SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
HERLIANTO: cINA aTAU TIONGHOA?
(1) Harian Pikiran Rakyat di Bandung tanggal 23 Januari 2001, memuat artikel berjudul 'Rayakan Imlek dengan Wajar'. Artikel itu diberi ilustrasi foto yang diberi keterangan "Datangnya Tahun Baru Cina atau Imlek besok selain menjadi sumber rejeki bagi toko-toko juga dapat menjadi nafkah bagi pedagang kaki lima yang menjual angpau dan stiker hiasan di sebuah perempatan pusat kota." Dan dalam artikel itu ditulis a.l. "Selain menjual barang keperluan perayaan Imlek, sejumlah toko juga menjual kue Imlek, kartu ucapan Imlek dandodol cina." Sekalipun dalam artikel tersebut banyak ditulis istilah 'Tionghoa', ternyata ada juga istilah 'cina' digunakan di dalamnya. Memang dalam suasana menyambut Imlek yang puncaknya dirayakan tanggal 23 malam dan dilanjutkan tanggal 24 Januari itu, suasana ketionghoaan atau kecinaan terasa sekali, tetapi ditengah kemeriahan perayaan itu ternyata ada orang-orang yang mempersoalkan penggunaan istilah 'cina' yang dianggapnya sebagai pelecehan produk ORBA. Bagaimana? Istilah 'Cina' Istilah 'Cina' tidak bisa dilepaskan dari konteksnya di negeri leluhur, merantaunya bangsa itu ke mana-mana, dan sejarah penggunaannya di Indonesia. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (dibawah kata Cina), istilah Cina berasal dari nama dinasti 'Chin' (abad 3SM) yang sangat besar pengaruhnya dan mendirikan kerajaan pertama dan merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun sampai revolusi republik pada tahun 1913. Kekaisaran Chin memang terkenal, soalnya dibawah kaisar pertamanya 'Shih Huang Ti' dibangun pemerintahan terpusat dalam bentuk kekaisaran, dan selama pemerintahannya dilakukan pembakuan ukuran dan berat, ketepatan, dan sistem penulisan. Kaisar itu memerintahkan pembangunan tembok besar sepanjang 2400 KM untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa Barbar. Sekalipun pemerintahan dinasti Chin kurang dari satu abad dan digantikan dinasti lain, mungkin karena bangga akan dinasti 'Chin' yang menjadi tonggak sejarah pendirian Imperium pertama, merintis tulisan Chin, keteraturan dan ketertiban pemerintahan, dan kebesaran 'The Great Wall', sampai lama orang-orang yang tinggal di negari itu menyebut diri mereka sebagai 'orang-orang (dari negeri) Chin,' sehingga ketika terjadi perjumpaan dengan negara-negara Barat, negara itu disebut sebagai 'China' dan orangnya disebut 'Chinese.' Bahaya bencana alam terutama banjir, bencana kelaparan, dan peperangan menjadi sebab perginya banyak orang-orang atau bangsa Chin ini yang merantau ke seluruh dunia, ini terjadi terutama pada abad-abad ke-5 s/d 8. Setidaknya bangsa perantau ini masuk ke Indonesia sedini abad ke-7, yang bagi orang Inggeris disebut 'chinese overseas' dan di Indonesia disebut sebagai 'cina perantauan', kemudian masuk ke segenap pelosok tanah air, dan sejak abad ke-11, ratusan ribu bangsa 'chin' ini memasuki kawasan Indonesia terutama dipesisir Timur Sumatera dan Barat Kalimantan. Para perantau yang membawa keluarga mereka itu kemudian membentuk koloni 'kampung cina' atau 'pecinan'. Sejak itu istilah 'cina' menjadi populer misalnya untuk menyebut makanan seperti dodol cina, petai cina, juga untuk menyebut tempat seperti bidara cina, dan dibanyak kota dimana banyak orang cina tinggal kemudian disebut sebagai 'pecinan'. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal wayang 'Po Te Hi' dimana salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina'. Jadi istilah 'cina' sudah cukup lama membumi dan menjadi sebutan bagi para perantau ini tanpa maksud yang kurang baik. Istilah 'Tionghoa' Masuknya bangsa Barat untuk menjajah negeri 'Chin' itu kemudian menimbulkan perlawanan dan meledak dalam pemberontakan 'Taiping' (1850) dan Boxer (1900) yang merintis revolusi di tahun 1913. Ini mengakibatkan sikap antipati yang besar kepada bangsa Barat, sehingga dengan meningkatnya harga diri bangsa ini, mereka kemudian menolak sebutan 'China' dan kembali pada premordialisme kebangsaan dan menyebut negeri mereka sebagai 'Chung-Kuo' atau 'Negara Tengah/Pusat' Di Indonesia, bangsa dari negeri Chin yang sudah lebih dahulu menguasai perdagangan di Indonesia selama beberapa ratus tahun kemudian bentrok dengan pendatang baru bangsa Barat khususnya Belanda sehingga pada tahun 1740 di Batavia, kemudian disusul kota-kota lain, mereka berontak terhadap dominasi VOC, akibatnya VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi kepada bangsa perantau ini berupa pemberian hak-hak istimewa, bahkan kemudian mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap setingkat lebih tinggi dari warga penduduk asli. Status istimewa ini jelas kemudian mengakibatkan ada penduduk pribumi yang memandang para perantau 'Cina' ini dengan kesan yang jelek, bukan saja karena kolaborasi mereka dengan penjajah dan praktek dagang yang bercorak 'Quanxi' (koneksi/kolusi) yang merugikan masyarakat pribumi, tetapi juga karena perilaku banyak dari mereka yang menunjukkan sebagai penjudi dan pemadat. Akibatnya istilah 'cina' menjadi stigmatisasi yang berkonotasi jelek, padahal selama beberapa abad istilah ini sudah membumi dan berkesan baik karena sifat orang cina yang cenderung mudah bergaul dengan masyarakat lokal sesuai prinsip 'jalan tengah', namun ketika urusan politik dan ekonomi menjadi penting, maka perbedaan dengan pribumi mencuat kepermukaan. Akibat dari stigmatisasi istilah 'cina' itu dan mengikuti saudara-saudara mereka di tanah leluhur yang menolak musuh 'orang Barat' dengan sebutan mereka 'China', kemudian ada orang cina di Indonesia mulai menggunakan nama padanan yang masih netral yaitu 'Tiongkok' sebagai terjemahan 'Chung Kuo' sekitar akhir abad ke-19, dan pada tahun 1901 mereka mendirikan organisasi yang disebut 'Tiong Hoa Hwee Kwan' dan pada tahun 1939 mendirikan 'Partai Tionghoa Indonesia.' Sejak itu istilah 'Tionghoa' dipakai bersama sebagai padanan istilah 'Cina' yang sudah populer lebih dahulu. |