SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Keindonesiaan yang Belum Selesai
Oleh Yonky Karman

DI tengah kegembiraan perayaan Imlek, tersisa sebuah keindonesiaan yang belum selesai berkaitan dengan politik diskriminasi. Politik rasialis telah menimbulkan aneka guncangan sosial bagi minoritas Tionghoa di Tanah Air.

Menurut sarjana ahli Asia Tenggara, Prof Wang Gung-wu, tidak ada etnis Cina perantauan di dunia pasca-Perang Dunia II atau sesudah berakhirnya kolonialisme Barat di Asia, yang begitu banyak mengalami guncangan seperti di Indonesia (Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta, 1984, hlm ix). Masih segar dalam ingatan, Tragedi Mei 1998 yang memilukan sekaligus mencoreng wajah Indonesia di dunia internasional sebagai negeri yang masih rasialis.

Problem dan dilema
Menurut Prof Mely G Tan, peneliti senior LIPI (Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, 1981), akar persoalan minoritas Tionghoa di Indonesia adalah gagalnya pembinaan kesatuan bangsa Potret buram keindonesiaan itu sungguh mengherankan.

Di Amerika Serikat (AS), Kanada, atau Belanda, minoritas Tionghoa jauh lebih eksklusif dalam komunitas China Town, sebuah komunitas yang jauh lebih terorganisir dari Pecinan di Indonesia. Kendati kental kultur Cina-nya, minoritas Tionghoa di negeri-negeri itu tidak mengalami diskriminasi dan tidak merasa sebagai warga negara kelas dua. Akan tetapi, tidak demikian di Indonesia. Padahal, jumlah minoritas Tionghoa di Indonesia di bawah lima persen dibandingkan di Singapura, Malaysia, atau Brunei , yang semuanya di atas 20 persen.

Politik dan praktik rasialis di Indonesia setidaknya dapat ditelusuri ke belakang sebagai warisan kolonialisme Belanda. Hukum kolonial membagi masyarakat Hindia Belanda dalam tiga golongan. Golongan Eropa (Belanda) dan yang dianggap setara (Thai, Jepang); golongan Timur Asia (Tionghoa, Arab, India): dan penduduk asli atau pribumi (Inlander). Tiap golongan diatur dengan undang-undang dan hak yang berbeda. Sekolah juga terbagi untuk orang Eropa (ELS), orang Cina (HCS), dan Inlander (HIS).

Pemerintah pascakemerdekaan mewarisi sebagian kategori pembagian masyarakat. Puluhan peraturan yang diskriminatif diundangkan dan sampai kini belum dicabut. Ada formulir yang dikeluarkan salah satu kelurahan di Jakarta masih mencantumkan kolom "kebangsaan/keturunan" untuk WNI keturunan Tionghoa. Bagaimana mungkin seorang WNI masih berkebangsaan Cina? Pemerintah tidak konsisten. Kategori "pribumi" dan "nonpribumi" masih dipakai dalam wacana publik meski semasa pemerintahan Habibie pernah disepakati untuk tidak dipakai lagi.

Kecinaan selalu dijadikan kambing hitam. Minoritas Tionghoa dicap eksklusif, tidak mau berbaur, tahunya hanya berdagang, tidak punya nasionalisme, tidak peduli nasib bangsa, dan seterusnya. Labelisasi itu tentu tidak sepenuhnya tepat Seharusnya, pemerintah melakukan introspeksi, bukankah kebijakan politik diskriminatifnya sedikit banyak membuat WNI keturunan merasa sebagai warga kelas dua kendati mereka sudah tidak memiliki keterkaitan emosional maupun budaya dengan leluhur di Cina daratan.

Kini, partisipasi politik etnis Tionghoa di era reformasi jauh lebih baik. Depolitisasi etnis Tionghoa buatan rezim Soeharto sudah berakhir. Mereka berusaha keluar dari stigma sebagai golongan netral dalam panggung politik. Kini dapat ditemui etnis Tionghoa bergabung dengan parpol mulai dari PDI-P, PAN, PKB, dan lain-lain. Namun, akar problem minoritas Tionghoa dalam kehidupan berbangsa di Tanah Air belum selesai.

Inti masalahnya adalah keindonesiaan yang belum selesai. Meminjam terminologi nation dari Indonesianis Ben Anderson, ada yang salah dengan imagined community kita. WNI etnis Tionghoa masih belum dibayangkan sebagai bagian integral bangsa oleh pemerintah maupun warga. Baik sebagai akibat atau berdiri sendiri, masih ada orang Tionghoa membayangkan diri bukan sebagai warga penuh Indonesia.

Sejarawan senior Universitas Indonesia, Ong Hok Ham, tepat mengungkapkan, "pada masa pascakolonial atau Indonesia merdeka, sebenarnya pemerintah maupun masyarakat Indonesia dan minoritas Cina-nya tidak siap menghadapi satu sama lain" (Suryadinata, Dilema, hlm xii). Maka, keindonesiaan yang belum selesai adalah problem kita semua. Ini tugas semua untuk menyelesaikannya.

Indonesia baru
Indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang masih muda dan masyarakatnya majemuk. Untuk menuntaskan nation building dan mewujudkan kesatuan bangsa, sebenarnya kita mempunyai tiga modal dasar. Pertama, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sudah lama dihayati dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam semangat itu, sebenarnya bangsa Indonesia telah berpengalaman menyelesaikan hambatan untuk bersatu.

Kedua, ikrar Sumpah Pemuda 1928 menjadi tonggak historik pertama kesadaran berbangsa satu. Ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan, tidak ada wakil dari organisasi Tionghoa. Namun, dalam kongres itu tercatat kehadiran seorang pemuda, Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman, mewakili Jong Sumatranen Bond (Kompas, 25/10, 1978).

Ketiga, proklamasi kemerdekaan menjadi tonggak historik kedua. Dalam konteks itu, ada Yap Tjwan Bing dari Partai Nasional Indonesia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Meretas Jalan Kemerdekaan: Otobiografi seorang Pejuang Kemerdekaan, Jakarta, 1988). Panitia itu dibentuk untuk melaksanakan kemerdekaan Indonesia dan mengambil langkah-langkah guna membuat suatu negara. PPKI itulah yang mengesahkan UUD 1945, 18 Agustus 1945.

Bermodalkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, ikrar Sumpah Pemuda, dan cita-cita pendiri Republik dalam proklamasi kemerdekaan, semestinya pemerintah tidak sulit untuk memutuskan sisa-sisa politik diskriminasi warisan penjajah. Salah satu terobosan politik yang ditunggu-tunggu adalah pengesahan undang-undang antidiskriminasi.

Untuk kebesaran Indonesia, kehidupan berbangsa harus disterilkan dari sentimen ras. Sesama anak bangsa harus melepaskan diri dari prasangka dan cara pandang rasialis. Proses pembauran, bila terjadi, harus berjalan wajar. Upaya top down lewat berbagai instrumen hukum, terbukti lebih menguatkan perasaan diskriminatif dan menyuburkan praktik diskrimatif di lapangan, yang akhirnya oleh sebagian oknum pemerintah dimanfaatkan sebagai ajang praktik pungli.

Jalan menuju kesatuan bangsa bukan lewat politik ganti nama, kawin campur, ganti agama, atau pemasungan kultural. Sebenarnya tidak ada korelasi antara etnisitas dan nasionalisme. Siapa meragukan nasionalisme Soe Hok Gie (dan Soe Hok Djin atau Arief Budiman), Yap Thiam Hien, Kwik Kian Gie, Alvin Lie, Teguh Karya, Rudy Hartono, Esther Indah Yusuf, Jaya Suprana, dan lain-lain. Keindonesiaan adalah masalah dalam pikiran kita semua yang kemudian mempengaruhi tindakan. Sekali lagi, keindonesiaan adalah masalah imagined community.

Untuk itu, nation building harus dengan sadar diupayakan terus-menerus. Bangsa Indonesia yang berciri kemajemukan, menurut Jakob Oetama, "senantiasa harus dengan sadar mengolah kelebihan dan keunggulan dari kemajemukan masyarakatnya" sehingga "kesatuan kita berada dalam kemacamragaman, persatuan kita berada dalam perbedaan" (Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan, Jakarta, 2001, hlm 106). Dibutuhkan keikutsertaan semua komponen masyarakat untuk membangun Indonesia. Semakin cepat problem keindonesiaan itu diselesaikan, semakin cepat juga Indonesia bangkit dari keterpurukan.