SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

MERAJUT TALI-TEMALI HUBUNGAN SOSIAL PASCAKESEPAKATAN DAMAI

Dalam konflik horizontal bernuansa SARA di Poso, ada kerusakan yang jauh lebih dahsyat daripada puing-puing yang kasat mata. Saling percaya di antara sesama warga, hancur. Padahal, itu adalah modal dasar dalam hidup bermasyarakat. Tanpa trust, yang berkembang adalah rasa curiga dan itu adalah lahan subur bagi tumbuhnya benih-benih konflik di masa datang. Maka, amat penting upaya merajut tali-temali hubungan sosial pasca-kesepakatan damai.

Konflik antaretnis di Kalimantan Barat adalah realitas pahit dan gagalnya riwayat kesepakatan damai. Ketika konflik pertama pecah pada tahun 70-an, langsung didirikan tugu perdamaian di sebuah kecamatan dengan ditandatangani kedua kelompok yang bertikai, disaksikan aparat pemerintah dan keamanan.

Namun yang terjadi sampai dua tahun lalu adalah belasan kali konflik serupa dalam skala kecil maupun besar.

Untuk Deklarasi Malino, jangan lupa, itu adalah kesepakatan kelima selama tiga tahun usia konflik.

Pembusukan Kolektif
Konflik horizontal di Poso sudah berdimensi nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Tingkat keseriusan crimes again humanity yang terjadi di sana sudah di ambang kekhawatiran akan menjadi seperti di Maluku.

Kerusuhan sosial seperti itu sudah barang tentu tidak spontan. Ada rasa permusuhan antarkelompok yang sangat hebat. Tanpa disadari pihak-pihak yang bertikai, terjadi pembusukan kolektif.

Kesepakatan damai di atas kertas dan di ruang tertutup, sering melupakan fakta pembusukan kolektif yang hidup di alam bawah sadar kelompok-kelompok bertikai. Sakit hati, dendam antarkelompok, trauma.

Terselenggaranya kesepakatan damai baru meredakan sementara pertempuran di lapangan layaknya sebuah gencatan senjata, namun belum meniadakan rasa permusuhan yang ada sampai ke akar-akarnya.

Proses rekonsiliasi sepenuh hati butuh waktu. Gol jangka panjang dan kesepakatan damai adalah mengembalikan rasa saling percaya yang sempat hilang.

Dan rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok bertikai tidak dapat tumbuh bersama-sama proses pembusukan kolektif. Proses pembusukan kolektif harus dicegah dengan melibatkan agen-agen rekonsiliasi.

Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pertikaian wajib untuk mencegah pembusukan kolektif tersebut. Namun, seperti orang yang baru sembuh dari sakit berat dan belum fit untuk memulihkan diri sendiri, demikianlah ketahanan sosial masyarakat pasca-konflik. 

Sangat diharapkan kerja keras dari berbagai pihak lain, agar bersama-sama dengan sedikit kepercayaan yang masih ada terutama Deklarasi Malino, segala ikhtiar itu sinergis menghasilkan perdamaian untuk jangka panjang. Damai memang indah sekaligus mahal.

Daerah
Insiden awal sekecil apa pun yang melibatkan warga kelompok yang bertikai harus segera ditangani aparat keamanan dengan mengedepankan wibawa hukum dan penegakan hukum yang tegas serta transparan. 

Insiden biasa dan kecil saja bisa menyulut kerusuhan sosial lanjutan, apalagi bila ditambah dengan provokasi (spontan atau terencana), sebab kecurigaan dan dendam antarkelompok masih hidup dalam kesadaran kolektif warga.

Insiden awal biasanya individual, namun bila tidak ditangani dengan cepat, tegas, dan baik, maka isu bisa berkembang kepada soal SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Isu demikian tidak hanya memuat prasangka-prasangka primordial yang irasional, yang lebih buruk lagi itu melemahkan sendi-sendi hidup bermasyarakat.

Pecahlah konflik horizontal dan orang tidak peduli lagi dengan insiden awal. Emosi kelompok menjadi dominan. Solidaritas kelompok dengan cepat terbentuk, sebab kelompok lawan dianggap sebagai pihak yang sengaja mencari gara-gara.

Maka, insiden awal yang melibatkan warga dan kelompok-kelompok masyarakat yang punya sejarah konflik tidak boleh lambat ditangani.

Massa dan salah satu kelompok dapat main hakim sendiri, yang tentunya akan disusul aksi balasan dan massa kelompok lawan.

Pada insiden awal, tindakan aparat keamanan yang terbaik adalah tetap tegas dan terukur, sekalipun bisa saja ada oknum dan kelompok bertikai yang tidak puas.

Dalam hal ini, institusi yang bertanggung jawab atas keamanan harus memberikan jaminan kepada oknum aparat yang sudah bertindak sesuai rules of engagement. Minimal tidak ada sanksi administratif. Maksimal ada penghargaan.

Atau, sekalipun yang bersangkutan dimutasikan demi meredam protes sekelompok warga, hendaknya yang bersangkutan mendapat promosi agar aparat lain tahu bahwa tindakan itu sudah benar dan patut ditiru.

Jaminan dan back up institusional demikian, dibutuhkan agar aparat keamanan yang menjadi ujung tombak tegaknya law and order pasca-kesepakatan damai, pada saat dan kondisi diperlukan tidak cari selamat atau ragu-ragu bertindak.

Tindakan tegas pada insiden awal akan mencegah meluasnya konflik dengan efek yang jauh lebih baik bagi semua pihak.

Sebagai agen rekonsiliasi, pemerintah daerah juga perlu mengupayakan kegiatan-kegiatan yang membangun kebersamaan untuk mengikis kesan negatif yang telanjur timbul bahwa kedua kelompok bermusuhan.

Upaya counter-image itu dapat dibentuk lewat kegiatan-kegiatan di kampung, melibatkan semua kelompok. Kerja bakti. Bersama-sama membangun kembali bangunan-bangunan yang hancur.

Pemda pada awalnya perlu menfasilitasi pertemuan yang melibatkan tokoh-tokoh informal dari kelompok-kelompok yang bertikai sampai di antara mereka tercapai kesamaan visi dan tujuan membangun masyarakat pasca-kesepakatan damai.

Yang juga penting untuk mencegah pembusukan kolektif adalah upaya dan para tokoh masyarakat formal maupun informal untuk tidak membuat pernyataan-pernyataan yang mengandung stigma negatif untuk kelompok tertentu.

Dalam konflik bernuansa agama, tempat ibadah harus steril dari komentar-komentar insinuatif dan sebagai gantinya adalah imbauan-imbauan untuk hidup rukun, saling memaafkan, dan tidak mengungkit-ungkit masa lalu.

Pusat
Harus diakui bahwa pemda dan aparat keamanan di daerah konflik sering tidak mampu bertindak tegas pada insiden awal. Yang lebih ditakuti dan mampu bertindak tegas biasanya adalah pasukan dan luar daerah, yang didatangkan setelah kerusuhan meluas dengan fungsi seperti pemadam kebakaran. Tentu ini bukan solusi ideal.

Sudah sepantasnya daerah yang potensial dengan konflik bernuansa SARA dipimpin pejabat sipil dan keamanan yang dibekali pengalaman serta keterampilan menangani konflik. Dibutuhkan sentuhan tangan kepemimpinan yang dingin dan arif dari putra-putra bangsa yang terbaik.

Bila perlu, pemimpin di daerah belajar dari negara-negara seperti Srilangka atau India yang rawan dengan konflik bernuansa SARA, belajar dari kegagalan dan keberhasilan mereka.

Bukan kebetulan bahwa dua wilayah konflik di Maluku dan Poso letaknya di Indonesia bagian timur, yang relatif jauh dan pusat. Sudah waktunya perwira-perwira dan pejabat-pejabat terbaik juga perlu ditempatkan di daerah-daerah konllik.

Pasca-kesepakatan damai, hotline antara daerah dan pusat harus tetap terpelihara. Kelompok-kelompok bertikai secara sosiologis masih dalam kondisi lemah dan membutuhkan pemantauan pusat.

Laporan perkembangan positif pasca-kesepakatan damai dari daerah, terus dicermati dengan checks and rechecks apakah laporan itu sesuai dengan kenyataan di lapangan, apakah bantuan yang disalurkan sampai ke tangan yang berhak, apakah terjadi penyunatan bantuan, apakah tidak terjadi penggelembungan angka penerima bantuan.

Dan bila insiden awal terjadi, pemerintah pusat harus memastikan insiden itu berada dalam koridor hukum.

Pers
Akhirnya, bila insiden terjadi, pers lokal seyogianya berperan efektif untuk menyajikan dan mengemas berita secara objektif dan tidak vulgar, tidak memojokkan salah satu kelompok dalam masyarakat. Supaya suasana tidak berkembang menjadi emosional, penyebutan identitas orang atau kelompok bernuansa SARA harus dihindari.

Ini akan memberi kesempatan kepada pemda untuk segera menangani insiden awal itu dalam koridor hukum yang berlaku. Karena itu, pemda dan asosiasi pers daerah harus turut memantau pemberitaan media massa di daerah, agar turut menjernihkan segala rumor yang berkembang.

Di luar jangkauan pemerintah daerah dan asosiasi pers daerah adalah media massa di luar daerah konflik. Sejak era kebebasan pers dibuka beberapa tahun ini dan dengan jaringan internet yang amat mempermudah akses, ada saja pemberitaan yang cenderung sektarian dan provokatif. Dalam hal ini pemerintah pusat dan asosiasi pers nasional tidak dapat berdiam diri.

Betapa panjang jalan menuju rekonsiliasi sejati. Dibutuhkan upaya all out dari segenap pihak untuk memulihkan kerusakan dan kedamaian di Poso.

Bila upaya itu sinergis, proses pembusukan kolektif tidak berkembang, semakin bertumbuh keyakinan warga bahwa mereka dapat kembali hidup berdampingan dengan rukun, maka Deklarasi Malino akan melahirkan Poso yang damai.

* Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan; dosen filsafat-teologi; alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Calvin Theological Seminary; dalam program doktoral di Evangelische Theologische Fakulteit, Heverlee-Leuven (Belgia).