pertengahan di Eropa, imamat gereja menjadi perantara itu; pada zaman kita para ahli Alkitab. Ada kalanya Tuhan memberikan penerapan langsung, khusus dan relevan dari firman-Nya melalui Roh Kudus dalam keadaan tertentu, namun tentu saja ini tidak selalu terjadi dan biasanya dibutuhkan suatu proses belajar untuk merealisasikan apa yang dimaksud dengan hidup menurut Alkitab.

Sebagian besar kebenaran dalam Alkitab hanya dapat ditemui melalui penelitian yang saksama. Sering ditemukan segi-segi baru dari kebudayaan-kebudayaan pada waktu Alkitab ditulis, dengan akibat bahwa bagian-bagian Alkitab yang terkenal pun mendapat penyorotan baru. Panggilan menjadi ahli Alkitab dan ahli teologi sangat penting bagi gereja, dan sekalipun panggilan itu tidak datang kepada mayoritas, namun mayoritas itu juga pasti dipanggil untuk menggunakan pikiran mereka sebaik mungkin, dengan mempelajari Alkitab menurut kemampuan dan kesempatan mereka. Tidak ada pengganti bagi kerja keras dalam memahami firman Allah.

4.3 Memberitakan firman

 

Sarana paling unggul untuk mengungkapkan dan menyebarkan kebenaran Allah yang telah diberikan-Nya di dalam gereja adalah pemberitaan firman. Segala sesuatu yang telah kami kemukakan dalam bagian ini hanya menggarisbawahi betapa pentingnya khotbah dalam gereja bersifat dan mempunyai daya tarik yang alkitabiah.

Tentu saja hal ini tidak hanya berarti mengucapkan beberapa ayat Alkitab secara

berturut-turut. Pada saat jemaat Kristen berkumpul untuk beribadah, harus

diusahakan supaya pengkhotbah menjelaskan Alkitab secara mendalam dan kemudian

secara peka menerapkannya langsung dalam kehidupan dan keadaan pendengar-pendengarnya.Segala sesuatu yang dikatakan mengenai kebutuhan untuk bekerja keras dalam memahami Alkitab tadi harus diterapkan pada persiapan khotbah seperti ini.

Orang yang tidak terpanggil untuk menjadi pengkhotbah tetap dapat memainkan

peranan yang amat penting dengan berdoa dan menganjurkan khotbah-khotbah

berdasarkan Alkitab. Tidak ada apa pun yang lebih mampu membawa pembaruan dalam

hidup, semangat dan iman gereja dari generasi mana pun selain pemberitaan firman Allah yang kekal, yang dibawakan kepada umat Allah oleh pelayanan pengkhotbah yang menjelaskan firman itu di bawah pengurapan Roh Kudus.

4.4 Menaati Alkitab

 

Jika Allah menyatakan diri-Nya serta rencana-Nya kepada kita dalam Yesus Kristus yang dikenal melalui Alkitab, maka jelaslah kita wajib menyerahkan hidup kita seutuhnya untuk dipimpin oleh ajaran Alkitab. Khususnya di dunia akademis, pandangan bahwa kebenaran dialamatkan pada akal saja merupakan penggoda yang besar. Tetapi bagi Alkitab hal “mengenal kebenaran” berarti hidup menurut kebenaran itu dalam situasi tertentu. Dalam Perjanjian Lama, kebenaran terutama bersifat moral yang meliputi sifat dapat dipercaya atau setia (mis #/TB Mazm 51:8*).  Pengertian ini juga diungkapkan oleh Yohanes yang memperhatikan berbuat yang benar (#/TB Yoh 3:21; 1Yoh 1:6*). Jadi, bagian akhir ini berpadu dengan uraian tentang ajaran Kristen tentang wewenang, karena kebenaran Kristen dalam arti paling mendalam hanya berada bila ada pikiran yang bertekad untuk mengerti maupun menaatinya. Kalau hasrat akan kebenaran tidak meliputi hasrat untuk taat pada kebenaran, maka orang sebenarnya tidak serius mengenai kebenaran itu.

Pada dasarnya ajaran tentang wewenang itu praktis sekali. Ajaran ini menghadapkan orang pada tantangan khusus, yakni menaati semua ajaran Alkitab setiap saat. Tidak ada yang lebih sederhana, sekalipun sangat menyelidiki hati, daripada tantangan itu.