SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

YONKY KARMAN: KEKERASAN DI ERA REFORMASI

Sejak Orde Baru sampai hari ini, kekerasan sering terjadi pada warga yang sebenarnya sama sekali tidak pantas menerimanya. Korban bukan tersangka kriminal dan secara hukum kekerasan itu tidak dibenarkan. Korban tindak kekerasan dapat diidentifikasikan menurut kelompok organisasi, kampung tempat tinggal, atau SARA (etnis, agama). Yang menjadi sasaran kebrutalan dan vandalisme tidak hanya milik pribadi, tetapi juga milik institusi seperti gedung sekolah, panti asuhan, dan rumah ibadah.

Mitos Komunitas Korban
Karena korban menurut kategori kelompok sosial di atas terbukti berulang-ulang menjadi korban, maka sebagian warga penghuni di daerah yang rentan menjadi korban kekerasan selalu dibayang-bayangi rasa was-was. Rasa aman terusik. Ada warga yang terpaksa membekali diri dengan senjata. Ada kompleks yang portalnya terpalang atau pagar tingginya berduri seperti dalam suasana perang. 

Itulah potret kekhawatiran warga. Ada warga yang merasa menjadi bagian dari komunitas korban, sewaktu-waktu bisa menjadi korban kekerasan sewenang-wenang, miliknya atau bahkan dirinya rawan menjadi target tindak kekerasan.

Di negara demokrasi dan hukum seperti Indonesia mestinya keberadaan komunitas korban hanyalah sebuah mitos, tanpa landasan hukum dan bukan konsensus nasional. Namun, mitos itu hidup juga karena realitas di lapangan. Kelambanan, ketidaktegasan, atau ketidak-berdayaan aparat penegak hukum sebelum maupun sesudah insiden sudah bukan rahasia lagi. 

Bahkan kekerasan massal yang sudah mencoreng citra Indonesia di dunia internasional seperti tragedi Mei 1998 belum dituntaskan secara hukum. Maka, wajar rasa was-was berkembang di kalangan warga bahwa tragedi serupa bisa terulang lagi dan mungkin mereka menjadi korban berikutnya.

Adanya komunitas korban demikian sebenarnya secara tidak langsung memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam melaksanakan tugas utamanya, yakni menjamin ketertiban, memberikan jaminan rasa aman, dan menjamin keselamatan warga di wilayah hukum Indonesia. Perasaan tidak aman, perasaan bakal menjadi target tindak kekerasan, perasaan sebagai warga kelas dua, perasaan ketidak-pastian hukum, perasaan-perasaan demikian bila berkembang akan melunturkan rasa saling percaya (trust) di antara sesama warga.

Sebagai gantinya, atmosfir kehidupan bermasyarakat diwarnai ketidak-percayaan (distrust) di antara sesama warga. Padahal sebagaimana dikatakan Fukuyama trust merupakan modal paling dasar dalam kehidupan bermasyarakat yang efektif dan produktif, perekat ampuh sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Demitologisasi
Krisis ekonomi nasional masih memprihatinkan dan amat dibutuhkan sinergi partisipasi segenap komponen bangsa untuk membawa Indonesia keluar dan krisis itu. Kondisi ini sangat mendesak. Namun, prakondisinya adalah warga di Indonesia harus bebas dari perasaan komunitas korban. Untuk itu, dibutuhkan pula usaha bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk mendekonstruksi mitos komunitas korban.

Pertama, pemerintah harus dengan tegas menyatakan perang terhadap kekerasan yang berbau komunitas korban. Bila terjadi kekerasan demikian, pemerintah tidak boleh berhenti hanya pada retorika, tetapi harus berani mengkoreksi diri. 

Sebagai contoh, memberikan santunan atau kompensasi kepada korban, menjatuhkan sanksi atas penanggung jawab sipil dan keamanan, menindak tegas siapa saja yang terlibat dan melanggar hukum tanpa pandang bulu kendati ada tekanan massa supaya orang tertentu dilepaskan. 

Dengan konsekuensi mahal itu, bukan saja pemerintah mengakui kegagalannya dalam mengelola ketertiban umum, namun juga akan terpacu untuk bekerja ekstra keras agar insiden serupa tidak terulang lagi minimal di wilayah yang sama. Pelaku tindak kekerasan menjadi jera. Yang belum terlibat pun akan berpikir ulang untuk terlibat di masa yang akan datang.

Kedua, dalam jangka panjang tindakan preventif yang dibutuhkan adalah mencegah akumulasi sentimen kebencian dan permusuhan terhadap suatu kelompok warga. Akumulasi kebencian demikian akan berkembang menjadi pembusukan kolektif (predisposing factor) dan hanya insiden kecil saja dapat memicu (precipitating factor) insiden kekerasan yang menimpa komunitas viktim.

Untuk itu, kebebasan mengungkapkan pendapat tidak boleh disalahgunakan oleh siapa saja untuk menyebarkan sentimen-sentimen kebencian terhadap sekelompok masyarakat. Pejabat dan tokoh masyarakat harus menahan diri untuk tidak memberikan stigma negatif terhadap sekelompok warga.

Untuk itu, dibutuhkan kontrol dengan sanksi moral, sosial, atau bila perlu, sanksi hukum bagi penyebar sentimen kebencian di kalangan masyarakat.

Ketiga, masyarakat harus dibebaskan dari tirani massa yang dalam aksinya melanggar HAM. Karena Indonesia bukan "republik massa," tetapi republik berdasarkan hukum, aksi dalam bentuk dan atas nama massa harus berada dalam koridor hukum.

Bila jatuh korban dalam rangka penegakan ketertiban dan hukum, aparat yang sudah bertindak sesuai prosedur harus dilindungi dari tuduhan pelanggaran HAM secara sepihak.

Bila sekelompok orang dengan leluasa main hakim sendiri dengan hukum jalanan atau hukum rimba, wibawa penegak hukum akan merosot.

Keempat, warga komunitas korban harus belajar memperdengarkan kebrutalan tindak kekerasan yang yang dialaminya. Korban harus menjerit sedemikian rupa sampai komunitas yang lebih luas tersentak dan secara kolektif melakukan aksi protes.

Pemenang Nobel Perdamaian dari Rusia, Aleksandr Solzhenitsyn mengimbau korban rezim komunis di negerinya untuk menjerit ketika ditangkap (The Gulag Archipelago, 1973, hal. 15), "Millions are being subjected to silent reprisals! If many such outcries had been heard all over the city in the course of a day, would not our fellow citizens perhaps have begun to bristle? And would arrests perhaps no longer have been so easy."

Keberanian korban kekerasan di Indonesia untuk menyuarakan kebrutalan dan penderitaannya sudah lebih maju sekarang dibandingkan pada masa Orde Baru. Tergerak oleh penderitaan sesama warga yang memilukan dan yang menginjak-injak martabat manusia, gerakan-gerakan anti kekerasan bermunculan di Indonesia. Mudah-mudahan dengan perjuangan kolektif ini mitos komunitas korban akan pudar dan selanjutnya lenyap dari Tanah Air.

Sebagai gantinya, muncul civilized civil society (masyarakat madani yang beradab), masyarakat yang warganya menghormati hukum, menghargai milik dan keselamatan orang lain.

Antara Ironi dan Mimpi
Arah cita-cita reformasi di Tanah Air kini berbelok dengan maraknya aksi massa yang lepas kendali dan berjalan di luar koridor hukum-hukum. Orang mengatakan bahwa itu adalah euforia reformasi, tetapi tidak salah juga dikatakan bahwa itu adalah ironi.

Ruang gerak yang lebih bebas bukannya dimanfaatkan untuk melakukan reformasi fundamental dalam bidang hukum dan kehidupan bernegara, malah untuk reformasi tambal sulam yang jauh dari inti persoalan bangsa.

Maraknya aksi massa yang potensial menjurus ke anarki sosial dan susah diprediksi menyebabkan Indonesia mendapat ranking sebagai salah satu negara dengan risiko investasi sangat tinggi.

Bukan suatu yang mustahil bangsa Indonesia bebas dari mitos komunitas korban, asalkan pemerintah dan masyarakat bermimpi sama. Mimpi melihat warga bebas dari kekerasan yang sewenang-wenang. Tokoh perjuangan anti-kekerasan dari Brasil, Almarhum Helder Camara mengajak kita untuk berani bermimpi demikian, "When we dream alone, it is just a dream. When we dream together, it's the dawn of reality."