SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Dari Pelajaran Agama Menuju Insan Beragama Oleh Yonky Karman Pelajaran agama wajib dalam kurikulum sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun, pelajaran itu sepertinya tidak berdampak pada perilaku tawuran antarpelajar, pemakaian narkoba, dan gejala seks bebas di kalangan muda. Bahkan diperhadapkan dengan problem nasional yang lebih luas seperti pertikaian antaretnis, pertikaian antarumat, kekerasan horizontal, teror, dan budaya korupsi, kita patut bertanya-tanya ”Apakah efek pendidikan agama?” Semua imoralitas itu berlangsung kian intensif berbarengan dengan kemandulan pendidikan agama di sekolah. Fenomena pendidikan agama itu tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah mensyaratkan agama sebagai wajib dalam kurikulum. Guru agama merasa puas sudah mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor. Memberagamakan dan Memanusiakan Mengikuti pelajaran agama tidak otomatis mencetak insan beragama. Insan beragama adalah pribadi yang mampu menghayati agama, menjadikannya semakin bertakwa dan semakin manusiawi. Itulah fitrah manusia. Tujuan agama adalah memanusiakan manusia. Ini bukan tautologi. Lahir sebagai manusia adalah satu hal, tetapi hidup sebagai manusia dalam martabatnya adalah hal lain. Manusia berpotensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan, kesucian dan maksiat, kelembutan dan kekerasan. Agama tidak mencampur aduk kedua kutub yang bertentangan itu. Karena itu, keburukan, maksiat, dan kekerasan tidak sesuai dengan jiwa agama. Lewat pendidikan agama (education), potensi-potensi positif itu hendak ditarik ke luar dari dalam diri murid untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga ia menjadi insan beragama. Kata Inggris educate sendiri berasal dari kata Latin educere, e artinya ”ke luar” dan ducere ”memimpin, menarik, atau membawa.” Maka, educere adalah menarik atau membawa ke luar. Dan pendidikan sebagai education berarti seni menarik ke luar potensi-potensi kebaikan dan kebenaran yang ada dalam diri murid. Bila sokolah pada umumnya bertujuan mencerdaskan murid menjadi, pandai ilmu dan luas pengetahuan, maka gol pendidikan agama di sekolah adalah kecerdasan spiritual. Thomas Moore, seorang psikolog Inggris, menyadari bahwa pendidikan umum seharusnya tidak cuma mengisi otak dengan informasi atau memberi keterampilan, tetapi mendidik dan mengembangkan budi yang luhur (The Education of the Heart, New York, 1996). Setelah lama Pendidikan Budi Pekerti dihapuskan dari kurikulum dan kini dimasukkan sebagai bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan agama di sekolah menjadi kesempatan formal satu-satunya untuk pencapaian kecerdasan rohani. Sebenarnya bila efektif, ada mata pelajaran lain yang berfungsi memperhalus budi pekerti dan membentuk kemanusiaan dalam diri murid. Namun karena kendala kultural dan SDM, pelajaran humaniora di Tanah Air belum mampu mengambil peranan penting dalam memanusiawikan manusia yang potensi moralnya ambigu itu (Dick Hartoko, ed., Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora, Yogyakarta, 1985). Materi, Guru, dan Sistem Materi pelajaran agama harus dikembalikan kepada konteks masyarakat pembelajar. Pejabat di pusat tidak boleh mendikte materi pelajaran agama di daerah seperti yang sekarang masih berlangsung. Daerah memiliki persoalan dan karakteristiknya sendiri. Kendati sifat universal agama, ketika agama dipeluk, tampak perbedaan cara menghayatinya dari daerah ke daerah. Bila dibutuhkan, pusat hanya menjadi fasilitator dan bukan penentu materi pelajaran agama. Ini bukan semata mengikuti euforia otonomi daerah, tetapi sekali lagi, setiap daerah mempunyai karakteristik masing-masing. Materi pelajaran agama yang kontekstual idealnya menyesuaikan diri dengan problem sosial, tantangan dan pergumulan, adat dan kearifan lokal. Ini semua tidak mungkin diperhitungkan pusat dalam kurikulum nasionalnya. Sebagai contoh, materi pelajaran aama di daerah konflik bernuansa agama sebaiknya mengedepankan aspek universalisme atau humanisme dari agama, bukan aspek doktrinal yang eksklusif. Selain materi pelajaran yang kontekstual, guru agama juga harus kreatif. Pelajaran agama tidak bisa berhenti pada tahap informatif. Kodrat agama adalah untuk dihayati, bukan diketahui. Maka, guru agama yang menekankan hafalan dengan sendirinya akan membuat jemu murid dan menyetarakan pelajaran agama seperti pelajaran sejarah atau geografi. Celakanya, murid kemudian menjadi lebih segan berhadapan dengan pelajaran matematika atau fisika daripada pelajaran agama. Manusia tidak diciptakan untuk keserakahan, kekejaman, tipu daya, hal-hal yang tidak senonoh. Itu bukan fitrahnya. Pendidikan agama harus mampu menyadarkan murid akan fitrahnya sebagai manusia. Materi pelajaran yang baik tentu penting, namun lebih dari itu faktor guru akan menentukan efektif tidaknya pendidikan agama di sekolah. Pemerintah telah menggariskan kebijakan pentingnya pendidikan agama di sekolah dengan cara: angka pelajaran agama di rapor tidak boleh merah. Tetapi ini kebijakan kontraproduktif. Urgensi dan kepenting pelajaran agama didegradasi ke dalam bentuk nilai, kuantitatif, bisa diukur. Karena itu, guru mau tidak mau terjebak untuk menilai keberagamaan murid juga dari aspek terukur. Dan yang dapat diukur secara pasti adalah pengetahuan agama. Maka, pendidikan agama di sekolah identik dengan pengajaran pengetahuan tentang agama. Itu bukan persis maksud pendidikan sebagai education dan, yang lebih openting lagi, juga bukan kodrat agama. Agama diberikan untuk menuntun manusia di jalan hidup yang benar. Jalan harus dijalani bukan dihafal. Maka, aplikasi agama dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama dan di sini ukurannya menjadi relatif. Seorang anak yang suka melawan orangtua di rumah tidak boleh dinilai buruk nilai agamanya kendati perilaku itu tidak sesuai dengan ajaran agama supaya menghormati orangtua. Seorang murid yang tidak rajin sembahyang tidak boleh mendapat nilai jelek dibandingkan dengan murid yang sebaliknya. Sudah waktunya harus dievaluasi ulang kesahihan menilai pelajaran agama dengan angka. Baru-baru ini, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi berkomentar soal Pendidikan Kewarganegaraan. Harus ada paradigma baru untuk PKN sebagai ”sebuah pelajaran yang memberikan pengalaman bagi anak untuk merasakan proses demokrasi. Jadi, bukan sekadar belajar berdemokrasi seperti yang banyak berlangsung sekarang, tetapi mengalami proses itu.” Dengan paradigma baru itu, menurut Indra Djati, tidak perlu lagi ujian Pendidikan Kewarganegaraan. Masih menurutnya, pelajaran lain pun bisa diperlakukan sama seperti itu bila murid harus merasakan pengalaman mempelajari sesuatu. Seharusnya wacana yang telah digulirkan oleh Dirjen ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaan lapangan yang jelas. Dengan guru tidak terpaku memberikan penilaian berupa angka, perhatian guru dan murid akan bergeser dari angka kepada praktik hidup. Bila dalam Pendidikan Kewarganegaraan murid dididik untuk belajar berdemokrasi, dalam pendidikan agama yang bersangkutan belajar beragama, menjadi insan beragama. Sudah sepatutnya dipertimbangkan kuantifikasi pelajaran agama, seharusnya kualifikasinya. Tidak berarti tugas guru pasca-dekuantifikasi pelajaran agama menjadi lebih ringan. Guru harus kreatif mengaplikasikan materi pelajaran pada berbagai situasi murid. Gaya mengajar dengan mendikte sudah pasti tidak cocok lagi. Gaya bercerita adalah alternatif positif. Problem-solving, diskusi, simulasi, proyek live in untuk menghayati kebersamaan secara lintas suku, agama, dan strata sosial. Itu semua metode pembelajaran kreatif untuk pelajaran agama. Akhirnya, yang tidak kurang pentingnya, guru harus menjadi panutan, buku hidup yang terbuka di hadapan murid untuk dibaca dan ditiru. Bila materi pelajaran sudah bagus, metodenya juga kreatif, tetapi kehidupan guru bertentangan dengan materi yang diajarkannya, runtuhlah fondasi proses pembelajaran itu. Guru harus menjadi teladan hidup. Itulah inti pelajaran agama yang paling sederhana. Penutup Perilaku kehidupan beragama di Indonesia masih kuat dibayang-bayangi tradisi formalisme dan keberagamaan belum mempunyai kekuatan untuk mengoreksi distorsi moral dalam kehidupan sosial. Musuh agama tidak hanya maksiat, tetapi juga korupsi dan kekerasan. Dari hari ke hari kita semakin biasa mendengar dan melihat pembakaran, pengrusakan, pengeroyokan, pembunuhan, dan teror bom. Sementara itu, masyarakat semakin apatis terhadap pemberantasan korupsi yang masih berputar-putar pada isu. Sebagai bangsa yang dikenal religius, seharusnya keberagamaan mempunyai kontribusi untuk mengurangi kejahatan sosial di sekitar kita. Nyatanya, belum ada tanda-tanda demikian. Sebuah pekerjaan rumah yang besar. Pertanyaan yang menggelitik, ”Apakah ada yang salah dengan pendidikan agama di sekolah sehingga lahir generasi seperti ini?” Sebuah pertanyaan kecil yang patut direnungkan. *) Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan. |