SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

 

ALLAH

B.     ALLAH

 

5.       KEBERADAAN ALLAH

 

5.1       Alasan-alasan bagi teisme Kristen

 

Dasar kepercayaan kepada Allah secara prinsip telah dikemukakan di Bagian A di atas, yakni: Allah telah menyatakan diri kepada kita. Mengenai keberadaan Allah, Alkitab tidak memberikan petunjuk-petunjuk berdasarkan akal, tetapi menyajikan pokok-pokok tentang keberadaan-Nya yang tak dapat diragukan, misalnya:

”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (#/TB Kej 1:1*);

”Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah” (#/TB Yes 45:5; bnd. #/TB Rom 11:36*).

Keberadaan-Nya dan penyataan diri-Nya merupakan prakiraan dasar agama Alkitab.

Kesadaran intuitif dari manusia akan adanya Allah dibenarkan oleh antropologi

sosial, yang mengakui adanya kesadaran religius yang universal. Orang ateis

tetap merupakan minoritas dalam dunia. Calvin menyebut kesadaran dasar akan

Allah ini sebagai ”suatu perasaan tentang keilahian”. Seorang teolog Amerika,

Hodge (1797-1879), berbicara tentang keyakinan universal pada manusia bahwa

“ada Oknum yang menjadi tumpuan mereka dan mereka bertanggungjawab kepada-Nya”.

Namun, kesadaran lahiriah ini janganlah dinilai terlalu tinggi, karena:

·        Alkitab tidak menganggap pandangan ini sebagai dasar yang memadai untuk hubungan dengan Allah yang menyelamatkan;

·        dengan demikian orang Kristen dapat menjadi tidak peka dan menolak kesulitan yang menghalangi orang bukan Kristen untuk percaya; dan

·        Alkitab mengatakan bahwa manusia harus menghampiri Allah melalui iman (#/TB Ibr 11:6*).

 

Kesadaran lahiriah tentang adanya Allah tidak meniadakan perlunya mendekati Allah melalui iman dan rumusan-rumusan iman Kristen historis dimulai dengan kata-kata: ”Aku percaya”.

5.2       Bukti rasional tentang keberadaan Allah

 

Pemikir-pemikir Kristen sepanjang masa sudah berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah dari unsur-unsur dalam dunia ini. Usaha ini disebut “teologi alami” dan didasarkan pada hukum-hukum logika, kenyataan dunia ini dan beberapa gagasan filsafat. Ada versi kuat, yang berargumentasi bahwa keberadaan Allah secara logis dibutuhkan. Ada juga versi lemah, yakni bahwa keberadaan Allah adalah mungkin, atau bahwa argumen-argumen bahwa Ia tidak ada kurang kuat, atau bahwa hal percaya akan keberadaan Allah bukan hal yang tidak masuk akal.  Pandangan-pandangan utama yang dikemukakan akan diuraikan di bawah ini.

a.         Ontologi

 

Secara filsafat, pandangan ini yang paling penting. Pernyataan klasik yang diberikan Anselmus (1033-1109) terdiri dari dua tahap:

·        Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang lebih besar

( atau lebih sempurna) daripada Dia; dan

·        sesuatu yang hanya berada dalam pikiran berbeda dengan sesuatu yang berada dalam pikiran dan sekaligus juga dalam kenyataan.

 

Kalau kedua tahap itu digabung, berarti kalau Allah hanya berada dalam pikiran dan tidak dalam kenyataan, maka dapat dibayangkan oknum yang lebih sempurna yaitu yang berada dalam pikiran dan juga dalam kenyataan. Tetapi Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang lebih sempurna daripada Dia, jadi Allah tidak berada hanya dalam pikiran saja. Karena itu harus diterima alternatifnya: oknum yang paling sempurna berada dalam kenyataan dan dalam pikiran.

Pandangan ontologis ini sangat dikritik oleh filsuf Jerman, Kant (1724-1804). Ia menunjukkan bahwa argumentasi ini hanya membuktikan bahwa jika ada oknum yang tertinggi, maka ia harus ada. Sifat ada saja tidak menambahkan apa-apa kepada suatu konsep. Contohnya, menurut pendapat ini, Rp. 1000, -yang nyata tidak bernilai lebih tinggi dari Rp 1000, -yang dibayangkan saja.

Akhir-akhir ini pandangan ontologis ini mengalami semacam kebangkitan kembali.  Beberapa filsuf keagamaan masa kini percaya bahwa, jika diakui bahwa suatu oknum yang tertinggi adalah mungkin, maka Ia harus berada dalam kenyataan (lihat Plantinga 1974; Ross 1980).

b.         Kosmologi

 

Pandangan ini, yang pernyataan klasiknya diberikan oleh Aquinas (kira-kira 1225-74), menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan oknum tertinggi yang menyebabkan keberadaannya itu. Perhatian ditujukan pada fakta kausalitas yang berarti setiap kejadian ada sebabnya, yang pada gilirannya juga mempunyai sebab, dan seterusnya sampai pada sebab pertama, yaitu Allah.

Para kritikus menyatakan bahwa pandangan ini tidak dapat menghadapi alternatifnya, yaitu bahwa mungkin tidak ada “sumber” atau asal pertama. ”Alam semesta ada, dan tak ada yang lain yang dapat dikatakan” (Russell). Tetapi para pembelanya yakin bahwa pandangan ini tidak boleh dikesampingkan begitu saja.  Akhir-akhir ini pandangan ini sering dirumuskan dengan memakai istilah “kemungkinan” (Ing. contingency). Segala sesuatu bersifat ”mungkin” (= ada walaupun tidak harus ada) ataupun ”perlu” (= harus ada). Adanya kenyataan-kenyataan tertentu yang mungkin, dapat dijelaskan pada tingkat tertentu dengan mengacu pada sebab-sebab terdahulu yang juga mungkin. Tetapi terjadinya dan kelanjutan segala sesuatu yang mungkin, dianggap sebagai keseluruhan, hanya dapat dijelaskan jika ada sesuatu yang harus ada, yaitu Allah (bnd. Geisler 1976;

Mascall 1943; Farrer 1943).

c.         Teleologi

 

Pandangan purba ini masuk ke dalam pikiran dunia barat melalui percakapan Plato, Timaeus. Dikatakan, bukti-bukti perencanaan dan tujuan dalam alam semesta mengharuskan adanya Perencana umum, yaitu Allah. Pernyataan klasik diberikan oleh Paley (1743-1805). Dalam karyanya_ Natural Theology_ (1802), ia menggunakan analogi suatu jam tangan yang masih jalan, yang ditemukan di atas tanah. Secara teoretis, keberadaannya dapat dijelaskan sebagai hasil pertemuan secara kebetulan dari kekuatan-kekuatan alam, seperti angin, hujan, panas dan sebagainya. Tetapi ini jelas kurang masuk akal dibandingkan dengan dugaan bahwa ada seorang ahli pintar yang membuat jam tangan tersebut. Begitu pula semesta alam yang memperlihatkan perencanaan menunjukkan adanya suatu Perencana Agung.

Kritikan terpenting terhadap pandangan ini dirumuskan oleh filsuf Skotlandia, Hume (1711-76). Menurut pandangan Hume, dalam waktu yang tak terhingga, suatu semesta alam seperti yang kita tempati ini dapat muncul karena probabilitas saja. Lagi pula semesta alam yang berada karena probabilitas saja itu tidak dapat tidak menunjukkan bukti ”perencanaan”, karena perlu ada penyesuaian antara faktor yang satu dengan yang lain jika alam semesta itu dapat berada dan berkesinambungan. Pandangan teleologis juga harus mempertimbangkan hal adanya disteleologi, yaitu proses-proses dalam alam semesta yang kelihatannya tanpa tujuan atau perencanaan, sepanjang pengetahuan kita.

Seorang ahli hukum Amerika, Horigan, berusaha untuk merehabilitasi pandangan teleologis dengan pendapat bahwa Darwinisme yang anti-agama tidak memperhitungkan fakta bahwa alam yang tak hidup bersifat harmonis dengan evolusi organik. Ditegaskannya pula, bahwa teori evolusi tidak dapat menjelaskan munculnya otak besar secara cepat dalam rumpun manusia yang sedang berkembang.  Sudah tentu, banyak orang kalau diperhadapkan pada perencanaan dalam alam semesta dari jarak dekat, misalnya kalau menyaksikan keajaiban bayi yang baru lahir, atau melihat kecanggihan yang menakjubkan dari sel-sel mata manusia, menganggap keberatan-keberatan Hume agak teoretis. Namun, secara filsafat keberatan ini harus dipertimbangkan.

d.         Moral

 

Pandangan ini mengatakan bahwa pengalaman universal manusia mengenai kewajiban moral, atau pengertian tentang “apa yang seharusnya dibuat”, serta kegagalannya memenuhi tuntutan moral itu dari hati nuraninya, tidak dapat diterangkan secara memadai baik sebagai kepentingan diri sendiri saja, ataupun sebagai hasil penyesuaian sosial. Keberadaan nilai-nilai moral objektif ini menunjukkan keberadaan suatu dasar nilai-nilai yang transenden, yaitu Allah. Pernyataan klasik dari pandangan ini diberikan oleh Kant, yang mengatakan bahwa Allah (dan kebebasan dan kekekalan) adalah ”landasan” kehidupan moral, yaitu kepercayaan dahulu yang mengakibatkan perasaan akan kewajiban moral tanpa syarat.

Penganut pandangan ini dituduh justru mengandaikan kebenaran yang hendak dibuktikannya, yakni bahwa pengalaman moral hanya dapat dijelaskan secara memuaskan dalam hubungannya dengan agama. Ia juga harus menghadapi bukti-bukti bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksudkan dengan “baik” serta adanya dilema-dilema moral. Agar dapat dipertahankan, pandangan ini harus juga menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan lain (yang sosio-psikologis) tentang timbulnya serta berlanjutnya perasaan moral ini tidak memuaskan. Beberapa filsuf moral dan pembela Kristen berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi (lihat Owen 1965; Lewis 1952).

e.         Akal budi

 

Pandangan ini mengemukakan bahwa materialisme murni tidak dapat menerangkan kemampuan pikiran manusia untuk mengambil kesimpulan dari dasar-dasar pikiran.  Operasi intelek manusia dengan efektif, dan sifat-sifat lain dari pikiran dan bayangan, hanya dapat diterangkan atas dasar adanya pikiran supra-alami, yaitu Allah. Seandainya tidak ada intelegensi ilahi, bagaimana orang dapat mengharapkan bahwa pemikirannya benar dan oleh sebab itu, apa alasannya sehingga argumen-argumen yang dikemukakan untuk mendukung ateisme dapat diterima? Lewis (1947) merupakan pendukung utama pandangan ini dan akhir-akhir ini didampingi oleh filsuf agama kebangsaan Amerika, Plantinga (1967), walaupun melalui jalan yang berbeda.

f.          Kristologi

 

Pandangan ini mengacu pada kriteria dari probabilitas sejarah untuk menunjukkan bahwa Yesus Kristus hanya dapat dijelaskan secara memuaskan jika diperkirakan bahwa Allah hadir dan berkarya di dalam Dia. Para pendukung pandangan ini menunjukkan sifat pribadi-Nya yang tak bernoda, pernyataan-Nya yang mengherankan tentang diri-Nya dan misi-Nya, dan khususnya bukti kebangkitan-Nya. Dalam hal terakhir ini, perhatian khususnya ditujukan pada kesulitan yang dialami untuk memberikan penjelasan lain yang lebih memadai tentang munculnya gereja Kristen dengan begitu cepat sesudah kematian Yesus, jika Ia tidak bangkit.

Pandangan ini harus menghadapi pertanyaan mengenai keterandalan historis tulisan Perjanjian Baru dan kesulitan filosofis yang ditimbulkan oleh mujizat-mujizat Yesus. Akhir-akhir ini ada ahli-ahli yang bergabung dengan para pembela Kristen populer dalam pernyataan bahwa keberatan-keberatan ini dapat diatasi dan pertimbangan-pertimbangan yang historis semata-mata membawa orang dekat kepada kepercayaan.

5.3       Mengevaluasi pendekatan rasional

 

a.   Alasan-alasan yang melawan pendekatan rasional

 

Ada penulis-penulis Kristen yang secara prinsip kurang senang dengan pendekatan ini. Mereka menekankan bahwa ”bukti-bukti” yang diuraikan di atas sebenarnya tidak membuktikan keberadaan Allah secara tuntas, dan selanjutnya mereka mengajukan beberapa pertanyaan.

(1)  Siapakah Allah itu? Setinggi-tingginya pandangan-pandangan rasional dapat membuktikan adanya suatu Kuasa Mahabesar, Sebab Pertama, Penjamin moral dan sebagainya. Tetapi ini belum tentu sama dengan Allah Alkitab, yakni objek iman dan ibadah Kristen. (Tentulah argumentasi kristologis tidak kena keberatan ini.)

(2)  Bagaimana Allah dapat dikenal? Alkitab mengajarkan bahwa sesungguhnya Allah hanya dikenal melalui iman. Pembelaan rasional menganggap bahwa Ia dapat dikenal tanpa penyataan khusus. Tetapi justru inilah teori pengetahuan yang dipegang dalam abad pertengahan yang ditolak para reformis demi agama alkitabiah. Selanjutnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah dengan jelas, kalau akal manusia diberikan otonomi sejauh ini, maka cepat atau lambat ia akan berkembang melampaui batas-batasnya dan merebut tempat iman; pada gilirannya hal ini mengancam pengertian tentang anugerah yang menyelamatkan dan mengurangi kemuliaan Allah. Misalnya, ada Socinianisme pada abad ke- 16, unitarianisme pada abad ke-17, deisme pada abad ke-18, dan liberalisme klasik pada abad ke-19.

(3)  Apa sikap manusia dalam hubungannya dengan Allah? Pandangan rasional menganggap adanya kesinambungan antara manusia dan Allah, yang disangkal oleh Alkitab yang membuka fakta bahwa ketidak-percayaan merupakan permusuhan terhadap Allah. Rasionalisme tidak menolong orang yang tidak percaya karena menyembunyikan kenyataan ini. Lagi pula, kalau argumen rasional gagal meyakinkan orang bukan Kristen ada kemungkinan besar orang ini bahkan dikuatkan dalam sikap tidak percaya dan dengan demikian menjadi lebih tertutup terhadap tantangan moral Injil apabila dijumpai pada kemudian hari.

(4)  Apa yang diajarkan oleh Alkitab? Menurut Alkitab, manusia sudah sadar akan kehadiran Allah akan tetapi menolak kesaksian ini. Tugas orang Kristen adalah menghadapkan orang bukan Kristen dengan Allah, yang kehadiran-Nya sudah ia sadari sendiri, bukan untuk mempertim-bangkan prakiraannya bahwa mungkin Allah tidak ada. Orang berdosa hanya dapat memperoleh pengetahuan sesungguhnya tentang Allah melalui dilahirkan kembali oleh Roh Kudus sesudah mereka percaya kepada Injil.

 

b.   Alasan-alasan yang mendukung teologi alami

 

Ada juga beberapa pemikir Kristen yang memanfaatkan pendekatan rasional.

(1)  Secara teologis dikemukakan bahwa manusia, biarpun jatuh dalam dosa, tetap merupakan makhluk yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah.  Oleh sebab itu Allah tidak sepenuhnya absen dari pikiran dan pengalaman manusia. Dengan demikian, pengalaman serta penalaran manusia tentang dunia boleh jadi merupakan jalan kepada Allah.

(2)  Secara alkitabiah ditandaskan bahwa Yesus dan Paulus sering berdebat dengan pendengar-pendengarnya. Kesaksian Paulus di pusat-pusat kebudayaan Yunani meliputi pembelaan Injil terhadap kritik rasional (#/TB Kis  19:9*).  Di Atena, Paulus bertukar pikiran dengan pendengar-pendengarnya berdasarkan pengalaman mereka langsung (#/TB Kis 17:22-23*). Untuk mendukung argumentasinya, Ia juga mengacu pada sastrawan mereka ( #/TB Kis 17:28), selain Injil dan penyataan (#/TB Kis 17:30-31*).

Paulus dan Petrus menyebut suara hati kafir sebagai tolok ukur yang dapat dipercaya untuk mengukur sifat moral Kristen (#/TB 1Tim 3:7; 1Pet  3:16*) dan kelihatannya prinsip ini dapat diberlakukan juga bagi akal orang kafir. Orang Kristen mula-mula juga mendasarkan diri pada bukti-bukti sejarah untuk mendukung tuntutannya tentang Yesus, khususnya kebangkitan-Nya (#/TB Kis 3:15; 5:31-32; 1Kor 15:3-4*).

(3)  Secara penginjilan dianjurkan bahwa jurang antara orang Kristen dengan bukan Kristen begitu lebar, sehingga perlu memulai pekabaran Injil di tempat orang bukan Kristen hadir dan menghadapi keberatan serta pertanyaannya. Pembelaan rasional khususnya dapat membantu menghilangkan salah paham yang menyatakan bahwa menjadi Kristen itu sama dengan membunuh akal seseorang.

(4)  Secara historis dijelaskan bahwa metode rasional telah membantu banyak orang untuk menjadi Kristen.

 

c.   Ulasan akhir

 

Evaluasi kita tentang manfaat pendekatan rasional terhadap pembelaan Kristen akan mencerminkan evaluasi kita mengenai seberapa jauh kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mempengaruhi kesadaran dan kemampuan asli manusia bagi persekutuan dengan Allah.

Kelihatannya ada tempat bagi argumentasi pembelaan untuk menghadapi prasangka anti-rasional yang tajam terhadap agama Kristen. Agaknya ini sebaiknya dilakukan dengan cara menunjukkan kekonsekwenan dan kelebihan pandangan Kristen secara menyeluruh sebagai keterangan keberadaan, dan bukan mengikuti satu atau dua argumen tertentu.

Pendekatan rasional, khususnya dengan mendasarkan diri pada bukti keilahian Kristus serta kesaksian Alkitab tentang Dia, dapat membantu menangkis tuduhan bahwa iman Kristen tergantung pada faktor-faktor subjektif.

Akan tetapi orang Kristen harus menghindari pendekatan apa pun kepada orang bukan Kristen yang mengurangi kemuliaan Allah, yang tidak mengindahkan atau yang mengaburkan sifat moral dalam hubungan manusia dengan Allah, atau perlunya pertobatan, pengampunan dan perdamaian.

Memang Allah dalam Alkitab adalah jauh lebih besar daripada Allah dalam teologi alami. Cara mengenal Allah hanya dapat dibicarakan dengan baik dalam hubungannya dengan siapa sebenarnya Dia, maka orang Kristen akan menolong orang yang ingin mereka sadarkan akan iman, dengan cara menunjukkan sebaik-baiknya Allah Alkitab dalam keseluruhan kemuliaan dan kebesaran-Nya yang transenden, keindahan dan kuasa, anugerah dan kekudusan-Nya. Dan mereka harus juga memperlihatkan realitas-Nya dalam hidup pribadi mereka dan dalam persekutuan Kristen.

Bahan Alkitab

#/TB Kejadian 1:1; Keluaran 3:14-15; Ayub 23:1-17; 37:19*;

#/TB Yesaya 40:25-28; 42:8; 43:11-13*;

#/TB Kisah 14:14-18; 17:16-34; Roma 1:18-32; 11:33; 2Korintus 4:4*;

#/TB 1Tesalonika 1:9; 1Timotius 6:16; Ibrani 11:6*.

Bahan diskusi/penelitian

1.       Sebutkanlah beberapa pandangan filsafat tentang keberadaan Allah.

Menurut Anda, manakah yang paling meyakinkan?

2.       Selidiki nilai pandangan tersebut dalam terang

 

( a) ajaran Alkitab tentang hakikat Allah,

( b) ajaran Alkitab tentang sifat manusia, dan

( c) kesaksian para rasul.

 

3.       Apa fungsi dan keterbatasan pembelaan dalam hal

 

( a) memperteguh iman orang Kristen,

( b) membela iman terhadap kritikan, dan

( c) membawakan Injil kepada orang bukan Kristen?

 

4.       Apa pandangan Alkitab mengenai hubungan antara iman dan akal manusia?

 

Kepustakaan (5)

Barclay, O. R.

1974 Reasons for Faith (IVP).

Brown, C.

1969 Philosophy and the Christian Faith (Tyndale Press).

Farrer, A. M.

1943 Finite and Infinite (Westminster, 1959**2**).

Geisler, N.

1976 Christian Apologetics (Baker).

Henry, C. F. H.

1976 God, Revelation and Authority 1 (Word).

Holmes, A. F.

1979 All Truth is God’s Truth (IVP).

Horigan, J. E.

t.t.   _ Chance or Design?_ Lewis, C. S.

1947 Miracles (Geoffrey Bles).

1952 Mere Christianity (Fontana).

Mascall, E. L.

1943 He Who Is (London).

Owen, H. P.

1965 The Moral Argument for Christian Theism (London).

Platinga, A.

1967 God and Other Minds (Ithaca, New York).

1974 The Nature of Necessity (Oxford).

Ramm, B.

1972 The God who Makes a Difference (Word).

Ross, J. F.

1980 Philosophical Theology (Hackett, edisi ke-2).

Schaeffer, F. A.

1968a  _ Escape from Reason_ (IVP).

1968b  _ The God Who is There_ (Hodder).

Van Til, C.

1955 The Defense of the Faith (Presbyterian & Reformed).

6.         ALLAH TRITUNGGAL

 

Bagaimana rupa Allah? Jawaban umum sementara adalah “Allah itu Roh berpribadi yang hidup”. Allah yang dinyatakan dalam Alkitab sungguh-sungguh hidup dan bertindak (#/TB Mazm 97:7; 115:3*). Ia bukan kuasa atau kekuatan tak berpribadi, tetapi Allah berpribadi dan berwatak dengan kodrat khusus. Dia adalah Roh yang melebihi seluruh tatanan dunia, walaupun tatanan itu bergantung pada-Nya.

6.1       Ajaran Alkitab

 

Alkitab berbicara tentang Allah sebagai tiga oknum yang dapat dibedakan, yang biasa disebut sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Istilah teknis untuk gagasan ini, Tritunggal, tidak terdapat dalam Alkitab, tetapi termasuk golongan istilah yang bersifat alkitabiah dalam arti mengungkapkan dengan jelas ajaran Alkitab.

a.   Perjanjian Lama

 

Bagi bangsa Israel, keesaan Allah merupakan aksioma: ”Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa” (#/TB Ul 6:4*). Penekanan pada keesaan ilahi ini sangat penting, mengingat politeisme yang memuja berhala dan bersifat dekaden dari bangsa-bangsa di sekeliling Israel. Namun Perjanjian Lama juga mengandung isyarat tentang “kepenuhan” dalam Allah yang merupakan landasan ajaran Perjanjian Baru tentang Tritunggal.

Acapkali Allah memakai istilah jamak untuk diri-Nya sendiri (#/TB Kej 1:26; 3:22; 11:7; Yes 6:8*)dan penulis Injil Yohanes memperlakukan perikop Yesaya itu sebagai penglihatan Yesus (#/TB Yoh 12:41*). Ada sebutan mengenai ”malaikat Tuhan” yang disamakan dengan Allah tetapi berbeda dengan-Nya (#/TB Kel 3:2-6; Hak 13:2-22*).  Perjanjian Lama juga menyebutkan Roh Allah sebagai wakil pribadi Allah (#/TB Kej 1:2*;

#/TB Neh 9:20; Mazm 139:7; Yes 63:10- 14*). Ada juga disebutkan tentang hikmat Allah, khususnya dalam #/TB Amsal 8:1-36*, sebagai perwujudan Allah di dunia, dan mengenai firman Allah sebagai ungkapan yang kreatif (#/TB Mazm 33:6,9; bnd. #/TB Kej 1:26*). Ada juga nubuat yang menyamakan Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu itu dengan Allah (#/TB Mazm 2:1-12*; #/TB Yes 9:5-6*).

Jelaslah bahwa Perjanjian Lama tidak mengajarkan mengenai Tritunggal secara lengkap, tetapi dengan menyajikan keesaan Allah dalam bentuk jamak, perikop-perikop tadi mendahului ajaran Perjanjian Baru yang lebih lengkap.

b.   Perjanjian Baru

 

Ajaran tersirat dalam Perjanjian Lama muncul ke permukaan dalam Perjanjian Baru. Pertama, para rasul semakin tergerak untuk menyembah Yesus sebagai Tuhan, berdasarkan pengaruh dampak kehidupan dan watak-Nya, tuntutan dan mujizat-mujizat, dan terutama kebangkitan serta kenaikan-Nya. Kedua, realitas dan kegiatan Roh Kudus di antara mereka jelas merupakan kehadiran Allah sendiri. Sebab itu, acuan yang Yesus berikan kepada mereka (#/TB Mat 28:19*) menentukan pemahaman mereka. Allah adalah esa, namun dapat dibedakan dalam tiga oknum: Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Berbagai perikop mengandaikan atau menyatakan ketritunggalan Allah, secara langsung atau tidak langsung (#/TB Mat 3:13-17; 28:19*;

#/TB Yoh 14:15-23; Kis 2:23; 2Kor 13:14; Ef 1:1-14; 3:16-19*). Masing-masing oknum ditegaskan bersifat ilahi:

·        Sang Bapa adalah Allah

( #/TB Mat 6:8-9; 7:21; Gal 1:1*);

·        Sang Anak adalah Allah

( #/TB Yoh 1:1-18; Rom 9:5; Kol 2:9; Tit 2:13; Ibr 1:8-10*); dan

·        Roh Kudus adalah Allah

( Mar 3:29; Yoh 15:26; 1Kor 6:19-20; 2Kor 3:17-20.

Dengan demikian Alkitab menyajikan realitas yang misterius dan unik: satu Allah, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Satu cara untuk memahami perbedaan antara sang Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah

dengan menghubungkan fungsi yang berbeda dengan masing-masing oknum itu. Bentuk

paling populer menghubungkan penciptaan dengan sang Bapa, penyelamatan dengan Anak dan pengudusan dengan Roh Kudus. Paulus memberikan bentuk lain dalam #/TB Efesus 1:1-23*, di mana pemilihan dihubungkan dengan sang Bapa (#/TB Ef 1:4,5,11*), penyelamatan dengan Anak (#/TB Ef 1:3,7,8*) dan pemeteraian dengan Roh Kudus (#/TB Ef 1:13-14). Berdasarkan #/TB Roma 11:36* ada pengertian lain yang memakai kata-kata depan berkaitan dengan kegiatan Allah dalam alam semesta: dari Dia (Bapa) dan oleh Dia (Anak) dan kepada Dia (Roh Kudus). Tetapi perbedaan-perbedaan ini jangan sampai memudarkan kebenaran dasar mengenai keesaan ilahi di mana ketiga-tiganya terlibat dalam kegiatan siapa pun di antara ketiga oknum itu. Misalnya, walaupun penciptaan khususnya dikaitkan dengan sang Bapa, namun juga dihubungkan dengan Anak (#/TB Yoh 1:3) dan Roh Kudus (#/TB Yes 40:13*)

6.2       Mengerti ajaran ini

 

Penyataan Alkitab tentang ketritunggalan Allah itu telah diteliti oleh beberapa

gereja pasca-rasuli yang mencoba menjelaskan imannya secara rinci dalam konteks

kebudayaan Yunani Romawi. Hasil perdebatan ini dituangkan dalam Pengakuan Iman

Athanasius (kira-kira abad ke-8): ”Kita menyembah satu Allah dalam

ketritunggalan, dan Tritunggal dalam kesatuan; tanpa mengacau-balaukan Oknum-oknum,

atau membeda-bedakan keilahian”.

Bukan maksud buku ini untuk menelusuri rincian pertikaian yang timbul mengenai pokok ini. Kiranya cukuplah membahas secara singkat empat persoalan penting.

a.   Keterbatasan bahasa

 

Kehidupan Allah sebagai Tritunggal jelas tidak ada padanannya dalam pengalaman

manusia. Kita berbicara tentang misteri ini hanya karena Allah sendiri telah

berbicara tentang hal ini dalam Alkitab. Sudah tentu timbul kesulitan dalam

mengungkapkannya dengan bahasa yang dapat dimengerti. Augustinus, misalnya,

dalam membahas kelayakan memakai istilah “oknum” berhubungan dengan Tritunggal,

mengatakan,

” Ketika ditanyakan tiga apa?, bahasa manusia sangat terbatas karena miskin dalam perbendaharaan kata. Namun dikatakan ‘tiga oknum’, bukan untuk menjelaskan sejelas-jelasnya, tetapi untuk mengatakan sesuatu yang menyampaikan arti sekalipun terbatas”.

Hal yang serupa dikemukakannya tentang angka tiga berkaitan dengan keberadaan Allah: ”Dalam ketritunggalan ini dua atau tiga oknum tidak lebih besar daripada salah satu oknum.”

b.   Cara memakai kata ”Allah”

 

Para penulis Kristen memakai kata ”Allah” dengan dua cara: kadang-kadang mereka maksudkan sang Bapa khususnya dan kadang-kadang Allah dalam ketritunggalan-Nya.  Jika dianggap bahwa yang dimaksudkan dengan “Allah” hanya sang Bapa, maka perendahan Anak dan Roh Kudus di bawah sang Bapa tak terelakkan. Banyak sekte tidak menyadari perbedaan yang sangat penting itu, dan oleh karena itu terjadi kesulitan dengan ajaran Alkitab mengenai keilahian penuh dari Anak dan Roh Kudus. Saksi-saksi Yehowa, misalnya, tidak mengerti bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah (_Yhwh_, yang mereka sebut ”Yehowa”) berarti Allah yang Tritunggal (bnd. ps 16 di bawah tentang keilahian Kristus). Sang Bapa tidak dibedakan dengan Anak dan Roh Kudus karena Dia adalah Allah. Keilahian sama-sama dimiliki oleh ketiga Oknum; berdasarkan ini Allah adalah esa tetapi juga tritunggal.

c.   Tiga apa?

 

Bagaimana manusia dapat mengacu pada ketritunggalan dalam diri Allah tanpa membahayakan keesaan-Nya? Di Indonesia, masyarakat Kristen telah memakai istilah ”oknum” sebagai padanan istilah klasik Yunani _hupostasis _dan Latin persona.  Pada zaman ini, istilah itu hampir tidak dipakai lagi kecuali dalam konteks teologi Kristen, sehingga dapat dikatakan tidak lagi mempunyai arti bagi orang biasa. Istilah ”pribadi” yang acapkali dipakai cenderung memberi kesan bahwa ada tiga kepribadian dalam Allah, masing-masing dengan ciri-ciri kekhususan secara tersendiri, dan karena itu membahayakan keesaan Allah. Istilah ”cara berada” pernah dipakai, tetapi sekali lagi memberi kesan bahwa keberadaan Bapa berbeda dengan keberadaan Anak, dan seterusnya. Tetapi karena masih belum ada istilah yang dapat diterima secara umum sebagai alternatifnya, maka istilah tradisional ”oknum” tetap dipertahankan sekalipun tidak seratus persen memadai.

d.   Adakah analogi Tritunggal dalam pengalaman manusia?

 

Kesulitan memahami Allah sebagai “tiga dalam satu” telah mendorong para pemikir Kristen berabad-abad untuk mencari analogi-analogi Tritunggal yang dapat mencerahkan pemahaman. Dalam pembahasan klasik Augustinus, Tritunggal digambarkan dengan mengacu pada kesatuan dan perbedaan daya ingat, pengertian dan kehendak dalam jiwa manusia. Tetapi dilihat dari segi psikologi modern, pandangan tentang manusia ini agak sewenang-wenang; lebih parah lagi, analogi ini tidak menyoroti kesatuan Allah yang unik, di mana ketiga Oknum saling menyusup dan terlibat dalam karya masing-masing.

Di bawah pengaruh pandangan modern tertentu tentang kepribadian, maka sejumlah teolog telah menghidupkan kembali analogi purba tentang kelompok tiga orang.  Sama seperti kepribadian orang dapat bergabung dan menyatu dengan kepribadian-kepribadian lain, begitu pula Oknum-oknum dalam Allah menyusup satu dengan yang lain dan mengungkapkan diri dalam kesatuan ilahi. Mungkin ada ayat-ayat Alkitab yang mendukung pandangan ini, khususnya yang berbicara tentang perkawinan. Yesus mengatakan bahwa dalam perkawinan “mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (#/TB Mat 19:15*). Analogi ini yang disebut ”analogi sosial” memberikan penjelasan yang berharga tentang pluralitas oknum-oknum dalam Allah, tetapi juga dapat membahayakan keesaan ilahi.

6.3       Pentingnya ajaran ini

 

Permasalahan yang kompleks ini dapat menimbulkan pertanyaan, apa gunanya membahas pokok ini, khususnya mengingat tidak ada keterangan tentang teka-teki ”satu tambah satu tambah satu adalah satu”. Namun hampir semua pokok yang penting dalam agama Kristen tergantung pada ajaran bahwa Allah adalah tiga dalam satu.

Ambillah pokok persoalan mengenai dosa yang memisahkan manusia dari Allah dan mengakibatkan murka-Nya. Dosa melibatkan dua pihak saja, yaitu orang yang berdosa yang melanggar hukum dan Allah yang hukum-Nya dilanggar. Jadi kalau Yesus bukan ilahi, dosa bukanlah urusan Dia. Suatu ketika, pada waktu Yesus mengampuni dosa seseorang, Ia dituduh menghujat karena hanya Allah yang dapat mengampuni dosa (#/TB Mr 2:5-7*). Para pengritik-Nya memang benar dalam pendapat itu, kekhilafan mereka adalah bahwa mereka tidak menyadari siapa Yesus.  Hanya jika Yesus adalah Allah yang datang kepada manusia, Ia sanggup mengampuni dosa kita; sebaliknya, kalau Ia mengampuni dosa, tentu Ia adalah Allah. Dengan demikian, Allah bukanlah Keberadaan tanpa perbedaan-perbedaan di dalam-Nya.

Sama halnya dengan Roh Kudus. Orang Kristen percaya bahwa kuasa Allah telah menguasai hidupnya serta memberinya hidup baru. Ia mengenal Tuhan dan mengalami kehadiran-Nya, ia yakin akan kuasa firman-Nya dan mendapat kekuatan untuk hidup bagi Dia dan menerima karunia untuk melayani Dia. Akan tetapi, kalau bukan Allah sendiri yang bekerja di dalam orang Kristen, maka keyakinan akan kegiatan Roh Kudus hanyalah khayalan yang tidak ada kaitan dengan realitas ilahi. Hanya kalau Roh Kudus yang bertindak atas manusia adalah Allah maka pengalaman tentang keselamatan benar-benar menyelamatkan. Sekali lagi harus diakui bahwa keesaan Allah adalah kompleks.

Dengan demikian, seluruh pengertian keselamatan Kristen dan penerapannya pada

pengalaman manusia tergantung pada ketritunggalan Allah. Begitu penting

maknanya. Ketritunggalan dalam Allah juga merupakan dasar pokok penegasan bahwa

Allah itu kasih adanya. Allah tidak kesepian, yang memerlukan ciptaan sebagai

objek kasih-Nya. Sebagai Tritunggal, Allah sudah puas dengan diri-Nya dan tidak

perlu menciptakan ataupun menyelamatkan. Penciptaan dan penyelamatan merupakan

tindakan kemurahan hati sepenuhnya, ungkapan Allah sebagai kasih yang bebas dan abadi.

Dalam ajaran ini ada kesulitan yang muncul dari rumusan sederhana yang dibentuk berdasarkan pengalaman manusia. Tetapi kita harus mengingat bahwa Allah adalah Tuhan segala yang ada yang berada di luar segalanya. Seandainya kita tidak menemukan keajaiban dan misteri yang sangat dalam mengenai keberadaan Allah, maka itulah alasan untuk meragukan penegasan Alkitab. Jadi kendatipun sulit dipahami, namun ajaran tentang ketritunggalan melukiskan Allah yang cukup mulia untuk disembah dan dilayani.

Akhirnya, merenungkan Allah dalam ketritunggalan-Nya, Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang dapat dibedakan-bedakan menurut oknum dan tugas tetapi tetap merupakan keesaan yang sempurna dan harmonis dalam kasih mengasihi yang kekal, membuat orang melihat sesuatu yang agung dan tak terperikan, bahkan indah dan menarik.  Sepanjang masa, misteri yang mulia itu telah menggerakkan hati orang dan membawanya kepada puncak pujaan dan ibadah, kasih dan pujian.

Kudus, kudus, kudus Tuhan mahakuasa, Allah Tritunggal, agung nama-Mu!

Bahan Alkitab

#/TB Kejadian 1:2,26; 3:22; 11:7; Keluaran 3:3-6; Yosua 5:13-6:2*;

#/TB 1Raja 22:19-20; Nehemia 9:20; Mazmur 33:6,9; Amsal 8:1-36*;

#/TB Yesaya 6:2,8; 9:5-6; 11:1-2; Yehezkiel 37:24-25; Zakharia 9:9*;

#/TB Matius 3:13-17; 28:19; Yohanes 14:15-23; Kisah 2:32-33; 2Kor 13:14*;

#/TB Efesus 2:18; 4:4-6; Filipi 3:3; 1Yohanes 5:1-12*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Apa yang ditegaskan oleh ajaran Tritunggal?

2.   Tunjukkan bagaimana ajaran Kristen tentang Tritunggal berakar dalam ( a) Perjanjian Lama dan (b) Perjanjian Baru.

3.   Bagaimana Anda akan menerangkan ketritunggalan Allah kepada orang yang beragama lain (yang tidak mengakui wewenang Alkitab tetapi mengakui adanya satu Allah)?

4.   Apa jawaban Anda atas ucapan: ”Tritunggal adalah ajaran yang tidak praktis dan kurang penting?”

 

Kepustakaan (6)

Augustinus

_ On The Trinity_ (SCM, terjemahan, 1954).

Bavinck, H.

1977 The Doctrine of God (Banner of Truth).

France, R. T.

1971 The Living God (IVP).

Hodgson, L.

1943 The Doctrine of the Trinity (Nisbet).

Knight, G. A. F.

1953 A Biblical Approach to the Doctrine of the Trinity (Oliver and Boyd).

Wainwright, A. W.

1962 The Trinity in the New Testament (SPCK).

 

7.         SIFAT-SIFAT ALLAH

 

Allah Tritunggal telah menyatakan diri-Nya sedemikian rupa sehingga kita dapat mengenal beberapa sifat diri-Nya. Sifat-sifat Allah itu telah digolongkan menurut berbagai cara. Cara yang paling penting membedakan antara:

·        sifat-sifat yang unik (Ing. incommunicable), seperti keberadaan diri-Nya yang tidak ada kesejajaran dengan manusia; dan

·        sifat-sifat yang tidak unik (Ing. communicable), seperti kasih atau keadilan, yang dapat dicerminkan dalam makhluk moral lain.

 

Dalam membahas sifat-sifat Allah, Calvin menulis “agar kita tetap bijaksana, Allah berbicara sedikit saja tentang hakikat-Nya”. Oleh sebab itu, tanpa meniadakan satu segi pun dari penyingkapan diri Allah sebaiknya kita jangan menggambarkan dan membedakan terlalu rinci. Perlu pula mengingat bahwa sifat-sifat itu ada pada Allah sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.

7.1       Kemuliaan Allah

 

Istilah ”kemuliaan” sering ditemukan dalam Alkitab dan biasanya berarti manifestasi keberadaan Allah. Kemuliaan-Nya mengungkapkan inti keberadaan-Nya sebagai Allah, kemegahan ilahi-Nya, dan keilahian-Nya yang murni. Istilah senada ”kemahatinggian” menunjukkan sifat Allah yang melampaui realitas yang terbatas.

Dalam Alkitab, sifat ini dinyatakan pada saat Allah memperlihatkan diri di Gunung Sinai (#/TB Kel 19:1-24:18*): ”Tampaknya kemuliaan Tuhan sebagai api yang menghanguskan di puncak gunung itu” (#/TB Kel 24:17*; bnd. #/TB Kel 19:16-22*).  Yehezkiel menerima wahyu yang menakjubkan tentang Allah di tepi Sungai Kebar (#/TB Yeh 1:1-28*). Juga agak mirip dengan gambaran Yesus yang dimuliakan:

”mataNya bagaikan nyala api ... wajahNya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik” (#/TB Wahy 1:14-16*). Paulus bersaksi telah melihat ”kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (#/TB 2Kor 4:6; bnd. #/TB Yoh 1:14*) dalam penampakan diri Kristus yang menyilaukan di jalan menuju Damsyik. Kemuliaan ilahi hanya dapat kelihatan kalau orang bersembah sujud di hadapan-Nya dengan rasa khidmat dan memuja.

Sifat ini juga meliputi berbagai segi lain. Kemuliaan Allah menunjukkan:

·        ketakterbatasan Allah, yang ”bersemayam dalam terang yang tak terhampiri” ( #/TB 1Tim 6:16*), yang ”tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!” (#/TB Rom 11:33*);

·        keberadaan diri Allah yang tidak tergantung pada apa pun yang lain ( #/TB Kej 1:1*), yang ”tidak dilayani ... seolah-olah Ia kekurangan apa-apa” (#/TB Kis 17:25, bnd. #/TB Yes 40:13*); dan

·        kemantapan Allah yang selalu konsisten, yang tidak berubah (#/TB Mal 3:6;  Yak 1:17;

bnd. #/TB Ibr 13:8*), suatu sifat yang diungkapkan dalam kesetiaan dan keterandalan dalam hubungan Allah dengan umat-Nya dan menjadi dasar perjanjian.

Kemuliaan Allah menyatakan keunggulan dan swasembada Allah yang mutlak.  Penciptaan alam semesta dan manusia adalah perbuatan-perbuatan anugerah yang bebas, bukan keperluan bagi Allah. Dengan begitu, nilai akhir dan arti manusia terletak dalam kemuliaan-Nya itu (bnd. #/TB Ef 1:12*).

Pandangan tentang Allah ini tidak disukai oleh manusia modern. Ada juga orang yang berpendapat bahwa Allah yang swasembada, yang bertindak hanya demi kemuliaan-Nya sendiri, tidak patut dipuja. Namun orang ini lupa bahwa Allah yang mulia juga murah hati, yang mengorbankan diri di kayu salib untuk menyelamatkan manusia. Dengan demikian, sekalipun rencana Allah mencakup kemuliaan-Nya sendiri, namun rencana itu sekaligus ditujukan untuk memperoleh kesejahteraan yang kekal bagi manusia. Prinsip yang mendasari pemikiran ini dinyatakan oleh Calvin: ”Di atas segala-galanya kita dilahirkan bagi Allah dan bukan bagi diri kita sendiri”. Apakah orang setuju atau tidak dengan pernyataan itu merupakan batu ujian bagi seluruh pemikiran manusia mengenai Tuhan.

7.2       Ketuhanan Allah

 

Nama Allah yang paling sering dipakai dalam Perjanjian Lama ialah Yhwh, yang

dihubungkan khususnya dengan perjanjian antara Allah dan bangsa Israel. Yhwh

adalah sebutan Allah bagi diri-Nya ketika Musa menanyakan nama-Nya (#/TB Kel 3:13-15*),

yang diartikan ”AKU ADALAH AKU”. Sebutan itu dapat juga berarti ”Aku akan ada yang Aku akan ada” dan merupakan janji Allah untuk memenuhi rencana-Nya untuk membebaskan Israel dari Mesir dan menempatkan mereka di negeri perjanjian.  Nama itu menunjuk pada kesetiaan Allah kepada bangsa-Nya dan kepastian janji-Nya.

Keyakinan yang sama diperlihatkan dengan menunjuk pada kedaulatan Allah. Ia memerintah dunia dan kehendak-Nya merupakan penyebab akhir dari segala sesuatu, termasuk penciptaan dan pemeliharaan (#/TB Mazm 95:6*; #/TB Wahy 4:11), pemerintahan manusiawi (#/TB Ams 21:1; Dan 4:35*), penyelamatan umat Allah (#/TB Rom 8:29; Ef 1:4,11*), penderitaan Kristus (#/TB Luk 22:42; Kis 2:23), penderitaan orang Kristen (#/TB Fili 1:29*; #/TB 1Pet 3:17), hidup dan masa depan manusia (#/TB Kis 18:21; Rom 15:32*), bahkan soal-soal paling kecil dalam kehidupan (#/TB Mat 10:29*). Allah memerintah di alam semesta-Nya, ditinggikan di atas semua penuntut kekuasaan dan kewenangan. Hanya Dia yang adalah Allah: ”Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain” (#/TB Yes 45:6*, bnd.  #/TB Yes 43:11; 44:8; 45:21*).

Ketuhanan Allah diungkapkan dalam tiga sifat yang terkait, yakni kemahakuasaan, kemahahadiran dan kemahatahuan.

Kemahakuasaan Allah

Allah adalah Yang Mahakuasa (#/TB Kej 17:1*). Hal ini jelas sekali dalam pertanyaan: ”Adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk Tuhan?”, yang ditanyakan setelah Allah menjanjikan seorang anak laki-laki kepada Abraham dan Sara dalam usia mereka yang sudah lanjut (#/TB Kej 18:14*) dan diulangi lagi ketika Yerusalem akan dihancurkan oleh tentara Babel dan Allah menjanjikan akan memulihkan dan membebaskan Yerusalem (#/TB Yer 32:27*). Dalam kedua kasus itu janji Allah ditepati persis.

Ada bukti serupa dalam Perjanjian Baru. Allah menyatakan diri sebagai Dia yang bagi-Nya ”tidak ada yang mustahil”, antara lain kelahiran Yesus dari anak dara (#/TB Luk 1:37*) dan kelahiran kembali manusia yang jatuh dalam dosa (#/TB Mr 10:27*).

Inilah inti ketuhanan Allah yang menuntut sikap kepercayaan penuh di tengah-tengah ”kemustahilan” sejarah manusia dan situasi pribadi. Allah adalah Tuhan: ”Adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk Tuhan?”.

Kemahahadiran Allah

Dia hadir di seluruh alam semesta (#/TB Mazm 139:7-12*). Terpikir akan kehadiran Allah yang menggelisahkan, pemazmur sadar bahwa ia tidak mungkin luput dari Allah baik di ruang, waktu maupun kekekalan. Perzinahan Daud dengan Batsyeba serta kematian suaminya dapat didiamkan di istana Yerusalem, tetapi sudah disaksikan oleh Allah yang sewaktu-waktu dapat membongkarnya (#/TB 2Sam 12:11*). Dalam Alkitab, diceritakan tentang beberapa pembongkaran hal seperti itu oleh Allah (#/TB Kej 3:11; Yos 7:10-26; 2Raj 5:26; Kis 5:1-11*).

Kemahahadiran Allah dapat juga memberikan rasa aman. Kalau kejahatan merajalela dan ketidakadilan serta kekuasaan mutlak tidak ditentang, Allah mengetahui dan melihat semuanya (#/TB Mazm 66:12; Yes 43:2* #/TB Kis 23:11). Ia tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan (#/TB Gal 6:7*) dan Dia telah menetapkan hari untuk menghakimi dunia (#/TB Kis 17:31*). Begitu pula pada saat-saat pencobaan pribadi atau penderitaan karena iman, kita dapat berkata:

” Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbatMu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?” (#/TB Mazm 56:9; bnd.  #/TB Wahy 6:9; 18:24*).

Sifat lain yang berhubungan dengan kemahahadiran adalah kekekalan Allah.  Kemahahadiran di ruang angkasa ada jajarannya dalam waktu. ”Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (#/TB Mazm 90:2*). Tidak ada saat sebelum Dia atau sesudah Dia.

Kemahatahuan Allah

Sifat Allah yang ketiga ini erat hubungannya dengan kemahahadiran-Nya (#/TB Mazm 139:1-12*). Sebab itu dampak praktisnya sama, yaitu menggelisahkan tetapi juga menenteramkan: Allah melihat dan mengetahui segala sesuatu. Ini berhubungan secara khusus dengan tema penghakiman dan diungkapkan secara kiasan sebagai ”dibuka semua kitab” (#/TB Wahy 20:12*). Masa lampau tidak hilang untuk selama-selamanya; seluruh waktu adalah masa kini bagi Allah.  Pada penghakiman terakhir akan diperiksa bukti yang jauh melebihi bukti-bukti yang dipikirkan oleh hakim duniawi. Seluruh kehidupan terdakwa, semua perbuatannya dan motivasinya yang hampir tak disadari serta sikapnya akan diketahui seperti pemutaran kembali film. Penghakiman terakhir oleh Allah itu betul-betul adil. Ini menempatkan misteri-misteri kehidupan perorangan, yaitu kejadian-kejadian yang kelihatan tiada arti, pada perspektif yang sebenarnya: karena Allah mengetahui semuanya, maka misteri-misteri ini juga dimengerti-Nya dan dikendalikan oleh kehendak-Nya. Bagi Allah ada misteri tetapi tidak pernah ada kesalahan.

Sifat ini merupakan dasar gagasan bahwa penyataan diri Allah adalah lengkap.  Seandainya Allah hanya mengetahui sebagian, kebenaran-Nya bersifat sementara saja. Kemahatahuan Allah berarti kita tidak menunggu penyataan lagi yang dapat menggantikan penyingkapan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Sebagai Anak Allah yang kekal, Yesus adalah penyataan yang terakhir, kebenaran yang di dalamnya tersembunyi segala hikmat dan pengetahuan (#/TB Yoh 14:6; Kol 2:3*).  Kemahatahuan Allah juga merupakan dasar pekerjaan Roh Kudus yang menyingkapkan pikiran dan kebenaran Allah dalam Alkitab dan dengan demikian menjamin keter-andalan dan finalitasnya (#/TB Yoh 16:13; 17:17*).

7.3       Kekudusan Allah

 

Ada orang yang merasa kesulitan dalam menghubungkan Allah sebagai pemberi hukum yang kudus, dengan Allah yang penuh kasih dalam Injil. Sebagian orang mencoba mengatasi kesulitan ini dengan terlalu menitik-beratkan kekudusan Allah. Allah digambarkan secara keras dan kaku, yang memaksakan orang tanpa henti-hentinya untuk bergumul secara moral karena ancaman penghakiman kelak. Yang lain terlalu menitik-beratkan kasih Allah dan mengubah-Nya menjadi tokoh yang pemurah dan sentimental, yang tidak ada keteguhan moral. Sedangkan Allah dalam Alkitab adalah kudus dan juga pengasih, dan kedua sifat itu terikat dalam kesatuan yang tak terpisahkan dalam masing-masing oknum Allah.

Kekudusan Allah adalah inti keberadaan-Nya dan terutama menonjol dalam Perjanjian Lama (#/TB Im 11:44; 19:2; Yos 24:19; 1Sam 6:20*;

#/TB Mazm 22:4; Yes 57:15*). Dalam Perjanjian Baru, sifat itu nampaknya tidak dititik-beratkan, tetapi harus diingat bahwa Perjanjian Baru menekankan kepribadian dan pekerjaan Roh yang Kudus. Unsur dasar dalam arti kata Ibrani qodesy (’ kudus’) mungkin sekali ”pemisahan”, dengan pengertian positif bahwa sesuatu dipisahkan supaya menjadi milik Allah. Kalau konsep ini dipakai tentang Allah sendiri, ada dua dampak.

Pertama, Allah terlepas dari oknum-oknum lain; hanya Dialah Allah. Menurut pengertian ini, kekudusan Allah mirip dengan kemuliaan-Nya. Hal ini diungkapkan dalam penglihatan Yesaya: ”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaanNya” (#/TB Yes 6:3*). Dan itu digemakan dalam penglihatan Yohanes seribu tahun kemudian:

”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (#/TB Wahy 4:8; bnd. 1Tim 6:16*). Kekudusan ilahi ini juga diterapkan pada sang Anak (#/TB Mr 9:2; Luk 1:35*; #/TB Kis 9:3; Wahy 1:12) dan Roh Kudus (#/TB Luk 1:13; Kis 2:4; 4:31*; #/TB Ef 4:30; Ibr 9:8*).

Kedua, yang dimaksudkan dengan kekudusan Allah dalam pengertian etis adalah pemisahan diri-Nya dari segala sesuatu yang menentang dan melawan Dia. Inilah dasar semua perbedaan moral. Yang baik adalah yang dikehendaki Allah; yang jahat adalah yang menentang dan melawan kehendak-Nya, dan oleh sebab itu hakikat-Nya juga.

Kekudusan Allah berarti bahwa Ia betul-betul murni dan sempurna, tanpa dosa atau kejahatan; keberadaan-Nyalah yang merupakan penyemarakan dan luapan kemurnian, kebenaran, kebajikan, keadilan, kebaikan serta kesempurnaan moral apa pun.  Tantangan etis yang diakibatkan oleh kekudusan itu cukup jelas dalam Alkitab.  Dalam Kitab Yesaya, Allah sering disebut “Yang Mahakudus, Allah Israel” (#/TB Yes 5:19; Yes 30:12; 43:3*; #/TB Yes 55:5*) yang menghendaki agar Israel mengubah sikapnya dan mengikuti tabiat Allah yang diam di tengah-tengah mereka (#/TB Yes 12:6*). Dalam Perjanjian Baru, Roh Kudus mendiami batin orang Kristen dengan dampak etis yang jelas: orang Kristen harus ”menjauhkan diri dari percabulan” dan “hidup di dalam pengudusan” (#/TB 1Kor 6:18; 1Tes  4:3,7*).

Kegagalan orang dalam mendasarkan kekudusan Allah pada hakikat-Nya menyebabkan kekhilafan mereka yang memisahkan kekudusan dari kasih-Nya. Jika kekudusan adalah kehendak Allah, maka perbuatan kasih dan pengampunan-Nya harus juga merupakan perbuatan kudus.

Ada tiga istilah terkait yang perlu dicatat.

(1)  Keadilan atau kebenaran Allah berarti kesesuaian-Nya yang kudus dengan diri-Nya, dan juga tindakan kehendak-Nya yang kudus: ”adil dan benar Dia” ( #/TB Ul 32:4*). Dalam Perjanjian Lama, sifat ini kelihatan dalam hubungan-Nya dengan penciptaan-Nya (#/TB Mazm 145:17*) dan dengan bangsa-Nya (#/TB Mazm 31:2; Yer  11:20*).

 

Keadilan ini meliputi membebaskan dan membenarkan bangsa-Nya (#/TB Yer 23:6*),

dengan begitu Ia dapat digambarkan sebagai “Allah yang adil dan Juruselamat”

(#/TB Yes 45:21*). Kekurangan keadilan dan kebenaran menempatkan manusia

dalam kedudukan moral yang pelik di hadapan Allah: penyediaan kebenaran oleh

Allah sendiri melalui Kristus menjadi inti Injil anugerah-Nya (#/TB Rom 1:17;  3:21; Rom 5:17-21*).

Beberapa teolog membedakan antara keadilan Allah dalam pemerintahan-Nya atas dunia pada umumnya dan keadilan-Nya yang membagi-bagikan ganjaran dan hukuman.  Sifat ini berhubungan dengan kasih dan anugerah Allah, karena keadilan-Nya kadang-kadang membenarkan orang miskin dan orang yang bertobat (#/TB Mazm 76:10; 146:7*; #/TB 1Yoh 1:9*).

(2)  Murka Allah timbul dari kemantapan diri Allah yang kekal. Watak-Nya yang dinyatakan adalah pengungkapan hakikat-Nya yang tak dapat berubah. Segala sesuatu yang menentang Dia dilawan secara menyeluruh dan final. Murka Allah adalah reaksi Allah yang kudus melawan apa yang berlawanan dengan kekudusan-Nya. Murka Allah itu bersifat pribadi, yakni merupakan sifat dari Pribadi yang menjadi patokan semua kepribadian. Tanpa sifat ini, Allah tidak lagi benar-benar kudus dan kasih-Nya merosot menjadi sentimentalitas. Murka-Nya tidak sewenang-wenang, tersendat-sendat atau emosional seperti kemarahan manusia. Murka Allah dinyatakan dalam sejarah bila manusia memetik hasil moral dan spiritual dari penolakannya terhadap penyataan ilahi (#/TB Rom 1:18-19*), tetapi ini baru bentuk pendahuluan dari murka yang akan dinyatakan pada akhir zaman, yang

kelihatan jelas dalam salib Kristus (#/TB Mazm 78:31; Hos 5:10; Yoh  3:36; Ef 2:3; 1Tes 1:10; Wahy 6:16*).

(3)  Kebaikan Allah dapat digolongkan di bawah kekudusan maupun kasih dan oleh sebab itu menggarisbawahi kenyataan bahwa tidak mungkin memisahkan kedua sifat tersebut (#/TB Kel 33:19; 1Raj 8:66*; #/TB Mazm 34:9; Rom  2:4*).

 

7.4       Kasih Allah

 

“Allah kasih adanya” (#/TB 1Yoh 4:8*) adalah definisi Alkitab yang paling dikenal tentang Allah. Namun di antara manusia, kasih meliputi beraneka ragam sikap dan tindakan. Digunakan untuk Allah, kasih itu mengandung gagasan yang khas. ”Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus AnakNya yang tunggal ke dalam dunia ... sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (#/TB 1Yoh 4:9*).

Kata Yunani yang dipakai dalam Alkitab untuk menyebut kasih Allah (_agape_) tidak banyak dipakai di luar Perjanjian Baru. Ada kata Yunani yang lebih sering dipakai secara umum, yakni eros, yang menyebut cinta-kasih yang berhubungan dengan objek yang layak. Sedangkan agape adalah kasih kepada objek yang tidak layak, yaitu orang yang tidak berhak atas kesetiaan kekasihnya. Dalam Perjanjian Lama, ada kesaksian tentang hal ini berhubung dengan kasih Allah kepada Israel (#/TB Ul 7:7*) dan kasih Hosea kepada istrinya yang tidak setia (#/TB Hos 3:1*).

Ini seolah-olah menghadirkan lagi pemisahan antara kekudusan dan kasih Allah.  Bagaimana Allah yang bertindak bebas dalam kasih dapat disamakan dengan Allah yang kudus, yang mempedulikan kemuliaan-Nya? Akan tetapi, harus diingat bahwa kekudusan Allah adalah dasar dan sumber segala sesuatu yang baik; dengan begitu kita dapat melihatnya sebagai landasan kasih-Nya. Di samping itu, hanya Dia yang adalah Allah sepenuhnya dapat dengan bebas merendahkan diri sepenuhnya dan mengasihi yang lain dengan kasih agape, didasarkan pada saling mengasihi yang kekal di antara ketiga Oknum dalam Tritunggal.

Kekudusan dan kasih bergabung dengan sempurna dalam diri Yesus Kristus dan pekerjaan-Nya. Sebagai Anak Allah, Ia mewujudnyatakan kekudusan ilahi yang terlepas dari dosa dan kejahatan apa pun, namun justru kedatangan-Nya merupakan jawaban kasih Allah yang penuh kemurahan terhadap kesalahan manusia dan keadaannya yang tak berdaya. Kedua sifat itu juga bersatu dalam pelayanan Roh Kudus, yang membaharui dan menguduskan umat Allah sebagai penggenapan rencana kasih Allah.

Sebab itu, kasih Allah selalu erat hubungannya dengan anugerah, seperti Allah

membungkuk untuk memeluk mereka yang tidak layak. Kasih-Nya adalah keputusan-Nya

yang bebas dan tak dipaksa untuk menyelamatkan orang berdosa dalam Yesus Kristus dan memperbarui serta menguduskan mereka dalam Roh Kudus. Karena itu kasih Allah ini sungguh-sungguh merupakan mujizat.

Tiga aspek tambahan perlu dicatat. Pertama, kasih (_agape_) Allah diungkapkan terutama dalam pembebasan orang-orang berdosa serta segala yang berhubungan dengan hal itu. Tetapi kasih ini juga dinyatakan dalam kepedulian-Nya terhadap ciptaan-Nya. Ini sering disebut sebagai kebaikan atau kemurahan yang juga kelihatan dalam alam (#/TB Kis 14:17*).

Kedua,  rahmat Allah adalah kasih-Nya pada saat menghadapi dosa manusia. Dalam rahmat-Nya, Ia mengampuni pelanggaran-pelanggaran manusia. Rahmat Allah selalu mahal harganya karena menyangkut penerimaan konsekuensi dosa manusia di kayu salib oleh Allah (#/TB Ef 2:4*; #/TB Tit 3:5*).

Ketiga, perjanjian adalah gagasan penting dalam Alkitab dan banyak ajaran

tentang kasih Allah berkisar pada hal itu. Perjanjian mengacu pada kasih Allah

ketika Ia mengadakan hubungan dengan manusia. Perjanjian pokok dalam Perjanjian

Lama diadakan dengan Abraham dan mencapai puncak perkembangan dengan perjanjian

baru dalam Kristus. Dengan perjanjian ini, Allah secara bebas mengikat diri-Nya untuk membebaskan umat-Nya dan tetap menjadi Allah mereka. Kata-kata Ibrani untuk anugerah (_khen, khesed_) dipakai berhubungan dengan perjanjian dengan arti kasih setia, atau kasih yang tabah.

Aspek kasih yang ketiga ini adalah jaminan yang paling mendasar bagi orang Kristen: ”jika kita tidak setia, Dia tetap setia” (#/TB 2Tim 2:13*).  Kedudukan orang Kristen di hadapan Allah tidak tergantung dari pegangannya pada Kristus dan akhirnya juga tidak ditentukan oleh ketidakpatuhan atau kekurangan dalam responsnya terhadap Injil. Allah mengasihi kita dan dalam kenyataan inilah terletak jaminan serta damai sejahtera akhirnya.

Inilah Allah yang dinyatakan dalam Alkitab:

Yang Mahamulia, dalam kemegahan yang tak terhampiri;

Yang Mahatinggi, Tuhan atas segala sesuatu, yang memakai segala sesuatu untuk pemenuhan rencana-Nya;

Yang Mahakudus, yang agung dan lepas dari dosa dan kejahatan;

Yang Mahakasih, yang kekal, murah hati dan suka menebus.

 

Bahan Alkitab

Kemuliaan Allah:

#/TB Keluaran 19:1-24:18; Bilangan 14:21; 16:19-20; 1Raja 8:11*;

#/TB Mazmur 19:2; Yesaya 6:1-8; Yehezkiel 1:28*;

#/TB Lukas 9:32; Yohanes 1:14; 1Timotius 6:16; Wahyu 1:8-17; 21:11*.

Ketuhanan Allah:

#/TB Kejadian 12:8; 17:1; Keluaran 3:14-15; Mazmur 135:6; 139:1-12*;

#/TB Amsal 21:1; Yesaya 43:11; 45:6; Yeremia 32:27; Daniel 2:20-21*;

#/TB Matius 10:29; Markus 10:27; Kisah 17:31; Roma 8:29; Galatia 6:7*;

#/TB Efesus 1:11; Wahyu 1:7; 4:11*.

Kekudusan Allah:

#/TB Keluaran 3:5; 19:10-25; 28:36; Imamat 11:45; 1Samuel 2:2*;

#/TB Yesaya 6:1-3; 57:15; Amos 4:2; Zakharia 14:20*;

#/TB Matius 3:7; Markus 9:2; Luk 5:8; Yoh 3:36; Kisah 2:1-2; 4:27,31-32*;

#/TB Roma 1:18; 3:21-31; 1Korintus 1:30; 6:19; Kolose 3:6; 1Tes 4:8*;

#/TB 1Yohanes 1:5,9; Wahyu 4:8; 15:4*;

Kasih Allah:

#/TB Bilangan 14:18; Ulangan 7:8; Neh 9:17; Mazm 86:5; 103:1-22; 118:29*;

#/TB Hosea 3:1*;

#/TB Lukas 11:42; Yohanes 3:16; Roma 5:8; 8:35-36; Galatia 2:20*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Apa yang dimaksudkan dengan

( a) kemuliaan Allah,

( b) ketuhanan Allah,

( c) kekudusan Allah, dan

( d) kasih Allah?

Berikan dasar alkitabiah bagi masing-masing sifat itu.

2.   Coba hubungkan masing-masing sifat dengan ketiga oknum Tritunggal.

3.   Bagaimana pengaruh sifat-sifat ini terhadap

( a) penginjilan Kristen,

( b) prioritas dalam gereja lokal, dan

( c) watak Kristen kita?

4.   Bagaimana usaha Anda dalam menguraikan sifat ilahi ini kepada orang yang

( a) sakit sekali,

( b) menghadapi kegagalan moral pribadi,

( c) berduka cita,

( d) imannya loyo,

( e) mengalami kekecewaan, dan

( f) dalam keadaan hubungan putus dengan kekasihnya?

 

 

Kepustakaan (7)

Bavinck, H.

1977 The Doctrine of God (Banner of Truth).

Charnock, S.

1958 The Attributes of God (Evangelical Press).

Packer, J. I.

1973 Knowing God (Hodder).

Pink, A. W.

t.t.   _ The Attributes of God_ (Reiner Publications).

Mikolaski, S. J.

1966 The Grace of God (Eerdmans).

Tozer, A. W.

1976 The Knowledge of the Holy (STL).

 

 

8.         KARYA PENCIPTAAN

 

Penciptaan adalah karya pertama Allah Tritunggal. Dalam karya itu Ia memberi keberadaan pada segala yang ada, yang sebelumnya tidak ada, baik materi maupun spiritual.

Selain #/TB Kejadian 1:1-2:25*, ada keterangan yang jelas mengenai

penciptaan dalam tiap bagian Alkitab, misalnya Kitab Mazmur (#/TB Mazm 90:2; 102:26-27);

tulisan para nabi (#/TB Yes 40:26-27*; #/TB Yer 10:12-13; Am 4:13); Kitab Injil (#/TB Mat 19:4; Yoh 1:3*); surat-surat rasuli (#/TB Rom 1:25; 1Kor 11:9; Kol 1:16*); dan Kitab Wahyu (#/TB Wahy 4:11; 10:6). #/TB Nehemia 9:6* mengungkapkan kesaksian Alkitab secara jelas:

Hanya Engkau adalah Tuhan! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepadaMu.

Perlu dicatat bahwa masing-masing Oknum dari Tritunggal diikutsertakan dalam penciptaan: sang Bapa (#/TB 1Kor 8:6), Anak (#/TB Yoh 1:30*) dan Roh Kudus (#/TB Kej 1:2; Yes 40:12-13*). Oleh sebab itu, penciptaan adalah kebenaran yang dinyatakan Allah sehingga merupakan ajaran pokok iman Kristen (#/TB Ibr 11:3*).

8.1       Penciptaan dari yang tidak ada

 

Pada mulanya Allah menciptakan alam semesta dari yang tidak ada (Lat. _ex nihilo_). Walaupun ungkapan “dari yang tidak ada” itu tidak terdapat secara langsung dalam Alkitab, namun gagasannya jelas diajarkan oleh Alkitab (#/TB Kej 1:1-2; Mazm 33:6; Yoh 1:3; Rom 4:17; 1Kor 1:28*; #/TB Ibr 11:3*).  Gagasan ini penting pada masa pertikaian gereja mula-mula melawan ajaran Gnostik yang menganggap materi sebagai hal yang jahat.

Kita mengalami penciptaan sebagai penataan kembali bahan yang sudah ada menjadi bentuk dan pola baru. Jadi perbuatan yang menyebabkan munculnya ruang angkasa dan waktu adalah sama sekali di luar daya tangkap kita. Akan tetapi, mengingat bahwa Allah telah menyatakannya, kita dapat meyakini fakta ciptaan, walaupun kita tidak mungkin memahaminya sepenuhnya.

Ada persamaan penting antara ciptaan ex nihilo dengan penebusan (#/TB 2Kor 4:6*).  Hidup baru dalam Roh Kudus bukan seperti pekerjaan perbaikan saja, yang mengubah bentuk tetapi masih menggunakan bahan-bahan yang sama. Roh Kudus menciptakan makhluk yang sama sekali baru (#/TB 2Kor 5:17*).

Secara positif ajaran tentang penciptaan ini menunjukkan kemaha-tinggian Allah yang bebas dan berdaulat serta ketergantungan segala sesuatu pada-Nya. Secara negatif tersirat di dalamnya tiga hal.

Pertama, Allah tidak membuat alam semesta dari zat yang sudah ada sebelumnya.  Hal ini jelas bertentangan dengan pemikiran Plato yang mengakui dua prinsip yang mendasari dunia, yaitu Allah dan zat utama. Melawan segala macam dualisme, ajaran Alkitab tentang penciptaan menegaskan kausalitas tunggal dari Allah, dengan kata lain bahwa Dia sendiri menciptakan segala sesuatu dan sebelumnya tidak ada apa-apa.

Kedua,  beberapa orang telah menafsirkan rumusan ”penciptaan dari yang tidak ada” seolah-olah ”yang tidak ada” itu adalah sesuatu yang ada, yakni sesuatu yang bersifat negatif yang diatasi Allah dalam karya penciptaan-Nya. Spekulasi yang tak beralasan ini tidak ada dukungannya dalam bahan Alkitab tentang ciptaan.

Ketiga, Allah tidak menciptakan dunia dari diri-Nya sendiri. Dunia bukan perluasan dari keberadaan Allah. Dunia diberi keberadaan yang sungguh-sungguh dan bebas, di luar Allah. Karena itu, penciptaan ex nihilo tetap melawan segala bentuk panteisme. Ini mempunyai akibat yang mendalam bagi masalah asal kejahatan; sebab kalau dunia adalah perluasan dari Allah maka (a) kejahatan dan kebaikan sama-sama bersifat final atau (b) tidak ada perbedaan akhir antara yang jahat dan yang baik: apa yang ada adalah baik. Pandangan pertama tadi dianut oleh pengikut Zoroaster dan yang kedua oleh agama Hindu. Ada juga dampaknya bagi penelitian manusia akan dunia, seperti akan dilihat nanti.

8.2       Penciptaan yang berkesinambungan

 

Pandangan Alkitab mengenai Allah sebagai pencipta meliputi pemeliharaan dan pembaruan-Nya terhadap dunia secara terus-menerus dan tak terputus-putus. Ini diungkapkan dengan istilah menopang (#/TB Ibr 1:3*, Yun. feron, har.

‘membawa serta’; #/TB Kol 1:17*, Yun. sunesteken, har. ‘berdiri bersama’

atau ‘bersatu padu’; bnd. #/TB Kis 17:25*) dan juga tersirat dalam partisip-partisip

Ibrani yang dipakai untuk karya penciptaan Allah (#/TB Ayub 9:8-9; Mazm 104:2-3; Yes 42:5; 45:18*).Partisip aktif (dalam bahasa Ibrani) menunjukkan seseorang atau benda yang dipahami sebagai yang tak terputus-putus melakukan suatu kegiatan.

Kegiatan penciptaan yang berkesinambungan ini kelihatan dalam cara Alkitab mengacu pada apa yang kita sebut tatanan alam. Bintang-bintang dan musim (#/TB Ayub 38:31-33; Yes 40:26; Kis 14:17*), perubahan cuaca (#/TB Ayub 39:1-30; Mat 5:45*), putaran kehidupan binatang yang paling kecil (#/TB Ayub 39:1-30; Mat 6:28-30*), putaran kehidupan manusia (#/TB Mazm 104:27-29,35*), kesemuanya dianggap karya langsung dari Allah; begitu pula keterampilan-keterampilan manusia seperti bercocok tanam (#/TB Yes 28:24), tukang besi (#/TB Yes 54:16*) dan keterampilan lain (#/TB Kel 31:2-5) dan tak lupa pula peperangan (#/TB Mazm 144:1*).

Dalam bahasa filsafat dapat dikatakan bahwa Allah menciptakan semesta alam dari yang tidak ada dan karena itu pada setiap saat semesta alam dapat dikatakan tergantung di atas jurang ketidakberadaan. Sekiranya Allah menarik firman-Nya yang menopang, maka semua keberadaan, material maupun spiritual, langsung jatuh ke dalam jurang ketiadaan dan tidak lagi ada. Maka kesinambungan semesta alam dari saat ke saat merupakan mujizat yang sama besar dan sama-sama merupakan karya Allah seperti penciptaannya pada permulaan zaman. Menurut pengertian ini, maka semua manusia hidup dari saat ke saat hanya karena rahmat Allah.

8.3       Masalah bahasa

 

Orang sering membedakan ”alam” (di mana segala sesuatu terjadi menurut hukum sebab-akibat) dan ”alam gaib” atau ”daerah supra-alami” (di mana Allah ada dan bekerja). Perbedaan ini dapat menyesatkan, dan kedua segi penciptaan yang baru diuraikan menyoroti bahaya itu.

Banyak perdebatan antara ilmu pengetahuan dan agama telah diadakan dalam kerangka alam/supra-alami itu, dengan hasil yang merugikan kedua belah pihak.  Pernah dikatakan bahwa Allah adalah aktif dalam ”kesenjangan-kesenjangan” dalam ilmu pengetahuan, di mana yang ”alami” mengalah pada yang ”supra-alami”. Tetapi bila karya Allah hanya dilihat dalam hal-hal yang belum bisa diterangkan oleh ilmu pengetahuan, dan para ahli terus-menerus mengumpulkan penjelasan dan rangkaian sebab-sebab, maka kesenjangan atau wilayah intervensi ilahi menciut praktis sampai nol. Dalam keadaan demikian, orang percaya mempertahankan imannya dengan menolak usaha ilmiah, dan ahli ilmu pengetahuan mempertahankan kejujuran ilmiahnya dengan melepaskan agama Alkitab yang sejati.

Para ahli pikir di Barat cenderung memahami Alam (Ing. Nature) sebagai suatu kuasa yang menguasai alam semesta dan menyebabkan segala fenomena alami. Tetapi dalam pemikiran Ibrani, sebagaimana ditemukan dalam Alkitab, kuasa itu tidak lain dari Allah sendiri. Menurut pandangan Alkitab, ”peristiwa alami” seperti hujan dan ”peristiwa supra-alami” seperti ”hujan burung puyuh” (#/TB Kel 16:1-36*) kedua-duanya merupakan perbuatan Allah. Bagi Alkitab, kelanjutan dunia saja adalah mujizat, dalam arti bahwa dunia sama sekali tergantung pada Allah untuk kelanjutan eksistensinya. Oleh sebab itu, penciptaan tidak lebih ajaib daripada pemeliharaan tatanan alam, dan kegiatan kreatif dapat diteliti sama seperti kegiatan pemeliharaan.

Pandangan Alkitab ini dapat ditelusuri sepanjang sejarah teologi dan tercermin pada tokoh-tokoh Kristen yang menjadi bapa-bapa revolusi pengetahuan modern (misalnya Galileo, Kepler dan Newton, untuk menyebut beberapa ahli termashyur saja; bnd. Hooykaas 1972). Oleh sebab itu dalam beberapa hal, lebih baik menggantikan perbedaan alami/supra-alami dengan perbedaan lain seperti imanen/transenden yang sejarahnya lebih panjang dan yang menggambarkan kegiatan penciptaan Allah yang berkesinambungan dalam alam semesta secara lebih baik.

Gagasan alkitabiah ini harus dibedakan dengan pandangan filsafat bukan

alkitabiah, yang juga dikenal sebagai teori “penciptaan berkesinambungan”, yang

mengajarkan bahwa Allah sendiri juga berkembang dan mengalami evolusi bersama-sama dengan dunia.

Secara ringkas, ajaran tentang penciptaan menegaskan dua pokok:

·        ketuhanan Allah yang bebas dan berdaulat atas dunia; dan

·        ketergantungan segala sesuatu pada Allah secara penuh dan tanpa batas.

Mengenali Kebenaran—Bab 8. Karya Penciptaan [Indeks 01005]

8.4       Usaha ilmiah

 

Ajaran bahwa Allah menciptakan ex nihilo sangat penting bagi penelitian ilmiah terhadap dunia. Kendatipun tergantung sama sekali pada Allah untuk keberadaannya, namun dunia berbeda dengan Allah. Allah tidak menciptakan dunia dari diri-Nya sendiri. Karena itu dunia dapat diteliti tanpa mencari keterangan di luar dunia.

Pendekatan Kristen kepada usaha ilmiah tidak mencari Allah dalam kesenjangan penjelasan ilmiah, melainkan dengan kagum melihat alam semesta sebagai ciptaan dan pemberian-Nya. Karya Allah kelihatan dalam penjelasan ilmiah sama seperti dalam kesenjangan pengetahuan ilmiah. Alam bersaksi tentang kuasa serta kemegahan ilahi (#/TB Kis 14:17*; #/TB Rom 1:20*) walaupun tentulah Allah dapat dipahami benar-benar hanya melalui firman-Nya, baik yang tertulis maupun yang menjelma. Dengan demikian ajaran Alkitab tentang penciptaan tidak bertentangan dengan penyelidikan ilmiah.

Ini juga benar dalam pengertian lebih lanjut. Proses-proses alami bukan peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja, tetapi merupakan respons ciptaan kepada perintah sang Pencipta. Dengan demikian pernah dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada hukum-hukum alam, hanya ada kebiasaan-kebiasaan Allah. Justru karena itu, proses-proses alami dapat diandalkan dan diramalkan sesuai dengan kemantapan diri dan kesetiaan sang Pencipta. Keseragaman sebab-sebab alami yang menjadi dasar eksperimen ilmiah adalah dampak langsung dari penyataan Alkitab.  Bukan kebetulan bahwa revolusi ilmiah terjadi di negara Barat yang beragama Kristen pada penghujung abad pertengahan, begitu pula tidak kebetulan bahwa banyak pemimpin revolusi itu adalah orang Kristen yang berpegang pada iman Alkitab.

8.5       Mujizat

 

Kalau begitu, apakah kekristenan itu hanya suatu cara khusus untuk memandang alam semesta? Bagaimana dengan hal mujizat dan keyakinan tradisional bahwa itu adalah tindakan Allah di dunia?

Dalam rangka pengertian Kristen tentang Allah dan alam semesta, maka semesta alam milik Allah terbuka di hadapan-Nya. Ia berdaulat dan bebas dan pada saat mana pun Dia dapat mengatur dunia-Nya menurut cara yang lain, seandainya demikian kehendak-Nya. Apakah Ia akan berbuat demikian? Jawabannya tergantung pada pertanyaan lain: mengapa Allah menciptakan dunia? Dan jawaban terhadap pertanyaan itu melibatkan penciptaan umat manusia oleh Allah untuk menerima penyataan Allah tentang diri-Nya, untuk menikmati hubungan dengan Allah dan untuk memuliakan Penciptanya.

Dengan demikian tindakan Allah pada saat-saat tertentu yang kritis dalam sejarah untuk menyatakan diri dengan jelas dan untuk menjalin hubungan yang memuaskan dengan umat manusia bukan saja mungkin tetapi hampir pasti. Pada waktu-waktu seperti itu Allah bertindak secara luar biasa, meskipun juga di sini proses-proses alami tercakup dalam tindakan-Nya (misalnya keterangan mengenai angin pada peristiwa pembelahan Laut Merah, #/TB Kel 14:21*). Tindakan Allah dalam peristiwa ini sesuai sekali dengan keseluruhan rencana-Nya, dan oleh karena itu tidak sewenang-wenang dan tidak pula terlalu banyak jumlahnya, dan berpusat pada penyataan diri Allah yang paling agung dalam Yesus Kristus.

Dengan kerangka dasar ini, orang percaya dapat hidup dalam keyakinan teguh akan penebusan ajaib yang Allah kerjakan dalam Yesus Kristus pada masa lampau, dan akan perhatian Allah dan kebebasan-Nya yang berdaulat untuk mengabulkan doa dan menggenapkan rencana penebusan-Nya pada waktu sekarang dan yang akan datang.

Seorang ilmuwan Kristen dapat sekaligus melakukan penyelidikan dengan penuh

keyakinan akan kemantapan Allah sebagaimana terungkap dalam keteraturan-keteraturan

yang diamati dalam alam semesta fisik pada masa lampau dan yang akan datang.

Pandangan bahwa mujizat tidak mungkin terjadi kelihatan lebih kuat ketika pengikut-pengikut Newton menggambarkan alam semesta sebagai mekanisme tertutup yang bekerja menurut prinsip-prinsip melangsungkan diri. Bila model ”mesin” itu diterima, maka mujizat merupakan campur tangan ilahi yang tidak perlu dalam alam yang seragam dan berpautan. Tetapi teori relativitas yang dikemukakan Einstein telah memberikan gambaran baru mengenai alam semesta, sehingga pembatasan dulu yang tajam antara materi dan roh serta gagasan tentang hukum gerakan yang tak dapat diubah, sebagian besar harus dilepaskan. Ini tidak berarti bahwa ilmu pengetahuan telah membuktikan agama. Masih ada pokok-pokok yang menyebabkan ketegangan. Tetapi kita tidak perlu terikat pada gambaran semesta alam yang sifat alaminya menutup kemungkinan mujizat. Pada masa kini sebagian besar para ahli tidak begitu dogmatis tentang fenomena apa yang dapat terjadi atau tidak dapat terjadi dalam semesta alam.

Ada juga beberapa filsuf yang menganggap bahwa mujizat tidak mungkin terjadi, misalnya Hume (belakangan ini diperbarui oleh beberapa pemikir skeptis seperti Flew). Namun tak satu pun dari argumen-argumen yang dikemukakan bersifat meyakinkan. Usaha menyangkal terjadinya mujizat secara prinsip hanya dapat berhasil kalau kesimpulannya diterima dahulu sebagai dasar pemikiran. Pada akhirnya terjadi atau tidaknya mujizat menjadi persoalan menyelidiki setiap peristiwa ajaib dan menimbang bukti yang ada sangkut pautnya. Berdasarkan prakiraan alkitabiah-teistis, kemungkinan terjadinya mujizat tidak perlu dipersoalkan.

8.6       Masalah asal usul

 

Apa kaitannya antara kisah Alkitab tentang penciptaan (#/TB Kej 1:1-2:25*) dan penjelasan yang diberikan para ahli ilmu alam, yang kadang-kadang menolak adanya ”titik permulaan” atau menempatkannya pada masa dulu yang tak terbatas?

a.         Kisah dalam Kitab Kejadian

 

Pasal-pasal pembukaan Kitab Kejadian sepenuhnya diilhami oleh Roh Kudus seperti bagian lain dari Alkitab. Yesus Kristus serta para rasul jelas melihatnya demikian (lihat misalnya #/TB Mat 19:4; Mr 10:6; 13:19*;

#/TB Yoh 1:1; Kis 17:24; 1Kor 6:16; 11:7,9; 15:45,47; 2Kor 4:6; Ef 5:31*;

#/TB Kol 3:10; Yak 3:9; 2Pet 3:5; Wahy 2:7; 22:2,14,19*). Jadi kita tidak mempersoalkan bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah, hanya tafsiran yang tepat tentang bahan tentang itu dalam Alkitab.

Salah satu pendekatan menafsirkannya secara harfiah. Alam semesta dibentuk oleh Allah dari yang tidak ada melalui enam sabda selama enam periode berturut-turut yang terdiri dari 24 jam. Variasi pendekatan ini melihat ”hari” dalam Kitab Kejadian sebagai zaman atau tahapan dalam pembentukan kosmos oleh Allah (bnd.  #/TB Mazm 90:4; 2Pet 3:8*). Variasi lain menganggap ”enam hari” itu sebagai kurun waktu enam hari yang digunakan untuk menyatakan ciptaan kepada penulis Kitab Kejadian atau yang digunakan untuk menjelaskannya kepada bangsa Israel.  Pendekatan lain lagi melihat keseluruhannya itu bersifat gambaran saja, rinciannya kurang penting dibandingkan dengan tema utama, yakni bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dalam alam semesta.

Pada bagian pertama di atas ditekankan bahwa Alkitab harus ditafsirkan menurut bentuk sastranya (puisi sebagai puisi, sejarah sebagai sejarah, dst.) dan bahwa maksud si penulis harus dipertimbangkan. Dalam hal ini timbul pertanyaan, apakah #/TB Kejadian 1:1-2:25*: berbentuk puisi religius atau tulisan ilmiah tentang asal semesta alam? Ataukah pasal-pasal itu menggabungkan keduanya dan menjadi kisah peristiwa yang benar-benar terjadi dan juga menyampaikan kebenaran religius?

Dalam usaha mencari jawaban atas pertanyaan seperti ini, ada baiknya menyelidiki perikop-perikop Alkitab lain yang mengacu pada hal-hal alami. Kesimpulan-kesimpulan yang muncul adalah sebagai berikut:

·        bahasa Alkitab pada umumnya bahasa populer, yang berusaha menyampaikan berita penyelamatan kepada semua bangsa pada setiap zaman, dan oleh karena itu menggunakan bahasa populer yang tidak teknis;

·        bahasa Alkitab adalah bersifat fenomenal, artinya berkaitan dengan apa yang nampak dan menggambarkan sesuatu dari sudut pandang pengamat, sehingga matahari disebut “terbit” dan “terbenam” (walaupun sebenarnya yang bergerak adalah bumi, bukan matahari);

·        bahasa Alkitab tidak teoretis dan tidak langsung mengemukakan teori tentang hakikat benda atau suatu kosmologi tertentu, walaupun tentu saja ajarannya relevan dengan masalah-masalah seperti itu, misalnya dengan melawan dualisme dan panteisme;

·        bahasa Alkitab menyampaikan penyataan ilahi terutama melalui kebudayaan zamannya.

 

Semua faktor itu perlu dipertimbangkan dengan saksama sebelum kita mengemukakan pendapat tentang tafsiran #/TB Kejadian 1:1-2:25*: yang tepat.

b.         Persoalan lain

 

Pertama, gagasan ciptaan waktu menimbulkan kesulitan khusus. Augustinus memperhatikan ini berabad-abad yang lalu ketika mengatakan bahwa Allah tidak mencipta di dalam waktu tetapi dengan waktu. Manusia tidak dapat memahami peristiwa seperti itu dengan tepat, oleh karena semua pemikiran kita berlandaskan pengertian waktu sebagai masa yang terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Dalam tiap sistem yang dapat diterima menurut penalaran manusia, tiap peristiwa ada masa lampaunya yang dalam prinsip dapat diketahui. Jadi tindakan mencipta pada prinsipnya tidak dapat diselidiki manusia karena tidak ada masa lampau sebelumnya: masa lampau yang dalam prinsip dapat diketahui adalah bagian dari apa yang dijadikan Allah pada saat menciptakan ruang dan waktu.

Kedua, ruang dan waktu saling berkaitan. Terjadinya semesta alam pada titik tertentu di dalam waktu juga menyiratkan terjadinya pada titik tertentu di dalam ruang. Hal ini seharusnya membuat kita hati-hati sebelum berbicara mengenai dampak kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian itu bagi keterangan ahli fisika mengenai asal usul alam semesta (lihat juga pembahasan tentang teori evolusi di bawah: ps 11.2.b.).

Ada banyak buku yang membahas persoalan ini secara lebih mendalam. Di sini cukuplah dikatakan bahwa kita berbicara tentang penciptaan pada permulaan zaman karena begitulah kata Alkitab. Kita jangan ragu-ragu berbicara tentang tindakan Allah pada permulaan zaman, yang menciptakan alam semesta dari yang tidak ada. Tetapi alangkah baiknya bila kita tidak terlalu ketat mengenai penafsiran bahan Alkitab tentang caranya alam semesta itu diciptakan.

8.7       Penciptaan dunia rohani

 

Karya penciptaan Allah tidak terbatas pada alam semesta yang dapat dilihat, tetapi meliputi juga alam rohani (#/TB Mazm 148:2,5; Kol 1:16*). Waktu penciptaannya tidak disebutkan dalam Alkitab, tetapi #/TB Kej 1:1-2:25*: menyarankan bahwa dunia rohani dan jasmani terjadi secara bersamaan (#/TB Kej 1:1; 2:1; namun bnd. #/TB Ayub 38:4-7*).

Makhluk yang mendiami dunia rohani digambarkan dengan bermacam cara seperti:

malaikat, roh, setan, kerub, seraf, anak-anak Allah, pemerintah, kuasa, penguasa (#/TB Yes 6:2; Rom 8:38; Ef 6:7*). Ada dua yang dikenal namanya, yakni Gabriel (#/TB Luk 1:26) dan Mikhael (#/TB Dan 12:1*; #/TB Wahy 12:7).  Mereka tidak memiliki tubuh jasmani (#/TB Ibr 1:7*) dan dikatakan jumlahnya banyak sekali (#/TB Ul 33:2; Mazm 68:18; Mat 26:53*; #/TB Mr 5:13; Wahy 5:11*).

Tugas mereka antara lain ialah memuja Allah (#/TB Yes 6:1-13*; #/TB Wahy 4:1-11*),

melaksanakan kehendak Allah (#/TB Mazm 103:20*) dan melayani ”mereka yang

harus memperoleh keselamatan” (#/TB Ibr 1:14*). Secara khusus mereka

dihubungkan dengan pelayanan dan misi Yesus (#/TB Mat 1:20; 4:11; 28:2; Yoh 20:12; Kis 1:10*).

Berbeda dengan nenek moyang kita, orang Kristen kini tidak begitu memikirkan malaikat Allah. Kita enggan terhadap pokok ini karena pengaruh masyarakat modern yang tidak percaya adanya dunia rohani, kesadaran akan bahaya perasaan ingin tahu di bidang ini dan keseganan menampilkan perantara Allah dan manusia selain Kristus (keseganan yang timbul dari ekses dalam gereja tertentu). Dan Alkitab memang tidak memberi tempat yang menonjol kepada pelayan-pelayan surgawi Allah ini. Namun perhatian yang makin besar terhadap setan-setan dan roh-roh jahat lain dalam masyarakat modern, dan daya pesona cerita-cerita fiksi tentang ilmu pengetahuan, seharusnya mendorong kita merenungkan ”beribu-ribu malaikat”, kumpulan meriah warga-warga tatanan surgawi, yang antara lain sibuk melayani kepentingan kita (#/TB Ibr 1:14; 12:22*).

Dua bahaya muncul. Ada kemungkinan orang praktis mengabaikan ajaran ini, seperti yang terjadi dalam banyak tulisan teologi modern. Pada pihak lain, orang dapat terlalu menitikberatkannya, khususnya mengenai setan. Menjadi orang Kristen alkitabiah berarti bukan saja percaya pada segala yang diajarkan oleh Alkitab, tetapi juga menjaga keseimbangan antara berbagai ajaran di dalam Alkitab. Oleh sebab itu, kita harus memandang serius terhadap pergumulan dengan kuasa-kuasa jahat, sebagaimana dilakukan Yesus dan para rasul. Namun dimensi ini tidak terlalu muncul di dalam Perjanjian Baru dan harus demikian juga dalam pemikiran kita.

Keseimbangan alkitabiah sekali lagi harus menentukan sikap dalam memikirkan roh-roh jahat. Mereka pun makhluk Allah, yang keberadaannya tergantung pada Dia, dan akhirnya merupakan pelayan maksud-Nya. Agaknya jelas bahwa mereka tidak diciptakan jahat (#/TB Kej 1:31*; bnd. #/TB 2Pet 2:4*). Seperti umat manusia mereka jatuh, mungkin karena kesombongan (#/TB Yud 1:6*). Menurut pandangan lama, berdasarkan tafsiran salah dari #/TB Kejadian 6:2*, mereka jatuh karena nafsu birahi tetapi pandangan ini harus ditolak. Mengenai seluruh bidang ini tidak baik untuk berspekulasi. Iblis atau Setan (=’ lawan’) sering disebut sebagai pemimpin kuasa-kuasa jahat (#/TB Mat 25:41; Yoh 8:44; 2Kor 11:14*;

#/TB 1Yoh 3:8; Wahy 12:9*). Dalam Alkitab ia disebut “ilah zaman ini” (#/TB 2Kor 4:4*), yang aktif menentang Allah dan pemerintahan-Nya. Kristus mengalahkan Iblis dan tatanan roh-roh jahat melalui karya pendamaian-Nya (#/TB Yoh 12:31; Kol 2:15; Ibr 2:14*) dan kemenangan itu akhirnya akan disempurnakan pada saat Ia datang kembali (#/TB 2Tes 2:8*; #/TB Wahy 20:10*).

Bahan Alkitab

#/TB Kejadian 1:1-2; Ayub 26:13; 33:4; Mazmur 90:2; 102:27-28; 148:2,5*;

#/TB Yesaya 40:26-27; Yeremia 10:12-13; Amos 4:13*;

#/TB Matius 19:4; Yohanes 1:3; Roma 1:25; 1Korintus 8:6; Kolose 1:16*;

#/TB Ibrani 11:3; Wahyu 4:11; 10:6*.

Penciptaan ”dari tidak ada”:

#/TB Kejadian 1:1; 2:4; Mazmur 33:6*;

#/TB Yohanes 1:3; Roma 4:17; 1Korintus 1:28; 2Korintus 5:17; Ibrani 11:3*.

Kebergantungan:

#/TB Mazmur 104:27-30; Yesaya 42:5*;

#/TB Kisah 17:26-28; Kolose 1:17; Ibrani 1:3*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Sebutkan ajaran Kristen tentang penciptaan dan tunjukkan dasarnya.

2.   Jelaskan mengapa orang Kristen sepanjang masa mengartikan penciptaan ”dari yang tidak ada”. Selidiki dampak pandangan ini

 

( a) secara negatif, yakni apa yang ditolaknya, dan ( b) secara positif, yakni apa yang ditegaskannya.

3.   Apa makna sikap Allah yang menopang semesta alam terhadap cara berpikir tentang hubungan-Nya dengan dunia?

4.   Dalam hal apa ajaran Alkitab tentang penciptaan dapat menyumbang kepada penyelidikan ilmiah?

5.   Sebutkan pertimbangan-pertimbangan yang harus dipakai dalam menafsirkan kisah penciptaan dalam #/TB Kejadian 1:1-31 dan #/TB Kejadian 2:1-25*.

6.   Pernah dikatakan, ”Mujizat tidak terjadi”. Orang lain berkata “Mujizat harus dialami sebelum dapat dipercayai”. Bahaslah kedua pendapat ini.

7.   Apa yang Alkitab ajarkan mengenai malaikat Allah? Manfaat apa yang dapat ditarik orang Kristen dari ajaran ini?

 

Kepustakaan (8)

Artikel “Miracles” dalam IBD.

Geisler, N.

1976 Christian Apologetics (Baker).

Hooykas, R.

1959 Natural Law and Divine Miracle (Brill).

1972 Religion and the Rise of Modern Science (Scottish Academic Press).

Jeeves, M. A.

1969 The Scientific Enterprise and Christian Faith (Tyndale Press).

Klaaren, E. M.

1977 Religious Origins of Modern Science (Eerdmans).

Lewis, C. S.

1960 Miracles (Fontana).

Mackay, D. M.

1965 Christianity in a Mechanistic Universe (IVP).

1973 Science and Christian Faith Today (Falcon).

1974 The Clockwork Image (IVP).

1978 Science, Chance and Providence (OUP).

Ridderbos, N. H.

1957 Is There a Conflict Between Genesis I and Natural Science? (Eerdmans).

Schaeffer, F. A.

1972 Genesis in Space and Time (Hodder).

 

9.   KARYA PEMELIHARAAN

 

Istilah ”pemeliharaan” menyebut karya sang Pencipta yang memelihara semua makhluk-Nya, bekerja dalam segala sesuatu yang terjadi di dunia dan mengarahkan segala hal kepada tujuan yang ditetapkan-Nya. Dengan demikian ajaran tentang pemeliharaan berhubungan erat dengan ajaran tentang penciptaan. Pemeliharaan menyatakan bahwa Allah yang menyebabkan dunia ini terjadi senantiasa mempertahankan, memperbarui dan mengaturnya. Ajaran ini digambarkan dalam kisah Yusuf, yang diculik dan dibuang ke Mesir: pada kemudian hari peristiwa itu dilihat sebagai pemeliharaan Allah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang dilanda kelaparan (lihat #/TB Kej 45:1-28*).

9.1     Jangkauan pemeliharaan

 

Menurut Alkitab, pemeliharaan Allah meliputi seluruh alam semesta dan Allah

bekerja dalam segala sesuatu (#/TB Mazm 115:3; Mat 10:30; Ef 1:11*). Gejala-gejala

alam seperti angin dan hujan, bahkan yang kelihatan sebagai musibah (#/TB Luk 13:1-5*),

diatur oleh Dia. Kejahatan sekalipun ada di bawah kuasa-Nya dan digunakan untuk rencana-Nya (#/TB Kej 50:20*; #/TB Kis 2:23; Fili 1:17-18*).

Untuk mengurangi kesulitan moral yang timbul karena ajaran ini, beberapa teolog menyatakan bahwa Allah pada umumnya bekerja di ”latar belakang” dengan menyediakan ”masukan” yang perlu untuk hidup, yang kemudian berjalan menurut prinsip-prinsipnya sendiri secara relatif bebas. Melawan pandangan ini Calvin mengemukakan pengertian Alkitab mengenai pemeliharaan dengan menegaskan bahwa kemahakuasaan Allah berarti Ia memerintah surga dan dunia melalui pemeliharaan-Nya, dan mengatur segala sesuatu sehingga tak ada yang terjadi tanpa pertimbangan-Nya.

Sang Pemelihara yang bertindak untuk menopang dan mengarahkan dunia adalah Allah

Tritunggal. Hal ini sangat penting diingat bila membedakan pandangan Kristen

dengan teori kausalitas buta atau nasib, sebagaimana diajarkan oleh aliran Stoa

pada zaman dulu dan dalam beberapa agama pada masa kini. Tujuan karya Allah

dalam dunia adalah rencana-Nya untuk menyelamatkan dan menguduskan manusia dan

rencana itu berpusat pada Yesus Kristus. Demikianlah bila kita membaca bahwa ”Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan” bagi umat-Nya (#/TB Rom 8:28*), maka kita harus mengerti bahwa kebaikan yang dimaksud ialah hal memilih dan mengubah umat-Nya agar menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (#/TB Rom 8:27*).

Kadang-kadang dibedakan antara kausalitas Allah yang primer dan sekunder. Yang pertama berarti peristiwa-peristiwa di mana Allah bertindak langsung tanpa perantaraan manusia, seperti kebangkitan Yesus; yang kedua menyangkut peristiwa di mana Allah bertindak dengan perantaraan faktor-faktor dalam ciptaan, seperti ketika menentukan timbul tenggelamnya bangsa-bangsa atau pengaturan hidup umat-Nya sehari-hari.

Perbedaan yang serupa kadang-kadang diadakan antara kehendak Allah yang

mengarahkan dan kehendak-Nya yang membiarkan. Yang pertama menyangkut peristiwa-peristiwa

yang diarahkan-Nya secara berdaulat untuk penggenapan rencana anugerah dan penghakiman-Nya, sedangkan yang terakhir menyangkut peristiwa-peristiwa yang dibiarkan terjadi. Meskipun tidak selalu mudah menerapkannya dalam praktek, namun perbedaan ini perlu untuk menyangkal bahwa Allah menyebabkan kejahatan.

Namun harus diingat, kalau kejadian mengerikan seperti peristiwa kayu salib

dapat dikatakan terjadi oleh karena Allah menghendakinya (#/TB Kis 2:23*),

maka ada kemungkinan bahwa hal-hal lain yang sekarang kelihatannya menentang

rencana Allah, bila dilihat dari segi kekekalan akan kelihatan sebagai sesuatu

9.2     Pemeliharaan dan kejahatan

 

Bagaimana kita dapat mempertemukan pemerintahan Allah dalam pemeliharaan dengan

kejahatan dan dosa dalam dunia ini? Usaha memecahkan masalah ini disebut ”teodiki”. Dalam kepustakaan pada akhir pasal ini didaftarkan beberapa karya filsafat dan apologetika yang memakai alasan-alasan rasional untuk mencoba menyelaraskan fakta kejahatan dengan keyakinan Kristen bahwa Allah bersifat baik dan Mahakuasa.

Alkitab mengakui masih adanya rahasia dalam hal kejahatan dan dosa (#/TB 2Tes 2:7*).  Pendekatan alkitabiah terhadap masalah kejahatan pada dasarnya bersifat praktis dan tidak banyak membahas asal usul kejahatan melainkan memberi kesaksian tentang kemenangan Kristus atas kejahatan dan membawakan penghiburan dan ketenteraman dari Allah bagi umat-Nya yang menderita. Agama Alkitab bukanlah idealisme yang terlepas dari kenyataan, yang menggambarkan kehidupan seolah-olah bebas dari kebingungan, kesedihan dan penderitaan. Dalam Alkitab kejahatan dan penderitaan selalu dilihat dalam konteks hakikat dan masa depan manusia, serta pribadi dan karya Kristus.

Dalam hal hakikat manusia, Alkitab menceritakan bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa (#/TB Kej 3:1-24; Rom 5:12-13*). Dunia yang kita alami sekarang termasuk kejahatan dan penderitaan, tidak sesuai lagi dengan maksud Allah atau dalam keadaan sebagaimana diciptakan semula. Kendatipun Alkitab tidak menyingkapkan asal mula kejahatan, namun ditegaskan bahwa manusia dijadikan dengan kesanggupan untuk melawan kejahatan dan mengakui Allah saja sebagai Tuhannya. Adam tidak mematuhi Allah dan dengan demikian dia membuka jalan masuk bagi kejahatan dan penderitaan ke dalam kehidupan manusia (#/TB Kej 3:14-19*;

#/TB Rom 5:12-21*). Dosa sebagai pemberontakan melawan sang Pencipta membawa akibat-akibat serius dan meluas untuk alam semesta yang mencerminkan kekudusan Penciptanya. Ini tidak berarti bahwa selalu ada hubungan langsung antara dosa seseorang dan penderitaan yang dialami orang itu. Namun ada kaitannya karena seluruh dosa kita bersumber dari Adam, yang menjebloskan seluruh alam semesta secara progresif maupun retrogresif ke dalam kerontokan dan kejahatan, dan dengan demikian terjadilah kemungkinan penderitaan.

Dalam hal masa depan manusia, Alkitab menempatkan kejahatan dan penderitaan

dalam konteks kemenangan rencana Allah bagi manusia kelak. Dosa, kejahatan dan

penderitaan bukan merupakan bagian rencana asli Allah bagi manusia, juga bukan

merupakan bagian permanen dari pengalamannya. Hal-hal ini merupakan gangguan-gangguan

sementara yang tidak dapat mencegah kenyataan akhir dari rencana-Nya pada saat “Allah ada di tengah-tengah manusia ... Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita” (#/TB Wahy 21:3-4*).

Dalam diri Kristus, Allah telah mengambil daging manusia dalam kepekaan dan

kelemahannya, suatu dimensi penting lain lagi dari tanggapan Alkitab terhadap

masalah kejahatan. Persamaan jati diri Kristus dengan kita mencapai ungkapan

paling mulia di kayu salib, di mana Allah menerima penderitaan manusia menjadi

penderitaan-Nya sendiri dan memasuki penderitaan manusia yang paling dalam,

dengan mengubah kengerian Golgota menjadi alat pengampunan dan kegembiraan bagi

semua yang percaya.

Dalam terang kebangkitan Yesus, kita lihat kemenangan Allah atas segala kuasa kejahatan dan kegelapan. Kemudian, melalui hidup baru di dalam Kristus yang dikerjakan Roh Kudus, orang dapat masuk ke dalam kerajaan Allah dan mulai mengalami kuasa-kuasa zaman yang akan datang di mana semua kuasa kebinasaan tidak ada lagi.

Dari segi kedatangan Kristus kembali, jelas bahwa tatanan dosa dan penderitaan sekarang ini bukan realitas terakhir. Kita yang berada dalam dunia tidak mendapat sudut pandang yang memadai untuk menilai sifatnya yang benar. Iman Kristen mengharapkan kembalinya Kristus, ketika ketidakadilan dan penderitaan kehidupan sekarang akan hilang dan segala sesuatu akan kelihatan dalam terang penyataan Allah serta kemenangan sepenuhnya dari rencana-Nya. Boleh dikatakan perspektif akhir Kristen sebenarnya bersifat doksologis, yaitu pemujaan Allah karena Ia menang atas segala lawan-Nya.

Bahan Alkitab

#/TB Kejadian 22:8; 45:1-28; Ulangan 8:18; 2Raja 19:28; Nehemia 9:6*;

#/TB Mazmur 76:11; 104:20-21,30; 115:3; 136:25; 145:15; Dan 4:3; Amos 3:6*;

Markus 5:45; 10:29-30; Lukas 13:1-5; Kisah 14:17; 17:28;

#/TB Roma 8:28; Filipi 2:13; Kolose 1:17; 1Timotius 6:15*.

 

Bahan diskusi/penelitian

1.   Apa yang dimaksudkan dengan pemeliharaan oleh Allah?

Apa dasar Alkitab untuk pemahaman ini?

Selidikilah dampak-dampak kepercayaan akan pemeliharaan itu bagi kehidupan sehari-hari.

2.   Bahaslah ketepatan pembedaan antara kehendak Allah yang mengarahkan dan yang membiarkan.

3.   Apa ”masalah kejahatan”?

Dalam menghadapi masalah ini, wawasan apa yang diperoleh dari hubungannya

dengan

( a) kejatuhan manusia

( b) penjelmaan Kristus

( c) salib dan

( d) kembalinya Kristus?

 

4.   Apa yang Anda jawab kepada orang yang bertanya, “ Mengapa doaku untuk penyembuhan tidak terjawab?” atau ” Mengapa Tuhan membiarkan ibuku meninggal dalam kecelakaan lalu lintas?”

 

Kepustakaan (9)

Berkouwer, G. C.

1952 The Providence of God (Eerdmans).

Carson, H. M.

1978 Facing Suffering (Evangelical Press), Farrer, A. M.

1966 Love Almighty and Ills Unlimited (Fontana).

Lewis, C. S.

1957 The Problem of Pain (Fontana).

Orr, J.

1947 The Christian View of God and the Word (Eerdmans).

Whale, J. S.

1936 The Problem of Evil (SCM).

 

 

10. PENERAPAN

 

10.1   Keberadaan dan tabiat Allah

 

Siapakah Allah? Jawaban kita terhadap pertanyaan tersebut boleh dikatakan hal yang paling penting mengenai kita. Apabila kita mengenal Allah, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus, sempurna dalam kemuliaan, ketuhanan, kekudusan dan kasih, maka pastilah hal itu mempengaruhi seluruh kehidupan kita.

a.         Dia harus disembah

 

Percaya kepada Allah yang demikian berarti dipanggil untuk:

·        mencurahkan diri di hadapan-Nya sambil menyembah Dia dengan rasa terima kasih dan puji-pujian serta bersukacita di dalam Dia;

·        menikmati kebenaran, keindahan, kemurnian dan kesetiaan-Nya; memuliakan anugerah, rahmat, kebaikan dan kasih setia-Nya;

·        bergembira atas kebebasan-Nya yang berdaulat dan kuasa-Nya yang tak terbatas;

·        membesarkan nama-Nya karena kemegahan dan kemuliaan-Nya;

·        mengaku Dia sebagai realitas terakhir, kebenaran segala kebenaran, sukacita segala sukacita, kasih segala kasih, terpuji selama-lamanya.

 

Percaya kepada Allah demikian berarti mengaku dan menyembah Dia sebagai Allah Tritunggal, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus yang bersatu dan tak terpisahkan secara abadi, berhubungan secara sempurna, masing-masing berada dan bekerja dalam kesatuan yang sempurna dengan oknum-oknum yang lain, selalu satu, selalu tiga. Hal itu juga berarti mengaku dan menyembah Dia di dalam kekayaan yang tak terperikan dan keindahan yang kekal sebagai Allah, yang di samping-Nya segala sistem kebenaran memudar menjadi bayangan yang fana, berhala yang menyedihkan, yang sama sekali tidak sanggup bertahan.

Pada waktu menyembah Allah, kita perlu merenungkan setiap sifat ilahi dan menyembah Dia menurut masing-masing sifat itu.

Kita memuja Dia, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus, karena sifat kemuliaan-Nya. Ia yang Mahatinggi di atas segala-galanya, Allah satu-satunya di dalam kemegahan-Nya yang tak terdekati. Terpujilah nama-Nya.

Kita memuja Dia, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus, karena sifat ketuhanan-Nya. Ia yang Mahatinggi yang membedakan diri dari ilah-ilah dan objek penyembahan lain dan menegaskan kuasa-Nya di atas mereka. Terpujilah nama-Nya.

Kita memuja Dia, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus, karena sifat kekudusan-Nya.  Dialah Allah dalam kemegahan yang mengagumkan, ditinggikan atas segala-galanya, yang memisahkan diri dari segala yang menantang dan melawan-Nya.  Terpujilah nama-Nya.

Kita memuja Dia, sang Bapa, Anak dan Roh Kudus, karena sifat kasih-Nya. Ia yang mengasihi sejak sebelum pembentukan dunia, dalam kemurahan hati-Nya berkenan merangkul dan menebus makhluk berdosa yang telah menyangkal dan menentang Dia. Terpujilah nama-Nya.

Pemujaan ini dapat terjadi baik dalam ibadah umat Allah (#/TB Kel 4:31*;

#/TB 2Taw 29:28; 1Kor 14:25; Wahy 7:11*) maupun dalam ibadah pribadi setiap

orang yang percaya (#/TB Kej 24:26-27; Kel 34:8; Ayub 1:20*). Kuasa yang

mendorongnya adalah Roh Kudus, yang menimbulkan dan melancarkan pemujaan umat-Nya

(#/TB Rom 8:26-27; Ef 5:18-19; Fili 3:3*).

b.         Dia harus dilayani

 

Satu-satunya respons yang tepat kepada Allah yang demikian adalah melayani Dia.

Secara negatif, pelayanan kepada Allah berarti melepaskan segala hak atas diri

dan menempatkan kehendak kita di bawah kehendak Dia (#/TB 1Kor 6:19; 2Kor 5:15; Fili 3:7-8; Yak 4:8; 1Pet 2:1-2*).Secara positif, pelayanan berarti mengakui bahwa kita berada di bawah kehendak Allah dan oleh karena itu sengaja hidup bagi kemuliaan dan hormat-Nya dalam setiap bidang kehidupan. Untuk itu kita akan berpikir, berbicara dan melakukan segala sesuatu untuk memuliakan Dia.

c.         Dia harus diberitakan

 

Sebagian respons kita terhadap Allah adalah pemberitaan tentang Dia di dalam dunia yang umumnya tidak mengindahkan-Nya atau yang menolak-Nya. Dunia tidak netral, tetapi penuh dengan berhala, yaitu objek-objek pujaan palsu. Objek-objek ini dapat berupa pemimpin manusia, ideologi politik, kelompok atau kelas sosial, sistim pemikiran manusia, bahkan kuasa-kuasa gelap. Orang Kristen terpanggil untuk menentang perampas-perampas kekuasaan ini dan menghadapi ilah-ilah palsu ini demi nama Allah yang benar dan hidup. Ini meliputi hal menyebarkan pengetahuan mengenai Allah ke seluruh dunia, baik secara geografis maupun budaya, melalui doa, melalui sumbangan keuangan dan melalui kesaksian pribadi.

Pemberitaan Allah tidak hanya secara langsung dengan kata-kata, tetapi juga secara tidak langsung. Orang Kristen harus hidup sedemikian rupa sehingga Allah yang diberitakan dengan kata-kata juga dinyatakan dalam tiap bidang kehidupan kita. Di sini kita perlu mengingat pemeliharaan Allah melalui Anak-Nya dan Roh Kudus untuk membuat apa yang tidak mungkin secara manusiawi menjadi mungkin (#/TB Mat 28:19-20*; #/TB Yoh 14:15-16; Kis 1:8*).

Ketiga penerapan dari keberadaan dan tabiat Allah itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain:

·        beribadah kepada Allah berarti melayani dan memberitakan-Nya;

·        melayani Allah berarti memberitakan dan beribadah kepada-Nya;

·        memberitakan Allah berarti beribadah dan melayani-Nya.

 

10.2   Penciptaan

 

Kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta mempunyai beberapa dampak praktis.

Pertama, dunia tidak boleh disangkal. Dunia yang datang dari Dia adalah kepunyaan-Nya. Memang dunia sangat tercemar oleh dosa, tetapi dosa tidak merenggutnya dari Allah atau mengasingkannya sama sekali daripada-Nya. Oleh sebab itu, kita harus menolak gagasan bahwa keberadaan dalam waktu dan ruang tidak bernilai. Demikian pula pandangan bahwa dari perspektif Kristen usaha manusia tidak ada harganya harus ditolak, begitu pula pandangan bahwa seksualitas manusia tidak layak. Kebudayaan dan adat, kreativitas dalam bidang seni, pekerjaan sosial dan politik, prestasi di bidang olah raga dan lain-lain, semuanya mempunyai tempat dalam dunia yang diciptakan Allah. Pandangan yang merendahkan dunia mencerminkan kegagalan melihat Allah sebagai Pencipta atau kekhilafan karena membedakan antara Allah Pencipta dan Allah Penebus.

Kedua, dunia jangan dipuja. Dunia dibuat Allah tetapi dunia bukanlah Allah.  Dunia terlibat dalam akibat-akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa dan karena itu tidak boleh dinilai berlebihan. Kesetiaan akhir manusia harus disediakan bagi Allah sendiri, yang dicari di luar ciptaan, walaupun kadang-kadang orang bertemu dengan Dia di dalam ciptaan itu. Itulah sebabnya dunia pada akhirnya tidak pernah memberi kepuasan. Manusia diciptakan oleh Allah bagi diri-Nya; dan dengan begitu, dengan kata-kata Augustinus yang sering dikutip, “hati kita gelisah sampai mendapatkan perhentiannya di dalam Dikau”. Jadi, bila pengalaman hidup di dunia pada akhirnya tidak memuaskan, bila orang tidak pernah sukses, bila karena keadaan yang menyedihkan kemampuan menikmati dunia hilang, bila kehidupan terancam, janganlah kita terlalu putus asa. Allah sendiri adalah tujuan dan penggenapan kita. Mengenal Dia kini dan di dunia akhirat adalah pemenuhan terlengkap kehidupan manusia.

Ketiga, dunia harus digunakan. Allah menciptakan dunia untuk maksud-Nya sendiri,

sebagai pentas kemuliaan-Nya. Dalam dunia waktu-ruang ini Ia telah menjelma dan

menyatakan kemuliaan-Nya, dan kita pun harus menggunakan dunia dengan menyembah,

melayani dan memberitakan Allah sepanjang hidup kita.

Perspektif Kristen ini merupakan dasar untuk penilaian dunia secara tepat, sehingga sumber-sumbernya dipakai dengan baik, keterbatasannya diakui tanpa pura-pura dan kita hidup dengan penuh sukacita, rasa terima kasih dan kebebasan demi kemuliaan Allah Pencipta.

10.3   Pemeliharaan

 

a.   Pemeliharaan Allah berarti bahwa Ia menguasai seluruh hal ikhwal kita. Kita tidak terletak dalam tangan kuasa-kuasa tak berpribadi yang sewenang-wenang, melainkan sepanjang hidup kita berhadapan dengan Allah sendiri: sang Bapa, Anak dan Roh Kudus. Maka perlu kiranya disebutkan dengan jelas segala manfaat dan berkat khas yang diberikan kepada kita, supaya kita dapat mengucapkan syukur kepada-Nya.

 

Tujuan keseluruhan karya pemeliharaan Allah, seperti juga karya-Nya dalam penciptaan dan penyelamatan, adalah untuk kemuliaan-Nya dan untuk kebaikan kita.  Lebih khusus lagi, Allah bermaksud menguduskan kita, baik secara individu maupun sebagai kelompok, dalam keluarga, masyarakat dan gereja. Begitu pula Dia menghendaki Injil disebarkan untuk memperluas kerajaan-Nya. Maksud-maksud inilah yang menerangkan perbuatan-Nya terhadap kita. Di dalamnya Allah tidak hanya campur tangan secara langsung tetapi sering memakai sebab-sebab sekunder seperti bakat pribadi, aktivitas dan minat anggota keluarga, tetangga, teman sekerja, kerangka fisik, sosial dan ekonomi kehidupan.

Karena Allah bekerja melalui faktor-faktor ini dalam pemeliharaan-Nya, kita seharusnya tidak membatasi campur tangan-Nya dalam hidup kita hanya pada saat-saat pengambilan keputusan yang kritis penting saja; dan sebaliknya jangan kita anggap bahwa faktor-faktor sehari-hari yang sekunder ini selalu merupakan intervensi-Nya secara langsung. Sebaiknya kita menerima hidup ini sebagai pemberian tangan-Nya dan kita jalani dengan tenang dan penuh keyakinan untuk kemuliaan-Nya, sambil percaya bahwa dalam segala hal kita berada di dalam tangan pengasihan-Nya. Kita yakin, Ia yang menciptakan dan menebus kita, dan dengan pengaturan hidup sehari-hari Ia sedang melanjutkan rencana-Nya melalui kita.

b.   Pemeliharaan Allah seharusnya membuat kita rendah hati karena olehnya kita disadarkan akan ketergantungan pada Dia. Sebab itu, kebanggaan akan kuasa dan prestasi seharusnya mundur sewaktu kita mengakui ketergantungan total pada pemeliharaan yang menopang dan memerintah kita.

c.   Pemeliharaan Allah sangat menghibur pada saat menghadapi kesulitan dan penderitaan yang bukan akibat kebodohan atau kejahatan kita melainkan Allah secara berdaulat membiarkannya terjadi. Ia yang terlibat dalam siklus kehidupan burung pipit, terlibat sepenuhnya dalam kehidupan dan keadaan kita yang dijadikan-Nya objek khusus untuk kasih-Nya. Oleh sebab itu, kita dapat hidup dengan yakin meskipun menghadapi kesulitan seperti itu, karena pasti bahwa Allah Bapa dalam pemeliharaan-Nya membiarkan hal ini terjadi bagi kebaikan kita dan kemuliaan-Nya. Dan pasti Ia akan menopang dan menjaga kita pada waktu menghadapinya. Bagi orang yang sedang menderita sekali, mungkin perkataan ini kedengaran hambar dan tidak ada apa-apanya. Tetapi Alkitab menyaksikan kebenarannya dan kesaksian ini diperkuat lagi oleh pengalaman orang Kristen sepanjang masa.

d.   Kepercayaan akan pemeliharaan Allah dapat membantu kita melihat masa-masa kegembiraan dan kesuksesan dalam perspektif yang tepat, yaitu sebagai anugerah Allah dan bukan sebagai hasil kemampuan dan kebijaksanaan kita belaka. Sikap ini juga mempersiapkan kita untuk kemungkinan bahwa nanti kegembiraan dan keberhasilan itu akan ditarik, seandainya Allah dalam hikmat pengasihan-Nya menganggap itu perlu.

e.   Pemeliharaan Allah memberi ketenteraman di tengah-tengah dunia yang tidak tenteram bahkan penuh kekerasan. Dia bertakhta di atas segala kekuatan militer, politik, sosial dan ekonomi dalam zaman ini; rencana-Nya yang ditetapkan dari semula secara kekal berlangsung terus semakin matang. Tidak ada yang tak terkendalikan dan tidak bakal terjadi. Karena itu kita dapat hidup hari demi hari dalam pengetahuan bahwa tangan yang berkuasa atas kehidupan kita adalah tangan yang mengendalikan segala sesuatu.

f.    Pemeliharaan Allah berarti kemenangan terakhir dari rencana-Nya terjamin.

Ada banyak kuasa yang melawan Allah—dosa dan kejahatan, korupsi dan ketidakadilan, keserakahan dan eksploitasi, dan lain-lain-dan semuanya dikuasai Allah, dikendalikan oleh pemerintahan-Nya dan sebenarnya hanya mempunyai arti sementara saja. Allah telah menetapkan satu hari ketika kemuliaan pemerintahan-Nya akan nyata di seluruh alam semesta dan segala sesuatu yang melawan Dia akan dihakimi dan akan dienyahkan dari hadapan-Nya untuk selama-lamanya.

g.   Pengakuan akan pemeliharaan Allah tidak membebaskan kita dari tanggung jawab atas kehidupan pribadi kita. Alkitab mengajarkan secara jelas bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam dan manusia bertanggung jawab kepada Dia atas dirinya dan apa yang dilakukannya. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, dan berusaha secara sadar untuk bertindak dan mengatur kehidupan sedekat-dekatnya dengan kehendak Allah bagi diri kita.

 

Maka tanggapan Kristen terhadap pemeliharaan Allah jangan diungkapkan dengan menarik diri dari tanggung jawab biasa atau dari keterlibatan dalam masalah-masalah yang dihadapi dunia dan masyarakat. Sebaliknya, orang Kristen yang menerima tanggung jawab ini mendapat kepastian yang luar biasa bahwa nilai-nilai adil, murni dan luhur yang mencirikan kehidupannya di dunia sehari-hari mencerminkan hakikat Allah yang memerintah dan mengatur segala sesuatu. Selain itu kendati-pun masalah-masalah yang dihadapi orang sangat rumit, namun kita yakin bahwa nilai-nilai ini akan bertahan sampai selama-lamanya dalam zaman baru pemerintahan Allah.