SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Peran Sosial Intelektual Kristen
Oleh Yonky Karman

Seorang menjadi intelektual bukan karena gelar akedemik yang disandangnya. Soedjatmoko tidak lulus perguruan tinggi; Arief Budiman tidak menyandang gelar S-3. Menurut Edward Shils, kegiatan intelektual timbul karena "the concern with the ultimate or at least with what lies beyond the immediate concrete experience" (Encyclopedia of the Social Sciences, "Intellectuals," 399-415).

Kartini hanya lulusan sekolah rakyat (setingkat SD), namun kadar intelektualitasnya tidak diragukan. Ia berani menggugat kedudukan perempuan Jawa yang lemah dalam masyarakat (dalam surat kepada Ny. van Kol, Agustus 1901). Ia yakin bahwa lembaga pernikahan didirikan oleh Tuhan dan menikah adalah sebuah jalan hidup, namun baginya menikah adalah pilihan pribadi yang harus dilakukan dengan bebas tanpa paksaan dari pihak mana pun.

Lebih jauh lagi, Mohammad Hatta dapat mengatakan, seorang intelektual memiliki tanggung jawab intelektual dan moral (dalam pidato pada hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957). Mereka tidak hanya dianggap golongan yang mengetahui, namun lebih dari itu, karena menyangkut keselamatan masyarakat, seorang intelektual diharapkan mampu berpikir secara mendalam dan memberi arah ke mana seharusnya masyarakat bergerak.

Jati Diri
Seorang intelektual Kristen seharusnya memiliki jati diri ganda: warga dunia sekaligus warga surga. Dua jati diri itu tidak dikotomis, melainkan saling mengisi. Dalam perspektif iman Kristen yang holistik, mencintai Tuhan menjadi nyata dalam mencintai sesama dan dalam tingkat berbangsa adalah mencintai negeri. Pertanyaannya, bagaimana seorang intelektual Kristen mewujudkan cinta akan negeri?

Negeri kita sedang membangun dan mengisi kemerdekaan. Seyogianya intelektual Kristen berperan dalam menentukan sifat dan arah pembangunan demi tanggung jawab atas masa depan bangsa, meminjam bahasa TB Simatupang, menjadi ragi dalam semua bidang, khususnya bidang-bidang yang besar pengaruhnya atas sifat dan arah pembangunan (Iman Kristen dan Pancasila, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984, hlm 98).

Intelektual Kristen ditantang untuk memberi kontribusi kepada membangun etos kerja dan pembangunan, mengikis struktur-struktur yang korup, memerangi struktur-struktur kemiskinan, mengurai proses pembodohan dan mencerdaskan bangsa, membuka jalan kepada dialog peradaban berhadapan dengan globalisasi dan hegemoni modernitas. Pendeknya, iman Kristen diharapkan menjembatani kesenjangan antara agama dan masyarakat.

Karena itu, intelektual Kristen tidak boleh terjebak dalam polemik antara ortodoksi dan pemahaman teks yang hitam putih. Persoalannya, bagaimana berdiri dalam tradisi iman tanpa menjadi tradisionalis. Menjadi modern tanpa terjebak dalam benteng tradisi atau propaganda simbol-simbol agama. Agama bukan barang suci yang jatuh dari langit dan sesuatu yang sudah jadi, tetapi harus diterjemahkan ke dalam pergulatan konkret manusia.

Bila orang dapat jatuh ke dalam konservatisme dan fanatisme yang membutakan akal sehat, kaum intelektual seharusnya mengedepankan kebenaran berdasarkan akal sehat dan visi kemanusiaan. Ketika akal budi dipakai secara kreatif, agamawan tidak akan terlibat dalam gerakan purifikasi dan tidak berpretensi untuk membela Tuhan berdasarkan pemahaman teks yang simplistik. Ada contoh yang bagus dari KH Agus Salim (1884-1954) dan Ahmad Wahib (1942-1973).

KH Agus Salim adalah seorang tokoh pergerakan nasional sekaligus tokoh Sarekat Islam. Namun, ia dikenal sebagai pribadi yang terbuka dan berwawasan. Energi religiusitasnya disalurkan ke dalam berbagai kegiatan sosial yang menyejahterakan umat, seperti mengembangkan ekonomi umat untuk keluar dari kemiskinan, memajukan pendidikan menuju kesetaraan dengan penjajah, dan membangkitkan kesadaran nasionalisme untuk lepas dari penjajahan. Ia ingin melihat bangsa Indonesia menjadi tuan di Tanah Air sendiri.

Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Ahmad Wahib tertarik dengan masalah-masalah pembaruan pemahaman Islam dalam konteks perubahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Baik KH Agus Salim maupun Ahmad Wahib memasyarakatkan gagasan-gagasan segar yang berakar dalam tradisi agama. Mereka menjadi jembatan antara ortodoksi dan masa kini, memberikan pencerahan dan menunjukkan arah baru kepada umat.

Intelektual agama seyogianya bergumul dengan problem sublimasi kekerasan dalam agama, melakukan reinterpretasi atas teks-teks kitab suci yang membenarkan kekerasan, menerobos kebekuan dan rigiditas tafsir. Dengan demikian, ide-ide pembaruan tetap bersumber dari khazanah kekayaan agama dan bukan asal baru. Kebaruan merupakan dinamika dari dalam agama. Pembaruan dalam pemahaman agama, cara berpikir, atau penyempurnaan metode pendekatan terhadap teks, diletakkan dalam koridor kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh agama.

Indonesia Modern
Dalam sejarah Indonesian modern, peran intelektual Kristen tak dapat diabaikan meski tidak mencolok. Yap Tjwan Bing adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebuah panitia yang menetapkan presiden dan wakil presiden Indonesia yang pertama. Panitia itu juga mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia merdeka. Masih ada lagi beberapa nama seperti Maramis, Leimena, Simatupang, dan seterusnya.

Para intelektual Kristen itu memiliki aspirasi politik yang tidak sektarian, melainkan mengedepankan kepentingan bangsa. Mereka merasa dan memandang diri sebagai orang Indonesia. Keterlibatan mereka dalam politik bersumber dari perasaan nasionalisme mereka. Mereka melayani Tuhan lewat aktivitas politik mereka. Itu sebabnya tidak ada sedikit pun kecurigaan di antara komunitas umat yang lain.

Para intelektual Kristen itu dapat diterima karena perjuangan mereka adalah demi seluruh bangsa. Pak Sim, misalnya, sering berkata bahwa ia berutang kepada Tuhan dan utang itu tidak dapat dibayar lunas kecuali Tuhan dalam kemurahan-Nya menganggap sudah lunas. Karena itu, beliau selalu berpikir untuk membayar utangnya lewat melayani orang lain, "Aku berutang kepada negara, bangsa, dan masyarakat."

Kehadiran intelektual Kristen di Indonesia, mendesak. Pertama, sudah sewajarnya intelektual Kristen menjadi bagian dari barisan penegak demokrasi dalam masyarakat yang majemuk bersama dengan komunitas umat lain yang juga memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Kedua, berangkat dari keyakinan bahwa imannya adalah hidup, intelektual Kristen ditantang untuk menerjemahkan iman itu dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Bila isu nasionalisme tidak relevan bagi orang Kristen di Jerman karena trauma dengan penyelewengan nasionalisme semasa rezim Nazi (Hitler), tidak demikian dengan orang Kristen di Indonesia. Mereka harus mengusung kepentingan bangsa, sebab kesejahteraan bangsa adalah juga kesejahteraan umat (bdk. Yer. 29:7). Inteketual Kristen seyogianya berperan dalam mengupayakan kesejahteraan bangsa.

* Penulis adalah pemerhati sosial. (Suara Pembaruan, 240704)