SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Indonesia Makmur, Sebuah Utopia? Oleh: Yonky Karman * Dalam rangka peringatan 100 tahun Bung Hatta, patut dikenang visi Indonesia merdekanya. Sebagai Proklamator Republik Indonesia, visinya jelas, yaitu Indonesia yang adil dan makmur seperti judul pidatonya pada rapat umum di Medan, 21 November 1950, "Kemerdekaan dan Kedaulatan Jembatan ke Kemakmuran dan Keadilan." Kemakmuran mendesak untuk dibicarakan terlebih berhadapan dengan jumlah warga miskin yang kian meningkat dan kesenjangan sosial yang kian melebar. Korupsi dan kolusi besar-besaran di Tanah Air membuat banyak rakyat tidak menikmati hasil pembangunan dan hanya segelintir yang menikmatinya. Dalam Pidato pada Kongres Kebudayaan II di Bandung, 6 Oktober 1951, yang berjudul "Apa Arti Kemakmuran bagi Indonesia?" Hatta mendefinisikan kemakmuran secara holistik. Makmur secara ekonomi dan kebudayaan. Kedua dimensi kemakmuran itu harus berjalan seiring. Dan karena itu, ia tidak setuju dengan pendapat sebagian orang yang menganggap kebudayaan tidak bisa dibangun bila ekonomi rakyat belum maju. Menurutnya, tidak benar bila ekonomi dibangun dulu, baru sesudah itu kebudayaan. Dalam hal ini, Hatta bukan seorang idealis yang tidak berpijak pada kenyataan. Sebaliknya, ia menyadari berbagai problem pembangunan ekonomi "yang sebagian boleh dikatakan terletak dalam lapangan kebudayaan," yakni berkenaan dengan "jiwa, perasaan, serta kebiasaan rakyat." Bila masalah kultural itu tidak dibereskan setidaknya berbarengan dengan pembangunan ekonomi, aktivitas pembangunan ekonomi akan terhambat dan hasilnya pun akan jauh dari maksimal. Visi Bung Hatta mengenai pembangunan ekonomi-kultural menarik. Sejak awal ia menyadari betapa mendesaknya soal kebudayaan dalam menggerakkan roda pembangunan. Mentalitas masyarakat yang membangun, harus cocok dengan pembangunan ekonomi. Korupsi Struktural Sebuah survei nasional mengenai persepsi korupsi, yang pertama kali dilakukan di era pasca-Soeharto, dilakukan oleh Partnership for Governance Reform pada awal tahun 2001 terhadap 2.300 responden di 14 provinsi. Sebanyak 70 % responden pejabat, perusahaan, dan rumah tangga mempunyai pendapat yang melegakan bahwa korupsi adalah sebuah penyakit yang harus diberantas. Namun, dalam situasi menyuap lurah 61,9 % menganggap hal itu normal, sedangkan 75,1 % menyuap lurah. Terdapat kesenjangan antara prinsip dan perilaku. Ini sekaligus memperlihatkan frustrasi anggota masyarakat untuk memerangi korupsi. Dengan sedih dan malu harus dikatakan, korupsi telah menjadi bagian dari kultur bangsa Indonesia. Dalam Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2002 Program Pembangunan PBB (UNDP) di Jakarta 24 Juli 2002 lalu disimpulkan, perkembangan civil society Indonesia berada di jalur yang benar dengan makin besarnya partisipasi politik warga secara informal maupun formal. Namun sayang, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan intimidasi unsur-unsur kriminal melemahkan pertanggungjawaban secara demokratis. Itu sebabnya pada Indeks Persepsi Korupsi 0-10 untuk yang terbersih, Indonesia hanya mendapat skor 1,9. Perbincangan korupsi struktural sudah menjadi bahan omongan rakyat dari warung kopi hingga kantor mewah di Segi Tiga Kuningan. Pejabat dan penegak hukum tidak malu-malu menuntut pemberian dari orang yang dilayaninya secara halus maupun terang-terangan. Pegawai rendah maupun pejabat tinggi terlibat korupsi. Tidak hanya Departemen Keuangan yang terlibat korupsi, juga Departemen Agama. Peduli apa dengan sumpah jabatan! Eufimisme suap terjadi dengan menggolongkan pemberian sesudah urusan beres sebagai tanda terima kasih. Di mana pejabat yang dengan nada prihatin gemas melihat korupsi merajalela? Ironisnya, mereka yang dulu mengkritisi korupsi di Tanah Air, kini setelah menjadi pejabat tidak terdengar suaranya dalam soal ini. Apakah budaya korupsi begitu kuat atau pejabat yang bersangkutan telah menjadi bagian dari budaya korupsi? Apa pun penjelasannya, mentalitas korupsi bagai penyakit menular yang sulit diberantas dan kuat mencengkeram pejabat-pejabat publik. Itu sebabnya posisi Indonesia belum membaik sebagai negara dengan tingkat korupsi paling parah di dunia. Kini bermunculan berbagai versi Corruption Watch dan orang di sana-sini vokal mengungkapkan berbagai penyimpangan dalam institusi-institusi pemerintah. Namun sampai sekarang tindak lanjut dan penegakan hukum dari pemerintah terlalu lemah. Hukum masih diskriminatif dan tidak konsisten. Sekali lagi itu membuktikan bahwa di Indonesia korupsinya bersifat struktural. Maka idealnya pemberantasan yang serius harus secara struktural. Imbauan dan teladan saja tidak akan cukup. Harus perang melawan korupsi. Dalam suasana perang, ukuran baik tidaknya seorang pejabat tinggi hanya satu: apakah yang bersangkutan memberantas korupsi dalam lingkungan wilayah kerjanya mulai dari diri sendiri sampai bawahannya? Pemberantasan mulai dari atas. Korupsi pejabat tinggilah yang melahirkan ekonomi biaya tinggi dan akhirnya membangkrutkan negara. Daripada menuntut Bank Dunia melakukan pemotongan utang dengan dalih 30 % dari total pinjaman dikorup pejabat Indonesia, jauh lebih bermartabat bila para koruptor dijerat hukum dan hasil korupsi itu sebanyak mungkin dikembalikan ke dalam kas negara. Pendekatan Agama Upaya pemberantasan korupsi akan diperkuat bila melibatkan pendekatan agama. Dalam hal ini bangsa Indonesia dikenal religius dan pemberdayaan agama harus memasuki wilayah korupsi. Sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas termasuk orang yang optimis dengan pendekatan itu (Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer; terjemahan; Jakarta: 1981). Sebuah bab dikhususkan untuk membahas cara memerangi korupsi dengan idealisme kesalehan, hampir seperenam dari bukunya (hlm 63-75). Berdasarkan pengamatannya di Amerika, Inggris, dan Jepang, langkah praktis untuk memerangi korupsi adalah menempatkan orang-orang yang punya prinsip tinggi dalam jumlah yang cukup pada posisi-posisi kunci di pemerintahan. Pemerintah harus membuat langkah terobosan menempatkan sejumlah kecil figur yang kritis, berani, efisien, dan jujur untuk menduduki posisi-posisi kunci itu. Mereka tampil bukan sebagai reformator tetapi lebih sebagai agen-agen katalisator untuk melahirkan birokrasi yang bersih. Untuk mencegah anarki moral dan korupsi dibutuhkan pengaruh dari tokoh-tokoh agama yang saleh dan karismatis, yang tidak mengejar kekuasaan dan kekayaan, yang berakar dalam masyarakat karena kejujurannya. Selain itu, diperlukan propaganda yang menonjolkan pengajaran, petunjuk, atau teladan kesalehan sosial baik dari tokoh yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Berbagai kisah mereka melawan godaan untuk korupsi disebarluaskan dalam bahasa yang jelas. Dalam hal ini sudah ada stasiun radio swasta di Jakarta yang secara teratur sepanjang jam-jam siarannya mengudarakan petikan-petikan ayat suci atau keteladanan sosial tokoh-tokoh agama yang saleh. Menurut Alatas, sumber inspirasi prestasi moral yang besar dalam sejarah peradaban, bukan dari pendidikan formal. Dalam Revolusi Perancis, Amerika, dan Rusia, satu-satunya faktor penentu keberhasilan revolusi-revolusi itu adalah tokoh-tokoh karismatis yang memberikan sumber inspirasi melampaui zaman dan tempat mereka (hlm 72). Patut dicatat salah satu hasil pembahasan masalah berkaitan dengan politik kenegaraan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (25-28 Juli 2002). Para ulama dalam meneladani Rasulullah, diimbau untuk tidak menshalati jenazah koruptor, sebelum uang atau harta hasil korupsinya dikembalikan sebab dalam pandangan syariat Islam korupsi merupakan pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat. Ini sebuah langkah maju membawa agama ke untuk memerangi korupsi dengan caranya sendiri. Pendekatan Kultural Memerangi korupsi secara kultural adalah dengan memanfaatkan local wisdom. Marcel Mauss, antropolog Perancis, lebih setengah abad yang lalu telah menganalisa makna sosial pemberian dalam masyarakat kuno (Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno; terjemahan; Jakarta, 1992). Mauss menemukan dalam bahasa-bahasa Jerman kuno kebijaksanaan lokal berkenaan dengan bahaya dari sebuah hadiah (hlm 120). Kata "gift" punya dua arti. Yang pertama adalah "hadiah" (bandingkan dengan kata Inggris "gift"). Arti kedua adalah "racun" dan arti itu tetap bertahan dalam bahasa Jerman modern. Pemberian yang dapat berubah menjadi racun merupakan tema fundamental dalam folklor Jerman. Rhine Gold mendatangkan celaka bagi manusia yang memenangkannya. Piala dari Hagen mencelakakan pahlawan yang meminumnya. Era otonomi daerah seharusnya memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menggali nilai-nilai luhur budaya lokal seperti yang terungkap dalam adat dan folklor. Bila nilai-nilai kejujuran yang digali dari kebudayaan lokal dimasyarakatkan mulai dari lingkungan sekolah sampai lingkaran birokrasi, niscaya rasa malu karena melanggar nilai-nilai adat akan menjadi faktor penting yang membuat orang berpikir dua kali untuk korupsi. Masih jauh kondisi kemakmuran Indonesia dari visi Bung Hatta. Refleksi untuk peringatan kemerdekaan: Perang melawan kemiskinan! Juga perang melawan korupsi! * Penulis adalah dosen filsafat teologi, alumnus STF Driyarkara dan Calvin Theological Seminary di Evangelische Theologische Fakulteit, Heverlee-Leuven (Belgia). (Kompas 280302) |