SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Pahlawan
Oleh Yonky Karman

Kelahiran Republik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari jasa dan pengorbanan pahlawan di masa lampau. Hari Pahlawan adalah monumen heroisme rakyat dan pemuda Indonesia pada 10 November 1945 di Surabaya, ketika mereka lebih memilih mati melawan gempuran armada dan tentara Inggris daripada dijajah kembali. Bangsa yang dikenal cinta damai itu lebih cinta kemerdekaan meski perang berlanjut empat tahun.

Tekad rakyat Indonesia sudah bulat. Sekali merdeka, tetap merdeka! Mata dunia akhirnya terbuka bahwa Indonesia amat serius dengan kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan adalah murni kemauan rakyat, bukan rekayasa Jepang sebagaimana dituduhkan Belanda saat itu. Indonesia adalah daerah jajahan di Asia pasca-Perang Dunia II yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya.

* * *

SEBAGAI monumen heroisme, Hari Pahlawan juga saat tepat untuk mengenang keberanian dan pengorbanan para pahlawan pra dan pascakemerdekaan. Memang hanya sedikit nama pahlawan yang dikenang, jauh lebih banyak dari mereka yang gugur sebagai pahlawan anonim. Namun, darah mereka telah membasahi Ibu Pertiwi, menguatkan cita-cita kemerdekaan. Mereka berjuang tanpa pamrih bagi nusa dan bangsa.

Sesungguhnya perjuangan mereka belum selesai. Mimpi para pahlawan bukan cuma merdeka, tetapi Indonesia yang bermartabat. Dalam renungan tentang Hari Pahlawan, Proklamator Bung Hatta membahasakan impian para pahlawan demikian, "agar anak cucu kita di kemudian hari menjadi suatu bangsa yang jaya dan terhormat di mata bangsa asing". (Mimbar Indonesia, 8/11/1952)

Untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat, Hatta menambahkan, "Bukan heroisme lagi yang berguna untuk menyelenggarakan tugas baru ini, tetapi elan bekerja, membangun dalam segala lapangan: moril, materiil dan intelektual." Dengan kata lain, heroisme yang dibutuhkan usai perang bukan lagi pahlawan yang gugur tetapi pahlawan yang hidup. Pahlawan dalam bidang intelektual, pahlawan dalam bidang pembangunan, pahlawan dalam bidang moral. Merekalah yang akan mengangkat martabat bangsa, dari yang tadinya terjajah menjadi terhormat di tengah-tengah pergaulan internasional.

Oleh karena itu, dibutuhkan semangat dan kerja keras untuk mengisi kemerdekaan, yang tidak kalah sengit seperti ketika merebut dan mempertahankannya. Dibutuhkan dedikasi terbaik dari putra-putri bangsa untuk membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Sebagai negara berpenduduk nomor empat terbanyak di dunia, sudah selayaknya bangsa Indonesia tampil memberi kontribusi positif dalam berbagai bidang kehidupan di arena internasional.

Untuk menjadi bangsa yang maju tetap dibutuhkan semangat juang untuk merebut. Bangsa-bangsa lain harus bersusah payah untuk menjadi maju dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Demikian juga dengan kita. Almarhum Sutan Takdir Alisjahbana benar saat mengkritik sikap mengemis kita kepada asing supaya melakukan alih teknologi dan belum tentu diberikan seperti yang kita mau. Menurut beliau, kita harus rebut. Semangat merebut itulah yang masih kurang pada kita. Sejauh ini bangsa Indonesia masih bercirikan konsumtif daripada inovatif dan produktif. Dalam hal inovasi dan produktivitas kita belum terbukti sebagai bangsa yang perkasa.

* * *

CITA-cita Indonesia adil dan makmur untuk sebagian besar rakyat masih belum menjadi kenyataan. Musuh bukan dari luar tetapi dari dalam. Rakyat tidak berhadapan dengan penjajah asing, tetapi rezim penguasa dan oknum yang notabene adalah warga sebangsa dan setanah air. Ketika berkuasa, mereka berorientasi kepada kekuasaan dan menjadi otoriter terhadap kritik.

Sungguh ironis, dalam perjalanan Indonesia merdeka, bangsa ini masih menghasilkan pahlawan-pahlawan yang mati. Lebih ironis lagi, berhadapan dengan tirani rezim penguasa, pahlawannya kini mahasiswa. Tunas-tunas muda yang diharapkan menjadi pahlawan yang hidup, pahlawan intelektual, pahlawan pembangunan. Mahasiswa gugur ketika memelopori kejatuhan Orde Lama dan Orde Baru.

Sesudah tiga tahun Soekarno jatuh, Soe Hok Gie mencatat, "Tanpa keberanian mahasiswa-mahasiswa Indonesia menghadapi peluru, bayonet, barikade, dan tukang-tukang pukul, pastilah Soekarno masih berkuasa di Indonesia" (Zaman Peralihan, Yogyakarta, 1995). Pahlawan yang tewas pada 24 Februari 1966 menjelang minggu-minggu jatuhnya Presiden Soekarno adalah Arief Rachman Hakim dan Zubaidah (hlm 11).

Ketika rezim Orde Baru menjadi otoriter dan represif dan kehidupan demokrasi terpasung, kembali mahasiswa menjadi pelopor pembaruan. Menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti tewas diterjang peluru tajam aparat. Elang Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan Hafidhin Royan, dinobatkan masyarakat sebagai Pahlawan Reformasi (James Luhulima, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait, Jakarta, 2001, hlm 112-120).

Mahasiswa patut bangga menjadi pahlawan yang gugur dalam memelopori proses transisi krusial di Tanah Air. Namun sekali lagi ironis, kita belum beranjak dari tradisi pahlawan yang mati. Setelah lebih setengah abad merdeka, tradisi kepahlawanan kita belum maju. Dalam berdemokrasi dan meniti proses transisi masih ada anak-anak bangsa yang gugur.

Pengorbanan mahasiswa pahlawan memang tidak sia-sia. Terjadi perubahan pemimpin nasional. Konstelasi politik berubah. Namun, pembaruan dan reformasi yang mereka cita-citakan tidak kunjung tiba. Pemimpin berubah tetapi kepemimpinan tetap. Penguasa baru hanyut dalam permainan politik demi takhta dan harta. Tanpa mengurangi jasa-jasa Pahlawan Reformasi, misalnya, kini rakyat sudah sadar untuk tidak lagi membicarakan Orde Reformasi yang layu sebelum berkembang.

Seharusnya Ibu Pertiwi tidak perlu melihat anak-anaknya bersimbah darah membasahi bumi Indonesia. Cukup sudah taman-taman makam pahlawan di banyak kota Indonesia. Segenap komponen bangsa pantas mempunyai komitmen pada Hari Pahlawan: tidak akan ada lagi mahasiswa yang tewas menjadi pahlawan di negeri ini. Enough is enough! Pahlawan yang hidup, itulah yang dinanti-nanti. Student today, leader tomorrow. Mahasiswa adalah aset sekaligus tunas bangsa yang menjadi bagian dari pahlawan yang hidup.

* * *

KINI Indonesia Baru dibicarakan. Namun, akankah Indonesia Baru seperti Godot yang dinanti kehadirannya, dibicarakan dalam seluruh adegan, namun sampai akhir lakon tidak tampak batang hidungnya?

Di depan mata kita bertumpuk problem nasional yang membutuhkan dedikasi terbaik dari putra-putri bangsa. Dibutuhkan pahlawan yang membela tenaga kerja Indonesia di luar negeri agar mereka diperlakukan secara bermartabat dan Indonesia tidak dikenal sebagai negeri TKI. Dibutuhkan pahlawan yang menurunkan tingkat kebakaran hutan dan problem asap yang dari tahun ke tahun meningkat. Dibutuhkan pahlawan yang memutuskan lingkaran kemiskinan. Dibutuhkan pahlawan yang menyelamatkan generasi anak putus sekolah. Dibutuhkan pahlawan-pahlawan pemulihan ekonomi nasional. Dibutuhkan pendekar-pendekar hukum yang memerangi korupsi tanpa pandang bulu.

Dewasa ini yang muncul adalah heroisme sektoral dan primordial. Atas nama daerah dan etnik, orang berbicara. Atas nama otonomi daerah, orang menggugat. Atas nama agama, orang berjuang. Namun, di mana pahlawan yang bersedia memberikan jiwa dan raga untuk memerdekakan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan? Di mana pahlawan moral yang menjadi titik cahaya dalam gelap gulita imoralitas politik? Di mana figur pahlawan yang menyelamatkan keutuhan bangsa dari ancaman disintegrasi.

Sejauh ini, elite politik nasional cenderung tidak mau menjadi pahlawan tanpa pamrih. Gerak-gerik mereka tidak mencerminkan sense of crisis untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan, tetapi mata mereka lebih tertuju pada tahun 2004. Mereka lebih sibuk dengan persoalan memperoleh takhta dan harta. Itu sebabnya problem bangsa dari waktu ke waktu bertambah banyak, sebagian malah semakin parah. Pahlawan dikenang. Pahlawan dinanti.