SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Euthanasia Dikaji, Diiring Simpati Oleh Eka Darmaputera Euthanasia. Istilahnya mungkin tak sering singgah di bibir. Tapi persoalannya dan pilihan-pilihan sulitnya? Keduanya adalah bagian dari realitas kehidupan kita. Ada seorang ibu muda, baru 30an tahun umurnya. Entah apa penyebabnya, sebagian besar jaringan ototnya tiba-tiba lumpuh total. Termasuk otot-otot yang diperlukannya untuk bernafas, menelan, membuang kotoran, dan sebagainya. Tapi syaraf-syarafnya hidup. Karena itu ia cuma bisa tergolek, namun sadar sepenuhnya. Dan ini tentu amat menyiksa. Sebab dengan demikian, ia bisa merasakan rasa ngilu luar biasa yang mengiringi penyakitnya, serta yang tanpa henti menderanya. Berbulan-bulan ia begitu. Dengan 1001 macam jarum selang tertanam di tubuhnya. Sebab lantaran alat-alat itu sajalah, ia masih bisa bertahan hidup. Tentu saja "hidup" - dalam tanda kutip. Sebelum ini, suaminya banyak melakukan perjalanan, mengurus usahanya yang lumayan maju. Kini tentu tak bisa lagi. Seluruh usahanya berhenti total. Sebaliknya, lebih dari semilyar rupiah harus dikeluarkan, untuk membiayai pengobatan. Satu per satu miliknya yang berharga terpaksa dijual. Anak-anak pun berhenti sekolah. * * * SUATU hari dokter berkata, bahwa usaha sudah maksimal, tapi kemungkinan istrinya untuk sembuh nyaris tiada. Bahwa ia masih bisa bertahan, itu semata-mata adalah karena alat-alat penunjang yang mahal biaya pemakaiannya. Sementara itu, banyak pasien lain membutuhkan alat-alat tersebut. Karena itu, dokter meminta agar keluarga mempertimbangkan, apakah tidak sebaiknya alat-alat itu dicabut saja. Dengan demikian, sang istri tercinta bisa meninggal secara alamiah, bahkan terbebas dari penderitaannya. Di samping itu, keluarga akan dapat mengonsentrasikan semua sumber daya dan dana yang masih ada untuk keperluan masa depan, -- khususnya masa depan anak-anak mereka. Lagi pula pasien-pasien lain yang membutuhkan, segera dapat ditolong dengan alat-alat langka tersebut. Dan, o ya, kalaupun Tuhan berkenan melakukan mujizat, Ia toh tidak bergantung pada menempel atau tidaknya alat-alat itu. * * * JADI, dicabut sajakah alat-alat itu? Atau jangan? Sungguh pilihan yang tidak mudah. Sebab mencabutnya, apakah ini tidak berarti membunuh, menunjukkan sikap menyerah, putus asa, dan tidak beriman? Namun sebaliknya, bila tidak mencabutnya, apakah ini ada manfaatnya, kecuali sekadar memperpanjang siksaan, sambil mengorbankan nasib banyak orang yang lebih punya harapan? Di balik dilema-dilema ini, adalah persoalan yang akan kita bahas. Persoalan euthanasia. Bagaimana menyikapinya, khususnya dalam terang hukum ke-enam, "JANGAN MEMBUNUH"? Tapi, pertama-tama, apakah euthanasia itu? Istilah ini berasal dari dua kata Yunani, yang secara harafiah berarti "kematian yang baik". Dalam bahasa Inggris, istilah yang populer untuk itu adalah "mercy killing". Artinya: membunuh karena rasa iba; dengan welas-asih; dan didorong maksud baik. Ah, tapi mana ada sih "membunuh" kok dengan "welas asih"? O, ada! Mereka yang pro euthanasia percaya, bahwa pada waktu kehidupan telah berkembang menjadi begitu beratnya sehingga tak tertahankan; ketika hidup nyata-nyata merupakan pilihan yang lebih buruk ketimbang mati; maka secara sah dan bertanggungjawab, begitu pendapat mereka, "hidup" (yang sebenarnya "bukan hidup") itu boleh diakhiri. Dengan berat hati, pasti. Tapi tanpa perlu ada rasa bersalah. Apa lagi yang layak disebut sebagai "hidup" itu, toh tidak cukup sekadar ditandai oleh jantung yang masih berdenyut, atau pulsa nadi yang masih teraba. "Hidup" yang sebenarnya mensyaratkan "kualitas" tertentu! Misalnya saja, bahwa "hidup" itu masih mempunyai makna. Bagi orang lain, dan bagi diri sendiri. Nah, berguna apa dan bermakna bagi siapa, hidup yang cuma didera rasa sakit luar biasa? * * * BAGAIMANA menyikapinya? Pertama-tama, sikap yang sangat diperlukan adalah, bersedia bergumul! Anda mesti bersedia ikut merasakan sakitnya, sulitnya, dan pahitnya pengalaman saudara-saudara kita, yang sedang bergulat dengan pilihan-pilihan pelik ini! Sediakanlah seluruh empati dan simpati Anda! Hadirkanlah diri Anda sebagai teman seperjalanan dan rekan sependeritaan. Bukan sebagai "hakim", "jaksa", atau "polisi" moral bagi mereka! Maksud saya adalah, selami dan dalami dulu seluruh aspek serta nuansa persoalannya! Bahwa yang kita bicarakan ini bukanlah persoalan sejenis teka-teki apakah ada air dan kehidupan di planet Mars. Atau apakah Papua Barat perlu di"mekar"kan - alias dipecah-belah -- atau tidak. Persoalan yang sedang kita bicarakan adalah persoalan kongkret, yang dialami oleh satu sosok pribadi nyata, yang saat ini tengah mengerang dalam penderitaan. Pergumulan serta penderitaan batin seluruh keluarga, yang sedang diperhadapkan pada pilihan buah simalakama. Karena itu, bagaimana pun Anda membicarakannya, dan apa pun nanti kesimpulan Anda, ikut sertakanlah hati Anda. Iringi dengan simpati Anda! * * * TERBURU-BURU mengatakan, "Euthanasia, no!" atau "Euthanasia = pembunuhan. Titik", adalah sama salahnya dengan tanpa pikir panjang mengatakan, "Euthanasia, yes!" atau "Euthanasia = hak asasi setiap orang". Mengapa? Sebab persoalan kita tidak menyajikan pilihan hitam-putih yang sederhana. Misalnya, pertama, sungguh sulit - kalau bukan mustahil - untuk menentukan, bahwa suatu penyakit benar-benar "tidak dapat disembuhkan". Kapan orang dapat menentukan dengan pasti, bahwa pada "titik" inilah jiwa seseorang sudah tak mungkin lagi dapat diselamatkan? Bagaimana mendefinisikan istilah "tidak dapat disembuhkan" itu? Apakah kanker termasuk di dalamnya? Sekarang, mungkin ya. Tapi siapa mengetahui dengan pasti perkembangan selanjutnya, beberapa bulan lagi atau beberapa tahun lagi? Kedua, menurut pendapat Anda, siapakah yang berhak menentukan bahwa nyawa si A atau si B sudah tak perlu dipertahankan lagi? Apakah yang bersangkutan? Kalau ya, bukankah dalam pengalaman sehari-hari kita, begitu sering kita mendengar orang yang mengalami "sedikit" kesulitan", dengan begitu mudah berkata serta merta, "Lebih baik aku mati saja sekarang!" - padahal itu reaksi spontan belaka? Kalau begitu, apakah keluarga yang lebih berhak mengambil keputusan? Mungkin. Tapi siapa dapat menjamin, bahwa "keputusan yang bulat" selalu berarti "keputusan yang benar"? Dan bagaimana bila tak tercapai kesepakatan? Bagaimana bila dokter? Lebih masuk akal lagi. Tapi seorang dokter 'kan hanya mempertimbangkan satu aspek tertentu saja, yaitu aspek fisik, dari kehidupan manusia. Padahal, kita tahu, kehidupan adalah lebih dari itu. Bahkan ada banyak bukti, termasuk kesaksian Paulus, bahwa justru di saat berada dalam penderitaan yang terdalam, seseorang sering menemukan kekayaan rohani dan sukacita batiniah yang tak terkatakan. Dan ketiga - ini yang paling berbahaya -- mengabsahkan euthanasia mudah sekali berekses pada pembenaran terhadap pembunuhan yang semena-mena. Misalnya, pemusnahan orang-orang tua dan orang-orang atau bayi-bayi atau janin-janin cacat. Dengan alasan, mereka tidak memenuhi "standar kualitas hidup" sebagai manusia yang berguna. Karenanya oke untuk dilenyapkan dari muka bumi. Dan akhirnya, keempat, keberatan yang paling fundamental adalah, bahwa tak seorang pun dan tak satu lembaga pun di muka bumi ini, yang pernah diberi mandat oleh Allah , untuk menjadi pemegang kuasa atas hidup-mati manusia, bahkan atas hidup-matinya sendiri. Artinya, secara fundamental, hanya Tuhan yang berhak menentukan batas kehidupan dan saat kematian seseorang. Tak ada yang lain. Betapa pun elok motivasi dan tujuannya. * * * JADI, apakah dengan demikian saya ingin mengatakan secara mutlak, "euthanasia no"? Ah, tidak juga! Yang ingin saya katakan adalah ini. Pertama, bahwa pada dasarnya, secara prinsipal, euthanasia tidak dapat dibenarkan. Bahwa euthanasia tidak dikehendaki Allah. Dan bahwa sebagai konsekuensinya, tidak boleh ada hukum apa pun yang mengabsahkan atau membenarkannya. Namun demikian -- ini hal kedua yang ingin saya katakan -- realitas kehidupan menunjukkan, bahwa selalu saja ada situasi-situasi khusus atau situasi-situasi ekstrem, yang menuntut dari kita kebijakan, keluwesan, dan pengecualian. Bahwa menghadapi situasi ini, kekakuan berakibat lebih buruk. Jadi memang ada keadaan-keadaan tertentu, di mana mempertahankan kehidupan bisa berakibat lebih buruk ketimbang merelakan kematian. Dalam hal ini., ketiga, mempraktikkan euthanasia tetap salah. Bila toh terpaksa dilakukan, ia harus dilakukan dengan gentar; dengan penyesalan dan permohonan pengampunan. Tetap tidak dapat dibenarkan tapi, dalam batas tertentu, dapat dipertanggungjawabkan. Dengan syarat, (a) bahwa keputusan diambil, setelah benar-benar tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik; (b) bahwa keputusan diambil oleh semua pihak yang terkait, dan setelah mempertimbangkan semua faktor; dan (c) bahwa keputusan dilaksanakan, tidak dengan aktif "membunuh" (misalnya, dengan menyuntikkan racun), melainkan dengan sekadar membiarkan penderita meninggal secara wajar (misalnya, dengan mencabut alat-alat penunjang). |