SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

CHARLES CHRISTANO: Eksistensi Gereja di Era Milenium Baru (5)

Kini Saatnya:
Amsal 29:18 mengingatkan: "Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat. Berbahagialah orang yang berpegang pada hukum." Tentu setiap orang boleh saja menafsirkan apa yang dimaksud dengan kata "wahyu" tadi! Tetapi kita harus berhati-hati agar jangan sampai masing-masing kita merasa memiliki hak monopoli untuk menafsirkan makna kata atau ayat. Yang lebih buruk lagi kalau ada yang merasa memiliki hak paten untuk mengklaim bahwa tafsirannyalah yang paling benar.

Kita harus memiliki keterbukaan dan kerendahan hati untuk saling mendengar dan saling belajar! Kita harus mengadakan check dan counter-check! Sudah saatnya kita menjauhi Lumpur Subjektifisme yang dapat membenamkan dan mencelakakan kita sendiri! Bukan yang besar dan kuat yang selalu benar dan harus menang, sebaliknya bukan juga yang kecil dan lemah yang senantiasa harus dituruti keinginannya. Itulah sebabnya Paulus menulis: "Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam surga dan di atas bumi menerima nama-Nya. Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih" (Efesus 3:14-17).

Lebih lanjut dia menulis: "Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan." (Efesus 3:18,19).

Para pakar dan tokoh-tokoh elit politik, juga para sosiolog, antropolog, para tokoh agama dan kepercayaan, ahli pemerintahan, ekonom, teknolog, pedagog, para budayawan dan sejarawan, karena mereka bekerja terpisah-pisah telah kurang berhasil kalau belum dapat dikatakan gagal untuk menghantar kita ke masa depan yang cerah. Tetapi sayangnya, sebagai gereja, kita pun harus mengakui kegagalan kita karena kita lebih senang dan kelewat sibuk dengan cara kerja kita masing-masing!

Bayangkan saja, Seminari dan STT baru makin bermunculan bak jamur di musim hujan! Apa tujuannya kalau bukan untuk melanjutkan dan melestarikan panji-panji masing-masing! Padahal masih banyak misteri yang belum kita temukan jawabnya karena kita memang tidak pernah akan mampu memahami apa-apa yang begitu luas, dalam dan tingginya sehingga "melampaui segala pengetahuan" tadi! (cf.I Korintus 13:11,12; Filipi 3:10-14).

Kembali kepada Amsal 29:18 tadi, makna tentang "wahyu" tidak juga mungkin ditafsirkan secara subJektif dan independent. Walau kata "wahyu" seringkali dipahami sebagai visi, kita tetap harus berhati-hati agar kita tidak terjerembab lagi ke dalam kubangan subJektivitas masing-masing! Kita harus waspada agar wahyu yang dimengerti sebagai visi akhirnya berubah menjadi (hanya) mimpi. Dari konteksnya, apalagi kalau kita mematuhi pakem untuk memahami bentuk tulisan yang bersifat puitis dari karya tulis di Timur Tengah secara umum, maka kita harus mengendalikan diri terhadap pernyataan yang bersifat paralel! Oleh karenanya, makna kata "wahyu" atau "visi" jelas tidak boleh dipisahkan dari kata "hukum" pada anak kalimat selanjutnya! Dalam konteksnya yang lebih luas, maka kata "wahyu" tidak mungkin terlepas dari kata "hukum" yang dalam ayat tadi jelas merupakan "hukum Allah" atau firman Allah!

Untuk mengadakan check dan counter-check, kita dapat ditolong oleh ayat lain yang kandungannya sangat mirip dengan Amsal 29:18 tadi. Ketika Hosea hidup di zaman di mana bangsa Isreal telah begitu rupa menyeleweng dari rencana dan kehendak Allah, mereka disebut "telah melakukan dosa persundalan". Dalam Hosea 4:6 kita membaca: "Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu, maka Aku menolak engkau menjadi imam-Ku; dan karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, maka Aku juga akan melupakan anak-anakmu."

Bila dalam Amsal rakyat menjadi liar, masing-masing pergi ke mana mereka mau dan ke mana mereka suka, maka dalam Hosea kita menemukan umat Allah binasa! Jangan keliru, yang binasa bukan orang kafir! Yang menjadi penyebab utamanya adalah bahwa sebagai umat Allah mereka tidak mengenal Allah. Mereka tidak mengenal Allah karena mereka secara sadar telah menolak pengenalan. Lebih lanjut, dalam bentuk tulisan puitis secara paralel, umat Allah disebut sebagai "Melupakan pengajaran dari Allah".

Dengan berbagai macam masalah yang kompleks yang dihadapi juga oleh gereja-gereja kita, maka apabila kita tidak memiliki wahyu, petunjuk dari Firman Allah, maka makin jelaslah apabila kehidupan umat Allah akan menjadi liar, masing-masing orang akan mengikuti siapa saja yang mereka kagumi. Dan karena umat tidak membiasakan diri dengan pengenalan akan Firman Allah, bukan saja umat akan menjadi liar, kalau kita tidak saling mau mendengar dan menggembalakan maka segala macam upaya untuk saling mendekatkan dan menyatukan umat hanya terasa makin menjauh dan menjadi makin kabur. Kesatuan dan persatuan gereja hanya akan menjadi impian hampa yang membuat umat makin berputus asa.

Kalau dalam kehidupan bergereja warga jemaat menjadi makin kurang apalagi tidak memahami Firman Tuhan, siapakah yang bersalah? Bukannya bermaksud menilai, apalagi menghakimi, diakui atau tidak ada sementara gereja yang digembalakan oleh orang yang kurang layak! Kekuranglayakan mereka bukan karena mereka tidak bersungguh-sungguh dalam kegiatan melayani Tuhan tetapi karena mereka kurang sekali mendapatkan pendidikan yang memadai di bidang berbagai disiplin ilmu teologia yang sangat mendasar (Roma 10:2!). Tuhan telah mengingatkan agar tidak terjadi "Orang buta menuntun orang yang buta!"

Tetapi ada yang lebih buruk lagi! Ada sementara pimpinan gereja malah dengan sadar menolak otoritas Firman Allah! Kalau gereja-gereja kita menjadi demikian, kita pasti akan menjadi makin liar! Sebagaimana di zaman para Hakim, masing-masing pergi ke mana kita suka! Lalu, sampai berapa lama kita harus terus bergini? Kalau kita tetap mengeraskan hati kita, pada waktunya kita akan menjadi makin liar dan tidak terkendalikan lagi sehingga kita akan saling menggigit dan saling menelan. Benar juga Hosea, pada akhirnya umat Allah akan binasa!

Bentuk Atau Esensi:
DGI yang menjelma menjadi PGI telah berusia lebih dari setengah abad. Ambisinya untuk mempersatukan gereja-gereja anggotanya di Indonesia nyaris berjalan di tempat. Malah kadang-kadang ada gereja anggotanya yang menjadi kecewa dan geram karena ada kalanya terjadi bahwa sempalan gerejanya setelah beberapa tahun akhirnya juga diterima menjadi anggota baru dalam wadah PGI. Bagaimana PGI akan mampu menyatukan gereja-gereja apabila pecahan gereja anggotanya malah diterima dalam wadah dan di bawah payung yang sama?

Di samping PGI kita juga mengenal MAWI yang akhirnya menjadi KWI. Demikian juga kita mengenal PII (Persekutuan [Gereja] Injili di Indonesia) dan masih banyak kelompok lainnya seperti GPdI, GBI, Bala Keselamatan, Gereja-gereja Advent dan sebagainya. Seiring dengan terus munculnya dan berkembangnya denominasi baru, pasti akan bertambah pula berbagai macam pengelompokan atau aliansi baru lainnya! Rasanya telah terjadi sejenis carbon copies antara partai-partai politik, LSM dengan gereja-gereja. Jangan-jangan pada saatnya, karena kepentingan "bersama", walau untuk sesaat demi pencapaian cita-cita "bersama", gereja-gereja juga bisa saja membentuk semacam "poros tengah", kelompok reformasi, atau kelompok reformasi injili, atau siapa tahu ada yang lebih nasionalistis pula sehingga ada "kelompok kesatuan bangsa"?

Setelah kita mencoba memahami masalah kita, marilah kita menyimak ciri utama yang harus dimiliki oleh setiap himpunan umat kristiani yang injili dan rasuli! Kepala Gereja sendiri telah menyatakan agar gereja sebagai umat Allah melahirkan Komunitas Baru yang pada gilirannya akan menghasilkan Budaya Kristiani yang memang berbeda dengan budaya duniawi yang sedang berlaku! Untuk itu Umat Allah perlu menyadari kebutuhan yang sangat mendesak bahkan menuntut. Sebagai Umat Allah kita, bersama-sama dengan yang lain, seharusnya menawarkan opsi atau alternatif lainnya yang dapat dikatakan sebagai Counter Culture!

Sebagai Komunitas Baru yang melahirkan dan menghadirkan (memberlakukan) nilai-nilai Kerajaan Allah yang bercirikan: Kasih, kebenaran, keadilan, pengampunan, kesejahteraan dan kedamaian! Kita harus menyadari bahwa kita tidak boleh menjauhi apalagi memisahkan diri dari budaya dunia di masyarakat di mana kita harus hadir dan hidup.Kita tidak boleh menjadi eksklusif! Kita tidak dapat dibenarkan membentuk koloni-koloni biarawan/biarawati yang memisahklan diri dari warga masyarakat yang lain. Istilah yang dipakai oleh Tuhan Gereja adalah "Bukan dari dunia tetapi masih hidup di dalam dunia dan menjadi garam serta garam dunia!" (Yohanes 15:18,19; 17:15-19; Matius 5:13-16; 6:8).

Di atas kertas, justru ketika masyarakat kita sedang tercabik-cabik oleh berbagai unsur yang kental berbau SARA , bukankah sesungguhnya gereja-gereja kita malah mendapatkan peluang yang lebih besar untuk bersaksi dan melayani orang lain? Masalah kita sesungguhnya, apakah kita mau terus ikut arus atau hanyut dengan arus zaman atau malah roh zaman atau kita seperti yang dikatakan Paulus: Tidak menjadi serupa dengan dunia ( Roma 12:2). 

Eloknya, justru apabila kita tidak menjadi seperti dunia tetapi kita mau mengadakan pembaruan budi kita, maka kita akan dapat mengerti kehendak Allah. Kita bahkan dapat membedakan yang mana yang baik dan yang sempurna, sehingga kita dimampukan untuk memilih untuk kemudian kita lakukan! Hanya apabila kita sungguh-sungguh "mau membayar harga" dan belajar untuk mengerti dan mematuhi kehendak-Nya, maka kita akan mendapatkan kesempatan emas!

Di saat di mana makin bertambah jumlah orang yang menjadi sinis atau paling tidak sarkastik terhadap berbagai macam slogan "demi kesatuan dan persatuan", kita jangan sampai terkecoh oleh hal-hal yang hanya tampak di luar secara kulit dan secara dangkal! Yang harus kita prioritaskan adalah esensi atau isinya, atau malah lebih tepatnya, spiritualitasnya! Memorandum of Understanding atau Letter of Intent memang perlu. Lima Dokumen Keesaan memang baik, tetapi bagaimanapun juga "Huruf itu mematikan, tetapi Rohlah yang menghidupkan!" ( II Korintus 3:6).