HERLIANTO: IMLEK DAN KITA
Saat ini di mana-mana kita melihat suasana 'Cina-isasi', karena segala perabotan
Imlek atau Sincia sudah ditawarkan dibanyak kawasan baik di mal maupun di pasar
tradisional. Mulai dari hio, makanan, hiasan, lampion, maupun pakaian bermotif
dan barang mainan berbentuk liong dan barongsai. Di surat-surat kabar sudah
terlihat bermunculan ucapan selamat 'Gong Xi Fa Cai' menyambut dimasukinya tahun
lunar 2552.
Tanggal 24 Januari 2001 memang dirayakan oleh etnis Cina (Tionghoa) perantauan
di mana-mana sebagai daya ikat tradisi-budaya etnis berkulit kuning ini, dan
dengan mudah pengaruhnya kita lihat melalui mass-media terutama TV, dan
dirayakan di seluruh dunia dimana ada orang Cina merantau terutama yang
berkumpul di pecinan (china town), apalagi kalau kita ketahui bahwa bangsa Cina
berjumlah seperlima dari penduduk dunia dan memiliki daya ekspansi ekonomi yang
luar biasa ke seluruh dunia.
Secara tradisional, perayaan Imlek berlangsung selama 22 hari, dimulai seminggu
sebelum tahun baru Imlek, dan berakhir tanggal 15 (Cap Go Meh) pada bulan
pertama Cia Gwee, sehingga pada masyarakat Cina yang masih tradisional,
keramaian sincia itu cukup lama berlangsung sekitar tiga mingguan.
Bagi orang Cina, tradisi Imlek dirayakan dengan ketat karena merupakan pengikat
etnis yang kuat sekali, dan sekalipun bagi orang Cina yang merantau kekuatannya
sudah mengalami akulturisasi sebagai hasil pertemuannya dengan budaya lokal dan
modernisasi, belakangan ini kita melihat ada suatu come-back tradisi-tradisi
premordial terutama tradisi Cina karena unsur pengikatnya sangat kuat yang
dibutuhkan orang Cina di tengah-tengah modernisasi dunia yang menyebabkan
manusia kehilangan pegangan diri maupun kelompok.
Di Indonesia sejak reformasi, memang tradisi Cina sebagai salah satu etnis di
Indonesia sekalipun kecil jumlahnya (sekitar 3 persen) tetapi dampak dominasi
ekonominya mencapai 70%. Gus Dur Presiden RI sendiri sudah merestui hari libur
bagi orang Cina yang merayakannya. Come Back premordialisme Cina ini jelas
berdampak bagi gereja-gereja Kristen yang memiliki banyak anggota jemaat dari
etnis Cina, dan terutama bagi gereja-gereja yang ikatan premordialisme
kristianinya yang dangkal atau sudah merosot, memang mudah sekali jemaat
demikian melakukan sinkretisme ajaran Kristen dengan tradisi-budaya Cina yang
notabena bersifat tradisi religi pula.
Tradisi Budaya-Religi
Tahun Baru Imlek memang secara kalender menjadi bagian awal dari kehidupan
bangsa Cina yang mengikuti tahun lunar, dimana setelah mengalami masa-masa musim
yang gelap (gugur dan dingin) mereka memasuki 'musim semi' yang cerah yang
memberikan harapan baru dimana pohon-pohon bersemi dan bunga-bunga mulai tumbuh.
Bagi etnis Cina, peristiwa ini bukan sekedar peristiwa alamiah saja, tetapi
sebagai bangsa yang memiliki tradisi budaya-religi yang kuat dan kepercayaan
agama alam (pantheisme & mistik), perayaan Tahun Baru Imlek melibatkan tradisi
budaya dan tradisi religi yang menyatu yang sebagian besar sulit untuk
dipisahkan.
Kita melihat bahwa setidaknya etnis Cina secara tradisional mewarisi empat
bentuk penyembahan, yaitu: (1) Animisme, Mistisisme dan Okultisme yang merupakan
agara alam premordial tergambar dalam 'I-Ching'; (2) Taoisme yang tergambar
dalam 'Tao Te Ching'; (3) Confucianisme yang tergambar dalam 'Analect'; dan (4)
Budhhisme yang tergambar dalam ajaran 'Tripitaka'. Dan sebagai bangsa yang
mempunyai tradisi yang kuno sekali sehingga negaranya disebut sebagai 'Negara
Tengah' bangsa Cina, salah satu sifatnya adalah 'Sinkretisme' yaitu keyakinan
yang mencampur-adukkan berbagai keyakinan. Umumnya etnis Cina menggabungkan
ke-empat tradisi terutama ketiga tradisi agama kuno itu menjadi satu yang
disebut sebagai 'Sam Kauw' atau 'Tridharma' (tiga jalan).
Soal sinkretisme ini akan jelas kita lihat dari rentetan perayaan Tahun Baru
Imlek. Imlek bukan sekedar tahun lunar yaitu dimulainya musim-semi dimana
kehidupan baru dimulai lagi, tetapi selalu dikaitkan dengan horoskop Cina, yaitu
seperti tahun lambang binatang (sio) yang mempunyai makna spiritual. Sifat alami
ini bagi orang-orang Cina perantauan tidak lagi melekat bila mereka tinggal
dinegara-negara yang tidak lagi bersifat agraris dan memiliki musim yang berbeda
dengan 'Negara Tengah' tetapi aspek budaya religinya tidak tergantung lokasi.
Sincia dimulai seminggu sebelumnya dan diisi dengan tradisi penyembahan leluhur
yang telah meninggal dunia, baik leluhur keluarga, maupun leluhur bangsa yang
sudah dijadikan 'dewa-dewi.' Orang Cina yang biasa memelihara 'meja sembahyang'
(tempat meletakkan abu orang tua) mulai menghiasi meja itu dengan buah-buahan
dan kue-kue sincia, dan membakar hio (dupa) untuk mengharumkan rumah. Biasanya
membakar hio dan mempersembahkan buah-buahan di meja sembahyang sepanjang tahun
dilakukan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan, tetapi pada saat Sincia dilakukan
sepanjang hari selama 22 hari sekitar Sincia. Hiasan-hiasan berwarna merah
banyak menghiasi dekorasi, makanan maupun pakaian etnis Cina karena warna merah
diyakini memiliki kekuatan magis untuk mendatangkan keberuntungan/kebahagiaan (hokkie).
Pada seminggu sebelum Sincia, dirayakan hari 'Toa Pe Kong Dapur' (Cia Kun Kong)
yang pada hari itu naik ke surga menghadap 'Thian' (Tuhan, yang sebenarnya
adalah deretan nenek moyang yang paling disegani). Ceritanya, Toa Pe Kong Dapur
itu bertugas mengawasi dan memperhatikan semua tingkah laku penghuni rumah dan
pada hari itu ia akan melaporkannya kepada Thian sebagai penguasa langit.
Kepergian dewa Dapur ke langit itu diiringi dengan membakar hio, buah-buahan dan
dibakarkan mercon dengan maksud agar Dewa Dapur menceritakan kepada Thian
hal-hal yang baik saja.
Setiap aspek perayaan awal ini mengandung raligi yang kental. Hio yang harum
dimaksudkan mendatangkan suasana yang harum termasuk agar laporan Dewa Dapur
juga harum, buah-buahan dimaksudkan sebagai hidangan untuk pertemuan para dewa
tersebut, dan pada saat itu agar Dewa Dapur hanya melaporkan hal-hal yang baik
dan manis saja ada yang mengolesi mulut patung Dewa Dapur dengan madu yang manis,
dan dibuatkan 'Manisan Pelekat Gigi' (berbentuk bulat gepeng) maupun 'kue
keranjang' yang maksudnya agar dimakan oleh Dewa Dapur sehingga mulutnya lengket
sehingga tidak bisa berkata-kata dengan Dewa Langit.
Bukan itu saja, dibakarnya mercon punya maksud juga, bukan saja untuk memacu
perjalanan Dewa Dapur agar cepat pergi dan kembali ke bumi, tetapi juga
dimaksudkan agar pada saat melaporkan kepada Thian, bila kue pelekat gigi tidak
mampu menghentikan ocehan Dewa Dapur maka berisiknya mercon diharapkan dapat
mengurangi daya dengar Thian sehingga bisa berkesimpulan bahwa rumah tangga yang
dijaga Dewa Dapur itu baik-baik saja keadaannya.
Sehari sebelum Imlek, diadakan 'Sembahyang Tahun Baru' didepan meja sembahyang
leluhur dengan membakar hio dan menyalakan lilin merah, dan bagi yang tidak
mempunyai meja leluhur sembahyang dilakukan di depan pintu rumah dimana juga
disediakan meja sembahyang. Sembahyang ini disebut 'Sam Seng' (tiga korban)
yaitu pengorbanan darah berupa pengorbanan babi, ayam dan ikan bandeng, atau
'Ngo Seng' (lima korban) ditambah bebek dan kepiting. Darah memiliki arti magis
sebagai penebusan, jadi sembahyang ini adalah upacara penebusan dan keselamatan
untuk bangsa Cina, karena itu warna merah disamping artinya sebagai kekuatan
magis mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan, juga dipercaya merupakan
penebusan dan penyelamatan diri. Karena warna merah sangat populer baik sebagai
warna pembungkus angpao, kartu undangan permainan, selendang, vihara, tang-ce (onde-onde),
cio tao (baju pengantin) dll.
Pada tengah malam jam 12 atau sebagai pembuka hari pertama tahun baru, diadakan
upacara sembah sujud di depan meja sembahyang untuk menghormati dan mendoakan
keselamatan leluhur yang abunya disimpan di situ. Tahun Baru Imlek dirayakan
dengan saling berkunjung dan keluarga besar berkumpul untuk bersama-sama
merayakan Imlek. Dalam kesempatan ini biasa dibagikan 'angpao' (hadiah uang)
yang dibungkus kertas berwarna merah dan orang-orang berpakaian dan sepatu baru
yang umumnya juga dihiasi warna merah. Banyak juga yang mengganti perabot rumah
tangga, bahkan rumah, memasuki tahun yang baru itu agar kebahagian diterima pada
tahun itu.
Pada hari keempat dibakar mercon untuk menyambut Dewa Dapur turun dari langit.
Kembalinya Dewa Dapur disambut peragaan Barongsay dan Bilek Hud. Barongsai
adalah figur singa yang dianggap mempunyai 'kekuatan magis' untuk mengusir
roh-roh jahat dan biasa diragakan masuk kerumah-rumah untuk mengusir roh jahat
dalam ruangan itu. Liong juga dianggap mempunyai kekuatan magis yang digunakan
untuk mengusir roh-roh jahat di jalan-jalan/taman kota. Baik Barongsai maupun
Liong disimpan di kelenteng dengan dibakari hio, dan biasanya para pemain
sebelum memulai peragaan Barongsai atau Liong bersembahyang dahulu cara Taois.
Pada malam tanggal 14 dan 15 dirayakan pesta 'Goan Siao' yang di Indonesia
dikenal sebagai 'Cap Go Meh', ditengah bulan purnama yang menghiasi langit
diadakan perayaan 'lampion' (tanglung) berwarna warni dimana rakyat Cina
bersukaria menyambut bulan purnama pertama dalam tahun yang baru.
Sikap Umat Kristen
Orang Kristen yang beretnis Cina akan sangat sukar menghadapi dilema soal
perayaan tradisional khususnya Imlek, tetapi setelah ia menerima iman akan Tuhan
Yesus Kristus sebagai penebus manusia, mau tidak mau ia diperhadapkan dengan
keputusan untuk bisa memilah aspek tradisi yang sekedar bersifat sosial-budaya
dan aspek yang bersifat tradisi religi.
Kita mengetahui bahwa perayaan 'Imlek/Sincia' mengandung beberapa aspek agamani,
yaitu: (1) Kepercayaan animis-magis mengenai kekuatan alam yang inheren dalam
diri alam, manusia dan benda; (2) Penyembahan leluhur yang telah mati, ini
berkembang menjadi (3) Penyembahan dewa-dewi yang puncaknya adalah Dewa Langit
(Thian, konsep leluhur yang paling dihormati/disegani); (4) Kepercayaan shio dan
fengshui bahwa kebahagiaan dapat dicapai karena unsur-unsur alam seperti warna
merah, makanan tertentu, atau rumah yang menghadap arah tertentu; dan (5)
Kepercayaan bahwa manusia dapat selamat melalui melalui usaha sendiri dengan
pengorbanan darah (Sam Seng atau Ngo Seng) dan bantuan dewa-dewi.
Dari kelima unsur dalam merayakan Tahun Baru Imlek kita memang melihat adanya
pertentangan dengan iman Kristen, tetapi kita harus sadar bahwa ada unsur
tradisi sosial-budaya yang positip yang bisa diikuti, seperti misalnya: (1)
Tradisi berpakaian baru tentu bersifat netral asal tidak diiringi kepercayaan
bahwa pakaian harus berwarna merah agar memperoleh kebahagiaan; (2) Berkumpulnya
keluarga bersama sangat positif untuk dihadiri dimana seluruh anggota keluarga
dapat saling berjumpa kembali. Namun, sebagai manusia yang dilahirkan baru di
dalam Kristus tentu dalam menghadiri perayaan Imlek itu seorang Kristen perlu
menunjukkan identitas Kristennya.
Tuhan Yesus mengingatkan "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal
hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran
yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk
berpegang pada adat istiadat manusia." (Mrk.7:6-8). Demikian juga rasul Paulus
menulis: "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya
yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-tenurun dan roh-roh dunia, tetapi
tidak menurut Kristus." (Kol.2:8).
Dari ayat-ayat di atas kita perlu merenungkan sampai dimanakah perintah Allah
dan oknum Kristus sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, sebab bila kita
hanya sekedar menjadi kristen secara tradisi maka jelas orang Kristen demikian
akan kalah menghadapi kekuatan tradisi budaya-religi yang bersifat premordial
etnis yang sudah turun menurun melekat dalam diri keluarga, karena itu
pengenalan seorang Kristen akan Kristus dan perintah Allah perlu didewasakan,
dan bila ia telah mengalami kehidupan iman secara pribadi dan nyata, sudah jelas
hati nuraninya yang sekarang didampingi Roh Kudus tidak akan sejahtera
berdampingan dengan roh-roh dunia dan ajaran turun-temurun.
Seseorang yang mengaku percaya tidak cukup hanya sekedar 'beriman' tetapi ia
juga harus melakukan kehendak Allah' dalam hidupnya, itu berarti bahwa mulai
saat bertobat ia sudah harus menjadikan Kristus sebagai pedoman dan tolok ukur
kehidupan dan pemikirannya. Rasul Paulus menulis: "bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku." (Gal.2:20). Bukan hanya itu,
keyakinan akan iman dan etika hidup Kristiani harus menjadi jalan hidup dan
tradisi iman yang diceritakan secara turun-temurun kepada anak-cucu keluarga
Kristen (Maz.78) agar kehidupan keluarga diperkenan Allah.
Menghadiri perayaan-perayaan Imlek dimana ada pertunjukkan Liong atau Barongsai
tidak berdampak apa-apa, tetapi bila kita mengundang Barongsai menari dimuka
kita dan masuk ke rumah kita, tentu ini artinya 'mencari perkara' karena hal ini
dapat memberi dampak pada kehidupan imani, sebab 'roh apa yang akan diusir dan
dengan roh apa?' Makan makanan Imlek seperti buah-buahan, kue keranjang atau
makanan korbanpun pada prinsipnya tidak apa-apa (Mrk.7:9), namun rasul Paulus
dalam tulisannya mengingatkan agar 'kebebasan kita yang kuat jangan menjadi batu
sandungan bagi mereka yang lemah." (1.Kor.8:9), itu artinya kita dapat
memakannya tanpa syak, tetapi sebaiknya kita tidak makan di depan mereka yang
masih lemah iman, sebab mereka yang masih lemah bisa meniru perilaku seseorang
yang imannya sudah kuat, tetapi ketika ia makan, kelemahan imannya menghakimi
dirinya yang masih lemah karena makanan itu.
Akhirnya, menghadiri perayaan Imlek dapat menjadi sarana yang baik untuk
bersaksi bagi Kristus, yaitu untuk menyatakan: (1) Bahwa umat Kristen juga
menghormati orang tua yang masih hidup, menghormati yang sudah mati tidak akan
mengubah apa-apa; (2) Umat Kristen dapat bersaksi bahwa Tuhan sudah
mengaruniakan Roh Kudus yang berkuasa untuk menangkal kekuatan-kekuatan magis
dalam alam ini; (3) Bahwa kepercayaan berhubungan dengan roh orang mati
(spiritisme) seperti roh leluhur dan dewa-dewi buatan manusia adalah sia-sia;
(4) Keselamatan tidak tergantung dewa-dewi, warna atau benda-benda di dunia, dan
juga tidak tergantung korban 'Sam Seng' atau 'Ngo Seng' karena Kristus telah
menebus kita dengan darahnya di atas kayu salib. Kasih sukacita dalam Kristus
inilah yang perlu disaksikan kepada orang tua dan saudara-saudara agar
dilihatnya kebajikanmu dan dipermuliakan Bapak di Surga.
"Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu
tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas
Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu,
dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kol.2:6-7).
Kiranya pembahasan sekitar Imlek ini bisa menjadi bahan renungan menjelang
perayaan Tahun Baru Imlek tahun ini. (Salam kasih dari Herlianto)
|