SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Kepemimpinan Transisional Oleh Yonky Karman SUATU saat, seorang teman berkebangsaan Kanada berkomentar dengan nada datar, "Bangsa-bangsa di Asia lebih cocok dengan tipe kepemimpinan seorang benevolent dictator." Ia melihat perkembangan Indonesia di era reformasi yang memprihatinkan. Gangguan keamanan di mana-mana. Perkembangan mikroekonomi belum membaik. Komentar itu tidak biasa mengingat para pemimpin Asia biasanya dikritik sebagai tidak demokratis. Komentar itu juga tidak mendukung kediktatoran. Yang dimaksud, kepemimpinan yang kuat, tegas, tidak pandang bulu dalam penegakan hukum. Rujukannya, Lee Kuan Yew, dan kini Singapura tergolong salah satu negara yang bersih dari korupsi. Dalam arti tertentu, juga Mahathir Muhammad. Kini penggantinya, Perdana Menteri Abdullah Badawi, berulang kali menyatakan, pemberantasan korupsi menjadi prioritas pemerintah barunya. Selama Februari, seorang mantan pemimpin perusahaan baja raksasa ditangkap dalam kasus skandal keuangan terbesar di negeri itu. Dua hari kemudian, Menteri Pertanahan dan Pengembangan Koperasi Malaysia juga ditangkap atas tuduhan korupsi. Itulah gambaran sekilas dua negara yang lama diperintah benevolent dictators. Dalam kaca mata Barat, pemimpinnya tidak demokratis, namun mereka maju dalam memberantas korupsi dan kepemimpinannya berorientasi menyejahterakan rakyat. Meski di dalam negeri ada ketidakpuasan terhadap pengekangan demokrasi, relatif mayoritas rakyat menaruh respek pada pemimpin mereka. KETIKA masih menjabat Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew pernah menyatakan, "Contrary to what American political commentators say, I do not believe that democracy necessarily leads to development. I believe that what a country needs to develop is discipline more than democracy" (pidato di depan Konferensi Bisnis Filipina, 18 November 1992). Alternatif demokrasi bukan kediktatoran, juga bukan kesejahteraan. Demokrasi pada dirinya sendiri, bukan tujuan. Demokrasi adalah sebuah jalan yang sesuai kodrat manusia merdeka untuk mencapai cita-cita masyarakat adil makmur. Lewat demokrasi ekonomi, rakyat miskin dengan mudah memiliki akses ke dunia ekonomi dan menjadi lebih sejahtera. Demokrasi saja tidak otomatis menyejahterakan rakyat. Demokrasi baru efektif bila disertai disiplin elite politik dan bangsa secara keseluruhan. Apa arti demokrasi bila mampu menyejahterakan rakyat? Apa arti demokrasi bila membuat elite politik bermewah-mewah di atas kemiskinan bangsa? Apa arti demokrasi yang tidak mampu mengembalikan supremasi hukum? Belakangan muncul Sindrom Aku Rindu Soeharto (SARS). Itu bukan fenomena yang dibuat-buat. Fenomena itu berkembang di masyarakat bawah yang mengalami langsung bahwa di zaman Soeharto ketertiban relatif lebih baik. Kini ketidaktertiban merajalela. Di jalan, di gedung parlemen, bahkan di institusi benteng law and order. Demokrasi tanpa disiplin melahirkan ketidaktertiban. Dalam euforia reformasi, demokrasi kita masih elitis dan sedang ada di pendulum legislatif. Pemerintah, baru dalam arti dari rakyat, namun belum untuk rakyat. Elite politik tidak merasa bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Akibatnya, demokrasi diselipi egoisme kelompok yang berorientasi kekuasaan. Demikianlah, demokrasi berkembang tanpa disiplin. Coba direnungkan sejenak. Mengapa dengan sumber daya alam (darat dan laut) yang begitu kaya, kita terus hanya menggigit jari melihat kekayaan itu dieksploitasi dan dijarah asing? Bukankah karena korupsi dan persekongkolan terjadi di kalangan aparat penegak hukum? Bukankah dari pengawasan yang lemah? Bukankah dari sanksi yang terlalu ringan? JALAN keluarnya bukan kembali kepada zaman represif, seperti pada masa Orde Lama (Orla) atau Orde Baru (Orba). Tetapi, kembalikan demokrasi ke jalurnya. Demokrasi dengan disiplin. Demokrasi yang konsisten dengan idealisme "pemerintahan dari dan untuk rakyat". Demokrasi yang akhirnya harus menyejahterakan rakyat. Untuk meluruskan demokrasi yang menyimpang, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Disiplin konteks bangsa harus mulai dari atas, dari pemimpin yang kuat, tegas, dan dapat menjadi panutan. Dalam konteks itulah Mohammad Hatta menyinggung perlunya kepemimpinan gaya diktator pada masa transisi (pidato Hari Alumni I Universitas Indonesia tanggal 11 Juni 1957). Demokrasi yang dijalankan tanpa tanggung jawab hanya membuahkan anarki. Dibutuhkan kepemimpinan diktatorial guna menyelamatkan negara dari kekacauan dan mengembalikan ketertiban. Menurut Hatta, "Diktator kadang-kadang perlu untuk menyelamatkan negara dari kekacauan ke dalam keadaan teratur. Tetapi, diktator yang sebenar-benar diktator menurut keperluan dan kehendak masa hanya dapat dijalankan dengan baik dan selamat oleh orang yang tinggi moralnya, berani bertindak dan bertanggung jawab, dan mempunyai kecakapan luar biasa untuk mengatur dan mengurus, seorang organisator. Orang yang seperti itu jarang bersua." Hatta jelas menentang diktator dalam arti sebenarnya. Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah karena Soekarno berubah menjadi diktator. Namun, sebagai negarawan yang belajar dari sejarah, Hatta menyadari bahwa demokrasi bisa gagal bukan karena pembawaannya, tetapi karena lemahnya tanggung jawab pemimpin kepada rakyat. Dalam konteks Indonesia, masa transisi yang berkepanjangan harus segera diakhiri dengan selamat. Jalannya bukan dengan meneruskan tradisi demokrasi tanpa disiplin, juga bukan dengan kemenangan partai besar dalam pemilu. Tetapi, tampilnya kepemimpinan diktatorial yang memimpin masyarakat ke sebuah era baru untuk hidup dengan lebih disiplin dan bertanggung jawab. Munculnya pemimpin demikian tidak berarti kembalinya kediktatoran, yang juga tidak dimungkinkan dalam iklim politik dan konstitusi sesudah amandemen. Kita sudah terlalu lama dalam masa transisi dan harus lekas diakhiri sebelum terpuruk dalam segala bidang. Jalan terbaik dan termurah adalah munculnya pemimpin kuat dan dipercaya rakyat. Kepemimpinan yang tegas amat dibutuhkan. Bila disiplin mulai dari atas, niscaya berimbas ke bawah. Korupsi, misalnya, harus diberantas tanpa pandang bulu dengan pendekatan top down dengan kemauan politik tidak setengah-setengah. Pemerintah RRC berhasil dengan reformasi ekonomi dan kini menjadi kekuatan ekonomi yang ditakuti sebab pemimpinnya konsisten melakukan reformasi ekonomi dan birokrasi, menindak tegas pejabat tinggi yang korup. MESKI bola untuk memilih pemimpin bangsa secara langsung dalam pemilu di tangan rakyat, jalan menuju terpilihnya pemimpin yang berintegritas dan kuat tidak mudah. Hasil Pemilu Legislatif 5 April bisa didominasi partai-partai yang pro-status quo. Hasil itu sedikit banyak bisa berpengaruh pada calon presiden yang akan terpilih, meski secara teoritis mungkin saja presiden terpilih tidak berasal dari partai besar pemenang pemilu legislatif. Untuk tidak bertabrakan dengan logika politik, idealnya, rakyat dengan sadar mendifusi suara, menyebar kepada calon anggota legislatif dari partai-partai kecil. Jika dicermati, masih banyak caleg yang tidak termasuk daftar politisi bermasalah. Bila mereka politisi potensial (kompeten), hendaknya masyarakat pemilih akan mempertimbangkan calon tersebut, meski kurang populer. Akhirnya, rakyat sendiri harus menjawab pertanyaan: Apakah status quo akan dibiarkan tetap memegang kendali kekuasaan? Apakah tradisi demokrasi tanpa disiplin akan berlanjut? Apakah masa transisi akan diperpanjang? Apakah kita tetap terpuruk?* |