SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
YONKY KARMAN:
PERTANYAAN YANG KELIRU Bertanya adalah kemampuan khas manusia. Sejak kecil kita sudah melontarkan pertanyaan, namun tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Ada pertanyaan iseng atau ngawur tanpa muatan yang berarti; ada pertanyaan yang berbobot, menyentuh inti permasalahan. Namun ada juga pertanyaan yang keliru, menyesatkan, dan dapat membawa dampak yang serius seperti tertera dalam Injil Lukas 10:25-37. Perumpamaan yang Sering Disalahmengerti Inti dari perumpamaan tentang “orang Samaria yang murah hati” sering luput dari perhatian kita, justru karena perumpamaan ini sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang. Kita simak sekali lagi jalan ceritanya. Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus “Siapakah sesamaku manusia?” Sebuah pertanyaan yang mestinya tidak perlu diajukan sebab sebagai orang Yahudi, apalagi ahli hukum-hukum Yahudi, si penanya sudah tahu bahwa sesamanya adalah juga orang Yahudi, bukan orang dari kelompok elit yang lain. Sang ahli Taurat hanya ingin mendengar apa yang ingin ia dengar, sebuah konfirmasi. Ketika menanggapi pertanyaan yang ‘mencobai’ itu (ay. 25), Yesus tidak menjawab secara naif, “Sesamamu manusia adalah...,” melainkan menuturkan sebuah kisah yang sangat menyentuh, tentang sebuah musibah yang bisa menimpa siapa saja dan kapan saja. Seorang Yahudi dirampok habis-habisan dan dalam keadaan sekarat dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Lalu berturut-turut lewatlah seorang imam dan seorang Lewi, keduanya orang Yahudi, tergolong rohaniwan pada zamannya. Sang imam dari jauh sudah melihat ada orang tergeletak, masih hidup, namun babak belur mengenaskan. Bukannya berhenti sebentar dan memberikan pertolongan sebisanya, ia malah menghindari diri dari lewat di depan korban perampokan itu dengan menempuh jalan lain yang lebih jauh sedikit. Demikian juga yang dilakukan oleh si orang Lewi. Tentu mereka masing-masing sebagai manusia bersimpati dengan korban, namun mereka pasti punya alasan untuk membela diri dari kewajiban menolong korban. Narator tidak tertarik denggan simpati dan alasan pribadi mereka. Yang penting untuknya adalah bahwa orang Yahudi ketika melihat musibah sesamanya ternyata bisa tidak melakukan apa-apa. Yesus terus bertutur. Sesudah itu, lewatlah seorang Samaria, yang secara keturunan bukan Yahudi murni. Kalau ditarik ke belakang, kedua kelompok etnik ini mempunyai sejarah permusuhan yang panjang. Orang Samaria ini ternyata mau berhenti, menengok, dan menolong korban yang terkapar itu. Memang simpati adalah baik, advis lebih baik lagi, namun yang terbaik tetap pertolongan. Yang menakjubkan, setelah ditolong seadanya, membalut luka-luka, mencuci dengan anggur dan minyak, orang Samaria ini membawa korban ke tempat yang layak, sebuah penginapan, untuk dirawat lebih lanjut. Padahal, ia bukan pengangguran. Ia “sedang dalam perjalanan” (ay. 33), ada urusan yang harus diselesaikannya. Setibanya di penginapan, ia masih merawat korban dan menginap semalam. Karena masih harus melakukan tugasnya, ia menitipkan uang secukupnya kepada pemilik penginapan sebagai biaya untuk merawat korban, dengan janji setelah selesai urusannya, ia akan kembali untuk membuat perhitungan lebih lanjut. Apa yang paling mendorong orang Samaria itu untuk repot-repot sedemikian rupa sehingga batas-batas penghalang secara etnik dan psikologis menjadi begitu tipis? Belas kasihan (ay. 33). Itulah penjelasan Yesus. Sampai di situ, Yesus tidak meneruskan cerita itu. Tetapi Yesus juga tidak menjawab pertanyaan awal si ahli Taurat, malah Ia balik bertanya kepadanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini (imam, orang Lewi, orang Samaria), menurut pendapatmu, adalah sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Masih terkesima dengan jalan cerita yang spektakular itu, sang ahli Taurat menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Lalu segera Yesus menutup dialog dengannya sambil berkata, “Pergilah dan perbuatlah demikian!” Koreksi atas Pernyataan Mengapa sampai akhir dialog Yesus tidak menjawab pertanyaan “Siapakah sesamaku?” yang diajukan si ahli Taurat? Sebabnya adalah pertanyaan itu sendiri keliru. Bertanya tidak sekadar bertanya (butuh jawaban informatif). Pertanyaan juga mengandung asumsi penanya dan Yesus rupanya menangkap asumsi di balik pertanyaan sederrhana itu. Asumsi di balik pertanyaan, “Siapakah sesamaku?” adalah ada orang termasuk kelompokku dan ada yang bukan, ada yang sederajat denganku sebagai sesama dan ada yang tidak, bahkan ada yang layak masuk kelompokku dan ada yang tidak layak. Dengan cara bertanya demikian, ia menempatkan dirinya sebagai pemberi kriteria siapa saja yang layak menjadi sesamanya. Dia merasa layak menentukan siapa sesamanya dan siapa bukan, karena tidak semua orang adalah sesamanya. Yesus menilai asumsi ini keliru. Setiap orang, siapa saja, adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah, dari Sumber yang sama. Karena itu, “Siapakah sesamaku” adalah pertanyaan yang keliru. Bagaimana cara Yesus mengoreksi pertanyaan yang terlanjur keliru ini? Yesus membetulkan pertanyaan yang keliru dengan pertanyaan lain “Siapakah sesama bagi orang yang malang itu?” Dalam pertanyaan yang Yesus ajukan ini, kriteria sesama tidak lagi membutuhkan pertolongan. Untuk orang yang dirampok dan dianiaya, satu-satunya yang diharapkan adalah pertolongan konkret dari siapa saja. Dan orang Samaria itu layak disebut telah menjadi sesama, sementara imam dan orang Lewi pada hakikatnya belum layak disebut sesama bagi orang yang malang itu kendati kesamaan etnik. Dengan pertanyaan yang mengoreksi pertanyaan yang keliru tadi, diam-diam Yesus hendak mengatakan, “Perluaslah lingkaran sesamamu menjadi siapa saja, sama halnya seperti seorang yang dalam kesusahan akan mengharapkan pertolongan dari siapa saja yang dapat menolongnya!” Pertanyaan yang tepat bukan “Siapakah sesamaku?” melainkan “Apakah aku telah menjadi sesama bagi orang lain?” teristimewa yang terdiskriminasi, yang sedang ketakutan, yang dilecehkan, yang menderita. Krisis Kita Dewasa Ini Yesus mengoreksi sekaligus mengangkat pertanyaan sang ahli Taurat ke tataran yang lebih tinggi, dari pengelompokan-pengelompokan di antara manusia yang sering terjadi di mana saja kepada hal menjadi sesama bagi siapa saja, sebuah tindakan yang menerobos lingkaran-lingkaran kelompok. Di sinilah persis krisis yang sedang melanda kita: krisis menjadi sesama bagi orang lain. Berbagai konflik sosial, entah apa pun pemicu atau siapa pun provokatornya, memperlihatkan kepada kita bahwa kekerasan telah menjadi model. Meminjam istilah almarhum Uskup Agung Camara dari Brasil, kekerasan yang satu sudah melahirkan kekerasan yang lain secara eskalatif dan membentuk “Spiral Kekerasan”. Sentimen antargolongan dan antarkelompok, sikap curiga-mencurigai, sikap agresif kepada orang lain, semua itu dikarenakan orang lain tidak termasuk kelompokku dan bukan sesamaku, sehingga orang “lain” itu dikejar-kejar, dikasari, dilukai, bahkan dibunuh. Untuk menghadapi krisis sosial yang sangat mengancam integrasi bangsa kita, kita tidak akan begitu saja menganggap bahwa ini sudah diramalkan dalam hipotesis clashes of civilizations-nya Samuel Huntingtong. Hal ini bukan takdir sejarah yang menempatkan kita sebagai pemeran-pemeran pasif yang digerakkan oleh Fatum yang tidak kelihatan, namun menyetir semua kecenderungan yang ada. Sebab kalau hal itu diterima begitu saja, tidak ada yang perlu bertanggungjawab atas semua darah dan airmata yang merebak akibat kerusuhan-kerusuhan sosial di bumi nusantara kita. Fatum atau suratan takdir terlalu abstrak untuk dibicarakan sebagai faktor determinan bangsa kita yang terus bergolak. Yang menentukan sebenarnya adalah kita sendiri, kita yang terbiasa mengajukan pertanyaan keliru, “Siapakah sesamaku?” Seandainya, setiap kita mulai dari terbiasa berpikir bagaimana menjadi sesama bagi orang lain, menemui orang lain sebagai sesama dalam perjumpaan yang konkret, niscaya kecurigaan dan kebencian berdasarkan etnis, suku, dan agama, tidak akan pernah menjadi tumbuh. Setiap kali benih itu hendak tumbuh, setiap kali pula menjadi layu sebelum berkembang oleh sikap menjadi sesama bagi orang lain. Terlalu banyak konflik sosial yang berakhir dengan pembakaran, pengrusakan, sampai dengan pembunuhan di sekitar kita, seolah-oleh hal itu tidak ada kena mengenanya dengan predikat kita yang oleh dunia luar dikenal sebagai bangsa yang ramah. Atas nama agama dan kemanusiaa, konflik-konflik berdarah ini tidak boleh terus berlangsung. Untuk itu, masing-masing kita harus berani keluar dari ketertutupan kelompok dan menjadi sesama bagi orang lain. |