SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

YONKY KARMAN: DEKONSTRUKSI BAHASA KEKERASAN DALAM AGAMA

Sejak zaman Kitab Suci sampai modern, terbukti kepercayaan kepada Tuhan dapat menjadi pembenaran bagi umat untuk melakukan tindak kekerasan. Bahkan seperti ditandaskan Barrington Moore Jr, dalam upaya memurnikan agama yang sepintas kelihatannya luhur, sejarah telah menjadi saksi betapa mudahnya upaya religius demikian akhirnya menjelma menjadi tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap kelompok yang dipandang "tidak murni" (Moral Purity and Persecution in History, Princeton University Press, 2000).

Dalam observasinya, ia mendapati bahwa memang tindak kekerasan mulanya dilakukan demi memurnikan agama dari praktik dan ajaran yang dianggap menyimpang oleh kaum reformis maupun tradisionalis. Namun lambat laun yang dominan muncul di permukaan adalah perang antarkelompok seperti perang agama yang pernah terjadi di Perancis antara umat Katolik dan Protestan.

Dalam sejarah kontemporer, kita juga melihat berbagai konflik nasional yang terjadi di pelbagai negara hanya berdasarkan perbedaan agama, seperti umat Katolik dan Muslim di Bosnia, umat Katolik dan Protestan di Irlandia Utara, umat Muslim dan Kristen di Sudan, umat Kristen Armenia dan Muslim di perbatasan Azerbaijan, atau umat Yahudi dan Muslim di Timur Tengah. Di negeri kita, betapa memilukan tragedi konflik antara umat Kristen dan Muslim yang pecah di Maluku dan Poso.

Melihat kenyataan besarnya kemungkinan bagi agama memberi kontribusi bagi pelbagai konflik antarumat beragama, tidak mengherankan agama menjadi komoditas empuk bagi para politisi. Sentimen religius yang pada dasarnya primordial itu dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu yang sudah dibungkus dengan simbol-simbol agama sehingga sepertinya menjadi perjuangan luhur menegakkan agama. 

Padahal, sublimasi kekerasan dalam agama selain merupakan fakta tekstual, dalam penerapan di luar konteks Kitab Suci justru membuat agama terdevaluasi dari keluhuran transendentalnya. Dengan mempraktikkan kekerasan bersimbol agama, bukannya agama menjadi bagian dari solusi, malah menjadi bagian dari persoalan baru dengan menggerogoti wibawa hukum positif.

Konstruksi Teks
Secara fenomenologis, menarik untuk dikaji bahwa praktik-praktik kekerasan secara konstitutif melekat dalam agama-agama besar monoteis. Tidak tanggung-tanggung, kekerasan dalam agama itu dibarengi dengan pembenaran dan pemaknaannya secara teologis. Maka, terjadilah sublimasi, penghalusan, atau peluhuran kekerasan (sublimed violence). Kekerasan yang dalam kacamata HAM modern adalah pelanggaran, dalam Kitab Suci mendapat pembenaran rohani seperti memurnikan ajaran dan praktik agama atau meredakan murka Yang Ilahi supaya kutuk tidak datang.

Perang suci yang menghalalkan darah musuh tidak luput dari kekejaman terhadap kemanusiaan yang biasa dijumpai dalam perang biasa. Bisa disebutkan di antara crimes against humanity ini, kasus-kasus pembakaran, perampokan, penjarahan, dan pembantaian masal, kaum wanita serta anak-anak yang tidak tahu apa-apa biasanya menjadi kelompok yang paling menderita. Praktik-praktik kekerasan yang demikian seolah-olah mendapat pemutihan dan menjadi halal dalam agama. Itulah yang terjadi ketika agama dipolitisasi menjadi hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif, radikalismelah yang muncul.

Dalam konstruksi kekerasan ini, secara subtil terjadi konversi absolutisme vertikal kepada absolutisme horisontal. Iman kepada Yang Ilahi menjadi energi untuk bertindak kasar kepada sesama. Bahkan, umat merasa berhak mewakili Yang Absolut dalam menentukan mati hidup seseorang (religiositas fatalistik). Terhadap diri sendiri, umat menjadi tidak takut mengorbankan diri bahkan untuk mati demi memperjuangkan agama. Terhadap orang lain, umat memandang orang atau kelompok lain yang harus mati sebagai musuh agama yang harus dibasmi. Inikah wajah sebenarnya dari civil religion? Apakah simbol-simbol agama yang dipakai untuk melegitimasi berbagai aksi yang jelas melawan hukum sipil namun tetap dilakukan atas nama agama merupakan wajah sebenarnya dari masyarakat madani?

Karena itu, Peter S Craigie (1978:49) dalam semangat otokritiknya mempertanyakan istilah holy war yang telanjur populer. "While it is clear that the wars were religious in character, were they holy? Did God's command and God's presence transform something essentially evil into a holy act? Can the ruthless requirement for the extermination of the enemy--men, women, and children--in any way be regarded as holy? I think that it can not!" Bagaimana mata Tuhan yang pengasih penyayang dapat melihat tindakan-tindakan yang dipenuhi angkara murka? Sebab itu, Craigie lebih suka memakai terminologi religious war daripada holy war, perang bernuansa agama dan bukan perang suci.

Dekonstruksi Teks
Persoalannya sekarang, bagaimana kita, umat modern, membaca bahasa kekerasan dalam Kitab Suci yang sudah terkonstruksi? Di sinilah interpretasi religius memegang peranan sangat penting. Di sini pula relevansi proyek dekonstruksi dari Jacques Derrida (pascastrukturalisme).

Pertama, pelbagai contoh tindak kekerasan dalam Kitab Suci tidak pernah berhenti pada tindakan itu sendiri. Di balik itu selalu terkandung tujuan-tujuan soteriologis pada waktu itu demi efek pengudusan dan kemaslahatan umat pada masa itu. Berbagai tindak kekerasan dalam Kitab Suci harus dilihat dari rangka pemunculan (emerging) agama dan karenanya juga bersifat darurat (emergent). Bila realitas kekerasan dalam agama dilihat dari kondisi emerging dan sifat emergent-nya, religiositas yang membenarkan kekerasan sebenarnya bukan bersumber dari ajaran agama yang terdalam, melainkan dari pemahaman teks-teks Kitab Suci secara prima facie (di permukaan) dan karena itu pula pembenarannya bersifat kuasi-religius.

Oleh karena itu pembenaran kekerasan dalam Kitab Suci juga terbatas hanya pada masa lalu sebagai even konstitutif dalam proses kelahiran agama (einmalig). Karena sifat einmalig-nya ini, maka kasus-kasus kekerasan yang dibenarkan oleh agama pada saat itu tidak serta-merta menjadi pedoman-pedoman moral (preskriptif) untuk segala masa dan keadaan. Kasus-kasus kekerasan dalam Kitab Suci bukan model untuk menyelesaikan problem-problem sosial, melainkan sebagai even-even einmalig, tidak untuk diulangi sebagai kasus, tetapi untuk dihadirkan terus-menerus efek-efek soteriologisnya dalam konteks-konteks yang baru.

Kedua, teks-teks kekerasan dalam Kitab Suci harus mengalami dekonstruksi lewat saringan (filter) konteks sosial sekarang yang sudah jauh berbeda dari zaman Kitab Suci. Dengan kata lain, teks-teks itu tidak bisa diambil dan diterapkan begitu saja pada situasi masa kini. Harus ada reinterpretasi teks. Harus ada kontekstualisasi penerapan sesuai masa dan kondisi yang baru. Termasuk yang harus dipertimbangkan benar adalah de facto masyarakat sudah berkembang dalam pola bermasyarakat yang terikat hukum-hukum positif, dan ini tidak bisa mundur lagi.

Untuk konteks Indonesia lebih rumit lagi, karena masyarakatnya plural. Karena itu, penghadiran nilai-nilai agama apa pun harus sudah dalam bentuk yang socialized dan civilized, tidak berbenturan dengan realitas kemajemukan masyarakat. Bila agama diamalkan secara demikian, agama akan menjadi pilar penyangga masyarakat sipil yang beradab.

Ketiga, unsur rigid dari fundamen agama harus disalurkan. Salah satu fundamen agama-agama monoteis adalah transendensi Yang Ilahi dan kedudukan yang sama setiap insan di hadirat-Nya. Yang Mahakuasa tidak membeda-bedakan pahala dan ganjaran bagi makhluk-Nya hanya karena yang satu memiliki kedudukan terhormat di dunia dan yang lain cuma rakyat kecil. Sebab itu, Yang Mahakuasa sekaligus Yang Mahaadil. Fundamen agama demikian sejalan dengan cita-cita negara hukum di mana setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum (equality before the law).

Berangkat dari karakteristik demokratis yang inheren dalam agama-agama monoteis ini, kanalisasi kekerasan dalam agama harus selalu disalurkan dalam koridor hukum positif tanpa main hakim sendiri. Energi dari fundamentalisme harus diarahkan secara horisontal dengan proporsional dan tidak emosional, ikut membangun praktik-praktik negara hukum, tidak mencederai citra negara hukum dengan menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum yang baru.

Keempat, umat dan terutama rohaniwan wajib melakukan interpretasi ulang atas even-even kekerasan einmalig dalam Kitab Suci. Dalam kehidupan bersama, yang diamalkan bukan bahasa kekerasannya yang radikal, merusak, dan mematikan, melainkan nilai-nilai kemanusiaannya yang menghargai toleransi, yang membangun, dan yang menghidupkan. Nilai-nilai keselamatan ini bersifat lintas zaman dan lintas kelompok.

Akhirnya, agama pada dirinya sendiri menentang praktik-praktik kekerasan. Manusialah sebenarnya yang menjerumuskan agama ke dalam praktik demikian. Fitrah agama menyangkut hubungan manusia dengan Yang Mahakuasa, kesucian hidup, keluhuran akhlak, ketenangan, dan kedamaian. Perusakan, penjarahan, perampasan nyawa, teror, dan intimidasi tidak sesuai dengan jiwa agama, bahkan akan mendevaluasi agama dan sangat mengganggu tatanan hidup bermasyarakat dan berbangsa (SP-161101)