SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
D. YESUS KRISTUS
15. KEMANUSIAAN YESUS KRISTUS
Ada cukup banyak bahan dalam kitab-kitab Injil untuk menetapkan bahwa Yesus adalah manusia sejati. Bahkan pokok ini merupakan salah satu pokok yang disetujui oleh hampir semua peneliti kitab Injil akhir-akhir ini. Berita Injil dimulai dengan menempatkan Yesus dalam rentetan silsilah manusia (#/TB Mat 1:1-16; Luk 3:23-38*). Terlepas dari cara pembuahan, kelahiran-Nya adalah kelahiran normal seperti manusia lain (#/TB Mat 2:7*; #/TB Gal 4:4*). Janinnya berkembang dalam rahim Maria dan masuk ke dunia melalui saluran kelahiran seusai masa kehamilan dan persalinan. Sama seperti kita, hidup-Nya berlangsung dalam masa pertumbuhan dan perkembangan normal (#/TB Luk 8:40-52; Ibr 5:8*) dalam lingkungan rumah tangga dan keluarga (#/TB Mr 6:1-6*). Menurut kitab-kitab Injil, Yesus juga mempunyai keterbatasan fisik normal: keletihan (#/TB Yoh 4:6), kelaparan (#/TB Mat 21:18*), rasa haus (#/TB Mat 11:19*). Pada saat-saat terakhir hidup-Nya, Ia mengalami penderitaan lahir dan batin yang sangat mendalam sebelum kematian-Nya secara fisik (#/TB Mr 14:33-36; Luk 22:63; 23:33*). Ia mengalami segala macam emosi manusia, misalnya kegembiraan (#/TB Luk 10:21), kesedihan (#/TB Mat 26:37), kasih (#/TB Yoh 11:5*), belas kasihan (#/TB Mat 9:36), rasa heran (#/TB Luk 7:9), marah (#/TB Mr 3:5*). “Orang yang mengira bahwa Anak Allah bebas dari emosi manusia, tidak sungguh-sungguh mengakui dia sebagai manusia” (Calvin). Penelitian kata-kata yang dipakai dalam Perjanjian Baru Yunani menyingkapkan kedalaman dan intensitas emosi manusiawi-Nya, misalnya kesedihan (#/TB Luk 19:41*), kecemasan (#/TB Mat 27:46; bnd. #/TB Yoh 12:27), kemarahan (#/TB Yoh 2:17*) dan lain-lain (Warfield 1950: hlm. 93-145). 15.1 Kehidupan beragama
Yesus mengikuti ibadah umum (#/TB Luk 4:16*) dan Dia mempelajari, merenungkan dan menjelaskan Kitab Suci (#/TB Mat 4:4; 19:4; Luk 2:46; 24:27*). Terlepas dari persekutuan batin yang terus-menerus dengan Bapa-Nya, Yesus sering menyuarakan doa-Nya (#/TB Luk 3:21*) dan kadang-kadang berdoa sepanjang malam (#/TB Luk 6:21*). Injil Yohanes khususnya menyaksikan tentang kehidupan Yesus yang taat dan bergantung sepenuhnya pada Bapa yang telah mengutus-Nya (#/TB Yoh 4:34; 6:38; 12:49* dsb.). Walaupun hubungan-Nya dengan Bapa jelas berbeda dengan kita (#/TB Luk 10:21-22; Yoh 20:17*), namun Yesus dapat disebut perintis yang memimpin kita dalam iman (#/TB Ibr 12:2*). 15.2 Pengetahuan yang terbatas
Hal ini sulit untuk ditentukan dengan tegas, karena sudah tentu pengetahuan Yesus tidak pernah hanya setingkat dengan kesadaran kita yang terbatas dan berdosa. Dengan demikian, Ia mengetahui sejarah seseorang yang belum pernah terungkap (#/TB Yoh 1:47; 4:47*) dan pikiran musuh (#/TB Luk 6:8) serta sahabat (#/TB Luk 9:47*). Lagi pula Ia memahami Perjanjian Lama dengan cara yang tidak pernah dipahami orang lain (#/TB Mat 22:29; Mat 26:54,56; Luk 4:21; 24:27,44-45*). Tetapi perlu kita bandingkan ayat-ayat itu dengan #/TB Markus 5:30; 6:38; 9:21*; dan #/TB Lukas 2:46*, pada waktu Yesus nampaknya bertanya untuk mengatasi ketidaktahuan-Nya. Khususnya Ia mengaku tidak tahu ”hari atau saat” kembali-Nya (#/TB Mr 13:32*). Namun ketidaktahuan tidak sama dengan kesalahan. Penting sekali artinya bahwa ayat ini langsung didahului oleh pernyataan tentang keabsahan ajaran-Nya: ”Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataanKu tidak akan berlalu” (#/TB Mr 13:31*). Perbedaan antara ketidaktahuan dan kesalahan penting sekali. Pikiran, pengalaman dan persepsi manusia merupakan rangkaian kesatuan yang tak terputus-putus. Karena itu, tidak mungkin menganggap bahwa Yesus salah mengenai keyakinan-Nya, atau dalam pengajaran-Nya, dan sekaligus percaya bahwa Ia bertindak sebagai wakil tak bercela yang menanggung dosa kita (bnd. di atas: ps 3.2.a). Alkitab di sini menyajikan keseimbangan dalam hal pengetahuan Yesus yang terbatas namun tanpa salah. Yesus mempunyai kesadaran unik dan jelas mengenai sang Bapa dan kehendak-Nya (#/TB Luk 2:49*) dan sekaligus Ia ingin memahami secara lebih mendalam lagi (#/TB Luk 2:46*). 15.3 Pencobaan
Kemanusiaan Yesus jelas juga dalam hal pencobaan (#/TB Mat 4:11; 27:42*; #/TB Mr 1:24; 8:33; Luk 11:15-20*). Kesaksian kitab-kitab Injil dirangkum dalam Surat Ibrani, ”sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (#/TB Ibr 4:15*). Sering dikemukakan keberatan bahwa pencobaan Yesus tidak murni karena Ia bukan orang berdosa dan karena itu dosa dan Iblis tidak berpengaruh atas Dia, atau karena sebagai Allah yang menjadi manusia, Ia tidak mungkin berbuat dosa. Tetapi penegasan bahwa pencobaan-pencobaan itu bersifat ”tidak murni” sama sekali tidak sesuai dengan penyajian Alkitab mengenai hal itu. Selain itu, Adam sebelum kejatuhan adalah contoh watak manusia tak berdosa yang mengalami pencobaan yang sungguh-sungguh (#/TB Kej 3:1-2*). Memang dalam arti tertentu tidak masuk akal kalau Yesus sebagai penjelmaan ilahi berdosa; tetapi itu sama sekali tidak menghilangkan atau mengurangi realitas konfrontasi-Nya terhadap serangan Iblis berhubung dengan ketaatan kepada kehendak Bapa-Nya. Apabila satu pasukan tentara menyerang tentara lain, faktor penentu adalah kekuatan menyeluruh dari serangan. Dalam hal pencobaan Yesus oleh Iblis, Ia menghadapi serangan yang sama atau malahan lebih dahsyat daripada kita. Paulus menyebut tindakan Allah untuk mengekang kuasa pencobaan supaya kita dicobai ”tidak melebihi kekuatan manusia” tetapi akan diberikan ”jalan ke luar” (#/TB 1Kor 10:13*), jadi agaknya pencobaan yang kita alami disaring oleh tangan pemeliharaan Tuhan. Dalam pencobaan Yesus, saringan itu ditiadakan. Siapa di antara kita yang mengalami pencobaan tak terputus-putus selama 40 hari dan 40 malam (#/TB Mat 4:1-2*)atau berkeringat darah dalam usaha melakukan kehendak Allah pada waktu menghadapi pencobaan (#/TB Luk 22:44*)? Hanya Dia yang menentang pencobaan sepenuhnya yang dapat mengalami kuasa pencobaan itu sepenuhnya. Walaupun Yesus menjadi manusia, namun Dia tidak berdosa dan Dia tetap tak bercela sepanjang hidup, tetapi sebagai manusia sejati Ia menderita tekanan dan daya tarik pencobaan yang teramat sangat. Pencobaan segawat itu tidak pernah akan kita alami. 15.4 Sesudah kebangkitan
Sesudah kebangkitan-Nya Yesus masih nampak sebagai manusia sejati. Misalnya sewaktu bertemu dengan Maria (#/TB Yoh 20:11-12*), Tomas (#/TB Yoh 20:24-25) dan Petrus (#/TB Yoh 21:15-16*), Dia memperlihatkan kepekaan manusiawi dan simpati mendalam, mungkin karena penderitaan di kayu salib telah memperkokoh tali persaudaraan Yesus dengan saudara-saudara manusia-Nya. Bukti yang dikemukakan sampai sekarang pada umumnya terbatas pada keempat kitab Injil. Tetapi bagian Perjanjian Baru lainnya memberi kesaksian lebih lanjut yang sangat mengesankan tentang kemanusiaan Yesus yang sejati (#/TB Kis 2:22; 13:38; 17:31; Rom 8:3; Fili 2:8; Kol 1:22*; #/TB 1Tim 2:5; 1Pet 4:1*). Tak ragu lagi, menurut ajaran Alkitab, Yesus adalah betul-betul manusia. Bahan Alkitab#/TB Matius 1:1-16,25; 4:1-10; 9:36; 11:19; 21:18; 27:43,46*; #/TB Markus 3:5; 6:1-3; 9:21; 10:21; 13:32; Lukas 2:7,40-52*; #/TB Lukas 4:16,17; 7:9; 19:41; 22:41-44; 24:41,42*; #/TB Yohanes 1:14; 4:6; 6:38; 7:16; 12:27,28; 15:14,15; 19:28,34*; #/TB Kisah 2:22; 13:38; 17:31; Roma 8:3; Galatia 4:4; Fili 2:8; Kol 1:22*; #/TB 1Timotius 2:5; 3:16; Ibrani 2:14; 5:7,8; 12:2; 1Petrus 2:21-24; 4:1*.
Bahan diskusi/penelitian1. Sebutkan secara ringkas bukti-bukti Perjanjian Baru tentang kemanusiaan Yesus yang sejati. Menurut Anda segi mana yang paling meyakinkan dan mengapa? 2. Pernah dikatakan bahwa (a) pencobaan dan (b) ketidaktahuan Yesus tidak nyata atau tidak sesuai dengan keilahian-Nya. Bagaimana reaksi Anda terhadap pendapat-pendapat tersebut? 3. Sebutkan dampak-dampak teologis dari kemanusiaan Kristus yang sejati bagi
( a) ajaran Kristen mengenai manusia dan ( b) ajaran Kristen tentang penebusan.
4. Bagaimana kemanusiaan Kristus yang sejati dapat membantu orang yang sedang mengalami
( a) pencobaan berat, ( b) perasaan telah ditinggalkan oleh Tuhan, dan ( c) penderitaan fisik berat?
Kepustakaan (15) France, R. T. 1975 The Man they Crucified (IVP). Grogan, G. W. 1979 What is the Bible Says about Jesus (Kingsway). McDonald, H. D. 1968 Jesus, Human and Divine (Pickering & Inglis). Morris, L. 1958 The Lord from Heaven (IVP). Stott, J. R. W. 1970 Christ the Controversialist (Tyndale Press). Warfield, B. B. 1950 The Person and Work of Christ (Presbyterian & Reformed).
16. KEILAHIAN YESUS KRISTUS
Di sini kita tiba pada salah satu pokok kepercayaan dalam agama Kristen yang menggemparkan, yakni bahwa Kristus bukan hanya manusia yang sejati tetapi sekaligus juga Allah yang sejati. Ini salah satu kekhasan agama Kristen. Orang Yahudi dan Islam juga mengakui Allah sebagai yang Mahaesa dan Mahatinggi, dan mereka menghormati para bapa leluhur dan nabi Perjanjian Lama, tetapi mereka menolak keyakinan Kristen mengenai Yesus. Dalam pemahaman tentang Yesus, agama Kristen unik. 16.1 Pernyataan-pernyataan langsung
Ayat-ayat yang menegaskan keilahian Kristus adalah yang paling diperdebatkan dalam seluruh Perjanjian Baru. Banyak ayat yang menyinggung pokok ini dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Namun dalam sekurang-kurangnya lima perikop, bukti yang berbobot menunjang tafsiran bahwa di sini terdapat penegasan langsung tentang keilahian Kristus: ” Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya” (#/TB Rom 9:5). *” Tentang Anak Ia [Allah] berkata: ‘TakhtaMu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya’” (#/TB Ibr 1:8*). *” Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (#/TB Yoh 1:1*). ” Tomas menjawab Dia: ‘Ya Tuhanku dan Allahku” (#/TB Yoh 20:28). ” Keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (#/TB 2Pet 1:1). Perjanjian Baru juga berisi banyak ayat lain yang mungkin menunjukkan keilahian Kristus, walaupun penafsirannya tidak pasti (mis #/TB Mat 1:23*; #/TB Yoh 1:18; 17:3; 2:2; Kis 20:28; 2Tes 1:12; 1Tim 1:17; Tit 2:13*; #/TB Yak 1:1; Yoh 5:20*). Bagaimanapun, kelima ayat yang dikutip di atas sudah cukup jelas. Keilahian Kristus juga ditegaskan oleh ayat-ayat tentang AllahTritunggal, yang menyamakan Dia dengan Bapa dan Roh Kudus dalam keilahian (#/TB Mat 28:19; Yoh 14:15-23; 1Kor 12:4-6; 2Kor 13:14; Ef 1:3-14*; #/TB Ef 2:18,22; 3:14-17; 4:4-6; Wahy 1:4-5*). Selain pernyataan-pernyataan langsung seperti itu, ada banyak bahan lagi yang menyangkut keilahian Yesus secara tidak langsung. b. Kemuliaan Allah Kemuliaan Allah adalah penyataan kemegahan-Nya secara visual (#/TB Kel 24:15-18; 40:34-35; Im 9:6,23; 2Taw 7:1-3; Yes 6:1-4; Yeh 1:28*). Dalam agama Yahudi, untuk menyatakan penghormatan, kata ”kemuliaan” dipakai sebagai pengganti nama kudus Allah sendiri. Kemuliaan Allah tidak dapat diteruskan pada yang lain (#/TB Yes 42:8; 48:11*), meskipun demikian Perjanjian Baru berbicara tentang #/TB Yesaya 6:1-13* sebagai perwujudan kemuliaan Yesus (#/TB Yoh 12:41*) dan tentang Yesus sebagai penyataan kemuliaan Allah (#/TB 1Kor 2:8; 2Kor 4:4; Ibr 1:3; Yak 2:1*; bnd. #/TB Yoh 17:5*). c. Ibadah kepada Allah
Beribadah kepada siapapun selain Tuhan Allah (_Yhwh_) sangat menjijikkan bagi orang Yahudi. Itulah dosa yang paling mendasar (#/TB Kel 20:3-6*; #/TB Ul 6:4,13-15*). Namun para murid terdahulu, semuanya orang Yahudi, beribadah kepada Yesus. Kenyataan inilah, walaupun tidak begitu sering disebut, yang membuat pengakuan Perjanjian Baru akan keilahian Kristus begitu mengesankan. Lagu-lagu pujian diberikan bagi Kristus (#/TB Rom 9:5; 2Tim 4:18*; #/TB 2Pet 3:18; Wahy 1:5*); dua ditujukan bagi Bapa dan Anak (#/TB Wahy 5:13; 7:10). Doa-doa ditujukan kepada Kristus (#/TB Kis 7:59*; #/TB Kis 9:13; 1Kor 16:22; Wahy 22:20*). Ayat-ayat ibadah Perjanjian Lama dialihkan dari Tuhan Allah kepada Kristus (#/TB Yes 8:13* dalam #/TB Rom 9:33; 1Pet 2:7; 3:15; Ul 32:34 LXX dalam #/TB Ibr 1:6*). Ibadah digunakan dalam hubungan dengan Kristus: dalam LXX syakha (’ beribadah, sujud’) biasanya diterjemahkan sebagai proskuneia. Dalam ajaran Yesus istilah ini menggambarkan sikap yang harus kita pergunakan hanya untuk Allah (#/TB Mat 4:10*). Namun para penulis Injil mempergunakan kata itu untuk menggambarkan sikap orang terhadap Yesus (#/TB Mat 2:2,8,11; 14:33*; #/TB Mr 5:6; Yoh 9:38*). Reaksi para murid terhadap Kristus yang bangkit adalah khas: ”mereka menyembahNya” (#/TB Mat 28:17; Luk 24:52*), tanggapan yang juga diberikan oleh kumpulan malaikat dari surga: ”Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima...hormat, dan kemuliaan dan puji-pujian” (#/TB Wahy 5:12*), suatu penegasan yang sangat jelas mengenai keilahian-Nya. d. Penciptaan
Allah menciptakan segala sesuatu dan karena itu Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Hal itu diterima oleh Perjanjian Lama tanpa dipertanyakan (#/TB Kej 1:1; Mazm 33:6-9; Yes 42:5; 48:13; 51:9-16*). Namun Perjanjian Baru dengan leluasa menghubungkan fungsi ilahi ini dengan Yesus. Karya penciptaan Allah mempunyai empat segi: · Allah menciptakan dunia pada permulaan; · Allah menjaga dan mempertahankan segala sesuatu; · Allah memimpin semesta alam yang tercipta pada tujuannya; dan · Allah akan mengadakan ciptaan baru.
Keempat segi ini dikaitkan dengan Yesus. Melalui Dia segala sesuatu terjadi (#/TB Yoh 1:1,3; Ibr 1:3; bnd. #/TB Kol 1:16; 1Yoh 1:1*); Ia adalah pemelihara dan penopang segala sesuatu (#/TB Mat 28:18; 1Kor 8:6; Kol 1:17*; #/TB Ibr 1:3*); di dalam Dia semesta alam akan diantar pada tujuannya (#/TB Rom 11:36; Ef 1:9; Kol 1:16*); dan “ciptaan baru” itu tak lain dari perwujudan rencana Allah di dalam Yesus Kristus (#/TB Yes 65:17; 66:22* ”Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru”, bnd. #/TB Yoh 3:5; 20:22; 2Kor 5:17; Fili 3:20; Kol 3:10; 2Pet 3:1-18*; #/TB Wahy 21:1-22:21*). e. Keselamatan
Tuhan Allah adalah penyelamat, demikian keyakinan Perjanjian Lama. Bertentangan dengan ilah-ilah lain, hanya Dia yang mempunyai kuasa untuk menyelamatkan: ”Aku, Akulah TUHAN dan tidak ada juruselamat selain dari padaKu” (#/TB Yes 43:11; bnd. #/TB Yes 45:21; Yer 3:23; 11:12*). Dia sering membebaskan dengan perantaraan juruselamat manusiawi (#/TB Yos 10:6; Hak 2:16,18; 6:14-15*), tetapi pengampunan dosa dan kebangkitan dari kematian menuju hidup yang kekal adalah kuasa khusus Allah sendiri. Meskipun demikian, justru ini yang dihubungkan Perjanjian Baru dengan Yesus. Pada waktu kelahiran-Nya Ia disambut sebagai ”yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa mereka” (#/TB Mat 1:21*). Ia mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa (#/TB Mr 2:7-10; Luk 7:48*), Ia dilihat sebagai Juruselamat orang berdosa (#/TB Yoh 3:17; Kis 4:12; 15:11*; #/TB Gal 1:4; Ef 5:23; Ibr 7:25; Wahy 1:5). Ia membangkitkan orang mati (#/TB Mar 5:35-43; Mar 7:11-17,22; Yoh 11:1-57*) dan melalui Dia sekarang hidup yang kekal diberikan kepada semua yang percaya kepada-Nya (#/TB Mr 10:21; Yoh 3:16; 5:24; 1Yoh 5:11*) dan akan dialami sepenuhnya oleh mereka pada masa yang akan datang (#/TB Mr 10:30; 1Kor 15:22,54*; #/TB 1Tes 1:10*). f. Penghakiman
Bagi Perjanjian Lama, hanya Allah adalah hakim. Kekudusan serta kemegahan-Nya diungkapkan dalam penghakiman-Nya yang adil (#/TB Ul 32:4; Mazm 99:1-9*; #/TB Yes 5:16*). Beberapa bentuk penghakiman ilahi tertentu diwujudkan melalui manusia sebagai pelaku (#/TB Ul 1:16; Yes 10:5; 45:1*), tetapi penghakiman akhir adalah hak khusus Allah (#/TB Ul 7:9; Pengkh 12:14*; #/TB Yoel 2:31*). Sekali lagi tugas-tugas ilahi yang unik ini dituntut oleh Yesus dan dengan leluasa dihubungkan dengan Dia (#/TB Mat 25:31-46*; #/TB Mr 8:38; Yoh 5:22-30; Kis 17:31; 2Kor 5:10; 2Tes 1:7-10*; #/TB Wahy 14:14-20*). Pada hari terakhir, Yesus akan mengadili ”segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia” (#/TB Rom 2:16*) dengan penghakiman ilahi yang pasti. g. Kesaksian
Satu lagi hubungan antara Yesus dan Tuhan Allah dapat disebutkan. Dalam Perjanjian Lama, Allah menugaskan umat-Nya sebagai saksi-saksi-Nya (#/TB Yes 43:10*); dan dalam Perjanjian Baru Yesus mengutus murid-murid-Nya dengan kata-kata yang sama, ”Kamu akan menjadi saksiKu” (#/TB Kis 1:8*). Seperti telah kita lihat, beberapa penulis Perjanjian Baru pernah menyebut Yesus sebagai Allah secara langsung, namun demikian alam pikiran Yahudi mereka lebih mudah menyatakan keyakinan ini dengan menyebutkan bahwa Yesus melakukan hal-hal yang hanya dapat dilakukan dengan baik oleh Allah. Oleh sebab itu, cara mereka membicarakan keilahian Yesus tidak berbentuk pernyataan metafisik (seperti “Yesus adalah Allah”), tetapi berupa penegasan bahwa Ia mengambil bagian dalam ciri-ciri serta tugas-tugas Allah yang tak dapat dibagi-bagikan. Dengan demikian kebenaran yang menggemparkan itu disingkapkan: Yesus—manusia yang hidup di Nazaret, bergumul di Getsemane dan mati pada kayu salib di Golgota—harus disamakan dengan Tuhan, Allah Pencipta dan Penebus. 16.3 Bukti-bukti lain
a. Kebangkitan
Kebangkitan Yesus adalah peristiwa yang sangat pokok dalam Alkitab dan ada banyak sekali acuan kepada peristiwa itu dalam seluruh Perjanjian Baru. Menyangkal fakta ini sama dengan mencabut isi dan nilai iman Kristen (#/TB 1Kor 15:14*). Karena itulah kebangkitan telah mengalami kritik gencar sekali. Kritik tentang teks kitab-kitab InjilSerangan dipusatkan pada dua pokok: · dikatakan ada ketidakcocokan dalam cerita-cerita tentang penampakan Yesus sesudah kebangkitan; dan · dikatakan bahwa cerita tentang kubur kosong ditambahkan kemudian hari pada tradisi asli tentang penampakan Yesus.
Tetapi sebenarnya cerita-cerita tentang penampakan itu tidak bertentangan dan pendapat bahwa kubur kosong itu bukan merupakan bagian dari kesaksian rasuli adalah pendapat yang sewenang-wenang dan tidak terbukti. Dari penampakan Yesus yang sudah bangkit itu tentu saja para rasul menarik kesimpulan mengenai jenazah yang telah dilihat oleh para pengikut-Nya di kayu salib, dan yang telah dibaringkan di dalam kuburan (Mar 15:57). Di samping itu, kubur kosong itu dengan jelas dinyatakan secara tidak langsung dalam pemberitaan terdahulu dari Injil Kristen (#/TB Kis 2:22-32; 1Kor 15:3*). Para rasul tidak mungkin meyakinkan pendengar mereka di Yerusalem mengenai iman yang berpusatkan kebangkitan (#/TB Kis 5:28*), kurang lebih satu kilometer dari kubur Yesus, tanpa membicarakan keadaannya yang kosong. Selain itu cerita-cerita tersebut menggabungkan unsur kubur kosong dan penampakan Yesus secara lancar tanpa menimbulkan keganjilan (#/TB Mat 28:1-9; Yoh 20:1-18*). Kritik teologisMenurut filsafat Kant (1724-1804), ada perbedaan antara fakta dan arti. Berdasarkan perbedaan tersebut pernah dikemukakan bahwa faktor Perjanjian Baru yang menentukan adalah iman para murid, yaitu keyakinan bahwa Kristus telah mengalahkan musuh mereka dan mengangkat mereka menuju kehidupan baru yang penuh harapan dan arti. Apakah Yesus benar-benar bangkit dari kubur atau tidak, kurang penting menurut pandangan ini dan sulit untuk dipastikan. Pada masa kini diakui bahwa fakta dan arti tidak dapat dipisahkan secara demikian, lagi pula perbedaan ini jelas tidak cukup untuk menerangkan timbulnya iman Kristen dalam kebangkitan Yesus. Pandangan tersebut mengatakan bahwa tradisi mengenai fakta kebangkitan timbul dari iman para murid, padahal yang sebaliknya yang benar. Keadaan sekitar kematian Yesus membuat pandangan tersebut terlalu fantastis. Bukti-bukti historisAda tiga macam bukti tentang kebangkitan Yesus yang sulit untuk dikesampingkan, artinya tafsiran skeptis apa pun mengenai hal itu lebih sulit dipertahankan daripada penjelasan Perjanjian Baru bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati. Tiga bukti tersebut adalah: · kubur yang kosong; · Yesus telah dilihat hidup sesudah kematian-Nya; dan · para murid diubah.
Kenyataan yang ketigalah (yang berdasar pada kedua bukti terdahulu) yang menampilkan gereja di dunia dan, walaupun banyak kelemahannya, gereja masih tetap ada sekarang untuk bersaksi tentang Kristus. Dalam pengertian ini, bukti tentang kebangkitan Yesus tidak dapat dibantah, sama seperti iman yang mendasari penulisan buku ini tidak dapat dibantah, ataupun batu-batu dan semen dari gereja terdekat. Tanpa kebangkitan tidak akan ada umat Kristen yang mempertahankan dan memberitakan Injil selama dua puluh abad. Mengingat keadaan meninggalnya Yesus, kebangkitan merupakan satu-satunya penjelasan yang dapat diterima mengenai kelahiran gereja dengan penuh gairah dan keyakinan, dan kita masih dapat menyelidikinya dan mengalaminya dari karya sastranya, yaitu Perjanjian Baru. Kebangkitan dan keilahian YesusPernah dikatakan bahwa kebangkitan itu, kalaupun benar, tidak membuktikan keilahian Yesus karena Ia membangkitkan orang lain dari kematian tanpa menganggap mereka ilahi. Namun pandangan ini tidak mempertimbangkan dua hal. Pertama, kebangkitan-kebangkitan ini dilakukan oleh kuasa Yesus, suatu kenyataan yang penuh arti; orang-orang tidak setiap hari bertemu dengan seseorang yang dapat membangkitkan orang mati, dalam masyarakat mana pun! Kedua, kebangkitan Yesus tidak hanya menyangkut pemulihan kehidupan fisik. Ia tidak tampil di hadapan para murid sebagai mayat yang bangkit kembali untuk sementara. Yang menyebabkan pujaan dan penyembahan spontan mereka adalah kemenangan atas kematian oleh seseorang yang telah bergumul dan menginjak-injak musuh yang ditakuti itu (#/TB Rom 6:9; 2Tim 1:10*). Dalam Perjanjian Lama pemberian hidup adalah hak istimewa Allah (#/TB Kej 2:7; 1Sam 2:6*). Yesus menyatakan diri-Nya sebagai yang meng hidupkan (#/TB Yoh 5:21; 11:25*) dan membuktikannya dengan bangkit dari kematian (#/TB 1Kor 15:45*). Kalau dilihat tersendiri, kebangkitan itu mungkin tidak cukup untuk membuktikan keilahian, namun dalam konteks seluruh pengajaran serta pelayanan Yesus rasanya sulit untuk menafsirkannya lain daripada penegasan akan keilahian-Nya. Paulus mengatakan demikian juga, mengingat kaitan antara gelar ”Tuhan” dan nama Yhwh dalam Perjanjian Lama: Ia ”dinyatakan oleh kebangkitanNya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (#/TB Rom 1:4*). b. Kenaikan
Kenaikan Yesus (#/TB Mat 28:16; Luk 24:50; Kis 1:1-11*) pernah dikritik sebagai ungkapan pandangan dunia yang mitologis dan ketinggalan zaman, yaitu semesta alam bertingkat tiga. Padahal kenaikan itu baru dapat dipahami dengan baik dalam konteks keseluruhan pelayanan Kristus sebagai penyelamat. Sesudah kebangkitan-Nya, Yesus muncul di antara murid-murid-Nya selama 40 hari untuk menyelesaikan pengajaran-Nya kepada mereka dan untuk memberikan mereka kepastian sepenuhnya akan kemenangan-Nya atas kematian dan kedatangan kerajaan Allah melalui Dia. Keadaan luar biasa ini tentu berakhir dan membutuhkan suatu peristiwa yang bersifat klimaks untuk mengungkapkannya. Kalau kita simak kembali makna awan itu dalam Perjanjian Lama sebagai manifestasi kemuliaan dan kehadiran Allah (#/TB Kel 40:34; 1Raj 8:10-11; bnd. #/TB Luk 9:34-35*), serta perhatian Yesus yang telah bangkit untuk meyakinkan murid-murid-Nya bahwa kini Ia memerintah semesta alam (#/TB Mat 28:18; Kis 2:33*), maka kita sudah mendapat dasar rasional bagi kenaikan sebagai kejadian sungguh-sungguh dalam ruang dan waktu. Para rasul menyaksikan Tuhan Yesus terangkat dan awan menutupNya dari pandangan mereka. Seperti yang selalu ditegaskan oleh surat-surat Perjanjian Baru, kenaikan Yesus merupakan penegasan penting tentang kodrat ilahi-Nya; artinya Ia mempunyai bagian dalam kemuliaan Allah dan mempunyai kuasa untuk memerintah di surga dan di dunia. c. Kesadaran diri Yesus dan pernyataan-Nya
Kesadaran diri Yesus tak ada tandingannya dalam sejarah dan merupakan bukti kuat tentang kekhasan kodrat-Nya. Hal ini khususnya diungkapkan dalam hubungan-Nya dengan Bapa-Nya. Pada usia 12 tahun Dia menunjukkan perasaan hubungan khusus dan tanggung jawab luar biasa kepada Bapa (#/TB Luk 2:42-50*). Sering kali Ia menyinggung hubungan khusus itu (misalnya #/TB Yoh 4:34; 5:17-24; 10:30*), sambil menarik garis yang jelas antara keadaan-Nya sebagai Anak Allah dan keadaan sebagai anak yang dialami orang lain (#/TB Mat 11:27; Mr 12:6*). Keunikan hubungan ini juga dinyatakan dalam doa-doa-Nya; hanya dengan satu pengecualian, yaitu jeritan karena ditinggal sendiri di atas kayu salib, Ia selalu menyapa Allah dengan cara unik dan khas. Abba adalah panggilan akrab dan penuh hormat seorang anak bagi bapaknya sendiri, yang berarti ‘ayahku sayang’ atau ‘ayahanda’. Tidak ada bandingannya di seluruh Perjanjian Lama, juga tidak dalam doa dan liturgi Yahudi pada abad pertama. Agaknya Yesus sendiri yang pertama sekali menyebut Allah sebagai Abba. Keunikan-Nya itu tidak lenyap dengan pemakaian istilah ini oleh orang Kristen purba (#/TB Rom 8:16*). Hak untuk menggunakan istilah akrab ini mereka peroleh hanya karena keunikan Yesus sebagai Anak Allah, yang oleh anugerah Allah juga dinikmati oleh mereka karena ”Roh AnakNya” (#/TB Gal 4:6*). Yesus juga sadar akan eksistensi-Nya terdahulu, waktu hidup dengan Bapa sebelum menjelma di bumi (#/TB Yoh 3:31; 8:58*). Ia bahkan menerima sembah (#/TB Luk 5:8; Yoh 20:28*), bertentangan sekali dengan Paulus dalam situasi yang serupa (#/TB Kis 14:11-15*). Yesus melihat diri-Nya sebagai penggenapan seluruh pengharapan Perjanjian Lama akan penyelamatan (#/TB Mr 1:14; 12:35; Luk 11:31*), yang terbukti dalam gelar-gelar yang diberikan kepada Yesus dalam kitab-kitab Injil. Kini kita pelajari empat gelar yang paling menonjol, yang mengungkapkan kesamaan Yesus dengan Allah. MesiasGelar “Mesias” (Ibr. masyiakh), dalam bentuk “Kristus” (Yun. khristos), menjadi panggilan yang paling lazim bagi Tuhan Yesus. Secara harfiah gelar ini berarti ”Ia yang diurapi”. Dalam Perjanjian Lama kata ini biasanya dipakai untuk raja (#/TB 1Sam 9:16; 24:6*) tetapi juga untuk para nabi (#/TB 1Raj 19:16), imam (#/TB Im 8:12*), bahkan bagi raja kafir (#/TB Yes 45:1*). Dengan pembuangan bangsa Yahudi ke Babel, janji-janji kepada raja (#/TB Mazm 72:1-20; 86:3*)mulai dilihat dalam kerangka munculnya seorang raja baru pada masa mendatang, yang adalah dari keturunan Daud (#/TB Yeh 37:24*). Antara zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, pengharapan ini berkembang menjadi pengharapan umum akan seorang raja Mesias politis yang sangat diwarnai oleh nasionalisme. Ada yang mempertanyakan apakah Yesus menganggap diri-Nya sebagai Mesias, mengingat bahwa Ia enggan menggunakan gelar tersebut khususnya pada awal pelayanan-Nya. Keengganan ini sebagian besar dapat dijelaskan karena salah pengertian pada zaman-Nya baik dari orang Yahudi (#/TB Yoh 6:14) maupun bukan Yahudi (#/TB Mr 10:42*) mengenai hal Mesias. Ada bukti jelas bahwa Ia sadar akan diri-Nya sebagai Mesias, khususnya bahwa Dia dan misi-Nya mutlak penting bagi kedatangan kerajaan Allah (#/TB Mat 12:28; Luk 17:21*). Terdapat juga pernyataan yang jelas mengenai gelar Mesias, seperti pada waktu Ia masuk Yerusalem dengan penuh kemenangan (#/TB Mr 11:1-10*) dan kesaksian-Nya pada pengadilan-Nya (#/TB Mr 14:61*). Selain itu Ia menerima gelar tersebut dari murid-murid-Nya yang paling dekat (#/TB Mr 8:29*). Jelas bahwa bagian kemudian dari Perjanjian Baru tidak segan-segan menggunakan gelar tersebut (#/TB 1Kor 1:1; Ibr 3:6; 1Pet 4:1*). Yesus adalah yang diurapi Allah, yang mewarisi janji kepada Daud (#/TB Luk 1:32*) dan yang akan mendatangkan hari mulia yang telah dijanjikan saat Allah akan memerintah sebagai raja. Anak ManusiaInilah sebutan yang paling disukai Yesus untuk menyebut diri-Nya. Asalnya terutama dari #/TB Daniel 7:13-14*, yang berkata bahwa Anak Manusia, (seorang penghuni surga) akan datang pada akhir sejarah sebagai tuan dan hakim dari semua dan mewarisi kerajaan dunia. Walaupun penggunaannya tidak selalu mempunyai makna yang sama pentingnya, namun banyak keterangan yang jelas mempunyai arti mendalam (#/TB Mat 9:6; 12:40*; #/TB Mat 16:24; Mr 8:31; Luk 19:10; Yoh 3:14).#/TB Markus 14:62* penting karena di sini Yesus menyinggung peranan-Nya yang melebihi peranan-Nya sebagai Mesias, gelar yang ditawarkan kepada-Nya, dan Dia menyatakan bahwa Ia memenuhi peranan Anak Manusia dari #/TB Daniel 7:1-28*. Dalam pengertian Yesus, Anak manusia khususnya berhubungan dengan penghakiman (#/TB Mat 25:31-46; Yoh 5:27*). Konsep Paulus tentang Kristus sebagai Adam terakhir (#/TB Rom 5:14*; #/TB 1Kor 15:45; Fili 2:5*) mungkin mengacu pada penyamaan Anak Manusia dengan Adam, manusia asli, dalam Yudaisme pada abad pertama. Anak AllahDalam kebudayaan berbahasa Yunani pada zaman Perjanjian Baru, gelar “anak Allah” diberikan kepada para kaisar dan kepada orang yang bisa mengadakan mujizat. Dalam Perjanjian Lama, istilah ini dipakai tentang: · bangsa Israel (#/TB Kel 4:22; Hos 11:1*); · raja-raja (#/TB 2Sam 7:14*) dan · Mesias (mazmur-mazmur kerajaan, misalnya #/TB Mazm 2:7*).
Perjanjian Baru juga menghubungkan gelar ini dengan Mesias (#/TB Mat 16:16; Mr 14:61*).Semua penggunaan ini menekankan pilihan ilahi dan ketaatan yang dituntut sebagai tanggapan terhadap pilihan itu (#/TB Mal 1:6*). Gelar ini juga dihubungkan dengan Yesus pada baptisan-Nya (#/TB Mat 3:17*) dan pencobaan-Nya (#/TB Mat 4:3,6*). Dia memakai gelar ini pada umumnya bukan berhubungan dengan pengadaan mujizat, melainkan dengan kesetiaan-Nya pada tugas yang dibebankan kepada-Nya, khususnya penderitaan (#/TB Mat 16:16; Mr 15:39*).Gelar tersebut menunjukkan keesaan dengan Allah, sehingga orang Yahudi mengartikan penggunaan gelar itu oleh Kristus sebagai pernyataan tentang keilahian yang menurut mereka bersifat menghujat (#/TB Yoh 10:33,36*). Gereja purba sering menyebut Yesus sebagai Anak Allah (#/TB Kis 9:20; Rom 1:4; Ibr 1:1-2; 1Yoh 4:15*), suatu gelar yang sekaligus menunjuk pada hidup-Nya yang taat dan pada hubungan-Nya yang unik dengan Bapa, serta dampaknya bahwa sebagai Anak Allah yang kekal Ia bersifat ilahi. TuhanGelar ”Tuhan” (Yun. kurios) dipakai pada zaman Perjanjian Baru dengan arti umum ”tuan” atau ”pemilik”, juga sebutan lazim bagi ilah (#/TB 1Kor 8:5*). Kalau dipakai untuk kaisar, dimaksudkan kekuasaan politik serta keilahiannya. Para rabi Yahudi kadang-kadang disapa demikian sebagai tanda penghormatan besar (#/TB Mat 7:21*); tetapi ”Tuhan” (Ibr. adon) paling banyak dipakai sebagai pengganti nama Allah yang dianggap terlalu suci untuk disebut. Demikianlah padanan bahasa Yunani untuk Tuhan (_kurios_) dipakai dalam Septuaginta untuk menerjemahkan nama Yhwh dan setelah Paskah digunakan untuk Kristus yang agung dan yang memerintah (#/TB Kis 2:36*). Kini Yesus adalah Tuhan atas semesta alam (#/TB Rom 10:9*) serta ”Tuan di atas segala tuan” (#/TB 1Tim 6:15*) dan dalam pengertian ini gelarnya hampir serupa dengan “raja”. Perjanjian Baru juga sering menggunakan #/TB Mazmur 110:1 dengan acuannya kepada “Tuhan” (#/TB Kis 2:34-35*; Rom 8:34*; #/TB Kol 3:1; Ibr 1:13; 1Pet 3:22*). Dalam ayat-ayat inilah gelar kemaha-kuasaan dan keagungan ini menegaskan keilahian Kristus (#/TB Yes 45:21-23*; bnd. #/TB Fili 2:9- 11; Yoel 2:32; bnd. #/TB Kis 2:21,36*). Pernyataan tidak langsungYesus memanggil orang untuk mengikuti diri-Nya. Panggilan radikal itu mendengungkan panggilan Allah dalam Perjanjian Lama (#/TB Ul 1:36*; #/TB Yos 14:8; Mr 1:17,20*) karena bukan semata-mata untuk mengikuti ajaran-Nya, melainkan mengikuti diri-Nya dengan penyerahan mutlak (#/TB Mat 10:38; Luk 14:26*). Kedatangan Yesus merupakan peristiwa pokok dalam karya Allah dengan manusia; tujuan ilahi bagi seluruh manusia tergantung pada diri-Nya dan misi-Nya. Kita akan diadili pada hari terakhir sesuai dengan respons kita terhadap Yesus (#/TB Mat 25:31-46; Yoh 5:25-29*). Jelaslah Yesus adalah tokoh yang luar biasa, yang tak ada bandingnya dalam seluruh sejarah manusia. Pernyataan-Nya dan kesadaran diri-Nya, serta dampak moral Yesus pada orang sezaman-Nya, memperlihatkan segi kepribadian Yesus yang tidak dapat dijelaskan secara memadai jika kita berpendapat bahwa Ia manusia saja. d. Kelahiran dari anak dara
Kelahiran Yesus dari anak dara diajarkan dengan jelas (#/TB Mat 1:18*; #/TB Luk 1:39*). Markus dan Yohanes tidak menyinggung hal ini karena Injil mereka dimulai dengan pelayanan Yesus di depan umum, walaupun dalam pendahuluan Injil Yohanes asal usul Yesus diundurkan jauh ke belakang sampai pada keberadaan-Nya sebelum segala sesuatu ada (#/TB Yoh 1:1). Ada kemungkinan bahwa Paulus mengetahuinya (#/TB Gal 4:4*) dan pasti tidak ada sesuatu pun dalam Perjanjian Baru yang menyangkal cara kelahiran tersebut. Dengan cara yang khas, Matius mendapat petunjuk mengenai hal ini dalam Perjanjian Lama (#/TB Yes 7:14*), walaupun perdebatan masih terus berlangsung mengenai arti tepat dari kata Ibrani alma yang digunakan oleh Yesaya dalam ayat tersebut. Teks riwayat kelahiran Yesus dalam Injil Matius dan Lukas terbukti dengan cukup kuat, sama kuatnya seperti bagian-bagian penting lain dalam kitab-kitab Injil; lagi pula, tidak mungkin membaca cerita tersebut selain sebagai cerita yang dimaksudkan sebagai sejarah. Beberapa pengritik menolak kelahiran dari anak dara dengan berkata bahwa ajaran itu bersifat doketis (artinya, menyangkal kemanusiaan Yesus yang sejati). Tetapi kesimpulan itu tidak perlu. Asal saja kita menegaskan bahwa Anak abadi sungguh-sungguh dipersatukan dengan kodrat manusia sejak saat pembuahan, maka ajaran tersebut tidak menyangkal kemanusiaan-Nya yang sejati. Di pihak lain ada bahaya bahwa kita terlalu membesar-besarkan arti kelahiran dari anak dara. Ajaran itu hanya menjelaskan bahwa kemanusiaan Yesus tidak berasal dari seorang ayah insani, seperti orang lain. Perlu diperhatikan bahwa Alkitab tidak pernah melukiskan Allah Bapa sebagai leluhur pria yang memberikan kromosom laki-laki untuk pengembangan janin. Harus ditegaskan pula bahwa orang Kristen tidak percaya bahwa Allah kawin dengan Maria dan mendapat anak dengan cara persetubuhan insani. Kalau dipikir sepintas lalu memang pandangan ini harus ditolak, karena makhluk yang akan dilahirkan dengan cara demikian tentu bukan Allah dan manusia sejati tetapi semacam hibrida yang setengah Allah dan setengah manusia. Pandangan seperti itu tentang Yesus pernah muncul pada abad kelima dan dinyatakan sebagai ajaran sesat (lihat di bawah tentang Eutychianisme: ps 17.1.g). Pandangan ini membuka pintu bagi pendapat Ireneus yang melihat persamaan yang tak beralasan antara Hawa dan Maria, sehingga pada kemudian hari Maria dipandang sebagai penebus di samping Yesus. Bagi orang yang peka terhadap ajaran Alkitab, pandangan ini kedengaran sebagai penyangkalan bahwa Kristus adalah Penebus satu-satunya yang sempurna dan mantap. Dalam sejarah pemikiran Roma Katolik, pandangan ini telah menyebabkan pengagungan yang berlebihan akan keperawanan. Penggabungan kodrat kekal Anak Allah dan kodrat manusia sejati dalam satu pribadi merupakan misteri. Misteri itu tidak dikurangi oleh kelahiran dari seorang anak dara. Namun kita boleh bertanya, apa saja maknanya? (1) Peristiwa ini memproklamasikan keunikan bayi yang dilahirkan. Dalam Alkitab, bayi-bayi istimewa biasanya lahir secara khusus (#/TB Kej 21:1-7; Luk 1:5-23*). (2) Peristiwa ini menunjukkan bahwa Allah yang supra-alami itu bekerja dalam penjelmaan. Karena itu keberatan-keberatan biologis sama sekali tidak pada tempatnya. Berdasarkan keyakinan bahwa Allah mahakuasa, maka pembuahan pada anak dara memang tidak mustahil. (3) Turunnya Roh Kudus atas Maria menyatakan bahwa dalam Kristus, Allah masuk selengkapnya dan sepenuhnya ke dalam pengalaman manusia sejak saat pembuahan. (4) Peristiwa ini sesuai dengan ajaran Paulus (#/TB Rom 5:12-13*; #/TB 1Kor 15:22*) bahwa Kristus adalah Adam kedua dan dalam Dia terjadi permulaan baru sejarah moral manusia.**1** Kelahiran Yesus dari anak dara ini memproklamasikan tindakan Allah yang berdaulat untuk melepaskan belenggu perbudakan dan dosa berabad-abad yang disebabkan oleh keterlibatan umat manusia dalam kejatuhan wakil dan sekaligus kepalanya, Adam. (5) Kelahiran itu konsisten dengan keberadaan Yesus sebelum segala sesuatu. Untuk semua orang lain, penghamilan adalah permulaan eksis-tensi suatu pribadi baru; dalam hal Yesus, Firman abadi berada sebelum saat pembuahan. Ini diungkapkan dalam kata-kata Alkitab, ”Roh Kudus akan turun atas” dan ”menaungi” Maria (#/TB Luk 1:35*). (6) Peristiwa ini menyuguhkan analogi dengan penebusan yang digambarkan sebagai ”kelahiran kembali” (#/TB Yoh 1:12; 3:3 dst.; #/TB 1Pet 2:2*; #/TB Tit 3:5*). Yusuf dikesampingkan dan dengan demikan ditunjukkan keadaan manusia yang tak berdaya, dan di bawah hukuman, di hadapan karya penyelamatan Allah.
**1**.Tidak dikatakan bahwa dosa warisan dielakkan dengan cara tidak ada persetubuhan seksual warisan, seolah-olah dosa adalah penyakit genetik. Kalaupun itu benar, maka dosa warisan masih akan diwariskan kepada Yesus melalui Maria sendiri. Memang ada orang yang berpendapat bahwa Maria tak tercela, atas dasar prinsip bahwa hanya seorang ibu tak berdosa dapat melahirkan anak tak berdosa. Tetapi sama sekali tidak ada dukungan Alkitab untuk pendapat itu.
16.4 Kesimpulan
Bukti-bukti yang dikemukakan di atas menunjukkan secara meyakinkan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah abadi yang telah menjelma menjadi manusia untuk menebus orang berdosa. Ia adalah pribadi kedua dalam Tritunggal, Allah yang menjadi manusia. Terlepas sama sekali dari bukti-bukti ini, keilahian Yesus Kristus merupakan dasar pokok bagi kepercayaan bahwa penyataan Kristen bersifat akhir dan penyelamatan Kristen adalah sejati. Jika bukan Allah sendiri yang datang kepada kita dalam Kristus, maka penyataan yang dibawa-Nya bukanlah penyataan terakhir dan mungkin masih akan diganti dengan yang lain. Penolakan keilahian Kristus dengan sekali pukul menumbangkan kebenaran pokok kekristenan dan kita kembali lagi pada situasi sebelum Injil disampaikan kepada kita, yaitu mencari-cari kebenaran dalam kegelapan. Jika Yesus bukan Allah sendiri yang datang kepada kita, penyelamatan yang dibawa-Nya tak berdaya untuk mengampuni dan menyelamatkan. Allah yang ditentang manusia dan hanya Allah yang dapat menebusnya. Jika Yesus bukan Anak Allah, Ia tidak relevan bagi soal hubungan manusia dengan Allah, kematian dan pendamaian-Nya tidak relevan bagi keadaan moral manusia di hadapan Allah, dan perasaan kita tentang damai dan pengampunan melalui Dia tinggal hanya perasaan dan tidak lebih dari subjektivitas saja. Dan sekali lagi kita terikat pada tugas yang tak ada habis-habisnya dan tak mungkin berhasil untuk membenarkan diri di hadapan Allah. Syukurlah kita dapat melupakan dua mimpi buruk ini. Kita mengingat lagi akan kenyataan bahwa Yesus adalah Anak Allah, dan dengan demikian kebenaran akhir terungkap dalam Dia dan penebusan akhir dibawa melalui Dia. Bahan AlkitabYesus Kristus sebagai Allah: #/TB Matius 28:19; Yohanes 1:1-2,18; 20:28; Kisah 20:28; Roma 9:5*; #/TB 1Korintus 12:4-6; 2Korintus 13:14; Efesus 1:1-15; 2:18,20-22; 4:4-6*; #/TB Kolose 1:15-19; 2:9; 2Tesalonika 1:12; Titus 2:13; Ibrani 1:8*; #/TB Yakobus 1:1; 2Petrus 1:1; 1Yohanes 5:20; Wahyu 5:13*. Yesus dan Tuhan Allah: #/TB Matius 24:30-31; Markus 2:1-12,19-20; 8:38; 14:62*; #/TB Yohanes 1:1-3; 5:22-30; 6:35; 8:12,24,58; 10:9,11-12; 11:25; 12:41*; #/TB Yohanes 14:6; 15:1; 17:5; 18:5-6; Kisah 1:8; 2:34-35; 7:59-60*; #/TB Kisah 9:13-14; 17:31; Roma 8:34; 9:5; 10:9; 1Kor 2:8; 12:3; 16:22*; #/TB 2Korintus 4:4-5; Efesus 1:9-10,20; 4:8; Filipi 2:9-11; Kol 1:16; 3:1*; #/TB 1Tesalonika 3:11-12; 2Tesalonika 3:5; Ibrani 1:1-13; 13:20-21*; #/TB Yakobus 2:1; 1Petrus 2:7-8; 3:15,22; 2Petrus 3:18*; #/TB Wahyu 1:5-6; 2:8*; 5:12,21. Keterangan Perjanjian Baru lainnya: #/TB Matius 3:17; 7:21-22; 9:2; 11:2-6,27; 16:16; 25:31-46*; #/TB Markus 1:17; 4:41; 10:21; 12:6-7; 13:32; 16:1-8*; #/TB Lukas 1:35; 5:8,21; 7:14-15,47; 11:20; 24:1-52*; #/TB Yohanes 3:31; 5:17-24; 8:46; 10:29-38; 11:1-57; 13:13; 14:6*; #/TB Kisah 2:24-33; 8:36-38; Roma 1:3-4; 8:1,34; 16:7; 1Kor 15:1-20,45*; #/TB 2Korintus 5:15; Galatia 2:20; 3:28; Efesus 1:10-23; 3:8-9; Kol 3:1*; #/TB Ibrani 1:1-2; 3:6; 4:14; 1Petrus 1:19; 2:21-22; 3:18,22*; #/TB 1Yohanes 3:5; 4:15; Wahyu 17:14; 19:16*.
Bahan diskusi/penelitian1. Uraikan tanggapan Anda atas pernyataan, ”Tidak ada pernyataan dalam Perjanjian Baru bahwa Yesus adalah Allah.” 2. Tunjukkan bukti-bukti utama Alkitab yang menyamakan Yesus dengan Tuhan Allah. 3. Apa arti
( a) pernyataan-Nya, ( b) kelahiran-Nya dari anak dara, dan ( c) kebangkitan-Nya bagi pribadi Yesus?
4. Mengapa penting untuk menegaskan bahwa kebangkitan Yesus sungguh-sungguh merupakan fakta sejarah? 5. Selidikilah dampak keilahian Yesus bagi usaha manusia untuk mencari
( a) kebenaran dan ( b) penyelamatan.
Kepustakaan (16) Anderson, J. N. D. 1950 The Evidence for the Resurection (IVP). Green, M. 1977 The Truth of God Incarnate (Hodder). Ladd, G. E. 1975 I Believe in the Resurection (Hodder). Machen, J. G. 1958 The Virgin Birth of Christ (James Clarke). McDonald, H. D. 1968 Jesus: Human and Divine (Pickering and Inglis). Marshall, I. H. 1976 The Origins of New Testament Christology (IVP). Morris, L. 1958 The Lord from Heaven (IVP). Moule, C. F. D. 1977 The Origins of Christology (CUP). Owen, J. 1965 The Glory of Christ (_Works_ 1, Banner of Truth). Vos, G. 1954 The Self-Disclosure of Jesus (Eerdmans).
17. SATU PRIBADI
Bukti Alkitab menghasilkan dua pernyataan mengenai pribadi Tuhan Yesus Kristus: Ia manusia sejati; Ia Allah sejati. Bagaimana dua kenyataan ini bisa digabungkan dalam satu orang yang otentik, Yesus Kristus, selalu akan merupakan misteri. Namun, ini tidak perlu menghentikan usaha untuk menyelidiki penjelmaan secara mendalam. Kalau kita mengabaikan tugas ini, pihak lain akan mengusahakannya dengan cara-cara yang akan mengakibatkan kekeliruan dan kebingungan. Dalam hal ajaran tentang pribadi Kristus, sama seperti dalam bidang-bidang ajaran Kristen lain, gembala yang kurang hati-hati pasti akan mengundang serigala buas untuk datang (#/TB Yoh 10:11-13*). Jadi kita akan menimbang persoalan-persoalan yang terpenting di bidang ini, yang secara teknis disebut kristologi. 17.1 Perdebatan-perdebatan awal
Pembahasan teologis sebelum tahun 500 Masehi masih penting karena selama berlangsungnya kebanyakan pandangan penting tentang kristologi sudah muncul. Pembicaraan yang mencapai puncaknya dengan menghasilkan rumusan yang disetujui di Kalkedon pada tahun 451 adalah kerangka semua pembicaraan selanjutnya. Generasi-generasi pertama orang Kristen mungkin puas dengan iman yang tidak berbelit-belit. Plinius dalam suratnya kepada Kaisar Trajanus pada permulaan abad kedua melaporkan bahwa orang Kristen ”menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Kristus seperti kepada Allah”. Namun pada zaman purba itu pun sudah ada pandangan yang berbeda-beda. a. Ebionisme
Cabang Kristen Yahudi ini memecahkan persoalan hubungan kemanusiaan dengan keilahian dalam Kristus dengan cara menghapuskan sama sekali keilahian-Nya. Yesus cuma manusia, meskipun diangkat oleh Allah sebagai Mesias, yang ditakdirkan kembali pada akhir zaman untuk memerintah dunia berdasarkan kuasa Allah yang berdaulat. Sebenarnya pandangan ini gagal menjembatani kesenjangan antara Allah dan manusia. b. Doketisme
Gerakan ini sudah ada sejak zaman rasuli. Berlawanan dengan Ebionisme, gerakan ini menyelesaikan masalah dengan menghilangkan kemanusiaan Kristus. Menurut mereka, Yesus hanya menyerupai manusia (Yun. dokeo berarti ‘menyerupai’). Gerakan ini mempunyai akarnya dalam keyakinan Yunani dan Asia Barat bahwa materi pada hakikatnya jahat dan bahwa Allah tidak mempunyai perasaan serta peng-alaman manusiawi lain. Doketisme tidak diterima karena memutuskan jembatan Allah dengan manusia di ujung seberang; Allah tidak sesungguhnya datang kepada manusia, jadi tidak terjadi pengorbanan yang efektif bagi dosa-dosanya. c. Gnostisisme
Waktu tepatnya aliran ini muncul masih dipersoalkan, namun sudah dibuktikan bahwa bukan zaman pra-Kristen. Dunia pemikiran Gnostis-isme sarat dengan spekulasi aneh dan tidak jelas sampai berapa jauh merupakan sistem pemikiran terpadu. Kristus oleh beberapa penulis Gnostik dikatakan turun dari surga tertinggi atau ”kegenapan” (Yun. pleroma). Selama beberapa waktu Ia menggabungkan diri dengan pribadi historis Yesus, yang badan-Nya dibentuk dari bahan psikis dan kedua unsur terdapat pada hubungan yang tidak erat. Gnostisisme jelas cenderung ke arah Doketisme dan secara efektif memutuskan jembatan di kedua ujung: Kristus bukan Allah sejati ataupun manusia sejati. d. Arianisme
Ketiga pandangan yang baru disebut tidak banyak mempengaruhi gereja secara keseluruhan. Hal ini tidak dapat dikatakan mengenai pandangan kemudian, khususnya sekitar pandangan Arius (256-336), seorang presbiter dari Aleksandria yang telah dipengaruhi oleh guru besar Origenes. Arius mengemukakan bahwa ”Anak itu diciptakan”. Ia telah menyerap pembedaan yang dibuat Plato antara dunia yang terjamah pengalaman indera, dan dunia gagasan-gagasan yang tak terjamah. Allah yang absolut dan unik, sumber segala sesuatu yang tak berasal, termasuk dunia kedua tadi sehingga dengan radikal terpisah dari dunia tercipta. Jika kerangka ini diterima, maka sulitlah untuk menempatkan Anak (_logos_, Firman, #/TB Yoh 1:1*) di dalamnya. Arius menarik kesimpulan bahwa logos tergolong dunia yang diciptakan; sebab itu Ia tidak kekal tetapi Ia sendiri diciptakan pula. Menurut pandangan ini, Kristus memang adalah makhluk yang paling agung, namun sesungguhnya hanya makhluk saja. Perdebatan berlangsung berapi-api sepanjang hampir seluruh abad keempat. Setelah Kaisar Konstantinus menjadi Kristen pada tahun 312, politik kekaisaran menjadi faktor penting dalam pasang surut perdebatan tersebut, yang bahkan segi teologisnya sering mengalami kekacauan. Konstantinus mengkhawatirkan keesaan gereja dan memanggil Konsili Nikea pada tahun 325 untuk menyelesaikan masalahnya, tetapi baru pada Konsili Konstantinopel pada tahun 381 perdebatan terselesaikan secara berarti. Oposisi terhadap Arius dipimpin Athanasius (296-373) yang dididik di sekolah uskup Aleksandria dan yang tetap mempunyai hubungan dengan tradisi Alkitab dan Ibrani. Penderitaan dan kematian martir-martir Kristen yang disaksikannya pada waktu ia masih remaja, sewaktu Diokletianus memerintah, meninggalkan kesan yang mendalam. Ia menolak dualisme absolut dalam pandangan lawannya Arius dan berusaha memahami Yesus Kristus melalui kesaksian Alkitab baginya. Athanasius bersikap tegar dan gagah berani, dan kadang-kadang praktis sendirian dalam mempertahankan pendiriannya. Dengan ketajaman berpikir yang luar biasa ia menyadari bahwa untuk kebutuhan manusia diperlukan seorang Penebus yang ilahi sepenuhnya. Oleh sebab itu, ia berpegang erat pada pendapat bahwa Kristus sehakikat (_homoousios_) dengan sang Bapa, yaitu pandangan yang telah dikukuhkan di Nikea dan Konstantinopel. Kristologi corak Arius masih tetap ada. Saksi-saksi Yehowa, aliran Christadelphian serta banyak lagi aliran lain tidak mengakui keilahian sesungguhnya Yesus Kristus. Hal ini sering dituangkan dalam istilah filsafat dan teologi yang canggih-canggih. Ajaran sesat tak alkitabiah ini dengan tegas harus ditolak dalam segala bentuknya, seperti pada abad keempat, begitu pun sekarang ini, karena menolak Injil dan tidak mengakui siapa sebenarnya Tuhan kita Yesus Kristus. Walaupun Nikea dan Konstantinopel menetapkan ajaran bahwa Kristus bukan makhluk yang diciptakan dan menjelaskan hubungan-Nya dengan Bapa, namun masalah-masalah lain belum diselesaikan. Dalam periode berikut perhatian dipusatkan pada pribadi Yesus sendiri dan menanyakan mengenai bagaimana unsur ilahi dan manusiawi digabungkan dalam diri-Nya. Tiga pandangan diunggulkan tetapi kemudian terpaksa ditolak. e. Apolinarianisme
Apolinarius (310-390), pendukung Athanasius yang terlalu bersemangat, mengatakan bahwa Firman kekal (_logos_) menggantikan jiwa manusiawi dalam Yesus. Dengan kata lain, Allah Anak menempati tubuh manusia sehingga Kristus tidak mempunyai kodrat manusia sepenuhnya. Gagasan yang jelas berbau Doketisme ini, kemudian ditolak karena sebenarnya menyangkal bahwa Allah benar-benar menjadi manusia. f. Nestorianisme
Nestorius diangkat sebagai uskup Konstantinopel pada tahun 428. Ia ingin mempertahankan kemanusiaan Sang Perantara, dan untuk itu ia mengajarkan pemisahan kedua kodrat dalam diri Kristus sedemikian rupa sehingga membuat kesatuan kepribadian Kristus dipersoalkan. Dampaknya ialah hampir meniadakan penjelmaan dan penebusan terancam. Namun kita dapat mencatat bahwa banyak ahli akhir-akhir ini berpendapat bahwa banyak pandangan yang oleh lawan-lawannya dikatakan berasal dari Nestorius sebenarnya bukanlah keyakinannya. Setelah dipecat sebagai uskup pada tahun 431, ia menghabiskan sisa hidupnya dengan kerja keras dalam tugas pekabaran Injil. g. Eutychianisme
Eutyches, lawan Nestorianisme secara terang-terangan, memperjuangkan pandangan bahwa pribadi Kristus merupakan kesatuan. Ditegaskannya bahwa, walaupun ada dua kodrat sebelum penjelmaan, namun setelah itu hanya ada satu kodrat gabungan. Ini berarti bahwa Yesus adalah semacam oknum jenis ketiga yang bukan manusia sejati dan bukan Allah sejati; dan karena itu, dapat disimpulkan bahwa Ia tidak sanggup untuk bertindak sebagai perantara. Eutyches dikutuk pada Sinode Konstan-tinopel tahun 448, tetapi dengan cara yang agak meragukan ia dikembalikan pada kedudukannya semula oleh Konsili Efesus pada tahun 449. h. Konsili Kalkedon
Jelaslah bahwa keadaan demikian tidak boleh berlangsung terus, sehingga suatu konsili besar dipanggil di Kalkedon pada tahun 451 untuk menyelesaikan perdebatan secara tuntas. Pernyataan Konsili Kalkedon, yang dipengaruhi teologi Barat yang bersifat pragmatis, gagal memuaskan semua pihak; meskipun begitu, pernyataan itu telah menjadi dasar perumusan ortodoks mengenai pribadi Kristus sejak waktu itu. Pasal utamanya menegaskan ”kita harus mengakui bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah Anak tunggal yang sama...sempurna dalam keilahian...sempurna dalam kemanusiaan...sehakikat (_homoousios_) dengan Bapa dalam keilahian, sehakikat (_homoousios_) dengan kita dalam kemanusiaan bauran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahan...sifat-sifat kedua kodrat tetap terpelihara dan berada sekaligus dalam satu pribadi (_prosopon_) dan satu hakikat (_hupostasis_).” 17.2 Beberapa konsep penting
a. Kesatuan hipostatik
Ini adalah istilah pendek untuk apa yang terlibat dalam inkarnasi, yakni: penyatuan dalam satu pribadi (Yun. hupostasis) dari kodrat manusia sepenuhnya dan kodrat ilahi sepenuhnya. Di Kalkedon, gereja mengungkapkan hal ini dengan pernyataan yang hati-hati dan berimbang: kedua kodrat bersatu dalam kesatuan pribadi ini, ”tanpa pembauran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahan”. b. Persekutuan sifat-sifat
Menurut rumusan lama ini, walaupun kedua kodrat dalam kesatuan hipostatik masing-masing mempertahankan sifat-sifat hakikinya, namun ada persekutuan sungguh-sungguh antara kedua kodrat sehingga sifat masing-masing disampaikan kepada yang lain. Yang hendak dihindarkan di sini ialah kenyataan bahwa beberapa tindakan Yesus tertentu berasal dari kodrat ilahi-Nya (misalnya membangkitkan orang mati, melipat-gandakan roti dan ikan), sedangkan yang lain berasal dari kodrat manusia-Nya (misalnya keletihan, ketidaktahuan mengenai waktu kembali-Nya). c. Pandangan Calvinis
Menurut pandangan Calvinis dalam perdebatan abad ke-16, baik selama pelayanan-Nya di dunia maupun kemudian sebagai Tuhan yang sudah naik ke surga, Firman abadi tidak pernah melepaskan fungsi atau ciri-ciri keilahian-Nya. Ia terus mempertahankan segala sesuatu (#/TB Kol 1:17*; #/TB Ibr 1:3) dan tetap sebagai kepala para malaikat (#/TB Mat 26:53*). Kalau gagasan ini dikembangkan terlalu jauh, akan dihasilkan pembagian pribadi Kristus seperti pada Nestorianisme. Namun secara umum, baik ”persekutuan sifat-sifat” maupun pandangan Calvinis tadi sesuai dengan bukti-bukti alkitabiah. d. Kristologi dua keadaan
Gerakan Reformasi membawa pengalaman baru akan realitas hidup dari Kristus dalam Injil anugerah-Nya sebagaimana ditemukan dalam sejarah. Ini membuat gerakan Reformasi memperkaya rumusan Kalkedon, yang didukung sepenuhnya, dengan “kristologi dua keadaan”. Dalam hal ini, pribadi Kristus dilihat dalam kerangka gerakan dinamis suatu pribadi tunggal dari keadaan penghinaan dalam daging yang mencapai puncaknya di kayu salib, menuju keadaan kemuliaan dalam kebangkitan dan kenaikan-Nya (#/TB Kis 2:22-36; 2Kor 8:9; Fili 2:5-11*). e. Kenosis
Teori kenosis mengembangkan kristologi dua keadaan dengan mengemukakan bahwa dalam kehidupan-Nya sebagai manusia, Firman abadi menanggalkan banyak ciri ilahi yang hakiki (sering diperinci sebagai kemahakuasaan, kemahatahuan dan kemahahadiran). Sebagai pendukung alkitabiah diambil penegasan bahwa Kristus ”mengosongkan diri” (Yun. ekenosen) dalam #/TB Filipi 2:7*. Dengan ini ingin dijaga kemanusiaan Kristus, termasuk juga pengakuan akan keterbatasan manusiawi-Nya, di samping pengakuan tradisional akan keilahian-Nya. Dalam bentuk lemah dari teori ini dikemukakan bahwa ciri-ciri ilahi bukan ditiadakan tetapi ”dibuat tersembunyi” atau ”hanya digunakan sekali-sekali”, atau bahwa kenosis hanya berlaku bagi kesadaran Kristus dan bukan eksistensi-Nya. Memang benar bahwa semacam bentuk merendahkan diri terjadi bagi Firman abadi dalam menyatukan diri dengan kodrat manusia yang terjadi di dalam rahim Maria. Namun dapat diragukan apakah konsep kenosis membantu untuk mengungkapkan hal ini. #/TB Filipi 2:7* bukan dukungan yang meyakinkan karena yang dimaksudkan dalam ayat itu bukan melepaskan kuasa dan ciri ilahi melainkan melepaskan kemuliaan dan keagungan ilahi. Arti sebenarnya ialah ”Ia membuat diri-Nya tak berarti”. 17.3 Tafsiran-tafsiran modern
a. Kristologi fungsional melawan kristologi ontologis
Akhir-akhir ini sejumlah penulis ingin menggantikan “kristologi ontologis” (yang menafsirkan pribadi Kristus dengan berpikir tentang keberadaan dan kodrat-Nya, biasanya dengan memakai rumusan Kalkedon) dengan “kristologi fungsional” (yang menafsirkan pribadi Kristus dengan berpikir tentang peranan aktif-Nya dalam rencana Allah). Tentu saja ada perbedaan antara kedua pandangan ini, namun jangan kita mengatakan keduanya adalah pilihan dan tidak saling mengisi. Pengertian ontologis tidak dapat dilepaskan tanpa mengurangi pribadi Kristus serta kesanggupan-Nya sebagai Perantara. Keinginan melepaskan ontologi itu tidak ada dukungan dari Alkitab. Peryataan seperti ”Firman itu menjadi manusia” (#/TB Yoh 1:14*)memang bersifat ontologis dan menjawab pertanyaan mengenai keberadaan dan kodrat Sang Perantara (bnd. #/TB Yoh 1:1-18; 2Kor 8:9; Fili 2:5-11; Kol 1:15-20; Ibr 1:1-3*). Selanjutnya pandangan Alkitab tentang realitas, perbedaan antara berbagai keberadaan dengan kodrat tetap (Allah, manusia, malaikat, dsb.) dan kategori-kategori umum yang mendasari tafsiran penebusan (“dalam Adam”, “dalam Kristus”) bersifat ontologis dan menyediakan kerangka tentang ”substansi” dan ”entiti” yang dipakai dalam rumusan Kalkedon. Jadi ontologi tidak mungkin dibuang begitu saja. Memang rumusan Kalkedon tidak ada dalam Alkitab dan pada prinsipnya terbuka untuk ditinjau kembali atau diganti. Namun apabila kita bertanya tentang penyajian Alkitab mengenai Kristus, maka sesuatu yang praktis serupa dengan rumusan Kalkedon itu tak terelakkan. Ajaran kristologi harus bersifat ontologis dan juga fungsional. b. “Mitos” penjelmaan
Akhir-akhir ini beberapa penulis tentang kristologi mengemukakan bahwa berbicara tentang Yesus sebagai Allah yang menjelma adalah cara yang mitologis atau puitis untuk mengungkapkan kepentingan-Nya bagi manusia. Menurut mereka Yesus sebenarnya hanya seorang yang disetujui Allah, terbuka bagi Allah secara khusus dan mempunyai kesadaran unik tentang kenyataan ilahi. Pada dasarnya pandangan ini menghidupkan kembali pemikiran yang berasal dari Ebionisme pada zaman gerjea mula-mula. Persoalannya dipecahkan dengan mencabut unsur ilahi dan menyusutkan Yesus menjadi orang biasa saja: memang orang istimewa, namun tetap manusia belaka. Pernyataan ulang modern dari ajaran sesat kuno ini, sama seperti pendahulu historisnya, tak meyakinkan. Usaha menemukan seorang ”Yesus asli” yang hanya manusia belaka di balik tokoh Perjanjian Baru yang begitu agung itu sudah sering ditangani, namun gagal total. Kepercayaan akan keilahian Yesus bukanlah suatu tambahan pada pengertian asli tentang Dia, tetapi dari permulaan sudah merupakan kepercayaan gereja. Lagi pula, bukti Alkitab yang mapan tentang keilahian Kristus tak tergoyahkan. Kristologi insani ini berarti: · penolakan ajaran Kristen tentang Allah—Yesus tidak ilahi, sebab itu Allah bukan Tritunggal, paling tidak menurut cara yang dapat diketahui manusia; · penghapusan ibadah Kristen—tidak ada lagi doa dan puji-pujian kepada atau melalui Yesus; · keyakinan Kristen ditumbangkan—tidak ada penyataan akhir dalam Kristus, dan ini membuat kita menjadi agnostik mengenai Allah dan akhirnya mengenai segala sesuatu; · penyelamatan Kristen menjadi tidak berlaku, oleh karena Kristus bukan Allah yang menjelma, Ia tidak relevan lagi bagi hubungan manusia dengan Allah; dan · pencemaran hormat dan kemuliaan Allah dalam Kristus.
Tak satu pun orang Kristen yang mengasihi kemuliaan Allah akan tertarik untuk mendukung pandangan ini. 17.4 Komentar selanjutnya
Petunjuk akan pengertian lebih mendalam tentang inkarnasi dapat ditemukan dalam Injil Yohanes (bnd. Anderson 1978: ps 6; Packer 1977). Dasar penyajian mengenai Kristus itu adalah ketergantungan-Nya yang mutlak pada Bapa-Nya (#/TB Yoh 4:34; 6:38,44; 7:16,50,53; 10:18*). Firman Allah yang kekal sepenuhnya berkodrat ilahi, dan sebagai Anak kekal secara abadi keluar dari Bapa; keturunan ilahi yang penuh rahasia ini diungkapkan-Nya dengan cara hidup sebagai Allah dan manusia yang bergantung sepenuhnya kepada Bapa yang diagungkan-Nya. Pada setiap saat dan setiap hal semua hak istimewa dan kesempurnaan ilahi dikuasai-Nya, namun Dia tunduk pada kehendak Bapa dalam segala hal: pengetahuan, pembicaraan, perbuatan, pertentangan dan penderitaan. Akhirnya harus diakui bahwa penjelmaan berada dalam kelas tersendiri, sehingga tidak mungkin ditafsirkan berdasarkan analogi dengan pengalaman manusia. Memang, analogi manusiawi ada gunanya karena Kristus adalah Allah yang menjadi manusia dan umat manusia diciptakan menurut gambaran dan rupa Allah, tetapi semua analogi ada batasnya karena kita tidak tahu apa artinya menjadi ilahi dan manusiawi sekaligus. Melebihi batas tertentu Yesus dapat dimengerti hanya dari kesaksian diri-Nya, yang berarti kesaksian Alkitab yang diilhami Allah. ”Agunglah rahasia ibadah kita: ‘Dia, yang telah menyatakan diriNya dalam rupa manusia”‘ (#/TB 1Tim 3:16*). Sikap rasul yang hati-hati ini tidak meniadakan kemungkinan menelusuri rahasia tersebut, terutama untuk menampik kekhilafan; tidak pula menunjukkan keragu-raguan tentang kenyataan mendasar dari Yesus Kristus sebagai Allah sejati dan manusia sejati. Tetapi pernyataan itu mengingatkan kita akan keterbatasan manusia untuk memahami kenyataan tentang Allah. Rahasia pribadi Kristus itu dinyatakan secara paling mendalam kepada mereka yang datang kepada-Nya seperti gembala-gembala Natal dulu, yang dengan iman penuh dan hati rendah datang memuja dan beribadah kepada-Nya. Bahan Alkitab#/TB Yohanes 1:1-18; 10:30-38; Kisah 2:22-36; Roma 1:4*; #/TB 2Korintus 8:9; Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; 2:9; 1Timotius 3:16*; #/TB Ibrani 1:1-3; 1Yohanes 1:1-2*.
Bahan diskusi/penelitian1. Sebutkan ajaran-ajaran sesat utama tentang pribadi Kristus. Dapatkah Anda sebutkan dalam bentuk apa kekhilafan-kekhilafan ini muncul akhir-akhir ini? 2. ”Tidak ada kristologi yang dapat melepaskan rumusan Kalkedon”. Bahaslah! 3. Apa yang dimaksudkan dengan ”kenosis”? Seberapa jauh konsep ini membantu atau menghalangi pemahaman tentang pribadi Kristus? 4. Jelaskan pentingnya kristologi yang tepat dalam hubungannya dengan
( a) pandangan mengenai Allah, ( b) Injil penyelamatan, ( c) pandangan tentang umat manusia, dan ( d) pendekatan terhadap Alkitab.
Kepustakaan (17) Artikel “Incarnation” dalam IBD. Anderson, J. N. D. 1978 The Mystery of the Incarnation (Hodder). Berkouwer, G. C. 1954 The Person of Christ (Eerdmans). Green, M. 1977 The Truth of God Incarnate (Hodder). Marshall, I. H. 1976 The Origins of New Testament Christology (IVP). Mascall, E. L. 1977 Theology and the Gospel of Christ (SPCK). Moule, C. F. D. 1977 The Origin of Christology (CUP). Packer, J. I. 1977 “Jesus Christ the Lord” dalam Obeying Christ in a Changing World 1 ( Fountain Books).
18. PENDAMAIAN I: AJARAN ALKITAB
Inti pokok karya Kristus ialah pendamaian antara Allah dan manusia, khususnya cara hubungan yang terganggu akibat dosa diperbaiki sehingga mereka didamaikan. 18.1 Pendamaian dalam Perjanjian Lama
Ada pendapat yang mengatakan bahwa agama Perjanjian Baru berdasarkan anugerah (manusia diterima Allah berdasarkan iman kepada Kristus), sedangkan agama Perjanjian Lama berdasarkan hukum (manusia diterima Allah berdasarkan perbuatannya). Tetapi sebenarnya, sama seperti dalam Perjanjian Baru, keselamatan dalam Perjanjian Lama bergantung pada anugerah dan kemurahan secara cuma-cuma dari Allah (#/TB Kej 12:1-7*; #/TB Kel 3:6-10; Ul 6:21-23; Yes 41:8-9*), yang diwujudkan dalam perjanjian-Nya dengan Abraham dan keturunannya (#/TB Kej 15:18; Kel 6:6-8*; #/TB Mazm 105:8-15,42-45; Yes 51:1-6; Yeh 37:25-26; Luk 1:32-33,54-55*; #/TB Kis 13:17-23*). Anugerah ini menghendaki respons berupa iman atau kepercayaan (#/TB Kej 22:17-18; Mazm 33:16-20; Yes 31:1*). Dengan perjanjian sebagai dasar, hukum Taurat berlaku sebagai tuntutan Allah supaya umat-Nya hidup menurut sifat-Nya yang kudus (#/TB Kel 20:1-2*). Sayang, agama Yahudi lupa akan hal ini dan hukum Taurat sendiri menjadi faktor dominan yang menghasilkan legalisme dan pengandalan diri sendiri seperti orang Farisi, yang disingkapkan oleh Yesus (#/TB Mat 6:5; Luk 18:9-14*). Legalisme ini bukan agama Perjanjian Lama itu sendiri melainkan ajaran sesat yang muncul dari agama Perjanjian Lama itu. Dalam agama Perjanjian Lama, keselamatan dan pendamaian tidak berakar dalam hukum tetapi—sama seperti dalam Perjanjian Baru—dalam anugerah Allah. Sistem persembahan kurban dalam Perjanjian Lama juga setujuan dengan ajaran Perjanjian Baru mengenai pendamaian. Ada beberapa macam kurban. Kurban persembahan mengungkapkan rasa hormat dan syukur (#/TB Ul 33:10*; #/TB Hak 6:21*); kurban bakaran biasanya untuk masyarakat seluruhnya (#/TB Kel 29:38- 42; Bil 28:1-31*). Yang paling berarti bagi pendamaian adalah kurban penebus dosa dan salah. Kurban-kurban ini meliputi pelanggaran yang tidak sengaja terhadap Allah, yang dimaksudkan untuk memohon pengampunan (#/TB Im 4:1- 5:19*). Persembahan paling penting diberikan pada Hari Pendamaian yang diadakan setiap tahun sekali. Hanya pada kesempatan ini Imam Besar masuk ke tempat kudus di belakang tabir dengan kurban darah sebagai alat pendamaian atas segala dosa yang dilakukan bangsa Israel selama ibadahnya (#/TB Im 16:1- 23*). Aspek yang paling inti dari keseluruhan sistem ini ialah pertumpahan darah dalam kematian kurban pengganti. Sistem mempersembahkan kurban ini menanamkan kesadaran akan kekudusan Allah dan mengajarkan bahwa melawan kehendak Allah (melanggar hukum-Nya) menuntut kematian pengganti yang bersih untuk mendapatkan pendamaian dengan Allah. Kalau dipersembahkan dengan iman dan ketaatan, terlepas dari kemungkinan bertambahnya amal dan dengan kepercayaan akan rahmat Allah saja, persembahan itu membawa berkat perjanjian. Perjanjian Lama mengetahui dengan jelas bahwa persembahan itu sendiri tidak dapat menebus dosa (#/TB Hos 6:6; Mi 6:6-8*). #/TB Mazmur 51:1-19* khususnya membeberkan ini dengan penuh perasaan. Kesalahan moral tidak dapat dihapuskan dengan kurban (#/TB Mazm 51:16*), tetapi hanya oleh rahmat Allah secara cuma-cuma (#/TB Mazm 51:1*) sebagai jawaban atas pertobatan pemazmur yang ikhlas (#/TB Mazm 51:17*). Dalam pembahasan Perjanjian Baru tentang persembahan Perjanjian Lama dalam #/TB Ibrani 9:9*, hal ini menjadi jelas sekali. Fokus anugerah Allah juga identik dalam kedua perjanjian, yakni pada pribadi dan karya Kristus. Kalau bagi kita dampak salib Kristus diproyeksikan ke depan, bagi orang percaya dalam Perjanjian Lama dampak itu diproyeksikan ke belakang (#/TB Mat 8:16; Luk 2:38; Yoh 3:14; 8:56*; #/TB Rom 4:1-25; 10:11-13; 1Kor 5:7; Ibr 9:15; 10:12-14; 1Pet 1:18*).Bagi mereka, seperti juga bagi kita, pendamaian pada dasarnya terjadi oleh karena darah Kristus. 18.2 Yesus sang Mesias
Seperti telah kita lihat, Mesias berarti yang diurapi Allah. Di Israel ada tiga jabatan yang pejabatnya diangkat dengan upacara pengurapan dengan minyak, yakni raja (#/TB 1Sam 16:1-23), imam (#/TB Im 8:1-36*) dan nabi (dalam hal ini mungkin secara spiritual, bukan secara harfiah, #/TB Yes 61:1*). Para teolog dari generasi ke generasi telah berbicara tentang jabatan Yesus yang “rangkap tiga”, yang berarti bahwa Ia diurapi Allah (#/TB Kis 10:38; Ibr 1:9*) untuk memenuhi secara sempurna jabatan rangkap tiga itu, sebagai nabi, imam dan raja bagi umat Allah. a. Jabatan nabi
Nabi berbicara atas nama Allah (#/TB Kel 7:1-2; Ul 18:18-19*). Secara umum manusia tidak mengetahui kehendak dan rencana Allah. Sebagai penyambung lidah Yang Mahakuasa, nabi berusaha memberitahukannya. Tugas kenabian nampak dengan jelas dalam Musa dan nabi-nabi Perjanjian Lama kemudian seperti Yesaya, Amos, Hosea dan Yeremia. Pengharapan akan Mesias dalam Perjanjian Lama juga meliputi peran ini: ”Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan” (#/TB Ul 18:15*). Gereja mula-mula telah melihat nubuat ini digenapi dalam Yesus (#/TB Kis 3:22-23; 7:37*). Orang sezaman Yesus mengenal Dia sebagai nabi (#/TB Mat 21:46*; #/TB Mr 8:28; Luk 7:16; 9:17).Ia menerima sebutan ini (#/TB Mar 6:4*; #/TB Luk 13:33), meskipun bukan dengan bulat hati (#/TB Mat 11:9-11*) dan sebutan ini saja memang tidak memadai untuk mengungkapkan siapa sebenarnya Yesus (#/TB Mr 9:1-8; Yoh 10:30; 14:6*). Yesus adalah salah satu dari sederetan panjang nabi yang membawa firman Allah; walaupun demikian, Ia menonjol jauh di atas mereka sebab Ia sendiri adalah Firman (#/TB Yoh 1:1-14*). Mata rantai dasar antara karya Kristus dan pribadi-Nya nyata sekali dalam #/TB Yohanes 1:14*, ”Firman itu telah menjadi manusia”. Dalam diri Yesus, Firman Allah yang profetis diungkapkan sebagai kebenaran yang menyangkut bukan saja ajaran-Nya melainkan juga keberadaan-Nya. Bagian Perjanjian Baru yang kemudian menguatkan hal ini: Yesus adalah hikmat Allah (#/TB 1Kor 1:30*), yang ”di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (#/TB Kol 2:3*). Sebab itu, Kristus berfungsi sebagai nabi dalam hal membawa kebenaran Allah yang sesungguhnya kepada manusia yang bebal dan buta karena dosa. Dengan menyatakan Allah sendiri kepada kita (#/TB Yoh 14:9*), Yesus adalah Guru Agung yang ucapan-Nya berwenang dan yang harus kita patuhi dalam segala hal (#/TB Mat 7:24-29; Mr 1:22-23; Yoh 13:13-14*). Ia menyatakan dan menjelmakan tuntutan Allah terhadap kita serta anugerah Allah yang membuka jalan bagi kita untuk masuk ke dalam kerajaan Allah (#/TB Mr 1:14; Yoh 1:17; 10:9*). b. Jabatan imam
Keimaman mengisyaratkan adanya keterasingan manusia berdosa dari Allah. Imam adalah perantara yang ditetapkan Allah untuk menjembatani keterasingan itu (#/TB Ibr 5:1*). Alur agama Perjanjian Lama yang penting ini (#/TB Kel 28:1-29:46*) khususnya diwujudkan dalam diri Imam Besar yang tugas-tugasnya meliputi memberi persembahan di tempat kudus dalam Rumah Allah sekali setahun pada Hari Pendamaian (#/TB Im 16:1-23; Ibr 9:1-8*). Karya Kristus dilihat dalam arti penggenapan tugas keimaman terutama dalam Surat Ibrani, yang menghubungkan-Nya dengan Imam Besar Perjanjian Lama dalam dua hal. Pertama, identitas-Nya: ”imam besar, yang dipilih dari antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah” (#/TB Ibr 5:1*). Sebagai manusia sejati Kristus memenuhi syarat untuk bertindak atas nama manusia dalam hubungannya dengan Allah (#/TB Ibr 2:7-17*; #/TB Ibr 4:15; 5:1-3; 10:5-9*). Kesetiakawanan dengan umat manusia ini digambarkan lebih lanjut dalam Perjanjian Lama dengan gagasan go’el atau saudara-penebus. Dalam keadaan-keadaan tertentu sanak saudara dapat bertindak sebagai goel untuk membebaskan saudaranya dari kesulitan tertentu (#/TB Im 25:48); tindakan Boas sehubungan dengan Rut (#/TB Rut 4:1-13*) merupakan salah satu contoh. Sebutan ini juga diberikan kepada Allah (#/TB Kel 6:6; Yes 41:14*). Dalam Kristus, Allah bertindak sebagai saudara-penebus manusia dengan menjadi manusia (#/TB Yoh 1:14*) dan bertindak demi manusia untuk menyelamatkannya dari kutukan dan kuasa dosa. Kedua, pengurbanan diri-Nya: ”Setiap Imam Besar ditetapkan untuk mempersembahkan korban dan persembahan” (#/TB Ibr 8:3*). Kristus bukan saja imam yang mempersembahkan, melainkan juga kurban yang dipersembahkan. Dengan kasih yang tak dapat dilukiskan, Ia masuk ke tempat kudus dan mempersembahkan diri-Nya di mezbah kayu salib (#/TB Ibr 1:3; Ibr 9:12-14*; #/TB Ibr 10:10-22; 13:12*). Jelaslah Yesus mengerti tugas-Nya sebagai imam karena Ia dengan bebas menggunakan istilah-istilah persembahan (#/TB Mr 10:45; Luk 22:20; Yoh 10:11,15; 15:13*). Pandangan ini diperkuat karena Yesus menyinggung gagasan tentang hamba yang menderita dalam Kitab Yesaya. Perikop-perikop tentang hamba yang menderita (#/TB Yes 42:1-4; 49:1-7; 50:4-11; 52:13-53:12*) ini mendapat berbagai penafsiran pada zaman Yesus, tetapi hampir tidak ada kecenderungan untuk menafsirkan secara mesianik, karena ayat-ayat tersebut rupanya tak dapat dipertemukan dengan motif Mesias sebagai Raja. Hubungan Yesus dengan hamba tadi dimantapkan oleh Bapa pada pembaptisan-Nya (#/TB Mr 1:11; bnd. #/TB Yes 42:1*) serta keterangan-keterangan yang sering dibuat dalam kitab-kitab Injil (#/TB Mat 8:16-17; 12:18-21; Yoh 1:29) dan ditemukan juga dalam kitab-kitab lain (#/TB Kis 3:13; 8:32; 1Pet 2:21*). Mungkin ada lagi petunjuk tentang Yesus yang mengambil tugas keimaman dalam #/TB Markus 14:62, ketika Ia menerapkan #/TB Mazmur 110:1* pada diri-Nya dan dengan demikian juga secara tersirat #/TB Mazmur 110:4*. Tugas keimaman meliputi seluruh karya Kristus yang menyelamatkan melalui kematian-Nya. Untuk menguraikan arti sepenuhnya, perlu diuraikan tiga kiasan Perjanjian Baru yang dipakai untuk menafsirkan kematian Kristus. Kiasan hukum: pembenaranPemikiran Ibrani mengenai kebenaran senantiasa bernafaskan hukum dan keadilan. Orang benar adalah ”yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN” (#/TB Mazm 32:2*). Tetapi manusia semua bersalah karena melanggar hukum moral Allah (#/TB Mazm 14:1-3*) dan berada di bawah kutukan atau penghakiman hukum itu (#/TB Ul 27:26; Mazm 1:5-6*).Lagi pula, tidak ada kemungkinan bahwa Allah akan mengendurkan hukum-Nya dan tidak mengindahkan pelanggaran hukum oleh manusia. Hukum Allah itu bukanlah serangkaian tuntutan semena-semena yang dibebankan pada hati nurani manusia. Pada hakikatnya, hukum Allah merupakan tuntutan Allah agar manusia menyesuaikan diri kepada keberadaan-Nya dan memihak kepada-Nya melawan segala sesuatu yang mengancam dan menentang-Nya (#/TB Im 11:44-45; Yes 1:4*). Hukum itu adalah hukum Allah, “kudus, benar dan baik” (#/TB Rom 7:12,22*). Sebab itu, setiap pelanggaran hukum moral adalah serangan langsung terhadap Allah. Saat orang melakukannya, tindakan itu menjadi bagian integral dari seluruh perlawanan manusia terhadap Allah yang harus diperhitungkan dan ditentang oleh Allah untuk menegaskan keilahian-Nya. Tindakan Allah dalam ”memperhitungkan” dosa menarik perhatian pada perasaan bersalah yang senantiasa menyertai semua perbuatan dosa. Saat orang berbuat dosa, tindakan itu terhitung masa lampau dan tak dapat diubah-ubah. Orang berdosa adalah orang dengan masa lampau buruk, yang lembaran-lembaran hidupnya cacat dan bernoda. Kita tidak dapat mulai dengan lembaran baru karena dosa yang lalu masih tetap ada, yang pasti menghadapi Allah dan menentang kemegahan dan keilahian-Nya. Kita cenderung menganggap bahwa waktu saja mampu membatalkan dosa, tetapi sebenarnya waktu sendiri tidak dapat mengubah fakta atau salahnya dosa. Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan? Dari satu segi, tidak ada yang dapat dilakukan. Ketika berhadapan dengan kesalahan dosa, manusia tidak berdaya dan hanya dapat menunggu penghakiman akhir yang merupakan dampak dosa, yang tak terelakkan di dunia yang diciptakan Allah. Pada tahap menghadapi keadaan tak berdaya itu, Alkitab menuntun orang pada keajaiban anugerah Allah dalam Yesus Kristus. Sebagai manusia, Ia ”takluk kepada hukum Taurat” (#/TB Gal 4:5*) dan mematuhi sepenuhnya semua perintah Allah (#/TB Yoh 4:34; 8:29*), bahkan ”sampai mati” (#/TB Fili 2:8*). Dalam kematian-Nya Ia menanggung ”kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita” (#/TB Gal 3:13*). Dengan begitu, dalam kematian Kristus dosa-dosa umat-Nya diadili (#/TB Rom 3:23-26*) dan tidak lagi diingat (#/TB Ibr 8:12*), dan ”oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (#/TB Rom 5:18*). Penghakiman dan kutukan ketidaktaatan ditanggung oleh Kristus di kayu salib, dengan ”dibuat berdosa” Ia diperlakukan dan dihukum sebagai orang yang berdosa, ”supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (#/TB 2Kor 5:21*). Allah mengampuni orang bersalah dan membenarkan mereka berdasarkan ketaatan Kristus sebagai wakil dan kematian penebusan-Nya, dan pegampunan itu dalam Alkitab disebut “pembenaran” (#/TB Luk 18:14*; #/TB Rom 3:24; 4:25; 1Kor 6:11; Tit 3:7*).Pembenaran itu sama sekali bukanlah imbalan bagi usaha manusia untuk hidup benar, ataupun untuk kesediaannya bekerja sama dengan Allah untuk memberi sumbangan moral kepada pembenaran kita. Pembenaran itu adalah karya Allah yang penuh rahmat kepada manusia yang tidak layak. Perlu diperhatikan tentang segi positif pembenaran (#/TB Rom 4:1-12*: #/TB Fili 3:9*) karena sering kurang ditekankan. Pembenaran bukan hanya soal Allah yang memaafkan kesalahan. Kebutuhan manusia hanya dipenuhi kalau kebenaran, yakni kekudusan watak yang penuh dan sempurna, menjadi miliknya. Inilah pemberian anugerah yang menakjubkan. Ketaatan Kristus kepada hukum dan kebenaran-Nya (#/TB 1Kor 1:30; Fili 3:9*) menjadi milik orang percaya karena iman. Kegagalan kita secara total dalam ujian moral kehidupan tidak diperhatikan; dan bukan hanya itu, kita lulus dengan nilai 100%! Tepat sekali kalau Athanasius berbicara tentang ”pertukaran yang menakjubkan” ketika Anak Allah yang murni dan tak bercela menanggung kenistaan dosa kita dan sebaliknya Ia meliputi kita dengan kemurnian-Nya. Allah berbuat adil dengan membenarkan orang-orang berdosa di dalam Kristus, Ia tidak mengesampingkan dosa atau menganggapnya tidak penting (#/TB Rom 3:25*). Ia sungguh-sungguh menghakimi dan menghukum dosa di atas kayu salib dan dengan demikian menegaskan anta-gonisme-Nya yang kekal dan kudus terhadapnya. Dengan demikian juga tidak terjadi pengurangan standar bagi orang berdosa; Allah hanya menerimanya berdasarkan kebenaran Kristus yang sempurna yang dianggap sebagai milik orang berdosa karena persekutuannya dengan Kristus melalui iman. Secara singkat, Alkitab mengajarkan bahwa inti karya Kristus adalah sebagai berikut: demi kita Ia telah menanggung hukuman yang seharusnya kita jalani karena dosa, dan Dia telah membawa pengampunan dan pendamaian bagi kita. Ajaran ini disebut penal substitution (orang lain menjadi pengganti orang yang dihukum) dan merupakan pokok ajaran dan pemberitaan pendamaian sejak Reformasi. Ajaran ini sering dikritik dengan alasan bahwa: · penggunaan istilah-istilah hukum (Allah sebagai hakim yang memberi hukuman, manusia sebagai penjahat, dsb.) sangat mengurangi hubungan pribadi manusia dengan Allah; · Allah menurut ajaran ini menuntut penghukuman, lain dari Allah penuh kasih yang mengampuni dengan leluasa; · pemikiran tentang penggantian tidaklah adil, bahkan tak bermoral dalam konteks ini, karena yang tak bersalah dihukum dan yang bersalah luput; atau, dengan kata lain, pengadilan Allah lebih mudah didamaikan daripada pengadilan manusia, karena dalam pemikiran manusia pengadilan tidak berlaku kecuali kalau yang bersalah sendiri mendapat hukuman.
Namun, ajaran bahwa orang pengganti yang dihukum dapat dipertahankan walaupun melawan tiga macam kritikan tadi. Pertama-tama kita ingat bahwa hal ini jelas diajarkan dalam firman Allah: ajaran ini bukanlah buatan manusia tetapi bagian dari ajaran ilahi mengenai salib Kristus. Secara lebih khusus lagi mengenai keberatan bahwa ajaran tersebut mengurangi hubungan pribadi Allah dengan manusia, maka cukup jelas bahwa Alkitab tidak membedakan dasar pribadi dan hukum dengan cara demikian. Para penulis Alkitab gemar menggunakan kiasan hukum dan berulang kali mengacu pada proses peradilan untuk menjelaskan cara Allah berurusan dengan manusia. Mendasari kritikan seperti ini hampir selalu terdapat kegagalan mengerti hukum secara alkitabiah, yakni sebagai sifat Allah yang tak berubah yang menyentuh keberadaan manusia. Kritikan kedua menolak Allah yang menghendaki hukuman, dan melukiskan-Nya sebagai Allah yang dalam kasih tidak mengindahkan dosa. Tetapi Allah seperti ini sebenarnya hanya khayalan manusia yang tidak terdapat dalam Alkitab. Pasti ini bukan Allah Perjanjian Lama. Ia juga bukan Allah yang dinyatakan Yesus, sebagaimana nyata dari peringatan-Nya yang serius dan berulang kali akan bahaya tidak bertobat (#/TB Mat 11:20-24; Luk 13:1-5; 16:19-31*). Yesus sering berbicara tentang fungsi kematian-Nya dalam rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dan hal ini juga menunjukkan bahwa Ia sendiri tidak percaya kepada Allah khalayan itu (#/TB Mr 8:31; 10:45; 14:24; Yoh 10:11; 12:24*). Mengenai tuduhan ketiga tentang ketidakadilan, Packer (1974) mengemukakan bahwa adalah salah jika kita memaksakan kategori Alkitab seperti orang pengganti yang dihukum itu melebihi batas yang dimaksudkan. Ajaran ini sebenarnya merupakan kiasan yang diberikan Allah untuk mengajar kita tentang diri-Nya serta karya-Nya. Pembenaran adalah pemberian Allah Tritunggal dalam kasih-Nya, yang dikerjakan oleh Anak-Nya sesuai dengan keadilan-Nya. Jika dilihat dari sudut pandang ini, kiasan tentang hukuman pada orang pengganti dapat dipertahankan tanpa mengacu pada praktek hukum manusia atau pada norma-norma lain mengenai hubungan-hubungan pribadi. Walaupun kita tidak menyepelekan naluri moral manusia yang umum, karena Allah adalah pencipta dan penebus, namun kita juga tidak dapat menjadikan norma-norma kita yang telah jatuh sebagai pengukur terakhir atas tindakan Allah. Pada hakikatnya terjadi ungkapan keadilan yang paling mendalam ketika Allah mengampuni orang-orang berdosa yang terhukum dan tak berdaya melalui salib Kristus, yaitu keadilan kasih Allah yang menyelamatkan (#/TB Rom 3:21-26*). Kiasan ibadah: pendamaianKiasan ini berkaitan dengan kiasan terdahulu dan memaparkan lebih lanjut cara pembenaran. Salah satu hasil ketidaktaatan manusia terhadap hukum Allah adalah ketidaklayakannya di hadirat Tuhan, serta keadaannya yang tak terlindung dari murka Allah. Jalan kembali ke Taman Eden dihalangi oleh pedang berapi (#/TB Kej 3:24*).Manusia yang sudah terasing dari Allah kini menjadi musuh-Nya. Sekali lagi kita melihat keadaan manusia yang tak berdaya sama sekali dalam dosanya, yang digambarkan dengan kata-kata seram. Dalam hubungan ini Alkitab sekali lagi me-nunjukkan keajaiban kasih Allah dalam Kristus. ”Pendamaian” berarti penghapusan permusuhan antara dua pihak yang telah bertikai. Istilah ini digunakan untuk penyelamatan Kristen dalam beberapa ayat penting (#/TB Rom 5:10; 2Kor 5:18-20; Ef 2:16; Kol 1:20*). Manusia adalah musuh Allah (#/TB Rom 5:1; Kol 1:20; Yak 4:4*), bukan hanya tidak dekat dengan Allah. Pendamaian tercapai dengan menghilangkan sebab pertikaian (dalam hal ini dosa), yang telah dilakukan Allah dalam Kristus khususnya dalam kematian-Nya. Jadi Kristus adalah ”damai kita” (#/TB Ef 2:5*); kita telah didamaikan ”melalui kematian AnakNya” (#/TB Rom 5:10), ”oleh darahNya, ditumpahkan di kayu salib” (#/TB Kol 1:20*). Ajaran Alkitab sangat disalahtafsirkan kalau pendamaian dibatasi pada pihak manusia saja dalam hubungan ini, seolah-olah hanya sikap manusia saja yang perlu berubah. Walaupun gambarannya kadang-kadang sangat menyimpang, namun murka Allah adalah kenyataan Alkitab yang sungguh-sungguh (#/TB Kel 22:24; Mazm 78:31; Yos 5:10; Luk 3:7*; #/TB Yoh 3:36*). Mengatakan bahwa salib Kristus mengungkapkan kasih Allah yang sudah damai kembali dengan kita, seperti dikatakan beberapa orang, berarti mengabaikan murka Allah dan tidak mengerti tujuan salib yang sebenarnya. Bahkan salib hanya menunjukkan kasih Allah karena arti teologis yang lebih mendalam ini, yaitu kasih yang menghadapi akibat dosa dengan penuh pengorbanan (#/TB Yoh 3:16; 1Yoh 4:9*). Hanya pemahaman ini yang menunjukkan makna sebenarnya dari pandangan Perjanjian Baru tentang salib sebagai tindakan penyelamatan yang menentukan, yang melepaskan orang percaya dari murka Allah. Boleh dikatakan, peralihan dari murka kepada anugerah terjadi dalam lingkungan sejarah. Cara pendamaian ini dirinci lebih cermat lagi dengan istilah yang erat hubungannya, yaitu hilasterion (#/TB Rom 3:25; Ibr 9:5; 1Yoh 2:2; 4:10*). Istilah Yunani ini mengacu pada pendamaian murka dengan penawaran suatu persembahan. Persembahan Kristus bukan tidak bersifat pribadi atau yang sembarang saja; begitu pula Ia bukan pihak ketiga yang dilibatkan terlepas dari hubungan manusia dengan Allah: Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya dalam Kristus (#/TB 2Kor 5:19*). Kristus tak lain dari Allah sendiri, yang menerima konsekuensi dari murka-Nya dalam hati-Nya sendiri yang kudus. Memang di sini ada rahasia yang tak dapat dipahami, namun semua gagasan ini terdapat secara jelas dalam penafsiran Perjanjian Baru tentang Kristus, khususnya dalam pengertian pendamaian. Aspek lain dari kiasan ini adalah pengurbanan (#/TB 1Kor 5:7; Ef 5:2*; #/TB Ibr 7:27; 8:3; 9:23-28; 10:10-26; 13:10-13*). Perjanjian Baru mengambil beberapa aspek sistem kurban Perjanjian Lama untuk menerangkan kematian Kristus; Ia adalah domba yang disembelih (#/TB Yoh 1:29*; #/TB 1Pet 1:18); domba Paskah (1Kor 5:6-8; bnd. #/TB Kel 12:1-12*); kurban untuk dosa (#/TB Rom 8:3; bnd. #/TB Im 5:6); kurban Hari Pendamaian (#/TB Ibr 9:1*; bnd. #/TB Im 16:1-34); penggenapan kurban-kurban perjanjian (#/TB Mr 14:24*; bnd. #/TB Kel 24:8*). Tema dasar dari sistem kurban Perjanjian Lama adalah pendamaian: murka Allah dihindarkan karena ada pembayaran untuk kesalahan dan dosa umat-Nya. Unsur dasar lain lagi dari karya Kristus yang terdapat di sini adalah penggantian. Segi ini tak terelakkan lagi kalau konteks Perjanjian Lama tetap menjadi perhatian. Kematian binatang yang bersih secara keagamaan (ini yang dimaksudkan dengan pertumpahan darah) sebenarnya bersifat menggantikan; binatang mati sebagai ganti dari pemberi kurban yang bersalah (#/TB Im 1:1-5:19; 16:1-34*). Penggantian juga merupakan inti pelayanan hamba Tuhan (#/TB Yes 53:4-6,10-12*). Begitu juga ketika Kristus menumpahkan darah-Nya di kayu salib, kematian-Nya adalah kematian pengganti ”bagi kita” agar kita boleh luput dari kematian yang disebabkan oleh dosa (#/TB Mr 10:45; Yoh 11:50-51; Rom 5:8; 1Kor 15:3; Gal 3:13*; #/TB 1Tim 2:6; Tit 2:14; 1Pet 2:21,24; 3:18*). Kadang-kadang ada desakan supaya konsep penggantian diubah menjadi perwakilan agar hubungan antara Kristus dan orang berdosa dalam pekerjaan pendamaian-Nya menjadi lebih nyata. Istilah ini dapat diterima, khususnya untuk mengungkapkan persekutuan orang Kristen dengan Dia dalam kematian dan kebangkitan-Nya (#/TB Rom 6:1-2; 2:20*; #/TB Kol 2:12; 3:1-2; 2Tim 2:11*); dan juga mencakup pemikiran tentang Kristus sebagai Adam terakhir (#/TB Rom 5:12-13; 1Kor 15:22*).Namun, dalam hal pendamaian penggunaan kata itu membawa dampak bahwa seorang wakil dicari dan diajukan oleh orang yang diwakilinya. Dalam hal ini kata perwakilan memancing pengertian yang salah karena manusia tidak mengajukan Kristus. Kita tak berdaya dan terhukum, ”tanpa Kristus ... dan tanpa Allah di dalam dunia” (#/TB Ef 2:12*). Karya-Nya sepenuhnya adalah karya anugerah. Ia bertindak demi kita dalam arti radikal bahwa Ia pergi ke tempat yang tidak sanggup kita tuju dan melakukan apa yang tak dapat kita buat. Jadi istilah satu-satunya yang dapat mengungkapkan unsur hakiki pendamaian adalah penggantian. Kiasan dramatis: penebusanPenebusan adalah istilah dengan dua tingkat pengertian. Kata ini sering dipakai sebagai padanan dari karya penyelamatan dan sering digabungkan dengan penciptaan (#/TB Mazm 19:2,14; Yes 43:14; Ibr 9:12*). Tetapi ada juga arti tepat yang berhubungan dengan perbudakan manusia kepada dosa (#/TB Yoh 8:34; Rom 7:14; 2Pet 2:19)dan Iblis (#/TB Ef 2:2; 1Yoh 5:19*). Allah dalam anugerah-Nya menebus manusia dari keadaannya yang tak berdaya. Penebusan mengandung arti pembebasan dengan membayar harga (#/TB Mazm 49:8; Yes 43:3; Mr 10:45; 1Pet 1:18*). Ada beberapa contoh dalam Perjanjian Lama. #/TB Keluaran 21:30* berbicara tentang menebus hidup dengan membayar sejumlah uang. Tindakan penebusan yang utama dalam Perjanjian Lama adalah pembebasan Israel dari Mesir (#/TB Kel 6:6; 13:13*). Harga tebusan adalah kematian binatang-binatang yang dikurbankan oleh Israel. Dalam Perjanjian Baru, perhambaan kepada dosa dan kejahatan diungkapkan oleh Yesus: “setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa” (#/TB Yoh 8:34*). Harga tebusan dosa adalah kematian Kristus sendiri: ”oleh darahNya kita beroleh penebusan” (#/TB Ef 1:7*), “penebusan dalam Kristus Yesus... jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya” (#/TB Rom 3:24-25*). Ayat terakhir ini menempa dengan sempurna ketiga bentuk penyelamatan, yaitu pembenaran, pendamaian dan penebusan. Orang pernah ragu-ragu tentang harga tebusan. Mengapa Allah harus membayarnya? Dan kepada siapa? Ada orang yang menghindari kesulitan ini dengan menciutkan arti kata penebusan menjadi sinonim pembebasan. Ini tidak memadai dan membingungkan. Penebusan yang dipaparkan Alkitab sebagai salah satu segi keselamatan, dicapai Yesus dengan pengurbanan diri di bukit Golgota. Makna gagasan harga tebusan itu adalah bahwa keselamatan itu mahal harganya. Allah tidak dapat membebaskan manusia dengan cara yang semena-mena. Ada bayaran, yang tidak kurang dari hidup Kristus, Allah yang menjadi manusia. c. Jabatan raja
Jabatan ini berakar dalam nubuat Perjanjian Lama mengenai takhta dan kerajaan Daud yang berkesinambungan (#/TB 2Sam 7:12-13; Mazm 89:4-5*). Dengan demikian harapan akan Mesias disebutkan dalam kata-kata agung (#/TB Yes 9:5-6; Yer 30:8-9; Yeh 37:21-22; Za 9:9*). Perlunya kerajaan mesianik itu terletak dalam kepatuhan orang lemah dan durhaka kepada dosa dan kegelapan, yang membuat manusia tak berdaya di bawah perintah dosa dan sekutu-sekutunya, kuasa iblis, kematian dan penghakiman (#/TB Luk 4:6; Rom 5:17-18; 7:14-24; Ef 2:1 dst.; #/TB 1Yoh 5:19*). Pada saat kelahiran-Nya Yesus disambut sebagai yang memenuhi harapan Perjanjian Lama ini (#/TB Mat 1:1; 2:2; Luk 1:31*). Ia adalah Raja yang datang untuk mengembalikan keberuntungan umat Allah dan memberlakukan hukum Allah di atas dunia. Gelar ini erat hubungannya dengan ”Tuhan”. Yesus enggan menerimanya karena takut orang-orang di sekeliling-Nya akan salah mengerti (#/TB Yoh 6:14; Kis 1:6*). Tetapi gagasan itu tersirat dalam gagasan sentral dari ajaran-Nya, yaitu kerajaan Allah yang sudah dekat karena Ia sendiri sudah datang (#/TB Mr 1:15; 12:34; Luk 17:21*). Masuknya ke Yerusalem dalam suasana kemenangan (”Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja”, #/TB Luk 19:38) dan pengadilan-Nya (#/TB Mr 14:61; Yoh 18:33-37; 19:14-22*)memberi kesaksian mengenai penggenapan peranan-Nya sebagai Mesias, dan bagian Perjanjian Baru yang kemudian menggarisbawahi hal ini (#/TB Kis 17:7*; #/TB 1Tim 6:15; Wahy 17:14*). Peranan Yesus sebagai raja terkait secara penuh arti dengan bukit Golgota karena di sana Ia bergumul dengan kuasa-kuasa kegelapan yang memperbudak (#/TB Yoh 12:31; Kol 2:14*). Kebangkitan memastikan kemenangan-Nya dan mengumumkan-Nya sebagai ”Anak Allah yang berkuasa” (#/TB Rom 1:4) serta Raja dan Tuhan atas segala sesuatu (#/TB Mat 28:18*; #/TB Kis 2:33; 7:55; Wahy 1:5*). Tugas raja ini berkaitan dengan tiga peristiwa khusus dalam misi Yesus: kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya dan kedatangan-Nya kembali dalam kemegahan. Ketiganya bersama-sama menjadi puncak karya-Nya. KebangkitanKami telah mengomentari kebangkitan dalam hubungannya dengan pribadi Tuhan Yesus. Di sini kita akan menyelidiki dampaknya bagi pekerjaan-Nya. Kebangkitan menggenapi karya keimaman-Nya. Perantaraan Kristus sebagai Imam meliputi hal menanggung hukum dan murka Allah yang kudus di kayu salib, supaya kita dibenarkan, diperdamaikan dengan Allah dan dibebaskan dari dosa. Dengan membangkitkan-Nya, sesungguhnya Allah Bapa mengucapkan ”Amin” ilahi atas karya keimaman Anak-Nya (#/TB 2Kor 1:20*). Karya itu dengan jelas dikatakan efektif; pendamaian nyata tercapai dan karena itu pembenaran dan kebebasan benar-benar diberikan kepada orang berdosa (#/TB Rom 4:25*). Selain itu, di dalam Kristus yang sudah bangkit itu, kemanusiaan darah daging yang kita miliki, dipelihara dan ditegaskan di hadapan Allah, terlepas dari kutukan, murka dan segala serangan kejahatan. Manusia sekarang berdiri di luar jangkauan penghakiman. Di hadapan semua serangan hati nurani atau iblis, kita dapat menjawab dengan menantang: ”Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang akan membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit” (#/TB Rom 8:33-34*). Kebangkitan mengungkapkan karya-Nya sebagai raja. Di kayu salib, Yesus menghadapi musuh turun-temurun dari manusia yang malang, yaitu dosa, kematian dan kuasa-kuasa kegelapan. Kebangkitan-Nya memberitakan kemenangan-Nya atas ketiga-tiganya. Ia telah menaklukkan dosa (#/TB Ibr 9:28), pemerintah dan penguasa kegelapan (#/TB Ef 1:21*) serta memusnahkan kematian (#/TB 2Tim 1:10*). Yesus yang bangkit adalah bukti kemenangan Allah di dalam Dia atas segala tantangan terhadap ketuhanan dan pemerintahan-Nya, dan oleh sebab itu menunjukkan peneguhan kerajaan Allah. Kebangkitan mewujudkan janji akan pemerintahan-Nya nanti. Ketika para murid bertemu dengan Yesus yang bangkit, mereka benar-benar menatap akhir zaman: kemenangan akhir dari Allah berupa ciptaan surga dan dunia baru yang adil (#/TB Yes 65:17-25; 2Pet 3:13; Wahy 21:1-22:21*). Paulus menghubungkan kemenangan Kristus dalam kebangkitan-Nya dengan kemenangan-Nya yang terakhir serta pemerintahan-Nya yang akan nyata kelak atas segala sesuatu (#/TB 1Kor 15:20- 25*).Yesus yang bangkit adalah ”buah sulung” panen orang-orang mati yang akan terjadi pada waktu Dia kembali dalam kemuliaan (lihat di bawah: ps 33). KenaikanJabatan Kristus sebagai raja nyata dalam kenaikan-Nya untuk duduk di sebelah kanan Allah. Kenaikan memberitakan kemenangan Kristus. Ia ada ”di sebelah kanan Allah...sesudah segala malaikat, kuasa dan kekuatan ditaklukkan kepadaNya” (#/TB 1Pet 3:22*). Ia ”dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat” (#/TB Ibr 2:9) dan Allah ”sangat meninggikan Dia” (#/TB Fili 2:9*). ”Tatkala Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan” (#/TB Ef 4:8*). Oleh kenaikan, Yesus diberi pemerintahan berdaulat atas jagat raya, yang dalam Perjanjian Lama dikatakan adalah milik Allah (#/TB Mazm 8:1-9; 115:1-18; Yes 40:28*). Orang dari Nazaret sekarang menjadi Tuhan atas segala sesuatu (#/TB 1Kor 12:3; Ef 1:22*). Pemerintahan-Nya tidak terbatas pada kalangan gereja, begitu pula tidak ditangguhkan sampai Ia kembali pada akhir zaman. Perjanjian Baru dengan jelas dan tegas memberitakan bahwa kini Kristus adalah Tuhan dan Raja atas segala sesuatu. Kenaikan menetapkan keadaan bagi pelayanan gereja. Kita hidup, bekerja, berdoa, percaya, bersaksi, beribadah, tunduk dan mati di bawah Tuhan yang sekarang ditinggikan sebagai kepala di bumi dan di surga. Inilah rahasia kegairahan yang tak terpendam dan optimisme yang meluap-luap dari orang Kristen mula-mula pada waktu menghadapi penganiayaan dan pertentangan keras. Inilah rahasia ketenteramanan gereja ditengah-tengah dunia yang bergolak dan bekalnya untuk pelayanan yang efektif. Yesus sebagai Kepala mengirimkan Roh-Nya kepada gereja seperti arus hidup yang mengalir dari kepala yang diagungkan kepada anggota-anggota badan yang terpaut di dunia dan dengan demikian Dia menyampaikan kuasa kemenangan-Nya kepada mereka (lihat di bawah: bagian E). Ini juga memberi semangat besar bagi gereja dalam hubungannya dengan pelayanan Kristus sebagai Imam Besar. Kristus mengenakan kemanusiaan-Nya ketika naik menuju Allah. Karena itu, Ia dapat memihak kepada kita dengan penuh pengertian dan dalam kemurahan hati melayani umat-Nya dalam berbagai ragam penderitaan dan kebutuhan mereka (#/TB Ibr 4:14-16*). Pelayanan ini juga melibatkan doa syafaat (#/TB Rom 8:34; Ibr 7:25*), dalam hal ini Yesus bertindak sebagai perantara kita di hadapan Allah (#/TB 1Yoh 2:1*). Kenaikan menjamin pemerintahan akhir Kristus dalam kemuliaan. Dengan kenaikan-Nya Ia mengambil alih kekuasaan atas semesta alam. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi penggenapan kemenangan-Nya. Allah ”telah menetapkan suatu hari” (#/TB Kis 17:31*; bnd. #/TB Kis 13:32*); Kristus ditakdirkan untuk memerintah ”sampai Allah meletakkan semua musuhNya di bawah kakiNya” (#/TB 1Kor 15:25*). Kedatangan Kristus yang kedua kaliAspek ini dari jabatan raja akan dibahas secara lengkap dalam Bagian G di bawah, dan di sini perlu sekadar disebutkan saja. Pembahasan tentang karya Kristus yang tidak mengikutsertakan segi mendatang (keakanan) tidak memadai karena pemerintahan Kristus yang akan datang dalam kemuliaan adalah perspektif yang harus menjadi titik tolak segala sesuatu. Pada saat itu Ia akan menghimpun segala sesuatu di bawah Dia dan memerintah secara terbuka atas jagat raya yang diselamatkan sepenuhnya (#/TB Rom 8:21-23*). Di sinilah ungkapan tertinggi dari jabatan kerajaan Kristus, karena pada kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan Dia akan diungkapkan sebagai Raja dan kepala dari semua, Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan Bahan AlkitabPendamaian dalam Perjanjian Lama: #/TB Kejadian 11:31-12:7; 15:17-18; Keluaran 3:6-10; 12:1-27*; #/TB Imamat 16:1-23; Mazmur 51:1-19; Yesaya 52:13-53:12; Yeremia 31:31-32*; #/TB Yehezkiel 37:26; Mikha 6:6-8*. Kristus sebagai nabi: #/TB Bilangan 18:15-18; Yesaya 16:1-2*; #/TB Matius 7:29; 11:9-10; Markus 1:14; 6:4; Lukas 7:16; 13:33*; #/TB Yohanes 1:1-14; 7:15-18; 13:13-14; Kisah 3:22-23; 7:37; 1Korintus 1:30*; #/TB Kolose 2:3*. Kristus sebagai imam: #/TB Mazmur 110:4*; #/TB Matius 8:16-17; 12:18-21; Lukas 4:18; Roma 8:32*; Ibrani 4:14-15:10; 7:23-28; 9:11-14,23-26; 10:11-18. Pembenaran: #/TB Mazmur 32:2*; #/TB Lukas 18:9-14; Roma 3:21-4:25; 1Korintus 1:30; 6:11*; #/TB 2Korintus 5:21; Galatia 2:15-3:29; Filipi 3:9; Titus 3:7*. Pendamaian: #/TB Yohanes 1:29-30; 3:16,36; Roma 1:16-18; 3:25; 5:1,8-11; 8:3; 15:3*; #/TB 2Korintus 5:18-20; Galatia 3:13; Efesus 2:14,16; 5:2; Kolose 1:19* dst.; #/TB 1Petrus 3:18; 1Yohanes 2:2; 4:9-10; Wahyu 5:6-12*. Penebusan: #/TB Keluaran 6:6; 13:13-14; Ayub 19:25; Mazmur 49:8-9*; #/TB Markus 10:45; Lukas 1:68; Yohanes 8:34-36; Roma 3:24-26; 6:17-18*; #/TB 1Korintus 1:30; 6:19-20; Efesus 1:7; Kolose 1:14; 1Petrus 1:18-19*; #/TB Wahyu 5:9*. Kristus sebagai raja: #/TB 2Samuel 7:12-13; Mazmur 2:1-12; 89:4-5; Yesaya 9:5-6*; #/TB Yehezkiel 37:21-22; Zakharia 9:9*; #/TB Matius 2:2; 28:18; Lukas 1:32-33; 17:21; 19:38*; #/TB Yohanes 6:14-15; 12:31; 18:33-37; 19:14-22; Kisah 2:33-34; Roma 1:4*; #/TB 1Korintus 15:24-25; Efesus 1:20-22; Filipi 2:9-10; Kolose 2:10*; #/TB Wahyu 17:14*.
Bahan diskusi/penelitian1. Pokok-pokok mana yang menunjukkan kesinambungan ajaran pendamaian dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru dan pokok mana yang menunjukkan ketidaksinambungan? 2. Apa yang dimaksudkan dengan jabatan Kristus sebagai nabi? Baca #/TB Yohanes 14:6 dan #/TB Kolose 2:3*! Selidikilah dampak pernyataan-pernyataan Alkitab ini berkaitan dengan ( a) kemuridan Kristen, ( b) ajaran Kristen, ( c) penyelidikan orang dalam bidang kesenian dan sosial, ( d) bentuk-bentuk organisasi politik dan sosial, ( e) kebudayaan manusia, dan ( f) rumah dan kehidupan keluarga. 3. Mengapa Kristus menjadi ”Imam Besar Agung” kita? Apa dampaknya bagi
( a) pembersihan dari dosa, ( b) perasaan batin bersalah, ( c) godaan dan pencobaan, ( d) ibadah Kristen, dan ( e) persekutuan Kristen?
Cari dan pelajari ayat-ayat tentang pokok-pokok ini dalam Surat Ibrani. 4. Berikan definisi pembenaran, disokong dengan ayat-ayat Alkitab. Mengapa Allah tidak dapat “acuh tak acuh” terhadap dosa kita? 5. Apa yang dimaksudkan dengan “kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada orang percaya”, dan apa dampaknya bagi sikap orang Kristen terhadap kegagalan? 6. Bagaimana ajaran “orang pengganti yang dihukum” dapat dipertahankan terhadap pendapat bahwa ajaran itu tidak adil? 7. Apa yang dimaksudkan dengan pendamaian? Sebutkan ayat-ayat Alkitab yang menunjang jawaban Anda. 8. Apa makna
( a) penggantian dan ( b) penebusan dalam pendamaian?
Sebutkan ayat-ayat Alkitab yang mendukung kesimpulan Anda. 9. Apa yang dimaksudkan dengan jabatan Kristus sebagai raja? Bagaimana kebangkitan dan kenaikan terkait dengan pengertian tentang pendamaian? Selidiki dampaknya bagi ( a) gereja dan misinya, ( b) kehidupan Kristen serta pekabaran Injil, ( c) keterlibatan Kristen dalam masyarakat, dan ( d) pengharapan Kristen. 10. Apa titik pertemuan antara inkarnasi dan pendamaian?
Kepustakaan (18) Bruce, F. F. 1979 What the Bible Says About the Work of Christ (Kingsway). Bannerman, J. 1961 The Doctrine of Justification (Banner of Truth).Colquhoun, F. 1962 The Meaning of Justification (IVP).Davies, R. E. 1970 “Christ in our Place”_, Tyndale Bulletin_ 21: hlm. 71-91. Denney, J. 1951 The Death of Christ (Tyndale Press). Forsyth, P. T. 1948 The Cruciality of the Cross (Independent Press). Green, M. 1965 The Meaning of Salvation (Hodder). Guillebaud, H. E. 1937 Wahy the Cross? (IVF). Lloyd-Jones, D. M. 1970 Roma 3:20-4:25—Atonement and Justification (Banner of Truth). Marshall, I. H. 1969 The Work of Christ (Paternoster). Morris, L. 1955 The Apostolic Preaching of the Cross (Tyndale Press). 1965 The Cross in the New Testament (Paternoster). Murray, J. 1961 Redemption Accomplished and Applied (Banner of Truth). Packer, J. I. 1974 “What Did the Cross Achieve?” Tyndale Bulletin 25: hlm. 3-45.
19. PENDAMAIAN II: PERSPEKTIF SEJARAH
Kami hanya dapat memberi secara garis besar beberapa pandangan penting tentang bagaimana Kristus mengerjakan penebusan bagi umat-Nya. Sebagian pandangan ini menekankan pendamaian yang dicapai secara objektif oleh Kristus sedangkan yang lain menekankan tanggapan subjektif dari manusia pada apa yang dilakukan oleh Kristus. 19.1 Tafsiran-tafsiran objektif
a. Anselmus dan teori pemuasan
Anselmus (1033-1109) berusaha menunjukkan bahwa Allah tidak dapat begitu saja melupakan dosa. Dosa itu telah merampas hormat Allah sehingga Ia harus menghukumnya (yang akan menghalangi tujuan-Nya), atau menerima pemuasan yang memadai untuk pencemaran hormat-Nya. Namun manusia tidak pernah mampu memberi pemuasan yang diperlukan, sekalipun dia hidup dengan sempurna dari saat ini sampai mati. Sebabnya ialah karena pencemaran hormat Allah pada waktu dahulu masih tetap ada. Biarpun begitu, manusialah yang harus memberi pemuasan karena ia yang telah melakukan pelanggaran. Dilemanya yaitu, hanya Allah yang sanggup memberikan pemuasan itu dan hanya manusia yang harus mempersembahkannya. Penyelesaian ada dalam tangan Dia yang adalah Allah dan juga manusia. Karena hidupnya sempurna, Kristus tidak perlu mati. Sebab itu, kematian-Nya adalah kebajikan yang tak terhingga nilainya, yang tersedia bagi manusia sebagai jalan untuk mengadakan pemuasan bagi dosa karena Dia. Tetapi Anselmus tidak menjelaskan cara bagaimana kita dapat memperoleh kebajikan tersebut. Ada segi-segi tertentu dari teori ini yang terlalu dicari-cari seperti mengukur kebajikan, atau pendapat bahwa Allah dapat menghadapi dilema. Kelemahan lain adalah pandangan bahwa penghukuman ialah alternatif dari pemuasan dan bukan cara pemuasan yang paling dasar; keterangan yang kurang memadai mengenai kasih ilahi sebagai dasar dan motif pendamaian; dan tidak adanya ajaran mengenai persekutuan dengan Kristus berdasarkan iman sebagai jalan menerima berkat pendamaian. Namun ada juga kekuatannya. Anselmus berusaha mendasarkan pendamaian di dalam sifat moral Allah, ia sangat merasakan kemegahan dan ketuhanan Allah yang menentukan cara perlakuan-Nya terhadap makhluk-Nya, ia mengakui keseriusan satu dosa sekalipun, dan sadar akan pentingnya salib bagi penebusan umat manusia. b. Luther dan teori penghukuman
Martin Luther (1483-1546) dikenal sebagai salah satu tokoh sejarah gereja yang besar. Seluruh kehidupannya menunjukkan kebutuhan yang teramat besar akan ajaran sejati mengenai pendamaian dan malapetaka yang akan menimpa gereja kalau hubungannya dengan Injil alkitabiah terputus. Sebagai biarawan ordo Augustinus, Luther bertahun-tahun begumul dengan masalah penyelamatan pribadinya. Ia berusaha dengan tekun mendapatkannya melalui berbagai upaya seperti doa, sakramen dan amal sebagaimana yang ditentukan oleh gereja saat itu. Baru ketika ia menggumuli Kitab Suci dan ajaran Paulus tentang pembenaran melalui iman dalam Kristus (#/TB Rom 1:17*), ia mulai mengerti dan merasa damai. Dia mengemukakan tiga slogan terkenal, yang menekankan pentingnya iman, anugerah dan Alkitab (_sola fide, sola gratia, sola Scriptura_). Keberaniannya mengakibatkan konfrontasi langsung dengan pimpinan gereja, yang mulai dengan protes terhadap perdagangan surat-surat penghapusan dosa dan kemudian menjadi perdebatan mengenai Injil sendiri. Umat Kristen terpecah belah tetapi timbullah pengertian yang diperbarui tentang Injil anugerah Allah. Dalam generasi berikut, Calvin mengembangkan ajaran Luther dan menguraikan teologi reformasi secara sistematis. Ia memandang dosa sebagai perbuatan melawan hukum moral yang pada akhirnya ada hubungannya dengan sifat kekal Allah. Pendamaian adalah perbuatan kasih Allah yang menebus, yang dalam Kristus telah menanggung sendiri hukuman dan penghakiman dosa; dan dengan demikian memperoleh pengampunan dari kesalahan serta pemberian kebenaran di hadapan Allah secara cuma-cuma, melalui iman kepada Kristus yang menanggung dosa itu. Dengan begitu alternatif Anselmus, hukum atau pemuasan, digabungkan menjadi satu, yaitu pendamaian oleh pemuasan hukum. Para reformis juga melawan bahaya objektivitas yang berlebihan dalam penafsiran karya Kristus. Luther, misalnya, menegaskan bahwa walaupun ”hanya iman membenarkan, namun iman tidak pernah berdiri sendiri” tetapi diikuti oleh kasih. Calvin memberi dasar teologis yang lebih lengkap pada pandangan ini dengan ajaran mengenai iman sebagai persatuan dengan Kristus melalui iman (lihat di bawah: ps 23). Kebenaran kita sepenuhnya merupakan kebenaran Kristus, yang diterapkan kepada orang percaya yang tidak menyumbangkan apa-apa. Namun orang yang percaya kepada Kristus dipersatukan dengan Dia, sehingga pembenaran terkait dan tak terpisahkan dari pengudusan. Umat Allah diperbarui secara moral oleh persatuan dengan Kristus melalui iman. 19.2 Tafsiran-tafsiran subjektif
Tafsiran ini hampir tidak menaruh perhatian pada karya Kristus dari segi penanganan kesalahan melalui salib, dan memusatkan perhatiannya pada dampak karya tersebut bagi manusia. Pandangan ini secara eksplisit atau implisit menyangkal karya objektif Kristus, maka sebenarnya kurang pantas menyebutnya pandangan Kristen sejati, namun penganut-penganutnya masih banyak. Pendekatan ini umumnya dianggap berasal dari Abelard. a. Abelard dan pandangan pengaruh moral
Bagi Abelard (1079-1142), Allah yang sepenuhnya adalah kasih tidak membutuhkan pengurbanan Kristus. Dosa bukanlah rintangan objektif antara manusia dan Allah, tetapi suatu keadaan pikiran subjektif, yang dapat diatasi dengan kasih yang dibangkitkan dalam hati orang berdosa oleh kematian Kristus. ”Penebusan adalah kasih yang mahabesar yang dihidupkan dalam diri kita oleh penderitaan Kristus”. Kasih yang dibangkitkan ini menebus sehingga memungkinkan orang untuk hidup dalam kepatuhan kepada Allah karena kasih kepada-Nya. Pandangan ini bermanfaat dalam mengingatkan orang bahwa rasa syukur dan terima kasih adalah respons yang pantas atas pendamaian yang dikerjakan Allah dalam Kristus, namun sebagai teori pendamaian pandangan ini sangat tidak memadai. Tidak disebut atas dasar apa orang berdosa dapat didamaikan dengan Allah; lagi pula kekudusan dan kemuliaan Allah serta gawatnya dosa di hadapan Dia praktis diabaikan, diganti dengan pemikiran yang agak sentimental tentang kasih-Nya yang menyebar pada segala sesuatu.
b. Schleiermacher dan pandangan mistik
Abelard menyibukkan diri dengan tanggapan moral kepada Kristus. Schleiermacher (1768-1834), dalam “Injil untuk manusia modern”, menaruh perhatiannya pada penyampaian kepada manusia semacam persekutuan mistik dengan Allah. Schleiermacher melihat Yesus sebagai manusia pola dasar, panutan, kepala spiritual dari ras, manusia sempurna yang keunikan dan kesempurnaan-Nya adalah kesadaran yang tak putus-putus tentang persatuan dengan Allah. Pendamaian berarti hal menyampaikan kepada orang berdosa pengalaman batin tentang kesadaran akan Allah seperti yang dimiliki Kristus sendiri. ”Sang penebus mengangkat orang percaya ke dalam kuasa kesadaran akan Allah, dan inilah karya penebusan-Nya”. Pandangan ini pun gagal total untuk memperhitungkan gawatnya dosa dan kesalahan di hadapan Allah yang tercakup di dalamnya. Pandangan ini tidak menghargai kesaksian Alkitab yang jelas mengenai Yesus, bukan saja sebagai manusia sempurna melainkan juga sebagai Allah yang menjadi manusia, dan dengan demikian mengurangi peranan-Nya sebagai perantara. Lagi pula, pandangan Schleiermacher ini mengesampingkan seluruh kesaksian Alkitab tentang kematian Kristus sebagai perbuatan yang menebus orang berdosa sekali untuk selama-selamanya.Sama seperti pandangan mengenai pengaruh moral, sebenarnya pandangan ini bukanlah teori pendamaian, tetapi usaha untuk menjelaskan unsur-unsur psikologis tertentu dalam pengalaman manusia mengenai Kristus. 19.3 Tafsiran-tafsiran modern
a. Aulen dan pandangan klasik
Aulen (1879-1978), dalam bukunya Christus Victor, melihat kemenangan atas dosa dan Iblis sebagai inti karya Kristus. Kristus sebagai pemenang membebaskan manusia dari perbudakan dengan kemenangan-Nya di atas salib. Dalam arti tertentu Aulen hanya menerangkan gagasan Alkitab tentang penebusan. Tetapi ia membuat gagasan ini menjadi keterangan utama mengenai pendamaian dan berusaha menunjukkan bahwa gagasan ini pula yang merupakan pokok pemikiran mengenai pendamaian sepanjang sejarah gereja mula-mula; sebab itu diberi nama ”pandangan klasik”. Pandangan ini sederhana dan dinamis dibandingkan dengan pendekatan lain yang agak abstrak dan bersifat hukum. Kesadarannya akan realitas keadaan manusia yang terikat pada dosa dan kuasa-kuasa jahat juga berhubungan dengan kesadaran manusia masa kini. Pandangan ini tidak dapat dikatakan tidak alkitabiah karena penebusan dari perbudakan pada dosa sering dibicarakan dalam Alkitab. Tetapi kekurangannya terdapat dalam pernyataannya sebagai keterangan eksklusif. Dosa tidak digambarkan dalam Alkitab hanya sebagai perbudakan; dosa juga mencakup ketidaktaatan yang membuat manusia jahat dan berada di bawah kutukan, dan kenajisan moral yang membuatnya objek dari amarah ilahi. Dengan kata lain, keterangan tentang pendamaian harus juga meliputi kesalahan masa lampau. b. Tafsiran politis
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan cukup besar untuk menafsirkan karya Kristus dari segi sosial politik. Kecenderungan ini sebagian bersumber dari teologi radikal tahun enam pulanan: pengertian mengenai Allah yang ”jauh di sana”, yang benar-benar secara objektif dan dikenal melalui penyataan, digeser oleh pengertian mengenai Allah yang hadir “di sini”, yang terlibat dalam proses kehidupan manusia dan dijumpai dalam persoalan hidup sehari-sehari. Pandangan tersebut dikembangkan dalam Dewan gereja-gereja sedunia, yang perhatiannya semakin berkembang untuk menafsirkan misi gereja dalam pengertian sosial politik, yang mencapai puncaknya pada pertemuan Uppsala pada tahun 1968. Di sana tujuan misi dinyatakan sebagai ”humanisasi” bukan penginjilan. Namun sumber utama tafsiran politis adalah kenyataan sosial dan budaya, seperti kemiskinan yang berurat berakar, ketidakadilan, ketergantungan ekonomis dan kegagalan gereja dalam menghadapi masalah-masalah itu. Kunci pandangan teologis ini adalah istilah Marxis, praksis, yang menegaskan bahwa teori dan praktek tak terpisahkan. Menurut pandangan ini, pernyataan teologis pasti bersifat ideologis dan mencerminkan tanggung jawab sosial politik dari sang teolog. Oleh sebab itu, teologi harus mulai dari kenyataan sosial politik dan keterlibatan gereja dan teolog Kristen di dalamnya, sebagaimana dimengerti dalam ilmu pengetahuan sosial. Dari analisis praksis akan berkembang suatu pengertian Alkitab dan tradisi gereja yang bersifat baru. Unsur kedua dalam tafsiran politis adalah gagasan bahwa kerajaan Allah dapat diartikan sebagai orde sosial dan politik yang ideal, yang merupakan tujuan yang dijanjikan dalam rencana Allah bagi dunia. Orde yang akan datang ini menghakimi semua sistem pemerintahan dan tatanan sosial yang tidak adil akhir-akhir ini dan mendorong semua upaya untuk membentuk kembali kehidupan manusia. Lalu bagaimana dengan karya Kristus? Ini ditafsirkan sesuai dengan pandangan ”klasik” mengenai pendamaian. Kristus mewujudkan rencana Allah bagi dunia, dalam hidup dan kematian Dia menghadapi kuasa-kuasa kejahatan dalam alam semesta, dan dengan demikian menjanjikan orde baru pada masa mendatang. Kuasa-kuasa yang diatasi-Nya bukan dosa dan kejahatan pribadi tetapi terlebih ”dunia” dalam pengertian tatanan politik dan sosial, khususnya kuasa-kuasa reaksioner seperti ketidakadilan, penindasan, ketidaksamaan hak, prasangka dan sebagainya. Teologi politis, khususnya teologi pembebasan (suatu gerakan terkait yang berasal dari Amerika Latin), masih berkembang dan rupanya sudah mulai mengubah penekanan tertentu. Walaupun terlalu dini untuk memperkirakan bentuk akhirnya, namun perlu diadakan penilaian sementara. Secara positif, tafsiran karya Kristus ini setidaknya menyadarkan orang akan bahaya bahwa ekonomi dan politik dapat mempengaruhi cara orang mendengar Injil dan memberi respons kepada firman Allah. Tentu saja gereja dan individu-individu Kristen sering gagal atau jelas menolak menerapkan penilaian kritis Alkitab serta hukum-hukum Allahnya yang kudus, pada dasar politik dan ekonomi dalam masyarakat mereka sendiri. Para ahli teologi politik menggemakan ajakan Yakobus, yang memanggil jemaat untuk mengungkapkan iman dengan “karya” yang relevan bagi dunia dan sesama manusia masa kini (lihat #/TB Yak 2:1-26*). Alkitab mengajarkan bahwa Allah memperhatikan orang miskin dan yang tertindas secara khusus (#/TB 1Sam 2:8; Mazm 35:10; 113:7; 140:12; Yes 10:2; 41:17; Am 5:12*; #/TB Za 7:9; Mat 11:5; Luk 1:46-55; 6:20; Gal 2:10; Yak 2:3*). Karena itu, kita harus peka sekali, sebagaimana Allah juga amat peka, terhadap jeritan orang sengsara dan tertindas. Tetapi walaupun ada segi positifnya, ada juga beberapa pertanyaan penting. Seharusnya kita tidak berusaha mengerti tentang apa yang benar dengan cara mulai dari pengalaman manusia tetapi mulai dari Allah sebagaimana Ia menyatakan diri dalam Firman-Nya yang menjelma dan yang tertulis. Kita tidak tahu apa yang benar tentang manusia kecuali jika Allah memberitahukannya kepada kita. Jika prinsip dasar ini ditinggalkan, maka sejarah Kristen selama berabad-abad menyaksikan bahwa mau tidak mau orang tidak mengerti lagi kodrat manusia, dan kembali lagi harus bertumpu pada wawasan sendiri yang menyimpang dan yang jatuh. Dalam pandangannya mengenai kebutuhan manusia, teologi politik sangat tidak memadai. Keadaan manusia yang pelik tidak dapat dianggap sebagai pengasingan sosial dan politik saja. Memang sukar untuk memastikan penyebab utama pengasingan itu dan cara penanganan sosial dan politik yang tepat, karena ini pun sering merupakan masalah yang subjektif. Tetapi kebutuhan manusia yang paling dalam jauh lebih berat daripada kehilangan secara ekonomis dan politik. Seperti diajarkan oleh Yesus sendiri, kebutuhan manusia bukan mengenai tubuh tetapi jiwa (#/TB Luk 12:4*), murka Allah adalah terhadap dosa kita. Teologi politis tidak menyinggung dimensi ini. Jika mengacu pada pembebasan manusia dari dosa, teologi ini cenderung kepada ajaran universalisme: semua orang sudah diselamatkan dari dosa sehingga masalah kedudukan kekal di hadapan Allah dapat dikesampingkan dan orang bebas untuk memusatkan perhatian pada keselamatan sosial politik di dunia ini. Pandangan ini salah sama sekali. Kerajaan Allah dikaitkan dengan orang tunasosial dalam beberapa ucapan Yesus, namun jelas Ia tidak menafsirkannya menurut pemikiran sosial politik. Gerakan fanatik Zelot berusaha menggulingkan kekuasaan penindas Roma dengan kekerasan. Jalan ini ditolak sama sekali oleh Yesus. Dia menafsirkan kerajaan Allah pada pokoknya secara moral dan spiritual dengan menekankan iman dan pengampunan serta pertobatan kepada Allah (#/TB Mat 6:12 dst.; #/TB Mat 9:2* dst., #/TB Mat 22:1-46; 11:20; 15:28; Luk 7:47-48; 13:3; 18:42*). Hal ini dikuatkan oleh arti penting yang Ia berikan pada kematian-Nya yang segera akan berlangsung dan cara menafsirkannya (sebagai tebusan, perjanjian baru, pengurbanan diri bagi kawanan domba Allah, dsb.). Ia juga menghubungkan kerajaan Allah dengan Roh Kudus (#/TB Mat 12:28; Yoh 3:3-8*). Arah perkembangan ini berlangsung dalam ajaran para rasul. Kerajaan Allah dimasuki melalui Roh Kudus dalam konteks iman pribadi dalam Kristus (#/TB Rom 14:17; Gal 5:21-22; Kol 1:13*). Tidak ada kerajaan Allah kecuali yang dimasuki melalui penyerahan diri kepada Kristus sang raja (#/TB Kis 8:12; 20:20-25; 28:23; 1Kor 6:9-11; 15:24; Ef 5:5; 2Pet 1:11*; #/TB Wahy 1:9; 11:15*). Perhatian Allah secara khusus bagi orang miskin serta penghakiman-Nya terhadap penindas ditekankan dalam Alkitab. Namun, jangan sampai kita terlalu menitikberatkan hal ini dan membahayakan salah satu kemuliaan Injil, yakni daya tariknya yang universal. Kemurahan Allah ditawarkan kepada semua orang, terlepas dari sejarah moral, status ekonomi atau tanggung jawab politik mereka. Manifestasi kebejatan moral manusia dapat lebih besar dalam kelompok sosial tertentu dibandingkan dengan kelompok sosial lain, sehingga dampak Injil dan tuntutan etisnya mungkin lebih tajam bagi suatu kelompok daripada bagi kelom-pok lain. Namun kita tidak boleh menutup-nutupi kenyataan bahwa Allah juga mengasihi si penindas, bahwa Kristus juga mati untuk orang kaya dan, sebaliknya, bahwa yang miskin dan yang tertindas juga harus menghadapi penghakiman Allah kelak kalau mereka tidak bertobat. Akhirnya, tidak adanya ajaran tentang kelahiran kembali dalam teologi politik ini berarti bahwa janji kebebasan sangat meragukan, juga pada tingkat sosial. Memang setiap kesempatan untuk memperbaiki keadaan sosial seharusnya tidak disia-siakan, namun pada akhirnya hanya kelahiran kembali oleh Roh Kudus dalam konteks iman pribadi terhadap Injil Kristus yang dapat mematahkan kuasa dosa dan egoisme yang sudah berurat berakar dalam hati manusia. Dan hanya kelahiran baru itulah yang dapat menghasilkan orang yang menjadi bahan baku bagi masyarakat yang benar-benar bebas. Bahan diskusi/penelitian1. Bahaslah hubungan antara unsur subjektif dan objektif dalam teori tentang pendamaian. Mengapa teori objektif itu sangat dibutuhkan? 2. ”Kebenaran, tetapi bukan segala kebenaran”. Apakah ini penilaian yang wajar terhadap teori ”klasik” mengenai pendamaian? 3. Bagaimana penilaian Anda terhadap segi positif dan negatif dari teologi politik dan teologi pembebasan mengenai karya Kristus? 4. Ciri-ciri apa yang sangat diperlukan bagi suatu ”teori pendamaian masa kini”?
Kepustakaan (19) Anselm_ Cur Deus Homo_. Aulen, G. 1970 Christus Victor (SPCK). Berkouwer, G. C. 1965 The Work of Christ (Eerdmans). Cave, S. 1937 The Doctrine of the Work of Christ (ULP). Denney, J. 1918 The Christian Doctrine of Reconciliation (Hodder & Stoughton). Kirk, J. A. 1980 Theology Encounters Revolution (IVP). Wells, D. F. 1978 The Search for Salvation (IVP).
20. PENERAPAN
20.1 Pribadi Kristus
Kenyataan bahwa Allah menjadi manusia membawa dampak besar bagi seluruh sikap kita terhadap hidup di dunia. a. Penegasan
“Firman itu menjadi manusia” (#/TB Yoh 1:14*). Allah telah datang langsung kepada manusia dalam diri Yesus dan mengambil darah dan daging, ruang dan waktu dalam persatuan dengan diri-Nya. Hal ini menegaskan kembali pentingnya dunia dan kehidupan manusia, yang sebenarnya sudah jelas dari ajaran tentang Allah sebagai pencipta (lihat di atas: ps 8 & 10.2). Kendatipun kuasa-kuasa kegelapan berusaha merampas kekuasaan, tatanan bumi tetap di tangan Allah sehingga Ia memainkan peranan nyata di dalamnya. Sebab itu, dengan kedatangan Yesus, Allah menguduskan hidup dalam daging. Perhatian dan keprihatinan-Nya tidak terbatas pada masalah batin dan spiritual, karena hal lahir dan material juga diikutsertakan dalam persekutuan dengan Dia dalam Kristus. Melalui penjelmaan Dia memegang seluruh hidup manusia. Jadi rumah tangga, pekerjaan, persahabatan, kuliah, kehidupan bermasyarakat, kebudayaan, waktu senggang, segala bagian hidup manusia dituntut oleh Dia dan dapat didedikasikan kepada Dia. b. Merendahkan diri
“Kristus Yesus mengosongkan diriNya” (#/TB Fili 2:7*). Dengan menjadi manusia Allah sendiri telah merendahkan diri untuk melayani kebutuhan makhluk ciptaan-Nya (#/TB Yoh 13:1-16*); Allah menjadi hamba! Dampak kejadian yang menakjubkan ini sangat jauh pengaruhnya dan penuh tantangan bagi murid-murid Kristus. Kita harus menunjukkan kerendahan hati secara mendasar yang menolak kepentingan diri dan kecongkakan yang sia-sia; perhatian dan rasa iba sejati terhadap orang lain dan kepentingannya dengan menganggap mereka lebih baik dari kita (#/TB Fili 2:1-5*). Singkatnya, tidak kurang dari pikiran dan perasaan Yesus dalam diri kita. c. Teladan
”Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu” (#/TB Yoh 13:15*). Seluruh kehidupan Tuhan Yesus yang dilukiskan dalam kitab-kitab Injil merupakan teladan untuk kita. Kita harus seperti Dia dalam memberi perhatian tulus ikhlas untuk memuliakan nama Bapa (#/TB Yoh 8:49-50*); meniru Dia dalam kehidupan yang selalu berhubungan erat dengan Bapa (#/TB Mr 1:35), kepatuhan tak terputus-putus (#/TB Yoh 8:29*), perhatian terhadap kebutuhan manusia (#/TB Mat 9:36*) dan rasa tanggung jawab untuk memberitakan Injil (#/TB Mr 1:38*). Penelaahan dan renungan kita tentang Alkitab seharusnya meliputi ayat-ayat dari kitab-kitab Injil secara teratur, supaya kita setiap hari sengaja mengarahkan pandangan kepada Dia. ”Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus ... Ingatlah selalu akan Dia” (#/TB Ibr 12:2-3*). 20.2 Kematian Kristus
Inilah pusat kepercayaan dan pengertian Kristen, pemberitaan dan kehidupan, pelayanan dan kematian. Ada beberapa dampak yang seharusnya nampak dalam kehidupan kita. a. Takjub
”Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku” (#/TB Gal 2:20*).Memang salib Kristus lebih daripada teori pendamaian untuk dikuasai dengan pikiran, meskipun semakin besar persesuaian antara pengertian kita mengenai salib dan ajaran Alkitab, semakin besar rasa takjub bila kita merenungkannya. Sepanjang abad, dalam pengalaman manusia tiada yang begitu mendatangkan rasa takjub, kasih dan pujian seperti perbuatan di atas Bukit Golgota. Dan memang begitu seharusnya, sebab sesungguhnya tiada sesuatu pun sebanding dengan itu. Inilah tempat berdiam, menutup mulut dan menanggalkan sepatu, inilah tempat Anak Allah disalibkan bagi kita. b. Tantangan
”Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita” (#/TB 1Kor 15:3*). Injil pendamaian melalui kematian Kristus telah diuraikan di atas. Dalam penerapan, mau tidak mau pembaca harus bertanya, apakah kematian Kristus telah membawa pendamaian bagi Anda? Apakah Anda melihat dosa dan kesalahan Anda diletakkan di pundak Kristus di Golgota, di sanalah diadili dan dihukum dalam Dia? Apakah Anda sudah berseru untuk diselamatkan dan sudah mendapat anugerah untuk percaya akan karya-Nya yang terselesaikan di kayu salib bagi pengampunan, damai dan keadilan Anda? Jika tidak, Anda dapat datang kepada Dia sekarang. ”Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat”. “Barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan Kubuang” (#/TB Mat 11:28; Yoh 6:37*). c. Syukur
”Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darahNya ... bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya” (#/TB Wahy 1:5-6*). Jika kita mengalami keselamatan melalui salib, maka dari dalam kalbu kita harus mengucap syukur dan pujian-pujian, sadar bahwa pengampunan dan pembenaran dan semua berkat yang timbul dari salib itu sepenuhnya berasal dari anugerah Allah yang kekal, yang diberikan kepada kita dalam Kristus, dan khususnya dari kasih yang akhirnya membawa-Nya ke Golgota. ”Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima ... puji-pujian” (#/TB Wahy 5:12*). d. Pengudusan
”Demi kemurahan Allah aku menasihati kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup” (#/TB Rom 12:1*). Mengingat penyerahan diri Anak Allah bagi kita di salib, kita sudah kehilangan hak atas diri kita sendiri. Jika kita melawan kehendak Allah dan menolak untuk mengabdikan diri kepada Dia, kita hanya menyatakan kegagalan untuk mengerti makna salib. e. Penginjilan
”Kasih Kristus yang menguasai kami ... dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (#/TB 2Kor 5:14,20*). Kita yang sudah datang ke kayu salib dan di sana mengalami mujizat pembenaran cuma-cuma, pendamaian dan penebusan, harus memberitakan tentang salib kepada sesama kita yang juga orang berdosa. Kita yakin bahwa anugerah yang telah menyelamatkan kita, dapat juga menyelamatkan semua orang yang bersandar pada anugerah itu, apa pun kebutuhan mereka dan betapa besarnya dosa mereka. Penerapan terakhir ini akan mempengaruhi seluruh pola hidup, percakapan, pemakaian waktu dan keuangan, tema dan jangkauan doa, keterlibatan dalam penginjilan melalui gereja wilayah atau kelompok Kristen, bahkan sampai pada pekerjaan dan tempat tinggal kita. 20.3 Kebangkitan Kristus
Kebangkitan Yesus mempunyai arti banyak bagi orang Kristen. a. Sukacita
”Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihatNya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan tidak terkatakan” (#/TB 1Pet 1:8*). Mengetahui bahwa Ia bersama kita dan mengasihi kita dengan kasih mendalam yang berlimpah-limpah menimbulkan sukacita di atas segala sukacita dalam hati. b. Damai
Ia ”dibangkitkan karena pembenaran kita” (#/TB Rom 4:25*). Yesus yang bangkit merupakan janji bahwa pengurbanan-Nya untuk membuat pendamaian benar-benar bermanfaat bagi kita: dosa kita lenyap dan di dalam Kristus kita diterima di hadapan Allah. c. Ibadah
”Dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah” (#/TB Rom 1:4*). Kebangkitan menegaskan lagi keilahian Yesus yang kekal dan oleh sebab itu kita patut beribadah kepada-Nya. Sama seperti murid-murid Yesus yang pertama, kita sambut Yesus yang bangkit dengan pengakuan, ”Ya Tuhanku dan Allahku” (#/TB Yoh 20:28*; bnd. #/TB Luk 24:52*). d. Pengharapan
”Yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (#/TB 1Kor 15:20*). Kematian sudah dikalahkan. Yesus adalah buah sulung tuaian yang akan datang dari orang mati, anak sulung dari anak-anak kebangkitan. Karena Ia telah bangkit, kita pun akan hidup di balik kubur dalam orde baru Allah. Kebangkitan mendesak mundur masa depan kita ke batas-batas kekekalan, dan ini mempunyai dampak yang tak terhitung besarnya pada setiap tingkat kehidupan. Tidak perlu kita berpegang kuat-kuat pada kehidupan di sini, kita bebas untuk memakai hidup dalam pelayanan orang lain. Sebab hidup di dunia ini hanya permulaan dari hidup kekal yang menunggu kita sesudah mati dan yang memang sudah menjadi milik kita di dalam Dia. e. Kemenangan
”KepadaKu telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” (#/TB Mat 28:18*). Kemenangan atas dosa dan kejahatan sungguh-sungguh sudah diperoleh. Kuasa-kuasa kegelapan dan keputusasaan sudah tidak berkutik lagi di bawah telapak kaki Kristus yang menang. Kendatipun ada bukti yang bertentangan, namun kesudahan dosa sudah tercatat, sebab pemerintahan dan kerajaan Allah ada di tangan Juruselamat kita. 20.4 Kenaikan Kristus
Kenaikan mempunyai dampak atas kehidupan Kristen yang besar sekali. a. Keamanan dalam dunia yang gelisah
”KepadaKu telah diberikan segala kuasa” (#/TB Mat 28:18*). Kenaikan memproklamasikan pemerintahan Kristus. Di mana pun kita berada dan bagaimana pun keadaan kita, Ia adalah Raja dan Tuhan di atasnya. Dunia saat ini pun berada di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang dapat mempengaruhi atau menimpa kita, kecuali seizin Dia. b. Penghiburan dalam penderitaan
”Kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit” (#/TB Ibr 4:14*). Kristus telah membawa kemanusiaan-Nya ke dalam keberadaan ilahi-Nya. Sekarang ada manusia dalam keallahan: kenaikan Yesus berarti Allah mempunyai hati manusia untuk selamanya. Ini dilukiskan secara hidup dalam penglihatan akan Domba tersembelih di atas takhta (#/TB Wahy 5:6*). Bilur-bilur-Nya di surga bukanlah tanda kegagalan-Nya mengatasi keadaan fisik yang terkoyak-koyak, melainkan tanda kesetiakawanan-Nya yang penuh kasih di dalam penderitaan dan sukacita yang kita alami. c. Penginjilan dalam nama Kristus
”KepadaKu telah diberikan segala kuasa ... Karena itu pergilah” (#/TB Mat 28:18-19*). Tuhan yang sudah naik ke surga mengutus gereja untuk memberitakan Injil kepada setiap makhluk, mengajar, menyembuhkan dan melayani segala kebutuhan manusia dalam nama Kristus. Hal ini tidak ditujukan untuk membuat Yesus raja di dunia. Sebaliknya, Ia sudah Raja dan sebagai Raja Ia menyuruh kita. d. Sumber bagi kehidupan dan pelayanan Kristen
”Roh Kudus yang dijanjikan itu ... maka dicurahkanNya” (#/TB Kis 2:33*). Yesus yang ditinggikan dalam kemuliaan mengirimkan Roh Kudus kepada gereja, supaya Roh itu mengikat tubuh Kristus di dunia kepada kepalanya yang dimuliakan. Melalui Roh Kudus, hidup dalam kemenangan mengalir dari kepala kepada anggota-anggota badan. Yesus yang naik memberi pemberian-pemberian Roh (#/TB Ef 4:8- 12*) dan meneguhkan saksi-saksi-Nya dengan kuasa dan wewenang (#/TB Kis 1:8*). Dengan kenaikan Yesus, gereja menerima tidak kurang dari kuasa yang membangkitkan Yesus dan menempatkan-Nya di sebelah kanan Allah dalam kemuliaan (#/TB Ef 1:19-20*). e. Janji tentang pemerintahan Kristus kelak
”Karena Ia harus memegang pemerintahan sebagai Raja sampai Allah meletakkan semua musuhNya di bawah kakiNya” (#/TB 1Kor 15:25*). Kebangkitan dan kenaikan dengan mantap menunjuk ke depan pada kedatangan kembali Kristus dalam kemuliaan, ketika Ia akan menghakimi semua orang dan mendirikan kerajaan Allah yang kekal di surga dan di dunia baru yang akan mengenal keadilan. Mengenal, memuja dan melayani Kristus di sini berarti mengharapkan kedatangan-Nya dalam kemuliaan dan pemerintahan-Nya yang mulia untuk selama-lamanya. Nampaknya konsep ini bersifat agak halus dan surgawi namun, kalau diterapkan dengan tepat, akan menerangi setiap bagian hidup kita.
|
|