SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

HERLIANTO: cINA aTAU TIONGHOA? (2)

Masa Orla dan Orba
Pada masa ORLA setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting dalam hal urusan 'cina/tionghoa' ini. Soalnya, pada tahun 1948 ketika ada pemberontakan PKI di Madiun, disinyalir PKI ini didukung partai komunis di Cina/Tiongkok, dan tentu saja ada orang 'cina/tionghoa' Indonesia yang berkiblat kesana, akibatnya sekarang 'orang Cina/Tionghoa' pun secara politik dicurigai.

Konflik yang menyangkut ras 'Cina/Tionghoa' ini makin menjadi-jadi sehingga pada tahun 1957 semua yang memiliki kewarganegaraan tanah leluhur di larang berdagang di luar Daerah Tingkat II, dan pada tahun 1959 orang Cina/Tionghoa dipersilahkan memilih menjadi warga negara tanah leluhur (WNA) atau WNI. Konflik dominasi ekonomi ini kemudian meledak dalam peristiwa rasialisme 10 Mei 1963 di Bandung dan merebak ke beberapa kota lainnya.

Ketika terjadi pemberontakan PKI yang komunis yang terkenal dengan G-30-S pada tahun 1965, kembali ditengarai bahwa pemberontakan ini dibantu oleh RRT (yang kala itu disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok) dan banyak orang Cina/Tionghoa yang bersimpati pada keduanya, maka pemerintahan ORBA pada tahun 1967 mengeluarkan surat edaran mengenai pengubahan sebutan kata Tionghoa-Tiongkok dengan kata Cina yang disesuaikan dengan nama dalam bahasa Inggerisnya dan mengubah singkatan RRT menjadi RRC (Republik Rakyat Cina /People's Republic of China) dan negara Taiwan yang bernama 'Republic of China', edaran ini kemudian di 'Inpres' di tahun 1967. Tahun itu pula dianjurkan bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia.

Kontroversi Istilah
Sekalipun tidak semua orang Cina/Tionghoa memihak komunis dan tanah leluhur dan banyak juga yang justru memihak rakyat Indonesia, semua harus menerima kenyataan bahwa sejak saat itu 'istilah Tionghoa' diganti dengan 'Cina' dan istilah Cina mengalami kebangkitan kembali, namun tidak semua senang dengan penggunaan istilah 'cina' sehingga selalu ada usaha untuk mengganti nama Cina itu dengan 'Tionghoa'. Sekalipun demikian dengan berjalannya waktu dan lahirnya generasi baru, lambat laun kedua istilah 'Cina' dan 'Tionghoa' itu dipakai bersama-sama tanpa dipersoalkan oleh kebanyakan.

Di surat-surat kabar dan majalah di Indonesia sudah biasa kedua istilah itu dipakai bahkan kalau kita jeli justru istilah 'cina' lebih populer tanpa maksud yang jelek. Majalah SWA pernah membuat cover story berjudul 'Masalah Cina' dalam rangka peristiwa 'Mei 1998' tanpa menimbulkan kritik. Ada beberapa buku yang ditulis oleh orang 'non-cina' dan diterjemahkan di Indonesia menggunakan istilah itu tanpa pretensi apa-apa dan bersifat netral, seperti 'Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia (Hidayat)', 'Jaringan Masyarakat Cina' (Jhon K. Naveront), 'Rahasia Horoskop Cina' (Lori Reid), dan 'Feng Shui - Ilmu Tata Letak Tanah dan Kehidupan Cina Kuno' (Stephen Skinner). 

Sedangkan yang ditulis oleh penulis cina/tionghoa adalah 'Simbolisme Hewan Cina' (Ong Hean-Tatt diterjemahkan oleh Lie Hua), yang didalamnya disebut 'orang cina', 'masyarakat cina' dsb.nya, 'Konglomerat Indonesia' (Kwik Kian Gie) yang didalamnya beberapa penulis cina menggunakan istilah orang dan masyarakat cina Indonesia juga, dan 'Politik Tionghoa Peranakan di Jawa' (Leo Suryadinata) sekalipun banyak menggunakan istilah Tionghoa seperti judul buku, di dalamnya juga banyak ditulis dengan istilah 'cina'.

Di Indonesia sudah terbit majalah 'Sinergi' yang khusus membahas masalah etnis ini, dan sekalipun banyak menggunakan istilah 'Tionghoa', di dalamnya juga ada digunakan istilah 'cina' dengan maksud yang sama dan bahkan oleh penulis cina sendiri. Dalam salah satu edisinya (23) Arif Budiman (So Hok Djin) mengemukakan "Apa Salahnya Menjadi 'Cina'!" Jadi istilah ini sekarang makin menjadi istilah umum yang masuk kosa-kata bahasa Indonesia (seperti yang ditulis dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia), baik untuk menyebut orang Cina yang tinggal di daratan RRC dan yang tinggal di Taiwan, maupun orang Cina yang tinggal di Indonesia, dan dikalangan masyarakat bawah orang malah senang kalau bisa makan 'masakan cina' yang sedap tiada duanya itu! (Rupanya mereka tidak bisa lain menerjemahkan istilah 'chinese food').

Namun, rupanya sejalan dengan kebangkitan premordialisme dan fundamentalisme yang kembali menjungjung nilai-nilai budaya dan bahasa leluhur di akhir abad ke-20 ini, kelihatannya mulai ada sebagian orang cina/tionghoa yang kembali menjadikan istilah 'cina' sebagai kontroversi, lebih-lebih dengan datangnya era reformasi terjadi 'euphoria asal bukan cina'. Beberapa buah euphoria itu adalah terbentuknya banyak forum baru di era reformasi ini antara lain yang menggunakan nama tionghoa adalah 'Partai reformasi Tionghoa Indonesia' (Parti), 'Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia' (PSMTI), 'Indonesia Keturunan Tionghoa' (IKT), 'Forum masyarakat Tionghoa' (Format), 'Forum Tionghoa Membangun' (Fortim), 'Gabungan Tionghoa Anak Bangsa Indonesia' (Gatabi), 'Himpunan Mahasiswa Tionghoa Indonesia' (HMTI), 'Solidaritas Pemudi/a Tionghoa Indonesia' (Simpatik), dan banyak lainnya.

Setidaknya di Indonesia ada tiga sikap menghadapi kontroversi nama 'Cina' ini, yaitu: (1) menggunakan istilah Tionghoa dan Tiongkok untuk menunjuk Chungkuo, dan menganggap istilah 'Cina' adalah produk ORBA; (2) menggunakan istilah 'Cina' dan tidak menganggap bahwa istilah itu adalah pelecehan produk ORBA; dan (3) menggunakan istilah 'tionghoa' dan 'cina' sesuai situasi dan kondisi artinya, bahwa dikalangan tionghoa nama yang sama akan dipakai sedangkan didepan umum digunakan istilah 'cina' dengan sedikit diselingi nama 'tionghoa'.

Menarik untuk diamati bahwa faktanya sikap (3) inilah yang paling banyak pendukungnya sedangkan kelompok (1) paling sedikit pendukungnya sekalipun vokal. Memang paling baik dan bijaksana adalah menggunakan kedua 'istilah' itu secara bersama-sama dan mengakuinya sebagai padan kata, soalnya kita harus sadar bahwa istilah 'Cina' sudah ada ratusan tahun sebelum timbul istilah 'tionghoa' dan tidak digunakan dalam pengetian pelecehan. Merosotnya pengertian akan istilah itu lebih ditimbulkan oleh perilaku keliru sebagian warga etnis tersebut, jadi yang perlu bukan mengubur istilah 'cina' (sesuatu yang tidak mungkin) tetapi memberi kandungan yang baik sehingga istilah itu yang sebenarnya sekarang sudah netral, kecuali di kalangan tertentu, bisa diberi kandungan yang baik sehingga kembali kepada makna netralnya bahkan menjadi lebih ideal.

Yang penting bukan soal istilah apa yang baik, tetapi mengapa suatu istilah yang semula baik menjadi merosot jelek, jadi yang lebih utama adalah usaha-usaha untuk menghilangkan kesan jelek dibalik stigmatisasi itu. Usaha yang tekun perlu diusahakan agar orang 'cina/tionghoa' bisa menghilangkan sikap eksklusif, kemewahan, kebiasaan 'jalan tengah' Quangxi/KKN, dan nasionalisme yang tipis, yang sering dituduhkan pada penyandang nama itu, jadi bila penyebab itu tetap ada, nama 'tionghoa'pun tidak mempunyai dampak apa-apa.

Sebaliknya sikap (1) yang menunjukkan euphoria nama 'asal bukan cina' bila berlebihan malah bisa membuat hidup tidak sejahtera. Apakah kalau berjalan-jalan kemudian melihat warung pinggir jalan dan membaca 'jual masakan cina' kita jadi terganggu? Dan kalau lewat jalan pecinan apa kita mau cari jalan lain yang memutar? Atau kalau membuka buku, kamus, majalah, surat kabar dan ada istilah itu kita terus menjadi takut akan bayangan yang kita buat sendiri? Padahal, penulis buku itu menggunakan istilah 'cina' dengan hati yang tulus tanpa maksud untuk melecehkan

Kita perlu berhati-hati untuk tidak menjadikan ORBA sebagai kambing hitam seakan-akan merekalah yang memaksakan hadirnya istilah 'cina', dari sejarah kita sudah tahu bahwa itu hanya sebagian kecil dari yang benar. Benar ORBA melakukan langkah yang mempopulerkan kembali istilah 'cina' tetapi itu harus dimengerti dalam konteks dua dasawarsa sebelum tahun 1967 dimana banyak orang yang menyebut dirinya sebagai 'tionghoa' ternyata berhati dua dan berkibalt ke negeri leluhurnya 'tiongkok' dan membelakabngi tanah air dimana mereka hidup.

Kita perlu waspada agar euphoria premordialisme budaya pasca reformasi agar tidak menjadi berlebihan karena kalau begitu justru akan makin mempertajam stigmatisasi, apalagi kalau euphoria yang berlebihan dilakukan dengan secara demonstratip menonjolkan budaya leluhur 'cina/tionghoa', bisa berakibat justru akan memupuk 'fanatisme leluhur' yang makin menebal yang konsekwensinya adalah makin menipisnya 'nasionalisme di tanah air Indonesia', sesuatu yang perlu diperhatikan dengan lebih berhati-hati khususnya oleh generasi muda etnis cina/tionghoa khususnya yang menjadi warganegara Indonesia. (Salam kasih dari Herlianto)