SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Kartini Melampaui Formalisme
Oleh Yonky Karman

Kartini (1879-1904) adalah perintis kebangkitan kaum perempuan. Ia hidup semasa perempuan terkungkung adat-istiadat patriarki dan feodalistik, yang membuat mereka terbelenggu dalam kebodohan dan keterbelakangan. Perempuan harus kawin dan tidak menikah adalah aib. Harkatnya bergantung pada pria yang mau mengawininya. Sering pria itu bukan pilihan hati sendiri, belum dikenal, hanya pilihan orangtua, dan celakanya sudah beristri.

Perempuan pada masa Kartini tidak dapat mencari rezeki sendiri sebab mereka tidak dibekali keahlian untuk menunjang kehidupan mandiri dan tidak punya hak untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Cara berpikir masyarakat saat itu, untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya mereka harus kawin dan masuk dapur. Kartini menyelesaikan sekolah rakyat atau sekolah rendah (Europese Lagere School) di Jepara. Sesudah itu, ia tidak diperbolehkan keluar rumah sampai bersuami.

Dalam lubuk hatinya, Kartini tidak mau dipaksa kawin. Ia ingin suaminya betul-betul belahan jiwanya. Cita-citanya adalah menjadi perempuan mandiri yang bisa tidak bergantung pada suami. Namun, cita-cita itu terlalu modern untuk zamannya. Kartini harus menghadapi tembok tinggi adat-istiadat yang susah ditembus sebab mendapat legitimasi dari agama.

Kartini bukan seorang pemikir bebas yang hendak mencampakkan agama. Justru dalam keislamannya, Kartini memprotes "kebekuan dan ketidakterbukaan ajaran Islam pada waktu itu" (Aisyah Dahlan, "Inspirasi Kartini di kalangan Wanita Muslimat," dalam Satu Abad Kartini, A. Katoppo et al, ed., Jakarta, 1979, hlm 53). Setidaknya, itulah yang tercermin dari kumpulan surat-menyuratnya (Habis Gelap Terbitlah Terang, tr., Jakarta, 1938).


Legalisme Agama
Pemahaman Kartini mengenai dosa-tidaknya suatu perbuatan tidak berhenti pada hukum agama tertulis tetapi melampauinya. Dosa di mata Kartini, misalnya, bukan cuma pelanggaran hukum agama (bila tidak ada yang dilanggar, tidak berdosa!), tetapi semua perbuatan yang menyengsarakan sesama (kepada Nn Zeehandelaar, 6 November 1899). Bisa saja sebuah perbuatan tidak dilarang agama namun karena efeknya menyengsarakan orang lain, itu adalah dosa.

Jelas, Kartini tidak mau terjebak ke dalam keberagamaan legalistik. Bahwa kesalehan juga harus dicari melampaui kata-kata dalam kitab suci, itu membuatnya memiliki motto hidup "Hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya." Tidak boleh menyakiti orang lain dan sebisanya meringankan penderitaan orang lain dan memperindah hidup (kepada Ny Abendanon, 30 September 1901).

Tentang kecenderungan westernisasi di Jawa, Kartini mengkhawatirkan eksesnya, "Peradaban memberi berkah, tetapi ada pula buruknya." Salah satu eksesnya adalah pemakaian candu. Di matanya, candu adalah benda terkutuk dan lebih jahat daripada minuman keras dan lebih ganas daripada sampar, benda laknat yang menyengsarakan bangsanya. Bila sudah kecanduan, orang akan melakukan apa saja untuk memperoleh uang dan membeli candu, termasuk membunuh (kepada Nn Zeehandelaar, 25 Mei 1899).

Tentang pernikahan, Kartini tidak membantah bahwa institusi itu berasal dari Tuhan. Tetapi ia menolak bila pernikahan dianggap sebagai sebuah keharusan adat bagi perempuan atau sebagai satu-satunya jalan untuk hidup bermartabat atau sebagai satu-satunya jalan untuk mendapat nafkah (kepada Ny van Kol, Agustus 1901).

Tentang poligami, Kartini memprotes bahwa itu sering menyeleweng dari cita-cita luhur perkawinan, yakni melindungi martabat perempuan. Dalam praktik poligami, perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang lemah, yang pasif, yang selalu harus bergantung pada laki-laki. Poligami demikian akhirnya hanya melayani kepentingan laki-laki dan tidak menghiraukan penderitaan perempuan (kepada Ny Abendanon, Agustus 1900).

Tentang agama yang sejak dulu menjadi pangkal perselisihan, perpecahan, perkelahian, bahkan pembunuhan, Kartini mempertanyakan bukankah agama seharusnya menjaga manusia dari berbuat dosa dan tidak menyengsarakan sesama dengan mengatasnamakan agama (kepada Nn Zeehandelaar, 6 November 1899). Agama seharusnya menurunkan rahmat kepada manusia dan semua makhluk Tuhan, membuat umatnya masing-masing merasakan persaudaraan universal karena Bapa yang satu itu (kepada Ny Ovink-Soer, Oktober 1900).

Filsafatnya tentang hidup cukup realistis. Ia bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang banyak sisi gelapnya namun gelap itu membuat sisi terang kehidupan tampak lebih bercahaya. Ia beriman kepada Allah yang baik, yang memberikan hidup sebagai rahmat dan bukan sebagai beban. Manusialah yang membuat hidup menjadi susah dan menderita (kepada Ny Abendanon, 13 Agustus 1900).

Kartini tetap dapat bersyukur kepada Tuhan atas orangtuanya yang dipandangnya sebagai karunia indah dari Tuhan, sebab mereka menyayanginya dan tetap hidup sehat, meski mereka tanpa disadari ikut membelenggu kebebasan Kartini (kepada Prof Anton dan Ny, 10 Juli 1901). Kartini merasa tidak perlu meratapi realitas buram kehidupan, yang tidak dapat berubah. Meratap hanya membuat hidup lebih susah. Kewajiban manusia, menurut Kartini, adalah memperbanyak hal-hal indah dan mengurangi hal-hal menyedihkan. Memperindah kehidupan dan berguna bagi sesama adalah kewajiban hidup (kepada Ny van Kol, Agustus 1901).

Belenggu Formalisme
Demikianlah, Kartini mampu keluar dari belenggu formalisme agama tanpa kehilangan perspektif religius. Religiusitasnya membuahkan sebuah kesadaran kritis yang mengilhami pergerakan wanita di Tanah Air. Tidak hanya itu, dalam surat-suratnya terungkap kegelisahan Kartini atas nasib bangsanya. Ia amat geram melihat pikiran bangsanya diracuni candu. Kartini akan lebih geram lagi bila ia hidup pada masa kini melihat Indonesia berkembang dari negara transit narkoba menjadi pemasok.

Wanita berpendidikan rendah itu memiliki visi kebangsaan yang mengagumkan untuk ukuran zamannya dan tetap istimewa untuk masa kini. Namun, sayang gagasan Kartini yang menerobos zaman itu tidak banyak mengilhami perjalanan bangsa. Kecemerlangan cita-cita Kartini dikerdilkan dalam formalisme perayaan. Pada hari peringatan Kartini, kaum ibu dan pelajar putri berkebaya serta berkonde, kaum pria berlomba masak, dan seterusnya. Dan, banyak perempuan merasa puas Kartini diperingati secara demikian.

Kartini merindukan "zaman baru" di mana perempuan Bumiputra dapat hidup layak seperti perempuan di Eropa. Perempuan tidak lagi terbelenggu adat, tidak harus kawin muda, dan bebas menuntut ilmu setinggi-tinggi- nya. Kini adat relatif tidak membelenggu kemajuan wanita lagi dan kesempatan belajar juga sama terbukanya. Namun, kualitas hidup perempuan yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia masih memprihatinkan.

Dalam Refleksi Tahun 2002 tentang kondisi perempuan di Indonesia, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto menegaskan bahwa walaupun berbagai kebijakan dan program gender telah gencar dilakukan sebagaimana diamanatkan dalam Inpres 9 Tahun 2000, kualitas hidup perempuan Indonesia tetap memprihatinkan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

Ironisnya, bila kualitas hidup perempuan masih rendah, kesetaraan dan keadilan gender tidak mengalami peningkatan. Lingkaran setan.

Gagasan Kartini untuk memajukan perempuan harus diaktualisasikan dan itu tidak dapat terwujud dalam atmosfer hegemoni yang mengagung-agungkan nilai-nilai maskulin dan politik yang tidak pro-perempuan. Kuota 30% untuk politisi perempuan di parlemen untuk meredakan tuntutan kaum perempuan saja, sebab selanjutnya tidak ada mekanisme sanksi apa pun bila kuota itu tidak tercapai.

Berbagai tragedi kemanusiaan di Indonesia menyisakan penderitaan perempuan sebagai korban terbesar yang suaranya tidak didengar para penentu kebijakan politik.

Kaum perempuan sendiri harus memperjuangkan implementasi cita-cita Kartini. Kartini sudah menyadari bahwa cita-citanya itu sebuah perjuangan amat berat seperti menembus kegelapan dan badai. Namun, akan ada terang, badai akan reda, masa depan akan lebih menggembirakan (Door nacht tot licht, door storm tot rust, door strijd tot eer, door leed tot lust, Kartini, 15 Agustus 1902).

* Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan. (SP 210403)