SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Partai Agama Bukan Jalan Terbaik
Oleh Yonky Karman

Setidak-tidaknya seperempat dari 24 partai peserta Pemilu 2004 secara eksplisit berbasis agama. Fenomena politik demikian sebenarnya tidak istimewa mengingat karakter religius bangsa Indonesia. Itu jangan dibaca sebagai kemunduran ideologi sekuler, juga jangan dilihat sebagai ideologisasi agama menjadi alternatif yang akan berhasil memperbaiki nasib bangsa.

Konstitusi Indonesia tidak memberikan landasan politik bagi Indonesia untuk menjadi negara agama atau negara sekuler. Tepatnya, Indonesia adalah negara kebangsaan. Maka, sejauh ini nasionalisme Indonesia juga bukan religius atau sekuler, melainkan nasionalisme dibingkai dalam keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bingkai negara berketuhanan, dikotomi antara partai sekuler dan religius tidak sepenuhnya tepat.

Mungkin Turki bukan sebuah contoh ideal, namun dinamika politiknya menarik untuk disimak. Mayoritas penduduknya adalah Muslim namun dasar negaranya adalah sekularisme (Ataturkisme). Partai-partai Islam di sana tidak berjuang untuk mengubah dasar negara, tetapi untuk mengurangi pengaruh sekuler yang dinilai sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan bagi masyarakat yang menjunjung tinggi ketimuran dan nilai-nilai Islami.

Masyarakat Indonesia juga menjunjung tinggi ketimuran dan nilai-nilai agama. Secara psikologi bangsa, masyarakat kita religius. Itu sebabnya sewaktu pemerintah Orde Baru berkuasa, untuk menyukseskan program Keluarga Berencana sampai ke desa-desa, propaganda pemerintah adalah bahwa itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dalam praktik labelisasi produk pangan, agama juga diikutsertakan memberikan justifikasi.

Dengan kata lain, kondisi psike dan konstitusi Indonesia sebenarnya bukan lahan yang kondusif untuk tumbuhnya dikotomi partai agama dan partai sekuler. Tepatnya, partai yang tidak berbasis suatu agama tidak mempromosikan simbol-simbol keagamaan, namun napas keagamaan dan pengaruh nilai-nilai agama nyaris tidak dapat ditangkal dalam kegiatan politik praktis ketika partai berbicara tentang problem kesejahteraan bangsa.

Berbicara tentang problem kesejahteraan bangsa, ujung-ujungnya itu juga yang dijual oleh partai-partai yang berbasis agama. Kalau pun tema agama diusung, rakyat ingin bagaimana agama memecahkan problem kesejahteraan bangsa dalam rangka mencapai cita-cita bersama masyarakat adil makmur. Berhadapan dengan ekses-ekses globalisasi dan sekularisasi yang membawa nilai-nilai sekularistik (religionless), itu adalah keresahan semua komunitas umat dan bangsa secara keseluruhan.

Tiada Korelasi Langsung
Maka, mengusung isu religius versus sekuler sebagai agenda partai tidak menyentuh inti persoalan bangsa. Agenda politik yang realistis sesuai dengan realitas politik adalah cita-cita bangsa untuk mencapai masyarakat adil makmur. Dikotomi antara partai nasional dan partai agama bersifat superfisial. Dasar berpijaknya saja yang berbeda. Pada dasarnya semua partai memiliki komitmen yang sama dalam menghadapi musuh bersama, yakni kemiskinan (dan pemiskinan), kebodohan (dan pembodohan), dan korupsi.

Partai-partai berbasis agama mungkin merasa optimistis bahwa agama adalah jalan terbaik untuk keluar krisis bangsa. Hanya saja realitas politik tidak sesederhana itu. Negara RRC, misalnya, berideologi komunisme. Namun, dalam memerangi korupsi mereka jauh berada di depan kita yang mengklaim diri sebagai bangsa religius. Tiada korelasi langsung antara agama dan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi adalah wilayah penegakan hukum dan itu amat bergantung pada seberapa seriusnya pemerintah mempunyai kemauan politik untuk menegakkannya tanpa pandang bulu.

Bila mau ditarik hubungan antara agama dan anti-korupsi, idealnya mungkin dapat dikatakan, "negara yang bangsanya religius memiliki prestasi lebih baik dalam pemberantasan korupsi". Bila yang terjadi sebaliknya, artinya korupsi merajalela, bukan agama an sich dikambinghitamkan, tetapi ada yang salah dalam penghayatan beragama kita. Dan keberagamaan kita pun patut dipertanyakan. Agama jelas tidak membenarkan korupsi, tetapi mengapa orang beragama terjerumus ke dalam tindakan yang dilarang agama? Ini problem serius, ketika (keber) agama (an) mandul tidak membuahkan kesalehan sosial.

Itulah persoalan kita semua sebagai insan beragama, bukan hanya persoalan partai berbasis agama. Agama pada dirinya sendiri memiliki visi sosial yang luhur. Persoalannya, bagaimana agama dapat memberikan kontribusi positif dalam kehidupan berbangsa? Mengangkat sentimen primordial keagamaan untuk mencari dukungan politik tidak akan menyelesaikan persoalan itu. Politisasi agama atau, sebaliknya, pengagamaan politik, bukan solusi terbaik. Agama dalam kehidupan berbangsa seyogianya dikembalikan kepada fitrahnya, yakni untuk meningkatkan kualitas spiritualitas bangsa. Untuk memupuk keutamaan-keutamaan moral dan peningkatan harkat diri sebagai manusia.

Partai Kristen yang Eksklusif
Bila agama terlibat dalam politik praktis, tidak ada jaminan bahwa politik akan menjadi lebih baik dan lebih bermoral. Politik sebagai sebuah sistem tidak menjamin partai berbasis agama akan kebal terhadap politik uang dan korupsi partai. Agama tidak imun terhadap uang dan korupsi sebagaimana kita yang mengklaim diri sebagai bangsa religius hingga kini masih bertahan sebagai juara korupsi.

Agama begitu saja, tanpa refleksi kritis, tidak bisa menjadi sumber etika politik yang menjamin terciptanya masyarakat adil makmur. Malah, agama dapat menghambat proses demokratisasi dan reformasi seperti yang kini terjadi di Iran. Bila partai-partai berbasis agama meninggalkan isu-isu parokial dan melihat suatu persoalan dari perspektif bangsa secara menyeluruh, maka mereka itu akan hadir dengan wajah inklusif. Fungsi profetik agama mengedepan dalam supremasi hukum, proses demokratisasi, memerangi korupsi dan kemiskinan.

Sedikit catatan untuk kehadiran partai Kristen dengan simbol keagamaan yang eksklusif. Tentu itu bukan sebuah mukjizat. Dalam era reformasi dan dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan toleran, hal itu tidak mustahil. Hanya saja harus digarisbawahi bahwa partai itu tidak mewakili mayoritas umat Kristen, apalagi di kalangan Kristen tradisional. Selama ini, warga Kristen telah memetik hikmah dari penyaluran aspirasi politiknya ke partai-partai nasionalis. Dan, itulah yang terbaik dalam konteks Indonesia.

Ada pertanyaan teologis "Wajibkah orang Kristen Indonesia menyalurkan aspirasi politiknya berdasarkan afinitas keagamaan?" Jawabannya, tidak. Prinsip bermasyarakat orang Kristen adalah sesuai dengan sabda Tuhan lewat Nabi Yeremia, "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu" (Yer. 29:7).

Itu berarti Tuhan dapat memakai siapa saja untuk mendatangkan kesejahteraan bangsa. Kriteria umat Kristen dalam rangka Pemilu 2004 adalah memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang betul-betul mampu menyejahterakan rakyat, baik karena kemampuannya dalam memimpin bangsa maupun karena moralitas pribadinya yang dapat menjadi suri teladan bagi semua menuju kebangkitan Indonesia. 270304

* Penulis adalah rohaniwan.