SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Cerdas Memilih Oleh Yonky Karman PEMILU 2004 beda. Mekanisme memilihnya beda. Tetapi, apakah hasilnya akan beda? Mungkin tidak bila masyarakat tidak pandai-pandai menjatuhkan pilihan pada figur tepat. Partai belum berhasil memberi pendidikan politik yang sehat kepada rakyat. Meski mekanisme pemilu sudah berubah, partai tetap menggiring massa untuk memilih dalam paradigma lama. Coblos partai, lupakan kualitas calon. Namun, di situlah letak salah satu persoalan ruwet kebangkitan bangsa yang terus tertunda. Politik partai menjadi salah satu sumber keterpurukan bangsa. Korupsi partai menghancurkan harapan perbaikan bangsa. Saat Pemilu 1999, masyarakat larut dalam euforia reformasi dengan harapan besar, Indonesia akan keluar dari keterpurukan. Mimpinya adalah Indonesia Baru. Harapan diletakkan pada partai-partai reformis. Gagal Negara Rakyat pantas kecewa. Meski makro ekonomi membaik, korupsi kian merajalela. Mencari nafkah kian sulit. Angka pengangguran yang sempat tertekan pada 36,2 juta (2001) merambat naik memasuki 40 jutaan. Angka pengangguran muda sebanyak 6,1 juta (2001), tahun 2003 mencapai 10,3 juta. Tingkat pengangguran kaum muda di pedesaan sekitar 15 persen dan di perkotaan mencapai 25 persen. Saat krisis moneter melanda Indonesia, angka kemiskinan mencapai 20 persen. Namun, kini angka kemiskinan mandek pada 16 persen. Bila memakai data Kepala Badan Pusat Statistik, tahun 2003 jumlah penduduk miskin 17-18 persen atau sekitar 37,3 juta dari total 215 juta penduduk Indonesia. Tingginya angka kemiskinan disebabkan masih rendahnya pertumbuhan investasi dan kurangnya fasilitas publik di Indonesia. Kedua hal itu disebabkan tata laksana pemerintahan (good governance) masih bermasalah dan kurang transparan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kurang memberi iklim kondusif bagi investasi. Ditambah lemahnya penegakan hukum dan situasi keamanan beberapa tahun belakangan memburuk. Tanpa investasi baru yang menyerap tenaga kerja secara masif, jumlah penganggur terus meningkat. Mencari pekerjaan kian sulit. Memperoleh uang juga kian sulit. Kalaupun dapat, nilai uang kurang berarti karena harga kebutuhan sehari-hari meningkat. Biaya pendidikan di sekolah negeri sudah menjadi beban keluarga berpenghasilan rendah. Bagaimana rantai kemiskinan bisa putus? Memperhatikan menurunnya fungsi negara untuk memfasilitasi pembangunan berkesinambungan, perlahan namun pasti, kondisi demikian menuju keadaan gagal negara. Kondisi kritis ini sepertinya tidak ditangkap partai-partai besar pemenang pemilu lalu. Dengan berbagai cara, mereka berupaya menjual partai, sementara di kalangan masyarakat berkembang apatisme pemilu kali ini hasilnya bakal kurang lebih sama lagi. Sebagian masyarakat mulai berpaling ke sebuah partai yang pada Pemilu 1999 tak lulus electoral threshold dan terpaksa ganti nama untuk ikut Pemilu 2004. Partai itu relatif tidak termasuk lingkaran elite politik pro-status quo. Mereka sibuk dengan kepedulian sosial nyata. Dengan begitu, mereka berhasil menarik simpati kaum muda terpelajar yang idealismenya masih tinggi. Dalam polling lewat layanan pesan singkat (SMS) yang diadakan stasiun TV swasta, partai ini memperoleh suara amat tinggi, melampaui partai-partai besar di Kabinet Gotong Royong. Kendati saat pencoblosan hasil perolehan suara bisa berbeda, setidaknya ini mencerminkan pada tingkat tertentu masyarakat jenuh dengan sandiwara politik. Masyarakat memperlihatkan sikap apatis pada partai-partai besar yang membelokkan arah reformasi dan tetap bermain dalam nilai-nilai lama yang justru membawa kebangkrutan bangsa. Sejauh ini, elite politik belum mengedepankan kepentingan wong cilik meski slogan itu diusung tinggi saat kampanye. Mereka berkutat dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh atau mencari jalan untuk berkuasa (struggle for power). Masa bodoh dengan harta kekayaan negara yang dijarah habis-habisan. Masa bodoh dengan pengadilan yang tidak lagi menjadi benteng keadilan bagi pencari kebenaran. Meski kini alam demokrasi lebih terbuka, proses demokratisasi masih elitis sebatas lingkaran parlemen yang bahkan, cenderung heavy-legislative. Rakyat masih jauh dari mengakses proses demokratisasi. Daulat rakyat dikebiri daulat parlemen yang tidak reformis dan populis. Sebenarnya elite politik tidak peduli saat salah satu pilar demokrasi, yakni kebebasan pers, terpasung lagi dalam kasus Tempo. Anggota DPR cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri. Mereka tak peduli pendidikan dan layanan kesehatan murah, pengendalian harga kebutuhan pokok, atau mengatasi pengangguran. Mereka tak memberi pendidikan politik yang baik kepada rakyat, tidak memberdayakan potensi rakyat. Mereka belum menjadi wakil rakyat yang membela kepentingan rakyat. Meski Pemilu 2004 beda, perilaku elite politik tampaknya belum beda. Daripada memberi pendidikan politik yang sehat, petinggi partai mempromosikan partai dengan cara membagi-bagi uang atau sembako, mengumbar janji usang yang biasanya dilupakan seusai pemilu, mempromosikan afinitas primordial yang memancing rakyat terkotak-kotak, mencari kredit dengan cara mendiskreditkan, atau membangkitkan romantisme masa lalu. Para politisi memanfaatkan keawaman rakyat. Mereka memberi kesan kepada masyarakat, merekalah yang paling peduli atas nasib bangsa. Seolah-olah merekalah yang paling mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Meski dari pengalaman yang sudah-sudah, rakyat didekati saat kampanye, namun sesudah itu dilupakan. Sukses Rakyat? Harapan ada pada rakyat. Apakah mereka memilih dengan cerdas? Apakah mereka membiarkan termakan janji ko song? Betulkah mereka merindukan masa depan lebih baik? Betulkah mereka merindukan pemimpin yang kapabel dan berkarakter? Betulkah mereka merindukan bangkitnya kembali roh sebagai bangsa? Masyarakat pemilihlah yang harus menjawab semua ini. Masih ada calon yang berkualitas dan belum terkontaminasi mentalitas KKN. Mereka tersebar dari partai besar hingga kecil. Untuk itu, perlu kejelian. Dalam kaitan itu, masyarakat seyogianya mempertimbangkan track record calon sebelum atau selama mengemban jabatan publik, perilaku mereka selama kampanye, potensi mereka melanggengkan praktik KKN, serta akuntabilitas mereka kepada rakyat. Intinya, jangan biarkan Indonesia pasca-pemilu tetap terpuruk. Kelompok pro-status quo mungkin masih akan mendominasi parlemen. Bila dominasi itu signifikan, kemungkinan besar presiden terpilih juga pro- status quo. Hasil Pemilu 2004 pun tidak berbeda. Ada harapan untuk perubahan bila sisa kekuatan reformis bersatu menyingkirkan egoisme sektoral dan mengusung calon pemimpin bangsa harapan rakyat. Pertanyaannya, mampukah calon-calon pemimpin bangsa menyingkirkan egoisme individu? Mampukah mereka memperlihatkan sikap kenegarawanan mereka bahkan ketika tidak dalam posisi memimpin? Mungkin sulit. Kalau begitu, kuncinya adalah masyarakat pemilih. Rakyatlah yang dapat membuat hasil Pemilu 2004 berbeda. Syaratnya, perilaku pemilih harus berbeda dari yang diharapkan pro-status quo. Pesta demokrasi itu pesta siapa? Pesta parpol? Pestanya politisi bermasalah? Pesta elite politik? Rakyat diposisikan sebagai penggembira, bukan penentu alur pesta. Bila itu terjadi, Pemilu 2004 tidak beda. Rakyat tidak sukses. Kondisi gagal negara berlanjut. Kita terus menjadi a nation in waiting. * Yonky Karman Rohaniwan. (Kompas 1 April 2004) |