SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Memaknai dan Menyikapi Tragedi Bali
Oleh Yonky Karman

Tragedi tiga ledakan bom berturut-turut di Bali tengah malam hari Sabtu 12 Oktober 2002 merupakan klimaks rangkaian teror bom yang dalam beberapa tahun ini marak terjadi di Tanah Air. Dibandingkan dengan kasus-kasus ledakan bom di daerah konflik maupun di Ibu Kota, tragedi di Bali yang untuk pertama kali terjadi di daerah wisata itu merupakan pukulan yang menghunjam ke jantung stabilitas politik dan ekonomi nasional.

Belum jelas apakah ledakan bom di Bali berhubungan langsung dengan ledakan yang sama di Manado, Sabtu so-renya. Bila tak berhubungan, pesan tragedi Bali bisa dimaknai sebagai peringatan kepada Pemerintah Indonesia atau kepada komunitas internasional atau kepada kedua pihak sekaligus.

Ada juga alasan untuk mengaitkan ledakan di Bali dan Manado. Ledakan bom yang ketiga di Bali hanya berjarak sekitar seratus meter dari Kantor Konsulat Amerika Serikat (AS). Sementara itu, di Manado ledakan itu terjadi di pintu gerbang masuk Kantor Konsulat Jenderal Filipina, sebuah negara yang memiliki sejarah hubungan amat erat dengan AS, dan dalam memberantas terorisme di wilayahnya, Filipina bekerja sama amat erat dengan AS. Sepintas ada alasan untuk mencurigai gerakan separatis Filipina, namun kecurigaan itu menjadi tidak relevan diperhadapkan dengan dua ledakan pertama di Bali yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan AS.

Apakah, kalau begitu, ini adalah ulah jaringan terorisme global seperti Tragedi 11 September 2001. Namun, kenapa Bali atau, tepatnya, Indonesia? Pesan politik apa yang hendak disampaikan kepada Pemerintah Indonesia? Apa relevansinya terorisme global dengan Manado?

Kemungkinan lain adalah warga negara sendiri. Pelaku teror ingin mencemari citra Indonesia di mata dunia, sehingga dua provinsinya yang selama ini dikenal damai dan jauh dari aksi-aksi teror dinodai dengan aksi ledakan bom yang menelan korban jiwa. Sekaligus dengan begitu terungkap juga bahwa pelaku teror itu secara politik berseberangan dengan pemerintah sekarang.

Kemungkinan terakhir adalah teror kekerasan itu dilakukan warga asing berkolaborasi dengan warga Indonesia yang kebetulan mempunyai titik temu kepentingan. Perkiraan demikian bukannya tidak beralasan. Selama ini setiap kali ada sinyalemen kehadiran elemen-elemen terorisme asing di wilayah konflik Indonesia, pemerintah selalu menyangkal dan lamban merespons.

Dengan Tragedi Bali ini, bila pemerintah yakin bahwa pelakunya bukan warga Indonesia, setidaknya terbukti bahwa terorisme asing ada di negeri ini. Dan, pertanyaan selanjutnya, mungkinkah aksi teror asing itu dilakukan sendiri tanpa ada kolaborasi dengan unsur dalam negeri?

Bila pelakunya orang asing, terbukti sistem pertahanan keamanan Indonesia mudah diobok-obok. Bila warga Indonesia nanti yang terbukti sebagai pelakunya, artinya mereka telah melakukan sabotase ekonomi nasional di tengah-tengah situasi bangsa yang sedang terpuruk. Pelaku ini pengkhianat bangsa.

Akan tetapi, siapa pun pelaku atau aktor intelektualnya, yang penting sekarang, bagaimana menyikapi secara politik tragedi yang mencoreng wajah Bali sebagai satu-satunya kawasan teraman yang dikenal turis mancanegara.

* * *

DENGAN begitu banyaknya wisatawan mancanegara yang tewas dan luka-luka akibat ledakan bom, Pemerintah Indonesia harus jujur dan merasa malu bahwa terorisme sungguh ada di Indonesia. Selama ini berbagai teror bom yang telah menelan banyak korban jiwa di Indonesia memperlihatkan lemahnya kemampuan negara untuk melindungi warganya sendiri dari aksi teror. Namun, pemerintah selalu menyangkal bahwa unsur-unsur radikal berkeliaran di Tanah Air.

Kegamangan pemerintah dalam menyikapi isu terorisme di Indonesia masih ditambah lagi dengan upaya keras dari beberapa organisasi massa dalam negeri yang menganggap isu itu hanya untuk memojokkan Indonesia agar asing boleh melakukan intervensi di Indonesia. Maka, lamban sekali pengesahan Rancangan Undang-Undang Antiterorisme.

Dibandingkan dengan negara tetangga di lingkungan ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, tindakan Indonesia untuk menangani aksi teror di Tanah Air terbilang kurang agresif, dan ambigu. Pemerintah terjebak ke dalam retorika pembelaan diri dengan pernyataan-pernyataan yang normatif.

Padahal cukup gencar concern dari negara-negara sahabat, dekat maupun jauh, agar pemerintah mewaspadai dan menindak kegiatan-kegiatan (quasi) terorisme di Indonesia. Semua tanda "awas" itu diberikan agar Pemerintah Indonesia bertindak ekstra serius.

Sekarang bagaimana pemerintah harus bicara menjelas-kan di depan publik internasional?

Jangan terlalu cepat untuk mengambinghitamkan skenario global yang hendak memojokkan Indonesia sebagai negara sarang terorisme. Retorika politik itu irasional berhadapan dengan banyaknya korban yang justru jatuh dari pihak asing. Apalagi, retorika itu hanya mencerminkan ketidakpekaan hati nurani berhadapan dengan duka nestapa korban.

Sesungguhnya citra buruk melekat pada Pemerintah Indonesia karena ketidaksanggupannya melindungi warga sendiri sehingga menjadi korban konflik-konflik horizontal; juga tidak mampu melindungi warga negara asing. Kini citra buruk itu meluas dengan begitu banyaknya warga asing yang menjadi korban. Tidak cukup penyesalan dan permintaan maaf. Yang harus ditunjukkan kini adalah tanggung jawab pemerintah!

* * *

HARUS diakui bahwa dalam hal ini pemerintah telah kecolongan. Elite politik tidak ber-satu padu memerangi aksi-aksi teror di lapangan. Mereka le-bih sibuk dengan urusan tahta dan harta, sementara problem keamanan yang nyata-nyata amat lemah, lambat diantisipasi dan ditangani dengan ekstra serius.

Tidak ada jalan lain untuk memulihkan kepercayaan internasional kepada Indonesia, pemerintah dan segenap elite politik yang cinta bangsa merapatkan barisan mengusut tuntas kasus ini. Bila kasus ini di luar kemampuan intelelijen kita, tidak perlu malu meminta bantuan intelijen asing, apalagi sudah ada tawaran untuk itu. Kenapa harus berlindung di balik kedaulatan negara kita bila jaring keamanan negara yang berdaulat itu ternyata amat lemah?

Sebaiknya urusan kedaulatan negeri tidak dicampur-adukkan dengan tanggung jawab negara atas banyaknya korban yang jatuh akibat aksi-aksi teror di Tanah Air. Inilah momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk bercermin bahwa sikap ambigunya dalam penanganan terorisme ternyata telah dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meningkatkan aksi terornya.

Bila pemerintah Indonesia ingin bekerja mengusut tuntas insiden teror ini dengan kekuatan sendiri, hendaknya itu dengan batasan waktu yang jelas sampai kapan pemerintah akan bekerja sendiri. Dunia internasional sudah pasti akan menyoroti kinerja pihak kepolisian dan intelijen kita karena banyak warga asing cukup banyak yang menjadi korban konyol dalam Tragedi Bali.

Sudah waktunya Indonesia menyadari bahwa terorisme global tidak dapat dihadapi sendirian, apalagi oleh negara seperti Indonesia yang luas sekali wilayah teritorialnya namun lemah sistem jaring pengamanannya. Bila pemerintah terbuka atas uluran bantuan pihak asing dan bersama-sama mengungkap tuntas kasus mengerikan ini, dunia nanti akan melihat bahwa Pemerintah In-donesia sudah berupaya maksimal.

Dunia akan menuntut bukti keseriusan pemerintah. Marilah segenap rakyat membantu upaya pemerintah. Bila kasus ini berhasil diungkap, setidaknya Indonesia dapat sedikit mengangkat muka dan perlahan-lahan membersihkan citranya sebagai negeri sarang terorisme. *