SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Dari Religiusitas Menuju Nasionalisme Oleh Yonky Karman Citra Indonesia sebagai bangsa religius kini sedang mengalami ujian setelah dalam beberapa tahun terakhir berbagai praktik kekerasan dengan memakai simbol agama begitu menonjol. Selain itu, upaya formalisasi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung menguat di era reformasi. Kenyataan ini memperlihatkan energi religiusitas selalu mencari bentuk-bentuk penyaluran (kanalisasi). Salah satu bentuk kanalisasi yang terbukti positif bagi kehidupan berbangsa dan kesatuan bangsa adalah nasionalisme. Dalam sejarah Indonesia modern religiusitas berperan amat penting semasa pergerakan nasional hingga masa pembangunan nasional. Religiusitas di Indonesia terbukti telah mempunyai andil dalam nasionalisme. Dalam hal ini tidak ada korelasi langsung antara religiusitas dan nasionalisme, antara keberagamaan dan kehidupan berbangsa. Seorang nasionalis tidak otomatis religius. Sebaliknya, seorang religius juga tidak otomatis nasionalis. Tepatnya, bisa diadakan korelasi religiusitas dengan pengabdian kepada Tanah Air. Prakemerdekaan Dalam sejarah kemerdekaan, perang Diponegoro, Pattimura, Padri, Aceh sampai merebut kemerdekaan dari penjajah tidak semata-mata dibakar semangat nasionalisme, tetapi juga semangat keagamaan. Maka para pendiri Republik mengakui dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil usaha sebuah pergerakan atau perjuangan fisik, tetapi juga berkat rahmat Tuhan Yang Mahaesa. Pada masa pergerakan nasional, Haji Agus Salim (1884-1954), tokoh Syarekat Islam, berhasil menjadikan energi religiusitasnya sebagai nasionalisme. Dalam soal agama, ia dikenal berpendirian keras. Namun, ia juga dikenal sebagai pribadi yang terbuka dan berwawasan. Cita-cita perjuangannya adalah melihat bangsa Indonesia menjadi tuan di Tanah Air sendiri. Untuk itu, ia mengupayakan kegiatan sosial yang langsung bersentuhan dengan persoalan umat dengan kesadaran pula bahwa pendidikan akan mencerahkan kesadaran nasionalisme. Dalam Kongres Jong Islamieten Bond pertama di Yogyakarta (Natal 1926), Agus Salim menegaskan keyakinan religiusnya dalam konteks nasionalisme, "Islam memberikan pengertian yang terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pada umumnya dan manusia sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan yang mungkin dicapai" (Het Licht 1925/1926:269). Beliau mendukung JIB sebagai sebuah organisasi kaum muda idealis, yang mempelajari agama Islam dan melaksanakan ajarannya dengan kesadaran bahwa lewat ajaran Islam cita-cita Indonesia merdeka akan tercapai. Nasionalismenya teruji ketika ia ditawari menjadi hoofdredacteur (semacam pemimpin harian) dari harian Hindia Baru, kepunyaan sekelompok orang termasuk orang Belanda. Tugas pokok hoofdredacteur di antaranya adalah mengisi tajuk rencana dan ruang Mimbar Jumat. Tawaran itu diterima dengan satu syarat: kebebasan. Ia tidak mau tawar-menawar dalam hal keyakinan tentang kehidupan dan tentang kebijakan politik Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini, sikap politiknya adalah tanpa kompromi (politik non-kooperasi). Semasa menjadi hoofdredacteur itu, ia berhasil menjadikan Hindia Baru menjadi harian umum yang berkembang dan tidak menjadikannya sebagai corong kepentingan politik partainya atau agama. Sikap independensi dan profesionalismenya itu kemudian mendatangkan kritik dari teman-teman sendiri. Banyak dari mereka tidak puas karena karangannya tidak dimuat, karena kurang bermutu atau hanya bermutu untuk partai. Dengan sengaja ia membatasi pemberitaan tentang partainya, sejauh itu perlu diketahui publik. Ketiadaan vested interest pribadi atau kelompok membuatnya menjadi manusia bebas dalam memuji dan mengkritik siapa saja termasuk penguasa Hindia Belanda. Kritik-kritiknya terhadap Pemerintah Belanda akhirnya membuat pemilik Hindia Baru merasa terganggu. Ketika ia diminta untuk mengurangi atau memperlunak kritiknya, esoknya ia langsung meletakkan jabatan pentingnya sebagai hoofdredacteur. Demikian penuturannya kepada Mohamad Roem, "Selama saya menjadi pemimpin dan pengisi Hindia Baru, saya tidak berbuat seperti Pemimpin Sarekat Islam dan kalau saya menulis tajuk rencana saya tidak berpikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat di hadapan saya rakyat Indonesia pada umumnya. Saya memikirkan apa yang menjadi perhatiannya, apa yang umumnya disukai dan tidak, apa yang dipandang tidak adil" (Taufik Abdullah et al., ed., Manusia dalam Sejarah, Jakarta, 1978, hlm 110). Agus Salim akhirnya sadar bahwa bekerja di harian umum tidak sebebas yang dibayangkannya semula. Bila ia tetap menulis "hanya ada dua kemungkinan: Saya tidak mempedulikan permintaan pemilik harian atau saya menyerah, dan berkompromi dengan hati nurani saya" (idem). Yang pertama, menyangkal suara hati sendiri. Yang kedua, merugikan pemilik harian. Kedua hal itu jelek dalam pandangannya. Maka, ia memilih keluar dari Hindia Baru, menjadi manusia bebas yang tidak menggadaikan hati nuraninya dan tidak merugikan bisnis orang lain. Seorang profesional dan pemimpin umat yang berkarakter, berhati nurani, dan nasionalis. Pascakemerdekaan Religiusitas dan nasionalisme mendapat tempat dalam disain Indonesia sebagai Negara Ketuhanan. Dalam pidato yang berjudul "Pendidikan Menengah Kooperasi" (Seminar Koperasi, Yogyakarta 1958), Proklamator Bung Hatta menegaskan makna sosial dari mengaku percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa, yakni "mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan . mewajibkan manusia dalam hidupnya membela kebenaran, dengan kelanjutannya, menentang segala yang justa . membela keadilan, dengan kelanjutannya, menentang atau mencegah kezaliman . berbuat baik selalu, dengan kelanjutannya, memperbaiki kesalahan . bersifat jujur, dengan kelanjutannya, membasmi kecurangan . berlaku suci, dengan kelanjutannya, menentang segala yang kotor." Dalam pidato yang bertajuk "Jiwa Islam dalam Membangun Negara dan Masyarakat" (pertemuan KAMI, Bogor 25 Juni 1966), Hatta menegaskan bahwa Negara Ketuhanan dengan sendirinya mewajibkan orang Indonesia "berjalan di atas rel kebenaran, keadilan, kejujuran, kesucian untuk melaksanakan segala yang baik bagi masyarakat dan negara." Dalam berbagai kesempatan berpidato, Hatta sering menyanyikan kuplet kedua dan ketiga dari lagu Indonesia Raya (kuplet pertama, "Indonesia kebangsaanku, bangsa dan Tanah Airku; Marilah kita berseru, Indonesia bersatu"), yang berbunyi. "Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semua; Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia" dan "Marilah kita berjanji, Indonesia abadi." Syair lagu itu mengajak putra-putri bangsa untuk berdoa dan berikrar agar memberikan sumbangsih kepada nusa dan bangsa, agar kedaulatan negara benar-benar berada di tangan rakyat bukan di tangan pihak asing ("Semboyan Kini: Harus Cepat Tapi Selamat," pidato dalam rapat umum di Pematang Siantar 23 November 1950). Korelasi religiusitas dan nasionalisme juga ditemui dalam diri Letjen (Purn.) T. B. Simatupang (1920-1990) atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Sim. Dalam catatan otobiografinya, ia mengaku "Saya Adalah Orang Yang Berutang" (Samuel Pardede, ed., Saya Adalah Orang Yang Berhutang: 70 Tahun Dr. T.B. Simatupang, Jakarta, 1990, hlm 10). Kita semua berutang pertama-tama kepada Tuhan, lalu sesudah itu kepada banyak pihak lain. Utang kepada Tuhan itu tidak dapat dibayar lunas dan hanya Tuhan saja berdasarkan kasih-Nya dapat menyelesaikan utang itu. Tetapi Tuhan menghendaki kita membayar utang itu kepada sesama lewat pengabdian. Dalam kerangka pemahaman itulah, Pak Sim selalu merasa berutang, "Saya berutang kepada negara, bangsa, dan masyarakat." Catatan Penutup Beberapa tokoh di atas adalah contoh keberhasilan transformasi kesalehan individual menjadi kesalehan sosial dalam bentuk pengabdian kepada bangsa. Ini kewajiban warga negara Indonesia yang dikenal religius. Para rohaniwan dari semua agama di Tanah Air wajib memberikan pencerahan religius agar aplikasi dari iman warga juga berbentuk pengabdian kepada negeri dan partisipasi dalam pembangunan nasional. Sudah waktunya religiusitas diberdayakan untuk memerangi korupsi dan mengoreksi inefisiensi penyelenggaraan negara. |